Diam-Diam

tunggulah sebentar,
aku masih belum puas memandangmu
meski baru pertama kali 
tak sengaja bersitatap 
di depan antrian bianglala

tunggulah sebentar,
malam masih panjang
aku ingin mengikuti petualanganmu
malam ini, diam-diam

tunggulah sebentar, 
gelas karton kopiku masih panas
tunggulah ia setidaknya sampai habis
sebab aku memutuskan
menghabiskan malam
menyesap kopi di tanganku
tenggelam di keramaian pasar malam
memandangi kamu, diam-diam

tapi tunggu sebentar,
siapa yang menggenggam tanganmu erat?
apa aku terlambat,
mengatakan halo?
apa aku terlambat,
mengajakmu berkenalan?
diam-diam, hatiku patah

malam hampir habis
lampu lampu dipadamkan
bianglala berhenti berputar
tapi kamu, masih saja berputar;
di kepalaku.

Night will fall you see the city glows again
You see the morning comes to soon
That’s how the circle goes around
Here and there always a story from somewhere
Always another line to say
No I won’t stay along this line
of broken pieces lying somewhere


(intepretasi dari lagu milik Adhitia Sofyan - Gaze)

Mungkin Aku, Bukan Lagi Rumah

tap tap tap tap
ada yang tergesa-gesa sore itu
ialah senja yang ditelan gelap
mataku sedih tak menemui langit jeruk
juga pemandangan di stasiun sore itu

pesanmu kuterima sudah
dengan mata berbinar
kupilih baju terbaik
juga kupasang senyum paling manis

kulihat di ujung peron
kau bersama senja yang lain
rupanya itu alasan senja tak datang
di langit sore ini

hanya berjarak tujuh langkah
harusnya kau menyiapkan rentang pelukan
nyatanya tak ada

kupertajam pendengaranku
tapi rintik terlalu keras menjatuhkan dirinya ke tanah
ke atap peron
mungkin rindunya terlalu besar
terlalu keras
sama seperti milikku

kamu memang pulang
ke rumah
ke rumah, yang tak lagi aku.


*Balasan puisi untuk Di Musim Semi yang Kelima oleh Mamanism

Sebuah Keputusan

rintik-rintik hujan
jatuh di kaca jendela
tik tik tik tik
sebuah napas kuhela
ada bayang-bayang wajahmu
di sana
berbentuk rindu
yang berwarna jingga
aku lupa
seperti apa
bau hujan
dan juga
warna awan
hingga kuputuskan
menghapus beberapa kenangan
jika keputusanku salah
datanglah
di malam purnama terbelah
sebab
ada tuan lain datang
menghapus air mata
di pipi merah yang sembab
bukankah kata orang
cinta datang
karena terbiasa
apa kau percaya?


picture from here


*puisi balasan untuk Sihir Hujan dan Kartu Pos dari Negeri Seberang oleh Mamanism

Musim Semi yang Kau Janjikan, Tak Pernah Ada


picture from here

@Mamanism

Jika aku tak salah,
sudah musim semi ketiga yang kulewati
sejak kamu yang menjelma kartu pos
dengan wangi aroma tubuhmu
menyambangi rumahku

Tiga musim semi,
kartu pos itu tergantung
di samping jendela kamarku

Ia tahu,
pukul berapa matahari terbit
kapan burung gereja kembali ke sarangnya
berapa lama embun mengunjungi pagi
dan kapan hujan harus turun
untuk membasuh rindu yang tengah sekarat

Sudah hari ketujuh belas
hujan turun di kotaku
namun musim semi yang kaujanjikan
tak pernah ada.



*puisi balasan untuk Di Kota ini, Kemarau Tiba Lebih Lama oleh Maman

Tentang Jarak

: @Mamanism

Jika kita berbicara tentang jarak,
Pernahkah kau hitung, Tuan
Berapa liku sungai yang harus dilewati demi sebuah pertemuan?
atau berapa gunung yang harus dibelah
agar peluk dapat kita sauhkan?

Pernahkah kau coba perhatikan, Tuan
Berapa batang pohon yang harus dilewati
atau berapa liter bensin yang harus kau beli
agar kulit kita bisa bersentuhan

Hampir saja aku lupa seperti apa bau kotamu
Aku rindu kita yang berjalan menyusuri pematang sawah
atau menenggelamkan kaki di sungai
hingga lupa bahwa senja tiba sudah

Kalau saja kau tak bilang bahwa senja tinggal di mataku,
barangkali aku lupa
dan menganggap waktu tiada.

Tak apa, meski jarak menghadang peluk
asal kita masih melihat langit jeruk yang sama
di tiap senja.

Ingatan

aku ingat kita pernah melewati suatu senja
berangin dan sedikit mendung
namun hujan enggan hadir
burung gereja tak terdengar berkicau

aku ingat segala yang pernah kamu jatuhkan
di bibirku yang aroma apel
sambil melepaskan kacamataku
kamu menulis janji di sana
melukis harapan dengan cat air,
sisa tugas kesenian sekolah

barangkali ingatanku tak sebagus yang aku kira
buktinya aku lupa,
kapan terakhir kali
kamu membuatku tersenyum.

Surabaya, 2014.

Berhitung

mari kembali ke taman kanak-kanak
ikut pelajaran berhitung
tanpa menyontek
sambil memejamkan mata
kita menghitung hingga seratus,
kira-kira,
siapa yang lebih dulu meninggalkan?

I'm a cynical.

Banyak sekali yang bilang bahwa saya orangnya cynical sekali, temperamenlah, ketuslah, dan Sebagainya. Kenapa saya bilangnya banyak karena yang bilang begitu engga cuma satu atau dua atau tiga atau empat, tapi banyak.

Baiklah, saya setuju kalau saya memang sinis. Tapi artinya kalian belum mengenal saya dengan sangat. Jangan-jangan hanya membaca ocehan saya di twitter atau beberapa tulisan dan komentar saya di media sosial. Sesekali, hampiri saya ketika saya makan siang. Duduk di depan saya dan tersenyumlah atau ajaklah saya mengobrol, maka kalian akan tahu bahwa saya tidak sesinis yang kalian maksud. Hehe.

Kalau saya masih sinis, kemungkinannya cuma tiga: lapar, bokek, dan sedang pms.

Hehehe.

Salam manis selalu.

Pesan Singkat

ada yang bersijingkat malam itu
diamdiam pergi melalui jendela
menyusuri jalan malam tanpa alas kaki
jaketnya di atas kursi lupa dikenakan
kacamatanya masih tergeletak di meja kerja
dadaku berdegup kencang sekali
jantung seperti mendesak ingin keluar mengejar
ponsel di ujung kamar sibuk mengisi daya
kelelahan bekerja seharian
tiba-tiba bergetar, lalu berdering sebentar
sebuah pesan tertulis di sana,

"kami hanya pergi sebentar mencari angin, kepalamu itu terlalu kecil dan kami terlalu banyak. salam, rindu."

Surabaya, 2014.

aku suka kamu

aku suka bau matahari di rambutmu
aku suka melihatmu tersenyum dari samping
aku suka senyummu yang miring
aku suka baju kotak-kotak hijaumu
aku suka suaramu yang serak
aku suka caramu mengikat tali sepatu
aku suka suaramu ketika menguap
aku suka kamu menggandeng tanganku
aku suka matamu yang berbinar kalau sedang bertanya
aku suka garis tengah di bibirmu yang bawah
aku suka lesung pipimu yang terlihat ketika mengunyah

ah,
aku suka kamu.

Mengatur Pertemuan

di pertemuan selanjutnya, nanti
kita sepakat melupakan curiga
yang sempat menenggelamkan rindu

di pertemuan selanjutnya, nanti
pelukan ialah hal pertama
yang akan kita jatuhkan

di pertemuan selanjutnya, nanti
kita berencana memesan hanya satu cangkir kopi,
satu porsi spaghetti
dan dimakan berdua
biar seperti abege yang baru jadian, begitu katamu

di pertemuan selanjutnya, nanti
kamu bilang akan bercerita tentang ibu kos
yang bawelnya seperti donald bebek
juga tukang bakso langgananmu
yang suka stand up comedy sambil meracik baksonya

di pertemuan selanjutnya, nanti
aku beri kamu sebuah kabar gembira
bahwa ibuku suka kamu sekarang
bahkan beliau ingin kamu mencium tangannya

dalam jarak, sekarang
kita menatap kalender
mencari angka berwarna merah
membagi jadwal
mengatur pertemuan.

Surabaya, 2014

Mengecewakan Oktober

mengecewakan oktober ialah hal terbodoh yang pernah kulakukan
mengharap kebaikan nopember ialah harapan yang terucap selanjutnya
sebab,
senin tak lagi seriuh biasanya
selasa tak pernah kulihat sedamai kemarin
rabu semakin saja muram
kamis menjadi tak bersemangat
jumat tak lagi dinanti
sabtu kini gemar tersedu-sedu
minggu tak punya gairah
oktober, maafkan aku
aku mengecewakanmu

Surabaya, 2014

Penggalan

1/ 
dipertemukan

seingat saya, bumi waktu itu berwarna jeruk
dengan aroma selai apel favorit
di tanahnya ditumbuhi bunga-bunga tulip
warnanya merah maroon

hanya itu yang saya ingat
pertama kali membaca nama dadamu siang itu
gambaran sempurna seorang anak laki-laki remaja
dengan nama yang jarang sekali kudengar

bercengkeramalah kamu dengan penjaga kantin
sedang aku,
bercengkerama dengan kepalaku sendiri
aku jatuh cinta, ayah
pada laki-laki di sampingku


2/
dipisahkan

anak tangga itu jadi saksi
air mata yang merayap diam-diam
setelah ucapan sampai bertemu lagi
semenjak itu aku tahu,
perpisahan itu sungguh seram

3/
perjalanan

kalau semesta mengizinkan
saya ingin membungkusmu pulang
menyuruhmu tetap tinggal

saya sering meneriakkan
namamu keras-keras
namun tak seorang pun mendengar

pertemuan kita hanya singkat
sesingkat langit jeruk di tiap sore
lalu saya kembali menangisi perpisahan

4/
menunggu

saya merindukanmu sedikit kemarin malam
menjelang hari ulang tahunku
saya mendapati isi dadaku terurai di lantai
membentuk sebuah nama
namamu

saya mengenangmu tadi pagi
dengan merayakannya pada secangkir kopi 
yang tak lalu kusentuh hingga dingin

kemarin kau datang berwujud virtual
mengecup pipiku secara virtual
memberi harapan
yang saya harap
bukan juga virtual

surabaya, 2014.
Mari terus merajut mimpi dan menyusun strategi untuk meraihnya.

Melawan Ketakutan di Usia Baru

Hampir dua tahun saya tak berani melawan ketakutan sendiri hingga akhirnya saya sadar saya masih berjalan di tempat yang sama namun sahabat-sahabat saya sudah berada di depan bahkan jauh di depan saya. Malam tadi sebelum memejam usai melafazkan doa, ada benda hangat di sudut mata. Saya menangis, tanpa suara. Bulan ini saya akan meninggalkan usia 22 tahun, lalu saya bertanya di dalam hati, 22 tahun, sudah ngapain saja? Saya menangis kembali.

Saya pernah melawan ketakutan saya dulu ketika ada laki-laki yang mematahkan hati dan menghancurleburkan dada saya. Sudah lama sekali, namun masih tetap membekas. Saya takut hidup saya tak sama lagi, saya takut tak menjadi diri saya lagi jika saya harus merelakannya pergi. Namun ternyata saya salah, setelah memutuskan pergi segalanya berubah jauh lebih baik. Berat badan saya naik, saya lebih sering tersenyum, dan segalanya terlihat lebih terang. 

Iya, saya harus melawan ketakutan saya sekali lagi.

Akhir bulan nanti, usia saya genap 23 tahun.

Mimpi?

Mimpi saya usia 23 tahun saya sudah bergelar Sarjana Akuntansi setelah perjuangan lima tahun dengan beberapa ketakutan yang tak berani saya lawan dan mulai hari ini saya akan melawannya. 23 tahun saya ingin mendapatkan pekerjaan dan berhenti meminta dari orang tua, 23 tahun saya ingin menjadi kakak yang baik untuk ketiga adik saya minimal bisa membantu memberi mereka uang jajan, 23 tahun saya ingin mengakui bahwa saya mencintai seseorang tapi nanti setelah umur saya 23 tahun dan resmi menjadi sarjana dan kalian boleh menagih saya. 23 tahun, saya ingin lebih serius terhadap masa depan. 23 tahun, saya ingin menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari.

Selamat datang bulan September. Baik-baiklah.

Akhir Pekan Vs. Hari Kerja

Saya termasuk orang yang mainstream, mengapa begitu? Sebab saya salah satu orang di dunia ini yang sangat bersemangat menyambut akhir pekan. Penyebabnya selain di akhir pekan seluruh anggota keluarga berada di rumah dan tak ada yang di luar kota, saya juga selalu punya akhir pekan yang menyenangkan bersama kawan-kawan saya. Tak mudah memang membagi waktu antara keluaga dan sahabat di akhir pekan. Terlebih dalam kondisi kami semua sekarang tengah sibuk dengan urusan sekolah dan pekerjaan masing-masing.

Akhir pekan saya tak pernah lesu, meski bisa dibilang jodoh saya berada di tempat yang berjarak ratusan kilometer dari saya berdiri hari ini. Saya punya Ayah dan Ibu yang suka mengajak saya dan ketiga adik saya hangout. Entah itu sekadar jalan ke mall lalu makan di tempat yang istimewa atau menghabiskannya dengan masak kue bersama di rumah atau paling sederhana menonton televisi di ruang tengah bersama dengan cemilan yang melimpah hingga larut malam sambil mengobrol ngalur ngidul

Begitu juga dengan kawan-kawan saya, kami selalu punya akhir pekan yang tak kalah seru. Terkadang akhir pekan kami bernilai nol rupiah atau terkadang merogoh dompet agak dalam. Mulai dari berolahraga rutin setiap pagi di akhir pekan bersama atau sekadar sarapan bersama. Menghabiskan hari di sebuah kedai kopi di depan bercangkir-cangkir kopi dan cemilan atau hanya sekadar berkumpul di teras rumah. Akhir pekan kami lalu pun sempat dihabiskan dengan berenang dan membuat es krim. Tak ada yang tak menyenangkan jika semuanya didasari dengan cinta.

Betapa bahagia saya dikelilingi keluaga yang menyenangkan juga sahabat yang ngangenin. 

Namun, saya adalah orang yang tidak terlalu mainstream mainstream sekali. Saya bahkan keluarga dan kawan-kawan saya tak pernah membenci hari Senin seperti kebanyakan orang yang mulai mengeluh nyaris seperti sapi di Minggu Malam karena segera bertemu Senin. Bukankah kita semua punya cita-cita yang butuh digapai? Di hari Senin hingga Jumat lah saatnya menggapai mimpi, mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bukankah kita juga butuh hidup yang layak? Dengan catatan tidak melupakan kebahagiaan yang hakiki. Yaitu menikmati hidup dan berkumpul bersama orang-orang terkasih di akhir pekan.

Jadi, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu pembenci hari Senin? :)

Surabaya, di penghujung hari Senin di kala senja.

Beberapa Suka Lupa Bagaimana Cara Berinstropeksi Diri

Beberapa orang disibukkan dengan menyalahkan diri sendiri, namun sisanya lebih sibuk menyalahkan orang lain atas segala yang tengah dideritanya. Ada kalanya, kita tak perlu terburu-buru menyimpulkan sesuatu terlebih jika segalanya hanya menyulut emosi. Coba sejenak duduklah sambil menggenggam cangkir tehmu yang masih hangat. Tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan lewat mulut, lakukan hal yang sama sebanyak tiga kali. Kita perlu menenangkan isi kepala dulu sebelum menyimpulkan sesuatu.

Beberapa orang memang terkesan bahwa berkat merekalah sekarang dia terpuruk, jatuh, dan tersungkur. Tidakkah pernah kita mencoba untuk sejenak berinstropeksi diri. Bukankah ada pepatah yang bilang bahwa apa yang kita tuai hari ini adalah hasil dari apa yang pernah kita tanam dulu. Ya, kira-kira seperti itu bunyinya. Percayalah, perjalanan hidup menuju puncak tak akan selalu mulus. Akan selalu kita temui jalan berbatu yang terjal atau bahkan jalan yang licin di beberapa kesempatan. Tapi jangan salahkan mereka jika bertemu.

Begini, aku pernah disakiti seorang laki-laki, mungkin juga dengan kamu. Tapi coba kita duduk sejenak, apakah dia bosan? Atau ada orang ketiga? Mengapa dia bosan? Mengapa tiba-tiba ada orang ketiga yang punya potensi untuk disalahakan? Mungkin sebagian dari kita lupa bahwa dulu, jauh sebelum kita bertemu dengan laki-laki itu, kita pernah bertemu dengan laki-laki lain dan tanpa sadar kita pernah menyakitinya. Kawan, karma itu eksis. Karma itu ada. Karma itu akan selalu ada. Berhentilah meneriakkan bahwa orang lain adalah penyebab jatuhnya kau, terkadang, semua itu hanya balasan karena apa yang pernah kita lakukan dulu.

Beberapa suka lupa bagaimana cara berinstropeksi diri, begitu juga dengan saya. Maka jika dadamu terasa sakit, duduklah sejenak, pegang cangkir tehmu yang masih hangat, tarik napas dalam-dalam sambil memejam, lalu hembuskan.

Meja Kerja, 5 menit sebelum pulang.

Perihal Masa Lalu

Bukannya aku jahat atau tak pandai memaafkan. Bukankah dalam agama kita diajarkan untuk saling memaafkan? Namun bukan itu intinya. Seseorang yang pernah ada di masa lalu menurutku tak perlu ada di kehidupan kita sekarang dalam bentuk apa pun. Sebab kita hanya manusia biasa. Betapa kita sungguh sulit menyembuhkan luka yang sempat mereka torehkan dan lalu kita kembali mempersilakan mereka masuk ke dalam hidup kita lagi. Pengorbanan kita kemarin tak boleh sia-sia.

Bukannya aku jahat atau takut merasa kembali jatuh cinta pada orang yang sama. Namun ada hati lain yang wajib kita jaga dan lebih penting dari sekadar memikirkan apa sikap yang harus kita lakukan jika kita kembali bertemu dengan mereka yang pernah hadir di masa lalu. Hidup tak semudah apa yang pernah kau ucap dari mulutmu. Mudah saja bagimu berkata tak apa toh kita sudah punya hati lain yang memagari dada kita. Tidak. Hidup tak semudah itu. Luka memang sudah mengering, namun bekasnya akan selalu ada.

Sebab, ada beberapa kenangan yang tak lagi pantas untuk diingat atau pantas untuk tak sengaja teringat. Sebab aku manusia biasa. Maka aku memilih untuk menghindari mereka yang pernah ada di masa lalu.

Kamar Tidur, 00.53.

Perihal Menunggu

Bisa dibilang saya sedang jatuh cinta, cinta yang sekian tahun pernah saya kubur dalam-dalam dan tak ada orang yang tahu kini dia merangkak naik ke permukaan minta disambut. Tapi sepertinya, anak laki-laki itu tak pernah mencintai saya dulu, sekarang? Sikapnya lebih manis. Entah mengapa saya gemar sekali menunggu meski tahu menunggu itu perihal meninggikan sabar dan melebarkan segala pikiran-pikiran positif bahkan harus siap dengan segala risiko yang bahkan tak pernah kita inginkan.

Ya, sampai sekarang saya sedang menunggu kamu, Tuan. Sebab denganmu saya merasa lebih baik.

Saya akan menunggu.. hingga lelah..

Sebab Tuhan memberikan cinta dan mendatangkan cinta seringnya dari kejadian dan cara yang sama sekali tak pernah kita duga.

Pernikahan, Cinta, Persahabatan

Semalam, saya chatting dengan salah seorang sahabat saya. Sebenernya kami tinggal di kota yang sama, sayang kota ini terlalu sibuk begitu pula dengan kami. Terima kasih kepada teknologi yang mampu mendekatkan mereka yang jauh bahkan yang terburuk, menjauhkan mereka yang dekat. Sahabat saya banyak bercerita mengenai rencana pernikahannya. Mulai dari dia yang mantap sekali ingin menikah hingga tiba-tiba muncul ragu. Itu biasa, kubilang. Sebagai sahabat, saya hanya bisa memberinya semangat dan meyakinkan untuk selalu mendengar isi hatinya. 

Pernikahan itu sesuatu yang sakral tak boleh main-main. Mulai dari calon pasangan hingga prosesinya. Terutama masalah hati, pernikahan itu tak bisa dipaksakan. Saya percaya dengan hal-hal kecil yang sesungguhnya bukan kebetulan, bahwa segalanya sudah ditulis jauh sebelum kamu dilahirkan. Begitu juga dengan jodoh. Saya percaya bahwa jodoh saya sudah dituliskan, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Repotnya, menjadi perempuan itu sedikit complicated. Sebab kami hanya bisa menunggu, jadi ingat kata-kata orang tua jaman dulu, enggak ilok lah kalau kita perempuan yang mengucap lebih dulu. Doa saya hanya satu, semoga segala urusanmu dilancarkan, Sob. Begitu juga dengan segala urusan-urusanku. Aamiin.

Berbicara tentang cinta, buat saya cinta tidak hanya didapat dari kekasih atau bahasa kerennya sekarang, pacar. Buat saya cinta kedua orang tua saya itu lebih dari segalanya. Juga cinta di dalam sebuah persahabatan. Terima kasih buat kelima sahabat saya yang selalu menemani setiap akhir pekan. 

Hidup itu penuh misteri, lima tahun dari sekarang saya atau pun sahabat-sahabat saya bahkan kamu tak akan pernah tahu seperti apa rupa kita nanti atau menjadi apa kita nanti. Tetaplah mencari, terus berpetualang dan tetaplah nikmati hidup kita apa adanya, bangun pagi, mengucap selamat pagi meski lewat chat, banyak membaca, banyak merenung, banyak berdoa dan tak pernah putus asa.

Surabaya, 2014. 



Our Own Pretty Ways - First Aid Kit

Kalau saya ibaratkan tempat menulis saya ini adalah rumah, mungkin ini adalah satu-satunya rumah yang jarang sekali saya singgahi. Lalu saya tertawa melihat judul blog ini; Rumah Singgah. Sebab mungkin namanya rumah singgah maka saya hanya singgah sebentar-sebentar saja di sini dan tak pernah terbesit pikiran untuk menetap. Berbeda dengan dadamu yang misteri itu, aku sudah punya banyak rencana tentang kepindahanku dari dada yang lama untuk menetap di sana--selamanya.

Sengaja siang ini, di tengah kesibukan yang menyebalkan di atas tumpukan kertas dan di depan komputer jinjing merah jambu, saya membuka laman ini dan menulis beberapa. Saya memang gemar menulis, sejak saya masih berseragam putih-merah hingga akhirnya saya marah dengan diri saya sendiri dan memutuskan untuk berhenti menulis. Namun ternyata saya salah, menulis itu sudah seperti sebagian dari jiwa saya. Menulis itu menyembuhkan. Menulis itu menyembuhkan, sama rasanya seperti ketika saya kembali bertemu dan melihatmu setelah waktu yang lama. Saya sembuh.

Siang ini saya memutuskan mengganti titel dari blog yang usang ini dari rumah singgah menjadi "Our Own Pretty Ways", kalimat ini saya dapat dari sebuah judul lagu milik First Aid Kit dalam albumnya yang berjudul  The Big Black and the Blue yang dirilis tahun 2010. Lagu ini menyadarkan saya bahwa semua orang dapat berubah dengan caranya masing-masing. Dengan cara yang manis menurut masing-masing. Begitu pula dengan saya, juga denganmu.


Let's take this for what it is
You tell me you have changed
Well we all change in our own ways
In our own pretty ways

It all comes down to this
I'm an ocean, you're the rain
The ice is melting fast
But you're not pulling down the brakes


Tetaplah menjadi hujan dan aku akan tetap menjadi lautan, tempat semua air bermuara. Termasuk air hujan. 

Tetaplah menjadi hujan dan aku akan tetap menjadi lautan, yang selalu menguap hingga kembali menjadi kamu; menjadi hujan.

Surabaya, 2014.

kota ini tua

Kami pernah memutuskan untuk menjauh
pergi  dari kota tua ini,
menghindari riuh jalanan pukul enam petang
dari bocah penjual telur puyuh dengan mata kanan
yang habis dioperasi

Namun kami tak pernah berhasil
recehan di mesin anjungan tunai mandiri kami mulai mengidap
penyakit ketergantungan akan kota ini
status sosial menjadi alasannya
hingga kami tak tahu cara membahagiakan diri sendiri

kota ini tua, ratusan tahun usianya
kota ini renta, sudah tersengal-sengal napasnya
namun di kota ini aku pertama kali mengenal ibu
pertama kali digendong ayah
pertama kali mengenalmu

Surabaya, 2014

Selamat ulang tahun kota Surabaya

Flashback

Aku menggenggam kertas persegi panjang di tanganku dengan erat, aku berhenti membaca bahkan sebelum aku memutuskan untuk membaca. Aku menekan tombol kunci ponselku dan memandangi sebuah foto yang melatarbelakangi ponselku. Sudah hampir dua tahun aku tak menggantinya atau sekadar berniat untuk menggantinya. Aku seorang fotografer, namun aku tak pandai mengambil gambar diri sendiri lewat ponsel sendiri.

Gambar itu diambil sepulang aku kuliah dan dia sedang merengek ingin ditraktir di sebuah restoran favorit kami yang tak jauh dari kampusnya. Aku membukakan pintu mobil di sebelah kiriku, tentu saja aku harus keluar lebih dulu dari mobil. Tersenyum kepadanya dan mempersilakan dia masuk. Perempuan itu mencium pipiku sebelum masuk, pipiku tiba-tiba terasa hangat. Aku yakin dia sedang sangat lapar, dia memesan satu porsi steak, satu porsi kentang goreng dan satu milkshake rasa cokelat. Aku hanya memesan spaghetti dan kopi. Apa pun makananku, minumanku adalah kopi, entah dingin atau panas.

Perempuan itu suka sekali bercerita, tentang apa yang barusan dialami padaku. Tak pernah menyembunyikan satu hal apa pu, itu mengapa hubungan kami bisa seawet itu. Andai aku mampu membekukan waktu, akan kubingkai senyumnya yang sungguh manis siang itu, rambutnya yang hanya sebatas bahu itu dihiasi dengan bando berwarna cokelat tua, bibirnya yang merah muda itu membuatku tak bisa menahan untuk tak mengambil gambarnya.

"Kok cuma aku yang difoto sih?"

"Terus?"

"Kita foto berdua. Sini."

Dia mengambil kameraku dan menepuk kursi di sebelahnya, mengisyaratkan padaku untuk duduk di sampingnya. Aku menurut. Dia meletekkan tangan kirinya di bahu kananku, tersenyum dan berkata, "Cheeseeeee.."

Sebuah pesan masuk membuyarkan lamunanku.

Hai, sudah terima undangan dariku, bukan? Jangan lupa datang, ya. Bawa juga pacar barumu, kenalkan aku padanya.

Surabaya 2014.

Babak Satu Jam

Halte depan kampus, 12.30

Aku menggaruk kepalaku yang tak sedang gatal dengan tangan kiri, sedang tangan kananku memainkan botol kaca minuman teh dalam botol yang sudah hampir habis. Perempuan itu masih saja menangis di sampingku, minumannya bahkan tak disentuhnya sama sekali. Aku tak percaya, perempuan yang kukenal hampir tiga tahun masa aku menjadi mahasiswa dan kukenal sebagai perempuan yang super tangguh itu matanya pecah dan pipinya banjir di hadapanku. Oh, tidak, dia menangis tanpa mengeluarkan sedikitpun isakan. Hanya air mata mengalir tak henti menghangatkan pipinya. 

Aku melirik ke arah kiri, sejenak. Matanya menerawang entah ke mana. Kulihat tangannya sedikit gemetar sedang kakinya enggan untuk diam. Ibu kota sedang panas-panasnya, sama seperti isi dadanya sekarang. Kurasa. Dia belum bercerita banyak, bibirnya kutaksir sedang kelu. Bagaimana tidak, dia mengirimiku pesan singkat untuk bertemu di depan kampus. Belum juga mengeluarkan satu kata pun dia sudah memelukku sambil menangis. Sebagai seorang mahasiswa merangkap wartawan di sebuah majalah kecil di kota ini, aku merasa sangat bodoh karena kehilangan kata-kata.

"Yakin tak mau bercerita?"aku mengawali percakapan.

"Kami sudah tak ada apa-apa lagi."ujarnya, perlahan.

"Kami? Siapa maksudmu?"

"Dia memutuskan hubungan kami."

Hening. Tak ada yang berbicara.

"Aku ada kuliah setengah jam lagi. Aku sudah membolos dua kali. Kutunggu kau di tempat biasa nanti malam selepas maghrib. Kamu harus kuat, jaga dirimu baik-baik."

Aku meletakkan botol minuman kosong itu pada tempatnya, membayar keduanya, menepuk bahunya lembut, berpamitan pada pemilik kios dan pergi menuju kelas. Aku hanya seorang mahasiswi semester enam yang sedang tak menjalin hubungan dengan siapa-siapa, sedang tak jatuh cinta dengan siapa-siapa dan sedang tak punya masalah apa-apa selain deadline dari kantor.


Kantin, 13.25

"Bengong aja, lu. Kesambet nanti."seseorang tiba-tiba duduk di sampingku. Siang ini dosen sedang tak ada, beberapa kawan sudah pulang dan sisanya pergi hangout entah ke mana. Sedangkan aku memilih duduk di kantin dengan segelas jus alpukat yang tinggal seperempat.

"Ngapain kamu di sini?

"Aku sengaja cari kamu seharian. Tadi pagi kulihat kamu masuk ke dalam kelas, lalu setelah itu aku tak melihat kamu lagi. Aku lapar, makanya aku ke sini dan tak sengaja melihat kamu. Mungkin kita berjodoh."

Aku tak menyahut. Berjodoh? Yang benar saja, dia pacar sahabatku. Laki-laki ini sedang tak waras rupanya. Mungkin pengaruh cuaca yang sedang panas-panasnya.

"Aku punya tiket konser Tulus. Dua buah."

"Lalu?"

"Ikutlah denganku."

"Apa kabar dengan..."

"Kami sudah tak ada hubungan apa-apa."

Aku membenarkan letak dudukku. Aku baru saja teringat malam nanti punya rencana ke toko kaset untuk membeli CD Tulus keluaran yang  baru. Tiba-tiba laki-laki di sampingku ini menawariku untuk menonton konser Tulus bersama. Kebetulan yang aneh.

"Oke, sekarang aku tahu mengapa siang tadi dia datang ke aku sambil menangis. Kau apakan dia?"

"Pertanyaanmu salah."

"Mana ada pertanyaan salah?"

"Harusnya kau bertanya, apa yang sudah dia perbuat denganku?"

"Kamu engga waras hari ini. Sungguh."

"Aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Sejujurnya, aku sungguh tak ingin ikut campur urusan kalian sedikit pun. Tapi aku akan sangat marah jika seseorang berani menyakiti sahabatku sendiri."

"Kamu tak perlu dengar dari aku, dengarkan saja jika dia bercerita nanti. Namun yang jelas, aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Kalau begitu mungkin itu memang sifat atau kebiasaan dia. Belajarlah menerima."

"Aku lebih tertarik dengan perempuan macam kamu."

"Macam aku? Tidak. Aku bukan pagar yang doyan makan tanaman."

"Aku tahu posisi kita, tapi setidaknya, aku sudah mengatakan apa yang aku rasakan."

Surabaya, 2014

Panggil Aku Pengecut

Kalau kamu pernah melihat perempuan dengan dress berwarna biru langit dan sepatu converse merah di sebuah kedai kopi di sudut kota dengan mata yang lekat dengan layar komputer jinjingnya namun sebuah earphone yang berasal dari sebuah ponsel berwarna putih mengalunkan lagu-lagu milik Boyce Avenue mungkin kau bisa menyapanya atau mengajaknya makan bersama. Aku suka sekali menikmati Boyce Avenue, bukankah syarat meng-cover sebuah lagu adalah dia harus mampu menyanyikan lebih bagus dari penyanyi aslinya? Aku rasa mereka berhasil.

Namun ini bukan cerita tentang seberapa suka aku dengan Boyce Avenue atau seberapa sering aku menghabiskan waktuku dengan diriku sendiri. Ini tentang seorang laki-laki dengan jaket biru tuanya yang beberapa hari lalu masih bisa kupeluk dari belakang, yang satu bulan lalu masih bisa kudengar gelak tawanya, yang satu tahun lalu masih suka memainkan tanganku sambil menyetir, atau yang kemarin lusa masih mengusap sisa es krim di sudut bibir kananku dengan bibirnya.

"Aku cuma ingin tahu apa kau masih mencintaiku, De?"

Laki-laki itu diam tanpa ekspresi. Kopinya sudah dingin, itu sebab dia enggan untuk menyentuhnya. Bukan salahku kopinya dingin, kenapa dia tak menyentuhnya sama sekali setelah pramusaji dengan senyumnya yang manis meletakkan pesanannya di atas meja. Aku tahu dia sangat gelisah, kakinya tak pernah mau diam ketika gelisah. Sayangnya, bibirnya diam seperti tak mengenal aksara.

"Bicaralah, De. Satu kata saja."

Kali ini dia menatapku, tanpa berkedip. Aku tak tahu harus berbuat apa, bahkan membaca matanya pun aku tak lagi sanggup. Aku tahu, kita sudah memutuskan untuk saling mengikhlaskan. Namun jika memang kita akhirnya harus berpisah, setidaknya beri aku waktu sejenak saja rebah di dadamu untuk terakhir kalinya.

"Kopiku sudah dingin, minumlah. Nanti kupesan lagi."

"Aku sedang tak ingin minum kopi dingin."

"Bukankah itu bagian favoritmu? Menikmati kopi yang selagi dingin?"

"De, bukan itu yang ingin kudengar."

"Aku harus pergi, jagalah dirimu baik-baik. Habiskan kopiku, biar nanti aku yang bayar semuanya."

Laki-laki itu beranjak tanpa mencium keningku, atau setidaknya membuat rambutku berantakan seperti biasanya. Dia pergi tanpa ekspresi.

Ini tepat dua tahun setelah kau pergi meninggalkanku, De. Aku terlalu pengecut untuk menghadiri acara yang hanya beberapa langkah dari tempatku duduk kala itu. Di seberang sana, beberapa pengunjung berpakaian rapi dan berjas memenuhi sebuah gedung. Sedang aku, terlalu pengecut untuk sekadar memberimu kata selamat.

Selamat menempuh hidup baru, De.

Maaf terlambat.

Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Surabaya, 2014.

kau salah sangka

kau salah sangka, aku tak sekuat yang pernah kau bayangkan
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
aku masih memanjakan telinga dengan lagu-lagu sendu
aku masih menangis di belakang tawa yang kuperlihatkan banyak orang
aku masih senang mengutuk diri sendiri yang belum juga berubah nasibnya

kau salah sangka, aku tak secantik yang pernah kau bilang
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
nyatanya kau masih memilih rengkuh yang lain
dadamu juga tak lagi mau membuka pintu kehadiranku
kepalamu menolak untuk kurebahi

kau salah sangka, aku bukan pemilik ciuman hebat seperti katamu
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
setelah kulihat ada gincu merah muda
di bibir kirimu pada minggu pagi
ketika sengaja aku bangun mendahului pagi
menghampirimu dengan serantang sarapan

kau salah sangka, aku bukan perempuan yang tangguh
wahai pria yang mengaku-aku dewasa
karena aku masih menulis
sambil menangis

surabaya, 2014.

Kuharap Rindu Bisa Bunuh Diri

aku terengah di sepertiga malam menangis seperti bayi dan kudapati rindu tengah tak berdaya di sudut kamar. tubuhku menggigil ingin dipeluk kamu lagi seperti malam malam sebelum ini. aku tak pernah tega melihat siapapun tersiksa, pun dengan rindu. kuberikan dia seutas tali dan sebotol obat penenang, kuharap dia bunuh diri.

Berkat Jasamu

Aku berjalan menyusuri jalanan tak seberapa lebar di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota besar macam Surabaya. Di kiriku terhempas dataran hijau berupa sawah ditanami padi yang masih belia, nun jauh di sana sebuah gunung menjulang dipayungi awan malu-malu. Di kananku mengalirlah air dengan tenangnya dari sungai kecil yang masih jernih.

Di sungai itulah aku dulu pernah bermain ketika masa kanak menangkap yuyu membasahi kaki atau sekadar bermain air dengan kawan. Aku juga masih ingat sawah hijau itu pernah kupakai bermain mengotori kakiku sebelum akhirnya aku menceburkan diri di sungai.

Peristiwa menyenangkan masa kanak yang bermain di kepalaku berhenti ketika melewati sebuah sekolah dasar yang harusnya tak asing buatku, di situlah aku pernah menimba ilmu selama enam tahun. Badanku masih kecil kala itu, rambutku masih cepak dan bajuku masih putih-merah. Dimana aku masih begitu merasakan arti guru sebenarnya, digugu dan ditiru.

Surat ini aku tujukan kepada seorang guru bahasa Indonesiaku ketika SD, bapak Astamun. Berkat beliaulah aku jadi gemar sekali menulis dan membaca. Membaca apa saja. Aku masih ingat sekali ketika beliau mendorongku mengikuti lomba story telling dan resensi buku hingga berhasil menjadi juara. Beliau juga yang mengajakku membaca puisi dekat dengan alam, bukan di dalam kelas.

Terima kasih, Pak. Semoga panjang umurmu dan sehat selalu.

Paiton, Probolinggo, 2014.

Mengapa Harus Kamu?

Semesta (kembali) menamparku sore ini, bahwa kebahagiaan tak melulu perkara aku berhasil memiliki (si)apa yang kita cintai. namun terlebih pada kita yang mampu membahagiakan sekitar. Angin sore ini yang berhasil menelisik masuk melewati kerudungku membisikkan kabar bahagia tentangmu, aku turut bahagia tentu saja. sayangnya, aku tak bisa ikut merayakan kebahagiaan denganmu.

Aku mungkin satu-satunya yang tak pernah mendapat balasan darimu, bukan hanya perasaan namun juga sapaan-sapaan yang kulempar dengan diikuti senyum semanis mungkin yang aku bisa bahkan tak jarang hanya sebatas sebagai salam yang bertepuk sebelah tangan.

Aku sempat menjadi perempuan yang paling khawatir mendengar kau sakit. Aku juga sempat menjadi perempuan yang selalu ingin menyemangati setiap langkah baik yang akan kau ambil. Sayangnya, selain semesta, hatimu tak pernah merestuinya.

Hingga sebuah malam dimana aku mendapati mata berbinar itu (kembali) menyadari kehadiranku, aku menegaskan diri untuk tetap bertahan pada sosok elokmu. Waktu berkata lain, nyatanya malam ialah hari terakhir kau mengijinkanku mengagumimu. Kau memintaku berhenti dan menyerah. Aku menurut.

Tapi aku masih ingat terakhir kali kita bertemu dan kau sengaja duduk di sampingku mengharap aku kembali menyapamu dengan ceria dan senyum terkembang. Maaf, dua hal itu tak akan lagi bisa kaudapatkan.

Aku mencintaimu, namun aku membenci diriku.
Mengapa harus kamu?

Surabaya 2014.

Aku Bingung, Mau Diberi Judul Apa.

Aku sedang sibuk memikirkan kalimat pembuka apa yang tepat untuk suratku ini, atau lebih tepatnya aku sedang bingung kalimat apa yang bagus untuk mengawali sebuah surat yang rasanya aneh jika harus mengirimkannya padamu padahal aku bisa mengatakannya langsung ketika bertemu nanti denganmu. Oh, sungguh mungkin bahwa jika kau tak mampu berujar lewat bibir menulis adalah jalan keluar yang baik.

Aku tak pernah berhitung berapa tahun berapa bulan berapa minggu atau berapa hari tepatnya kita saling mengenal, yang jelas, kamu sudah masuk dalam daftar orang penting yang memengaruhi hidupku. Teriakan semangat darimu, sungguh itu hal yang berarti buatku sekarang. Namun aku tak akan pernah lupa masa-masa perjuangan yang kita lalui bersama dalam menggapai mimpi. Mungkin benar, belum ada satupun dari kita yang sudah mampu menggapai mimpi yang kita gantung tinggi-tinggi di angkasa, namun setidaknya kamu melompat lebih tinggi dari aku, kamu berada satu langkah lebih depan dariku.

Satu hal yang membuatku sungguh terharu ialah, meski kamu berada satu langkah di depanku, kamu tak pernah absen menoleh ke belakang menyemangkatiku yang kali ini sungguh sedang begitu terengah-engah melangkah. Tak ada yang patut disalahkan memang, mungkin aku yang kurang berusaha atau kurang berdoa. Tapi sekali lagi, kamu adalah salah satu yang tak pernah bosan meneriakan semangat dengan menoleh ke belakang.

Aku akan bertanya satu hal, sampai kapan terus menunggu? Oh tidak dua hal, satunya adalah, mengapa sekarang kau tak rajin menulis surat, hah?! *keplak*

Kamu tahu, hari ini Pesvaku mogok mbuh kenapa, padahal beberapa hari yang lalu beru saja aku servis. Oke ini curhat. Kembali ke topik, uhmmm... sepertinya aku kehabisan kata-kata, aaaaaaaaak. Baiklah, setelah aku bingung mencari kalimat yang oke untuk pembukaan sekarang aku dibingungkan oleh kalimat apa yang pas untuk menutup surat ini.

Oh, ya, jangan pernah bosan untuk saling memberi semangat denganku, ya!

Segala doa baik akan selalu kupanjatkan untukmu. CMIAW!

untuk, @notanita

Untuk Februari

Teruntuk Februari yang hampir usai, aku titipkan sebuah surat elektrik kepada tukang pos @poscinta hari ini. Ada beberapa hal yang ingin sekali aku bagi kepadamu. Anggap saja, aku terlalu malu untuk mengatakannya langsung kepadamu.

Kepada Februari yang akan segera pergi, aku mendapat banyak pelajaran di bulan yang paling singkat dalam satu tahun ini. Terutama mengenai bagaimana caranya menghargai diri sendiri. Satu poin yang kucatat adalah, bagaimana kita mampu menghargai orang lain jika menghargai diri sendiri saja masih tak sanggup.

Pertanyaan yang sedari kecil belum kudapat jawabannya adalah, mengapa Februari tak pernah genap 30 seperti bulan lainnya namun di bulan ini aku selalu mendapati hal baru lebih banyak dari bulan lainnya? Baiklah, kamu tak perlu menjawab. Bulan ini, aku juga menuliskan sebuah kalimat, bahwa hanya yang benar-benar kita cintailah yang bisa membuat kita patah hati.

Tidak, kau jangan salah, aku tak sedang patah hati. Aku sedang jatuh cinta pada beberapa kawan dan seorang pria. Dan satu hal lagi yang aku dapatkan di bulan ini adalah, sebanyak apa pun masalah dan sepening apa pun kepalamu, semuanya tak ada apa-apanya jika kita punya banyak kawan menyenangkan yang selalu ada kapan saja untuk membuat kita tertawa dan juga seorang kekasih yang lapang memberimu dekap setiap saat.

Surabaya, 2014

Dalam Diam


bulan memendarkan cahayanya malam ini
sambil melukis jejak-jejak kaki peri
dibawah sunyi di atas gemuruh
ditikam rasa percaya yang sungguh-sungguh
aku telah menemukan tempat bersauh
lekuk tubuh nyaman untuk bersandar
hati yang menampung rasa yang liar
dua belas bulan bersatu
berhias rindu yang tak jarang semu
tiga ratus enam puluh lima hari terajut
pada dadamu aku tak enggan berlutut
sejuntai gaun membungkus tubuh mungil
tak peduli lutut yang menggigil
hari ini aku milikmu
tubuh ini punyamu
hingga kotak berlapis perak
padanya perasaanku terserak
lalu mari lahap nasi barang sepiring
berteman segelas asa yang terjatuh nyaring
dan ingat pesanku
jangan kau hirau pikuk yang menertawai
aku sudah tak peduli dengan denting dawai
karena di sampingmu aku hening
dan di pelukmu aku tak bergeming.

Kepada kau, ijinkan aku mencintaimu...
...dalam diam.

Iqro

"You are What You Read"

Tulisan di atas mungkin tak lagi asing bagi beberapa orang, terutama yang gemar menikahi sunyi di sudut perpustakaan dengan beraneka ragam buku. Benar saja, sejak kecil aku suka sekali buku yang beraroma sastra dan terbawa hingga sekarang.

Tulisan ini aku tujukan kepada semua orang yang gemar sekali membaca. Teruskanlah kebiasaan baik kita, guys. Bukankah membaca itu membawa energi positif? Kecuali kamu membaca timeline seseorang dengan tujuan stalking.

Coba, deh, kita ibaratkan membaca itu virus terus kita sebar-sebarkan deh ke sekitar kita. Jangan khawatir menginfeksi sesuatu yang positif itu dapat pahala, kok. Jadi, mari kita buat gerakan melestarikan membaca.

Hidup membaca!

Surabaya 2014

Cokelat Panas

Teruntuk secangkir cokelat panas di hadapanku, kamu tahu betul bahwa kota kita ini langitnya sedang gemar-gemarnya menangis. Bahkan aku sampai lupa bahwa negeri kita ini tidak hanya memiliki satu musim--musim hujan. Namun barangkali semesta menciptakan rasa dingin agar kau punya alasan tercipta, seperti pelukan. Meski terkadang, pelukan hanya menenangkan satu diantara dua tubuh yang tengah bersauh.

Teruntuk secangkir cokelat panas dia hadapanku, kamu tahu betul bahwa bukan hanya aku, namun setangkup roti isi di piring bulat putih yang kupesan juga butuh seorang kawan. Setidaknya kawan yang selalu menggaduhkan harimu yang sepi atau memancing hormon tertawamu ketika kalut menyelimuti.

Teruntuk secangkir cokelat panas yang masih memenangkan sebagai pengantar tidur mengalahkan secangkir the cammommile, kau serupa suara serak basah yang mengucapkan selamat malam dan bermimpi indahlah. Tak jarang juga kau menjelma bibir basah yang menjatuhkan ciuman tepat di kening sesaat sebelum lampu kamar dimatikan.

Masuk surgalah kau, pencipta minuman cokelat panas.

Surabaya, 2014

Mlaku-mlaku Nang Tunjungan Numpak Agya Bersama @adityadaniel

biim.. biim..

Kira-kira begitulah suara di linimasa kalau bosse @PosCinta lagi anterin surat. Tapi aku tetep suka sama suara kring.. kring.. pos.. pos.. -nya Bosse. Tapi #NaikAgya bikin Bosse engga kehujanan dan kepanasan, ya? Maklum, cuaca di Indonesia lagi galau-galaunya. Kayak ditinggalin kekasih pas lagi sayang-sayangnya.

Surat cinta bertema hari ini aku tujukan buat kakpos @adityadaniel yang baru saja berulang tahun. Happy Belated Birthday, Kak Adit. Kalau ajakan kentjan naik Agya ini jadi hadiah ulang tahun Kak Adit gimana? Aku tambahin deh nanti kita keliling-keliling Surabaya naik Agya. Kita datengi tempat-tempat oke dan bersejarah di Surabaya macam Tugu Pahlawan, Balai Pemuda, lewati Jembatan Suramadu, daerah pecinan, Museum Mpu Tantular, Museum Kesehatan, Museum Angkatan Laut, Museum rokok di House of Sampoerna. Jangan khawatir juga nanti kita beri makan naga-naga kelaparan di perut kita. Kak Adit mau apa? Di Surabaya banyak sekali kuliner enak, seperti lontong balap, semanggi, tahu petis di daerah pasar Blauran, bebek Sinjay, kue rangin, jajan pasar. Apa aja deh. Pokoknya kita nanti mlaku-mlaku nang Tunjungan numpak Agya.

Dear, Kak Adit, selain mlaku-mlaku aku juga tak akan lupa mengaminkan doa-doa baik yang kak Adit panjatkan.

Sekali lagi,
Happy Belated Birthday, kakpos @adityadaniel

Yuk! Mlaku-mlaku nang Tunjungan numpak Agya.

sincerely,
@pratiwihputri

Dear Valentine

Dear Valentine,

Happy Valentine, dearest.
Bagaimana kabarmu hari ini? Kuharap jawabannya baik-baik saja. Karena aku pun baik-baik saja. Entah kapan kita terakhir bertemu, tapi seingatku ketika kita sedang menghadiri reuni akbar bersama kawan-kawan SMP.

Selamat Ulang Tahun, Cantik.
Semoga bahagia senantiasa merengkuhmu.
Semoga secepatnya didekatkan dengan jodoh.
Dan akan kuaminkan segala doa baik yang engkau panjatkan.

Kawanmu,
@pratiwihputri

Untuk Cinta yang Tak Mampu Kubalas

Selamat pagi, kamu yang menghujaniku dengan perhatian. Sungguh, perempuan mana yang tak tersipu jika diperlakukan spesial oleh seorang lelaki macam kamu? Perempuan mana yang tak mampu tiba-tiba menjatuhkan hatinya tanpa sadar kepada laki-laki dengan begitu banyak perhatian seperti milikmu. Oh, maaf, kecuali aku.

Oh, jangan khawatir, aku pun perempuan normal yang masih menyukai lawan jenis. Hanya saja, aku sudah membuat garis pertahanan di antara kita. Aku pernah membaca sebuah tulisan, it says:

"There is a fine line between love and friendship. When you pass the line, you'll never go back"

Garis yang kutarik jauh sebelum aku menyadari sebuah keganjalan ini bertujuan agar sebuah persahabatan yang kita jalin bertahun-tahun ini tak rusak hanya karena hal-hal yang tak seharusnya terjadi. Betapa aku mencintai persahabatan ini lebih dari apa pun.

Apa sebenarnya yang kau tunggu? Jika cinta dijatuhkan karena perasaan nyaman saat bersama, kumohon periksa kembali hatimu mengenai aku. Jika persahabatan ini menjelma manusia, dia pasti serupa bocah yang sedang nakal-nakalnya dan berseragam putih-merah. Tak mengindahkan ibunya yang melarangnya untuk jajan sembarangan, yang paling malas mengerjakan tugas rumah dan sedang gemar-gemarnya bermain. Lalu kita, sebagai orang tuanya harus mampu mengarahkannya agar bocah ini tumbuh menjadi manusia baik-baik.

Untuk cinta yang tak mampu kubalas ini, kumohon segeralah mencari dada lain tempatmu menjatuhkan peluk. Biarlah aku di sini, menjadi pemandu sorak akan hal-hal baik yang ingin kau lakukan dan mengaminkan segala doa-doa baik yang kaupanjatkan dalam sujudmu.

Dari sahabatmu,
@pratiwihputri

Kepada Kalian Pecinta Kata

Pagi ini aku membuka mata tepat pukul lima pagi lalu membersihkan ruangan tengahku yang begitu berantakan selepas aku membuat beberapa kartu ucapan. Beberapa? Iya, karena aku sedang membuat untuk dihadiahkan kepada kalian yang semalam ikut meramaikan suasa, entah dengan membaca puisi atau bernyayi.

Tepatnya kemarin, 14 Februari 2014 sebuah akun yang tak asing, @MalamPuisi mempunyai acara fantastis. Bagaimana tidak kusebut fantastis, acara yang bertajuk #LovePoetry #UntukKelud ini dihelat di 24 kota penggerak Malam Puisi se-Nusantara. Dari linimasa aku tahu bahwa acara ini berjalan begitu pecah dan khidmat di setiap kota.

Surat ini aku tujukan kepada mereka yang datang di acara Malam Puisi #LovePoetry #UntukKelud. Baik yang hanya menyaksikan sambil menikmati cemilan atau yang ikut berpartisipasi ikut meramaikan. Surat ini ditujukan untuk mereka yang turur serta menyukseskan acara keren ini, baik yang telah datang di @malampuisiSUB atau kota-kota lain.

Baik aku, Cukmin @kotajancuk bahkan Momod @malampuisiSUB pastinya sangat mengapresiasi kalian yang sudah meramaikan, terutama kawan-kawan dari ID_puisi, welfarian, beat box surabaya, juga kopdarsurabaya. Kartu-kartu yang kubagikan semalam itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalian yang membuat acara semalem menjadi pecaaaaah.

Kami hanyalah satu dari beberapa hal yang tak ada artinya tanpa support serta partisipasi kalian para pecinta kata. Sedikit, aku akan menceritakan apa yang kurasakan tadi malam hingga sekarang. Oh, aku lupa aku sudah kehabisan kata mengenai acara semalam. Semuanya pecah. Kalian keren. Sekali lagi, terima kasih sudah ikut berpartisipasi juga ikut berbagi di event #UntukKelud semalam. Mari berdoa yang terbaik untuk kita juga alam semesta.

Al-fatihah..

@pratiwihputri

Selamat Ulang Tahun

Aku mengarungi jalanan Surabaya pagi ini lalu selintas melihat tanggal di telepon genggamku, YASSALAM SUDAH TANGGAL TIGA BELAS. Itulah mengapa selepas aku memarkirkan kendaraanku, aku memutuskan untuk menulis sebuah surat yang aku peruntukkan kepada salah satu kakak kami yang saya sayangi. Panggil saja Masni, kalian bisa temukan dia lewat @mazni_ dan nikmati sajak-sajak di linimasanya.

Kalau aku ingin bernyanyi rasanya sudah tak pantas, eh tapi lagu tak mengenal berapa umur kita, ya? Lucu juga aku mengirimkan surat kalau bisa saja aku langsung menemuimu seperti biasanya, menghujanimu dengan amin akan doa-doa baikmu lalu memelukmu.

Selamat Ulang Tahun, Mas Masni.

Selamat ulang tahun kakak kami tersayang, terima kasih sudah menjadi kakak yang begitu baik untuk kami. Terima kasih sudah selalu ada untuk kami. Terima kasih sudah mengajarkan kami perihal mencintai dengan hati tanpa pamrih. Eh tapi, terkadang cinta butuh pamrih lho, mas. Hehehe.

Aku kehabisan kata-kata, doaku adalah apa-apa yang terbaik, buatmu dan buat sekitarmu.

Sekali lagi,

Selamat Ulang Tahun, Mas Masni.

Dari salah satu adekmu yang tak berhenti makan,
@pratiwihputri

Payung untuk yang Sedang dalam Pelukan

Selamat siang, Kamu. Hari ini tidakkah kau lihat wajahku lebih berseri-seri daripada biasanya? Sebab aku sedang bahagia-bahagianya menyaksikan kau yang menandaskan bekal makan siang yang sudah kubuat khusus untukmu tadi pagi.

Aku sengaja tak tidur selepas sembahyang Subuh tadi, sayang. Semalam aku berselancar di dunia maya iseng sekali mencari resep makanan di situs online. Nama makanannya, Nasi Goreng Tuna Pedas. Aku tahu sekali kau suka sekali makanan pedas, meski kau selalu memarahiku jika aku menyendok sambal bahkan hanya satu sendok. Rupanya kau mengindahkan pesan ibu untuk menjagaku, terutama lambungku yang suka sekali rewel.

Kemarin, hujan deras di kota kita membuat pertemuan kita kembali dibatalkan. Tak apa, semesta telah menggantinya hari ini. Karena dadaku ini, sayang, sumber segala gelisah ketika pertemuan kita sedang tak direstui semesta. Namun gelisah, hanya kerikil dalam perjalanan kita yang meski kecil janganlah pernah kita abaikan.

Oh, iya, beberapa waktu lalu ketika kubantu kau membersihkan mobilmu tak kudapati payung sebuah pun. Cerobohmu tak hilang-hilang rupanya. Bukankah percuma mengendarai mobil namun tak bawa payung ketika turun dari mobil dan akan masuk gedung? Tak sekalipun aku ingin mendengar kamu diserang sakit.

Kepada kamu yang sedang dalam pelukan, sengaja selepas pertemuan kita siang tadi, kuletakkan payung di bagasi belakang mobilmu. Warnanya hijau toskah polos, kubeli di supermarket dekat rumah kemarin sore. Kenakanlah jika hari hujan agar tak basah pakaianmu atau panas agar tak berkeringat tubuhmu. Lipatlah rapi-rapi setelah kau kenakan.

Kepada kamu yang sedang dalam pelukan, selamat sore dan selamat menikmati macet sepulang ngantor. Kabari aku setibamu di rumah.

Surabaya 2014.

Siapa Namamu, Gadis Manis?

Hari ini aku berhenti di sebuah lintasan kereta api tanpa palang, memoto seorang penjaga lintasan kereta api yang selalu kutemui setiap aku melewati daerah itu, tapi fotonya hilang dan akhirnya aku memutuskan mengirim surat hari ini kepada salah satu anak jalanan yang diasuh sebuah social movement di Surabaya, yaitu @SSChildSurabaya.

Sekitar dua bulan yang lalu, komunitas pecinta puisi di Surabaya alias @kotajancuk yang berkolaborasi dengan @SSChildSurabaya mengadakan acara #TamanKata dimana acara diperuntukkan untuk anak-anak jalanan di Surabaya. Aku lupa siapa namanya, kenal pun bahkan tidak. Namun, gadis kecil berambut keriting ini naik ke atas panggung dengan pedenya.

Siapa namamu, gadis manis? Aku salut akan keberanianmu membacakan puisi di depan banyak orang dan tanpa teks. Bahkan aku, belum pernah membacakan puisi tanpa teks satu kalipun, bahkan ketika membacakan puisi yang kubuat sendiri.

Siapa namamu, gadis manis? Siapapun namamu kamu ialah serupa bunga-bunga yang sedang mekar di sebuah taman bernama Indonesia. Siapapun kamu, belajarlah yang rajin agar jadilah kau anak yang berguna bagi orang lain. Siapapun kita tak akan pernah ada artinya jika tak bermanfaat bagi sekitar.

Semoga aku, masih mampu melihat ceriamu di setiap acara yang akan kami gagas nanti.

Dari, seseorang yang tak pernah tahu namamu.

Bumblebee

Aku masih ingat sekali waktu itu tanggal 1 Januari 2004, beberapa bulan setelah aku kehilangan salah seorang adikku, Papa menghadiahkan Mama sebuah motor aneh berwarna kuning. Aku masih belum tahu apa itu kendaraan bermotor matic, yang aku tahu motor Mama terlihat sangat aneh dari bentuk dan juga warna.

Namun ternyata, Yamaha Mio berwarna kuning inilah yang akhirnya dihibahkan Mama kepadaku menemani hati-hariku semasa SMA hingga aku menjadi seorang mahasiswa. Aku masih ingat saat-saat aku terjebak banjir atau kehilangan kunci motor atau bahkan si Kuning yang tiba-tiba mogok.

Terhitung semenjak Agustus tahun lalu aku sudah tak lagi menggunakannya dalam keseharian. Papa membelikanku sebuah Piaggio berwarna putih keluaran terbaru. Jika saya si Kuning alias yang biasa kupanggil Siti Maemunah atau kalau lagi pengin keren kupanggil dia Bumblebee bisa berbicara, dialah motor paling berjasa sedunia. Setidaknya selama 10 tahun belakangan ini.

Baik-baiklah di garasi, jangan khawatir, sesekali aku pun akan menunggangimu.

Dari majikanmu yang super bawel dan jarang sekali menyucimu,
@pratiwihputri

Surabaya, 2014.

Berhenti untuk Berputar

"bahwa cinta tak akan jatuh ke tempat yang salah"

Begitulah yang sempat kubaca di suatu tempat, entah di sebuah buku, sebuah sosial media atau situs pribadi orang. Detailnya aku lupa, tapi aku meyetujui kalimat di atas. Ini surat kesekian yang aku tulis bulan ini dan aku memilih kamu sebagai tempat surat ini tertuju.

Seorang kawan sempat memperingatkan aku agar segera menyuruh hatiku bekerja. Rupanya dia benar sekali, terlalu lama sudah hatiku mendapat liburan dan menganggur. Sekali waktu juga timbul ketakutan dari dalam diri akan kehilangan fungsi hati. Aku lupa apa itu cinta, yang kutahu selama ini cinta adalah bagaimana aku memperlakukan kawan-kawanku. Mungkin tak salah, tapi semandiri apa pun, perempuan akan selalu membutuhkan laki-laki yang tak hanya mendampingi, namun juga mendukung serta mendoakan. Laki-laki, yang seperti kamu.

Sungguh tak ada yang berbeda dengan hari itu, malam masih berkutat dengan yang mereka sebut misteri. Tapi bukankah, dada laki-laki lebih misteri dari malam? Ah, sebentar, aku ingin membicarakan hal-hal seputar kamu bukan malam. Kita abaikan paragraf ini sebentar.

Ada dua bintang untuk kau dan aku,
menanti kita kembali 'tuk bersama.
Di angkasa terlukislah kisah kita,
dua manusia yang berputar demi cinta.

Sepotong lagu milik Dendy Mike berjudul Dua Manusia mengalun lembut menemani malam kita, kala itu. Tak ada yang berbeda hari itu, kita masih dua orang yang mampu tertawa lepas ketika sedang bersama, yang seakan kehilangan beban jika sedang bertemu. Hingga akhirnya kita sadar, sejauh apapun kita berputar mengelilingi bumi untuk mencari cinta sejati, mustahil bagi kita untuk menemukannya. Kau tahu, bahwa yang sedang kita cari-cari itu sejatinya telah berada di sini, di antara kita. Hanya saja, kita tak pernah menyadari.

Hingga hari ini, sebuah perbedaan telah kita ciptakan. Kita berhenti mencari, kita lebih banyak menciptakan pelukan, lebih banyak suara tawa dan yang pasti, kita berhenti untuk berputar.

Selamat saling mencintai, Kamu.

Surabaya, 2014.

Vanilla Latte

Tak ada yang lebih hangat selain sebuah pelukan, bahkan dari matahari pukul tujuh pagi dengan malam tanpa hujan tentunya. Sebuah pertemuan akan dilangsungkan pagi ini, itu mengapa pagi ini wajahku mungkin terlihat lebih bercahaya dari kemarin. Aku melangkahkan kakiku dengan lincah sambil bersenandung kecil lagu We are Kids milik Lacrosse dengan sebuah earphone yang menempel di kedua telinga sambil sesekali  menghindari beberapa kubangan kecil bekas hujan semalam.

Aku begitu merindukan sebuah pertemuan, sudah beberapa bulan meyakinkan hati bahwa menunggu kekasih pulang dalam pelukan itu salah satu dari kegigihan yang nantinya berbuah manis. Meski aku tahu, bahwa menunggu ialah perkara melapangkan dada, meninggikan kesabaran dan harus siap dengan risiko tidak menghasilkan apa-apa kecuali penyesalan, yang aku yakini hingga saat ini adalah bahwa kegigihan itu manis.

Matahari belum juga tinggi, tapi aku sudah merasa segar dibalut dress kotak-kota biru laut pemberian ibu dengan panjang di atas lutut dan flat shoes warna biru tua dengan pita putih di tengahnya. Di leherku menggantung kalung berbentuk sebuah kunci dan seperti biasa, rambut kugulung sembarangan, beberapa menjuntai ke bawah menghiasi leherku.

Aku memasuki sebuah kedai kopi di ujung sebuah jalan, tempat favorit untuk melamun. Melamun tentang apa saja. Tempat favoritku menghadap jendela yang kala itu masih basah lalu seorang waitress menghampiri dan memberiku sebuah buku menu sambil tersenyum ramah. Di pagi yang biasa ini ada yang berjanji menemaniku sarapan sebelum berangkat ke kantor di kedai kopi biasa.

“Biasa sajalah, Mas. Sedang tak begitu lapar.”

“Ditunggu ya, Mbak.”

Mahardika. Begitu yang tertulis di name tag yang menempel di dada sebelah kirinya. Pegawai baru kedai ini, baru tiga bulan namun sudah hafal betul denganku. Minuman kesukaanku, roti kesukaanku bahkan dia tahu lagu kesukaanku

“Mbak Nina suka The Cure?”tanya mbak mbak yang menjaga kasir suatu ketika.

“Tahu dari mana, Mbak? Oh, iya, akhir-akhir ini suka diputar, ya?”

“Mas Dika, Mbak. Dia yang request ke saya.”

“Dika?”

“Hari ini dia engga masuk, Mbak. Adiknya sakit katanya.”

“Oh.”

Aku suka tertawa sendiri melihat Dika yang santun ketika mengantarkan pesanannya, seperti pagi ini. Secangkir Vanilla Latte dan sepotong Red Velvet sudah terhidang manis di mejaku, tentu dengan sebuah kejutan kecil yang selalu diberikannya setiap aku datang ke kedai tempatnya bekerja. Dua minggu lalu dia memberiku sebuah gantungan kunci berbentuk anak kucing, oleh-oleh dari Bandung, katanya. Sejak kapan oleh-oleh khas Bandung adalah gantungan kunci berbentuk kucing. Pernah juga waktu itu dia meletakkan setangkai mawar putih di atas mejaku saat aku tengah asik dengan komputer jinjingku, katanya dia membelinya dari seorang nenek tua yang lewat di kedai ini tadi malam. Atau yang paling kuingat adalah dia memberiku sebungkus vitamin, katanya sudah semingguan ini aku terlihat sangat capek dan pucat.

“Apa ini?”tanyaku sambil menunjuk sebuah kotak berwarna kuning pastel di samping cangkirnya.

“Semalam sepulang dari kedai aku lihat ini di toko depan sana, mumpung lagi sale.”ujarnya sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkanku yang kini digantungi penasaran.

Aku menyendok sepotong red velvet,kemudian meneguk vanilla latte yang mulai dingin. Bagaimana tidak, sudah hampir empat puluh lima menit yang ditunggu belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku meraih bingkisan kuning pastel di depanku.

“Jangan dibuka sekarang! Tunggu di rumah!”seru Mahardika dari balik mesin kasir.

“Selamat pagi, Nona Manis.”sapa seseorang bergestur tegap yang mengambil tempat duduk di hadapannya lalu meletakkan blackberry-nya dengan led yang tak pernah berhenti mengedip.

Kalian tak akan pernah tahu kapan cinta datang atau pergi, yang kita tahu hanya bahwa cinta selalu datang tepat waktu tanpa kau pinta. Laki-laki ini dulu datang padaku dengan dada yang tercabik-cabik dan sedang bertunangan dengan sepi, begitu yang kutaksir dari cerita-ceritanya. Aku bukan perempuan baik-baik, perkenalanku dengannya pun berawal dari dua botol Black Russian yang akhirnya membuat lidah kami tak berhenti bercerita tentang masing-masing hingga subuh. Dia meracau tentang seorang perempuan yang meninggalkannya, yang kutahu dia begitu menyayangi perempuan itu.

“Selamat pagi, Mas.”

“Maaf terlam...”

“Tak apa, sudah biasa aku menunggu.”desahku. Hal yang paling sulit aku lakukan adalah bersikap biasa seolah tak ada apa-apa padahal aku sedang menyembunyikan setangkup rasa kecewa, “Oh iya, mas mau kupesankan apa?”

“Tidak usah, mas sudah sarapan tadi. Bagaimana kuliahmu? Dosenmu masih suka marah-marah?”

“Hahaha, masih. Aku sudah tujuh kali ganti judul dan beliau masih belum bisa menerimanya. Dia terlalu sempurna, segalanya harus sempurna termasuk judul tak boleh mainstream.”

“Sudah macam anak twitter saja dosenmu. Jaga kesehatan, aku tak ingin kamu sakit.”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”

“Aku lega bisa melihatmu hari ini. Maafkan aku, aku harus pergi. Dua puluh menit lagi masuk kantor. Sekali lagi ma..”

“Jangan terlalu dipikirkan, mas menyempatkan diri kemari saja aku sudah senang setidaknya rinduku terobati sedikit. Rindu itu semacam luka di lutut, mas, yang ditutupi celana jeans baru.”
“Tapi kau sedang tak memakai celana jeans.”guraunya. Aku hanya tersenyum. Kehabisan kata-kata. Percuma saja berpuisi di hadapannya, dia kehabisan makna. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya mendekatiku dengan tatapan yang tak pernah kumengerti maksudnya. Hubungan kami sudah hampir satu tahun berjalan, tapi beberapa bulan terakhir aku hampir tak pernah menemukan sosoknya yang dulu ketika kami masih gemar berbincang ditemani dua gelas bir hingga subuh, bahkan ketika bertatap sekalipun.

Laki-laki itu mencium keningku, membalai rambutku perlahan lalu tersenyum, “Aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik.”

Kata-katanya barusan, seperti seseorang yang sedang berpamitan hendak bepergian jauh. Mataku terasa panas seiring dengan matahari yang semakin meninggi. Tak sekali dua kali dia melakukan hal ini. Dulu, bagi kamu hal romantis bukanlah makan malam dengan lilin di atas meja di restoran mahal, tapi saling mencuri waktu untuk sekadar sarapan bersama sebelum kami akhirnya melakukan aktivitas masing-masing. Dulu, bagi kami hal menyenangkan bukan nonton film bersama di bioskop sambil memegang tangan, tapi menghabiskan sore bersama sampai mentari menjemput malam di atas rooftop sebuah gedung tua dekat kantornya.

***

“Berhenti, Nin. Sudah habis berapa botol kau?”seseorang memegangi lenganku.

“Ngapain kamu di sini?”

“Sudah hampir sebulan kamu tak datang ke kedai. Ada apa?”

“Tak apa.”

“Sudah dibuka bingkisan dariku?”

“Sebuah kotak berbentuk kardus, kupakai buat asbak di kosan.”

“Itu untuk mengemas hatimu, Nina. Sudah saatnya kamu pindah.”

“Maksudmu?”

“Sebulan ini aku mencarimu, laki-laki yang mencium keningmu pagi itu setelah kuberikan bingkisan ini padamu memberiku ini. Dia menyampaikan banyak maaf untukmu, aku bilang jika dia gentleman harusnya dia menghampirimu. Tapi katanya, dia tak sanggup melihat air matamu yang luruh.”

“Apa ini?”

“Undangan pernikahan. Dia akan menikah, Nina.”

“Mana mungkin. Perempuan yang pernah dicintainya itu meninggalkannya dengan laki-laki lain.”

“Dia belum sepenuhnya pindah kepadamu, dia banyak cerita kepadaku malam itu ketika dia memberiku undangan dan surat ini. Dia masih mengharapkan mantannya. Nina, pindah itu bukan hanya perkara kau menempati sesuatu yang baru tapi terkadang kita butuh isi yang benar-benar baru.”

“Maksudmu?”

“Baca surat darinya.”


Dear Nina,
Mas tahu kamu akan terkejut. Kamu boleh memanggil mas brengsek atau pengecut, mas tak punya nyali untuk mengatakan langsung padamu. Shinta kembali padaku dan menangis ingin dinikahi, aku tak bisa menolak keinginannya. Mas sayang padamu, tapi mas begitu mencintai Shinta. Mas tak mengharap kau hadir dalam pernikahan itu jika kau memang tak sanggup. Sekali lagi, maafkan mas.

                                                                                                                                                                                Aldino.

Pelukanku rebah di dada laki-laki di sampingku. Aku menangis sejadi-jadinya di sana. Dika benar, sudah waktunya aku pindah.

                                                                     ***

Dan di sinilah aku sekarang, setelah melewati jutaan detik waktu dan pertanyaan tentang dari mana kita harusnya memulai cerita dan saling belajar berdamai dengan keadaan juga waktu yang seringkali menjadi tersangka cerita pahit juga setelah ketelatenan seorang Mahardika mengobati luka di lutut dan menghadiahiku celana jeans baru yang wangi, apalagi kalau bukan cinta.

Jangankan kalian, bahkan aku tak pernah percaya, laki-laki berkulit putih yang tampan itu menawariku untuk membantuku pindah bukan hanya sekadar pindah dari pelukan yang konon katanya hangat itu pada pelukannya yang asing namun juga membenahi isi “rumah” yang berantakan.

Sore ini, setelah kejadian beberapa bulan yang lalu di depan berbotol-botol bir, sambil mengunyah vanilla latte di kedai favorit dan tempat duduk favorit aku tersenyum karena berhasil menjadi orang baru di sebuah lingkungan baru dengan isi “rumah” yang baru—di pelukannya. Pelukan Mahardika.

Pindah itu bukan hanya perkara kita menempati sebuah “rumah” yang baru, namun juga harusnya diikuti dengan isi “rumah” yang baru.


Surabaya, 2013.