pertunjukan tak pernah selesai.

tiga gadis kecil dengan kaki bersila tertawa terbahak di salah satu sudut taman tak jauh dari tempatku duduk sambil membaca sebuah buku setebal dua ratus tiga puluh tujuh halaman yang takkunjung tuntas kubaca. buku itu bersampul hijau pupus dengan beberapa gambar binatang di atasnya, aku membelinya sendiri dengan memecah celengan ayam di meja belajarku tepat di ekornya. aku menangis di halaman lima puluh sekian, ketika gadis kecil tokoh utama kehilangan sahabat karibnya karena penyakit kanker darah. di sampingku duduk ada segelas karton berisi kopi dengan aroma latte yang menggelitik hidungku mesra. asap tipis mengepul mesra di atasnya. tiga gadis kecil di sana masing-masing membawa sebuah boneka, yang dikepang dua membawa boneka beruang berwarna cokelat muda yang mengingatkanku pada warna matamu, sedang yang satu lagi berambut keriting dan kulit agak gelap menggendong sebuah boneka kelinci putih persis seperti warna kulitmu, gadis kecil satunya berambut cepak agak pirang memamerkan boneka perempuan cantik yang juga berambut pirang. aku teringat perempuan yang kau genggam tangannya di antrian tiket bioskop beberapa hari yang lalu. seseorang anak laki-laki bertubuh agak besar datang mengacaukan menciptakan tangis pada salah dua di antara mereka. si gadis kecil pirang membusungkan dada di hadapannya seperti tak pernah mengenal kata takut. seorang yang dipanggil ibu guru menghampiri dan membawa pergi tiga gadis kecil dengan bonekanya.
pertunjukan selesai.
namun tidak pada kecewaku.

surabaya, 2013.

perempuan di persimpangan.

pukul lima belum juga, namun beberapa sudah bergegas hendak menemui senja. aku berdiri di sebuah ujung jalan dengan kaki yang lengket seperti habis diolesi satu kaleng lem super di atas aspal. dua depa dari tempatku berdiri aku seperti menemukan diriku dipeluk oleh seseorang yang telah mematahkan isi dadaku menjadi dua keping. sengaja, satu kepingnya kutitipkan pada penjual koran depan kedai kopi langganan sambil menyerahkan secarik kertas yang berisikan pesan untuk memberikan setengahnya kepada laki-laki bermata cokelat muda yang dua hari lalu masih memelukku di atas sofa pada salah satu sudut kedai. pukul lima tinggal tujuh menit lagi, dan aku masih tak tahu jalan mana yang kutuju.

surabaya, 2014.

Hadiah Kecil dari Tuhan

Jika kubilang, pandangan pertama ialah busur panah
Berbuah geletar yang memberimu rumah
Maka matamulah tersangka utama
Yang menelisik seluruh penjuru ruang di kepala
Gumaman tak lain adalah doa
Yang diijabah melalui istirah
Pada tubuhmulah akhir segala rebah
Tempat lelah menyerah dan berserah
Mungkin aku tak pernah tahu bentuk telinga Tuhan
Namun begitulah Ia menjawab harapan
Ini bukan natal atau tahun baru
Tapi kado kecilku berupa kamu
Yang sengaja kutinggal di belakang
Karena cinta hanya mencipta berang
Antara kau dan aku menjelma bumerang


Surabaya, 2014


NB: Puisi ini terlahir di samping salah seorang sahabat saya yang meminta puisi ini ada, dia sangat merindukan kekasih yang tak akan pernah bisa dipeluknya. Dia  menyebut kekasih itu adalah hadiah kecil dari Tuhan.

Kopiku Sudah Habis, Kekasihku Sudah Datang

Sudah sekitar empat kali aku melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku, atau sesekali juga memandang jam dinding di ujung ruangan tak jauh dari tempatku duduk. Jam pulang kantor telah lewat dua jam yang lalu. Sengaja, kupilih busana yang jarang sekali kupakai sehari-hari, sebuah dress berbahan katun sejuk berwarna gelap. Mendapatkannya pun susah, kudapatkan pakaian ini di pulau Dewata setelah aku sedikit beradu mulut dengan seorang perempuan Ambon yang akhirnya kini menjadi kawan karibku, kawan yang pasti aku datangi rumahnya setiap aku pergi ke Bali.

Ada geletar di rongga dadaku yang tak sedikitkun mampu kubaca, tak terdefinisi, begitu katamu beberapa tahun yang lalu ketika kau melingkarkan sebuah cincin perak di jari manis tangan kananku. Ujung jempol kakiku merasa dingin, padahal kakiku tengah mengenakan sepatu converse tanpa kaus kaki. Dulu, kau suka sekali protes padaku karena aku tak pernah mengenakan kaus kaki setiap mengenakan sepatu. 

Seorang pelayan menghampiri kami dengan nampannya, dua cangkir berwarna kuning gading diletakkannya di depan kami dengan senyum, tanpa suara kemudian berlalu dengan tenang. Rupanya dia tahu, kami memang sedang menikahi diam. Cangkir di depanku tersenyum, namanya kopi, warnanya hitam pekat, asap masih mengepul ringan dan aromanya sudah menggelitik hidungku. Tak jauh dari cangkirku berada, sebuah cangkir cemberut, namanya teh. Air muka teh semacam ingin protes kepada laki-laki di depannya, sama denganku.

"Berapa menit kita diam?"

Bisiknya, pelan hampir tak terdengar olehku. Kedai ini agak gaduh, sama seperti isi kepalaku. Mungkin memang pemilik semesta yang tak kasat mata telah mengatur dan merencanakan pertemuan kami. Kebetulan, aku tak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. 

"Kaus kakimu sedang dicuci atau jempolnya bolong?"

Tanyanya, aku diam. Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan aku yang malas mengenakan kaus kaki.

"Tumben sekali kau mengenakan baju gelap?"

Kali ini aku angkat bicara.

"Ada yang sedang ingin kumakamkan hari ini."

Raut mukanya berubah, posisi duduknya terlihat tak lagi senyaman tadi. Dia mengangkat pandangannya dan meletakkan pada mukaku.

"Kamu benar, kita harus dimakamkan. Aku minta maaf."

"Bukan salah kamu, atau salah Ibumu."

"Aku tak mencintai gadis itu."

"Aku tak lagi mencintai kamu."

"Berbohong itu dosa, masuk neraka."

"Muridku taman kanak-kanak juga tahu."

Aku menyesap kopiku, satu sesap, dua sesap, lalu meletakkan kembali pada tatakan cangkirnya. Tak banyak yang berubah darinya. Kakinya tak pernah bisa diam, dalam keadaan diam sekalipun. Sesekali, aku melihatnya tidur dengan kaki bergoyang-goyang. Parfummu juga belum ganti, dalam jarak satu meter begini aku masih mampu merasakan aromanya, aku hanya takut tiba-tiba kujatuhkan lagi hatiku atau paling buruk kujatuhkan pelukku di dadamu itu.

"Tak ada yang namanya belajar mencintai." ujarnya.

"Kalau begitu, cobalah untuk belajar menerima."

"Kamu yakin tak ingin berjuang?"

"Aku lelah. Aku kenal betul siapa ibumu, dia tak akan memberimu pilihan yang buruk."

Aku membenarkan letak dudukku. Bel pintu kedai kopi mengalun tanda pengunjung baru datang. Laki-laki itu menyapu pandangannya lalu tersenyum setelah menemukan keberadaanku. Dia hanya berdiri mematung di dekat pintu masuk, menunggu isyarat dariku. Rupanya dia sedang tak ingin menggangguku. 

Aku menyesap kopiku, lagi.

"Kopiku sudah habis, kekasihku sudah datang."

Aku beranjak dari tempat dudukku, menghampiri laki-laki dengan kemeja flanelnya. Mukanya terlihat lelah namun hilang diusir senyuman setelah aku menggandeng tangannya.

Cukup.

Semua sudah selesai.

Aku harus menulis cerita baru lagi.

Dan berjanji tak menoleh ke belakang.


Surabaya, 2014.

Waktu untuk Menyerah

"Hei."

Aku menepuk pundak laki-laki yang bangku kosong di sebelahnya kududuki, pelan. Dia menoleh ke arahku lalu kembali pada kesibukannya, memerhatikan salah seorang kawan sekelas kami yang sedang presentasi. Saya sudah terbiasa akan hal ini, tidak mendapat jawaban akan salam yang kuberikan padanya. Aku menarik napas panjang yang membuatku menyium aroma parfumnya, atau lebih tepatnya aroma tubuhnya yang bahkan setiap malam menari lembut di hidungku. Setiap malam, sebelum aku akhirnya tertidur.

"Terlambat?"

Dia mengganti kata balasan 'hai' yang sesungguhnya sangat terlambat untuk dijawab dengan 'terlambat' , sesaat setelah kelas usai. Saya tersenyum sambil menatap matanya -- datar, "Ban mobilku bocor."

"Mungkin sudah waktunya kau mencoba menggunakan fasilitas umum, mengendarai mobil sendirian hanya membuat daftar pembuat macet di kota ini."

Aku menggaruk kepalaku yang sesungguhnya tidak gatal.

"Belum keramas?"

Aku hanya melotot ke arahnya, pertanyaan macam apa barusan. Dia seperti tak pernah menyiumku saja.

"Bagaimana pekerjaanmu?"tanyaku sambil mengeluarkan sebungkus permen karet yang tak lupa menawarkan satu padanya. Meski kutahu, jawabannya pasti tidak. Aku tak pernah menyerah, walaupun aku tahu dia akan memilih menyalakan rokoknya dan menyuruhku memasukkan permen karetku kembali ke dalam tasku.

Dia tersenyum, senyum yang tak lagi asing bagiku. Bagaimana tidak, senyum itu yang mampu membuat hatiku memutuskan untuk jatuh saat pertama kali bertemu dengannya. Malam itu, di sebuah acara resepsi perkawinan salah seorang teman kami. Lucu rasanya, bahwa mempelai lelaki adalah sahabat karibku sejak SMP, sedangkan mempelai wanita-nya adalah sepupunya.

"Kenapa tanya? Selesaikan dulu skripsimu."

"Kamu juga belum."

"Aku hampir selesai, bahkan aku hanya tinggal mengambil satu mata kuliah saja. Sedang kau? Masih banyak."

Dia tak sama seperti sebagian banyak temanku yang lain, dia tak akan segan berkata apa-apa yang bisa saja membuatku tersinggung. Hebatnya, perempuan paling mudah tersinggung di dunia ini tak pernah marah akan kalimat ngawur apa saja yang terlontar dari mulutnya.

Untuk laki-laki setampan dia, sungguh mustahil rasanya melihat dia berstatus single. Begitu, kata sebagian orang di sekitar kami. Bahkan mereka tak pernah percaya jika aku mengatakan aku tak jatuh cinta padanya, pun sebaliknya. Iya, mereka benar, aku jatuh cinta padanya. Bahkan sejak pertama kali melihatnya. Orang-orang di sekitar kami juga tak pernah percaya jika kukatakan dia tak akan pernah jatuh cinta padaku.

"Kau tahu bagaimana rasanya ditinggal kekasih?"

Aku menggeleng. Sungguh, aku tak tahu rasanya seperti apa, terakhir aku pacaran sekitar tiga tahun yang lalu.

"Kalau begitu, kau tahu rasanya melihat jemari perempuan yang kau cintai dilingkari cincin oleh lelaki lain?"

Aku menggeleng, lagi. Aku perempuan, mana mungkin aku mencintai perempuan.

"Aku lupa, kamu perempuan."

"Bahkan kamu selalu lupa kalau aku ada. Oh, ya, kamu sudah membolos kerja dua kali? Ada yang bilang atasanmu sudah menyiapkan SP karena pekerjaanmu yang tak rapi dan beberapa omongan jelek tentangmu di kantor. Ada apa?"

"Siapa yang bilang?

"Dina, pacar Aldi."

"Kamu dengar sendiri dari Aldi?"

Aku menggeleng.

"Kalau mereka benar gimana? Aku memang bukan orang baik, tak punya kapabilitas dalam bekerja. Bagaimana?"

"Aku tidak percaya."

"Jangan pernah mendengar omongan yang bukan dari mulutnya sendiri, kau mau kubilang telah memfitnah?"

"Tapi aku..."

"Hujan, harusnya kau ke parkiran lebih awal tadi."

"Tak apa, kutemani kau."

"Kau orang yang gigih."

"Kegigihan itu manis, begitu kata salah seorang penyair."

"Sudah waktunya kau menyerah."ujarnya sambil menyerahkan sebuah payung berwarna hitam lalu berlari meninggalkanku menerobos rintik hujan.

Surabaya, 2014

Perihal Jarak

"angka di belakang tahun mungkin berubah
namun tidak dengan nyala bulan di dadaku
jika hari hujan dan bulan sembunyi
sedang kau begitu merindukan nyalanya
rebahlah kau di pelukku, sayangku
benamkan rindumu di sana."

begitu sajak yang sempat kutulis di hari hujan
di balik jendela besar
ketika jarak masih mampu dipangkas
di bawah pengawasan bintang yang mulai redup
dan hentakan kembang api di langit dari segala penjuru

malam ini, cintaku
ragaku menyusuri jalan setapak menuju kehilangan
hari sedang tak lagi hujan
namun matahari juga tak tampak
yang kulihat yang belakang
serta angka penunjuk jarak
di mobilku yang kian bertambah
juga suarau yang tak lagi mampu kudengar -- suaramu.

ini sajak perihal jarak
yang tak semudah kemarin dipatahkan
yang kutakutkan menjelma kenangan
ini sajak perihal kita
yang harus meninggikan sabar
melebarkan rasa percaya
hingga sua menemui kembali dada-dada yang berdebar.

Bangil, 2014.

ini bukan malam minggu

: weddy purnariztya

/1/
ini bukan malam minggu, malam di mana kita bisa tertawa lepas tanpa perlu memikirkan ada pekerjaan rumah apa esok atau ada ulangan apa esok pagi. ini bukan malam minggu, malam di mana kau mengetuk pagar besi pembatas rumah kita dengan sebuah batu hingga aku berlari keluar rumah setelah makan malam. ini bukan malam minggu, malam di mana muka kita bisa penuh dengan tepung terigu karena kalah bermain empat satu. ini bukan malam minggu, malam di mana kita bisa tidur lebih larut dari biasanya.

/2/
siapa yang tak ingat kali pertama tangan kecilmu itu menjabatku yang malu-malu di sebuah malam tujuh belas tahun silam. aku pun tak akan pernah lupa kali pertama kau mengajariku memanjat pohon dan mengajakku menyusuri pematang sawah di bawah matahari pesisir yang terik. bahkan masih jelas tergambar di kepalaku seperti apa rupa bocah laki-laki dengan rambut berponinya.

/3/
malam ini, sebuah pertemuan kembali dilangsungkan. namun kita sedang tak bermain petak umpet, bola bekel, gobak sodor, lompat tali atau congklak. kita sedang menikmati malam di depan beranda rumahmu, di bawah ubin yang dingin dengan rokok kretek menyala di antara telunjuk dan jari tengahmu, sedang aku seperti biasa, banyak bercerita apa saja. tak banyak berubah, bahkan waktu tak pernah merubah posisi kita untuk tetap terus saling mengaitkan jari kelingking.

kraksaan, 2014

NB: catatan ini saya buat di mobil sehabis saya mengunjungi sahabat kecil saya. sudah dua tahun kami tak berjumpa, tapi semesta mempertemukan kami malam itu.