Mari Merenung, Sejenak.

Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang cukup berada itu sebuah anugerah terbesar yang saya miliki hingga saat ini, di saat semua orang bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan "makan apa saya hari ini?" saja sungguh bukan hal yang mudah, saya dengan mudah melahap nasi dan lauk yang notabene hasil kerja keras kedua orang tua saya. Dilahirkan di tengah-tengah kecukupan lahir dan batin ternyata lantas tak boleh membuat kita berleha-leha, apa yang kamu nikmati sekarang tak lain tak bukan adalah hasil jerih payah kedua orang tuamu. Pernakah kamu sempat berpikir seperti ini, ketika kalian sedang nongkrong di mall, hura-hura, berhedon ria bertanyalah pada diri sendiri uang siapa yang sedang kamu pakai untuk itu? Bersyukurlah dan saya akan beri kamu dua jempol saya jika itu uang hasil jerih payah kamu sendiri. Tapi tidak jika itu adalah hasil dari orang tua kamu, well tidakkah kalian memikirkan apa yang sedang dan telah orang tuamu lakukan sekarang? Membanting tulang menghabiskan seluruh tenaganya seharian demi kamu bisa hura-hura sepreti itu. Ironi.

Pernahkan suatu hari kamu terbangun dari tidur lalu menangis tersedu-sedu akan entah? Saya pernah, dan kalau kalian pernah, itu hal yang wajar. Sedikit saya mengutip sebuah quote dari kawan saya bahwa yang terbaik selalu datang seusai yang terburuk agar kita tahu bahwa itu yang terbaik, yah, terkadang kita harus menyesal dulu sebelum akhirnya kita berubah. Saya pun sempat mempertanyakan keberadaan pencipta hidup dan mati ketika saya tengah berada dalam pelik. Bodoh. Kata itulah yang harusnya menampar saya waktu itu. Kembali, coba bertanyalah pada dirimu sendiri lagi, apakah kau masih ingat denganNya ketika bahagia tengah memeluk? Berapa banyak syukur yang sudah kau serukan dalam sehari atas nikmat dariNya? Begitu kau ingin dipeluk olehNya ketika pelik jika dalam bahagia kau tak pernah ingat denganNya. Ya, saya bukan orang yang religius, tapi saya percaya jika kamu berpikiran positif maka semesta akan selalu mendukungmu. 

Seringnya saya membaca beberapa twit dari kawan saya yang suka nelangsa lalu mengumpat hingga melontar sumpah serapah pada sosial media. Seringnya saya menangkap dia adalah tipe orang yang tak menghargai orang lain, terlebih pada mereka yang menurutnya berada pada level di bawah mereka. Masih, ini soal uang. Negara ini sudah tak sehat rupanya, hukum yang berlaku saat ini adalah siapa yang beruang dialah yang berkuasa. Ngehe. Semua orang punya derajat yang sama di mata Tuhannya, itu yang saya yakini. 

Kamu masih bisa tidur enak di kasur yang empuk namun masih saja mengeluh banyak-banyak tak terhitung tiap hari, kamu dapat salam dari mereka yang tak punya tempat untuk tidur. 

Jadi, sudah berapa syukur yang kau lontarkan hari ini, Kawan?

Surabaya, 2012.

Spekulasi Hati



“Assalamualaikum.”

Terdengar suara salam di depan pintu. Aranta mengurangi suara volume televisinya. Siang itu langit Surabaya nampaknya begitu bersahabat, terlihat mendung sedikit menggantung menyejukkan hawa Surabaya yang biasanya panas. Kipas angin di samping televisi pun sedang tak difungsikan oleh Aranta, tak seperti biasanya. Aranta melangkahkan kakinya menuju pintu depan, sedang tak ada siapa-siapa di rumah kali ini. Hanya dia dan Mbak Yum yang beberpa menit yang lalu pamit menemui Mas Somad, penjual siomay di depan komplek yang notabene adalah gebetannya.

“Waalaikumsalam.”jawab Aranta sambil membuka pintu, “Ingin bertemu siapa?”tanyanya sejurus kemudian saat melihat sosok wanita yang ditaksir Aranta umurnya tak lagi muda namun masih terlihat segar. Jilbab biru toska menghiasi auratnya, di tangannya terdapat satu buah kardus yang rupanya berisi makanan. Di depan pagar Aranta ada sebuah mobil berwarna silver terparkir.

“Ibu Alina ada, Nduk*?”tanyanya, logatnya masih kental jawa Surabaya.

“Ibu masih di kantor, hmmm. Ada perlu apa, nggih**?

“Kalau begitu biar Nenek tunggu, boleh Nenek masuk?”tanyanya.

Aranta tetap harus waspada, bukannya bermaksud negatif. Terlihat jelas bahwa Nenek di depan Aranta ini adalah manusia baik-baik. Nada bicaranya halus walau pun kental dengan aksen jawanya, tak ada tanda-tanda jahat menyelimutinya. Namun Aranta, tetap harus waspada.

“Silahkan, Nek. Tapi mungkin baru dua jam lagi Ibu pulang.”

Aranta membuka pintunya kali ini lebar-lebar lalu mempersilahkan Nenek itu duduk di ruang tamu. Sedikit banyak menemaninya berbincang, tak lupa Aranta menyuguhkan segelas teh hangat dan kue seadanya untuk Nenek itu. Namanya Nenek Tari, Aranta hanya boleh memanggilnya dengan Eyang Tari. Eyang Tari banyak bercerita tentang masa mudanya saat  masih seumuran dengan Aranta, Eyang Tari berkenalan dengan Ibu di Tanah Suci tahun lalu  ketika mereka sama-sama menjalankan ibadah haji. Sudah beberapa kali Beliau bertandang ke rumah Aranta, dan selalu tak pernah bertemu Aranta. 

Sebuah mobil sedan lawas berwarna hitam masuk ke dalam pelataran rumah, seorang wanita dengan seragam pegawai negerinya keluar dari mobil sambil membawa sebuah tas jinjing besar. Ibu, begitulah Aranta memanggilnya. Sudah pukul dua siang, pantas saja ini waktunya Ibu kembali ke rumah. Melihat ada mobil terparkir di depan rumah, Ibu masuk sambil tergopoh-gopoh.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ya Allah, Eyang Tari... Kok kemari nggak telepon saya dulu?”seru Ibu sambil bercipika-cipiki ria dengan beliau. Melihat Ibu yang sudah datang, Aranta bergegas ke kamar untuk bersiap, hari ini dia ada jadwal kursus pukul tiga sore.

***