Difference

Mr. Nob:
Drink?

Nona Pop:
Yes, please..

Mr. Nob:
Are you tired?

Nona Pop:
*take a deep breath*

Mr. Nob:
*laughing and then kissing Nona Pop's hair*

Minggu pagi ialah waktu yang paling tepat untuk melakukan beberapa olahraga ringan seperti berlari. Itu sebabnya, Nona Pop menerima tantangan Mr. Nob Jumat kemarin untuk menemaninya berlari-lari ringan. Tapi yang Nona Pop terkadang suka lupa, dia tidak pernah berbakat perihal olahraga. Nilai olahraganya di sekolah tak pernah lebih dari angka 7. 

Nona Pop dan Mr. Nob ialah dua orang yang sangat berbeda dalam segala hal. Nona Pop tak pandai berolahraga, tapi Mr. Nob ahli dalam bidang itu. Nona Pop memiliki suara yang lebih baik dia tak usah bernyanyi, sedangkan Mr. Nob pandai memainkan alat musik dan mempunyai suara yang indah. But, yeah, it's not a big deal. They still love each other.

Mr. Nob:
Siap untuk ronde selanjutnya?

Nona Pop:
I think..

Mr. Nob:
Kidding! How about nasi pecel for breakfast?

Nona Pop:
I like you! I like you very much!

Mr. Nob:
*chuckling and hold Nona Pop's hand*



Long Distance in Relationship? Shall we?

Awan hitam masih menggantung di langit Februari Bandara Internasional Juanda di bagian keberangkatan Internasional. Beberapa penerbangan sempat delay sebab cuaca buruk. Termasuk pesawat yang akan mengantarkan bocah dengan kemeja kotak-kotak yang duduk di samping Nona Pop dan terlihat gelisah.

Ketika Nona Pop bertemu dengannya, laki-laki itu masih menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan Nona Pop. Tapi profesinya sebagai seorang dokter membuatnya tak selalu bisa menetap di Surabaya. Setahun mengabdi di daerah Flores, kemudian beberapa bulan di Jakarta, dan sekarang harus kembali belajar di negeri orang, Belanda.

Nona Pop:
Are you okay?


Mr. Nob:
Fine, thank you. Kamu kedinginan? Let's buy some coffee.


Nona Pop:
Aku lebih mengkhawatirkan kamu. Hampir 20 jam perjalanan. Surabaya - Amsterdam is so far away, Sir?


Mr. Nob:
You're not ready yet, right?


Nona Pop:
Surabaya - Jakarta  is fine. But this.


Mr. Nob:
Aku akan transit di Jakarta selama sekitar 4 jam sebelum akhirnya kembali transit di Abu Dhabi. I promise to keep in contact with you. Okay? I promise to send you an email a day from Amsterdam. Just keep in touch and everything will be okay. Okay?


Nona Pop mengangguk tanda setuju. Bibirnya terkunci rapat. Laki-laki itu mencium rambutnya lalu beranjak sejenak dan kembali dengan dua gelas kardus kopi.

Laki-laki itu masih tersenyum meski Nona Pop tahu matanya terlihat gelisah. Sama dengan apa yang dirasakannya sekarang. Perbedaan waktu, jarak yang terlalu mustahil untuk digapai. Kuatkah dia? Kuatkah mereka?

Mr. Nob:
Kok diem? Cerewet kek kayak biasanya.


Laki-laki itu memeluk Nona Pop yang bibirnya masih mengatup. Tangannya serasa kaku. Gelas kardus di tangannya hanya dipegangnya saja, isinya belum juga dia sentuk. Pipinya mulai terasa hangat. Nona Pop diam-diam menangis.

Mr. Nob terlihat lebih tegar, tapi Nona Pop tahu dia menyembunyikan air matanya saat memeluk ibunya sebelum keluarganya pulang terlebih dulu satu jam yang lalu.

Mr. Nob:
Don't worry, we will be fine.



Seseorang tiba-tiba duduk di samping Nona Pop dan membuyarkan lamunannya. Ya, mereka akan baik-baik saja. Nona Pop dan Mr. Nob akan baik-baik saja seperti yang dikatakan Mr. Nob. Tapi itu beberapa bulan yang lalu. Bulan Februari, sebelum Nona Pop menyium aroma natal pagi ini. Sudah dua bulan, tak satu pun surel yang masuk di kotak masuknya.

Ari:
Ngelamunin apa sih?

Nona Pop:
Nothing. Where have you been? Kamu terlambat sejam dan tanpa kabar.


Ari:
But you still waiting.


Nona Pop:
I just, have nothing to do.


Ari:
Well, I am sorry. I am not proffesional today. Sebagai permintaan maaf, selesai meeting kita hari ini. Aku traktir kamu. Ada tempat makan bagus dan enak di daerah Manyar. Deal?


Nona Pop:
Deal!

Membaca Isi Kepala Perempuan

Ari:
Aku heran, kenapa perempuan cantik senang sendirian?

Seseorang mengagetkan Nona Pop yang sedang melamun. Sore ini sedikit basah di jendela kedai kopi langganan juga di pipinya. Nona Pop membasuh pipinya lalu memandang ke arah laki-laki yang masih dengan setelan eksekutif muda-nya. Benda bulat di atas kasir menunjuk ke angka delapan. Rasanya, laki-laki ini belum juga pulang ke rumah.

Ari:
Sedang menunggu?

Ya, Nona Pop sedang memainkan sebuah permainan yang tak perlu lawan untuk menjadi pemenang. Menunggu. Tapi tentu bukan itu yang dimaksud Ari. Jawabannya, tidak. Nona Pop sedang tak menunggu siapa-siapa. Nona Pop sengaja menjauh dari keramaian, memilih secangkir cokelat panas dan memandang jendela berharap kesedihannya turut jatuh seperti titik-titik hujan. Tapi nyatanya, tidak.

Ari:
Are you, okay?

Nona Pop hanya tersenyum. Rasanya tak mungkin bercerita mengenai apa yang dialaminya beberapa hari terakhir ini kepada laki-laki yang baru ditemuinya sekali saja. Bahkan Nona Pop belum tahu siapa dia, dari mana dia, apa dia orang baik-baik, atau seperti apa keluarganya.

Ari:
Akusedang tak menulis monolog bukan, Nona Pop? Aku suka heran dengan perempuan, mengapa tak mau jujur saja minimal dengan dirinya sendiri jika memang sedang dalam kondisi tidak baik? Mengapa perempuan suka seenaknya saja, menganggap dirinya tak pernah salah? 

Nona Pop kini tahu, Ari juga laki-laki biasa. Sama seperti lainnya yang akan mengeluarkan pernyataan seperti tadi. Kita hentikan cerita Ari dan Nona Pop sampai di sini, kalian bisa menunggu cerita selanjutnya nanti di sini. Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke dalam pikiran perempuan lewat sebuah puisi. Maka, mari datang ke acara kami Sabtu besok, 5 Desember di Oost Koffie en Thee, Jl. Kaliwaron No. 60 Surabaya Pukul 19.00

Malam Puisi Surabaya


Mari bersama-sama kita belajar membaca isi kepala perempuan lewat puisi. Sebab Malam Puisi Surabaya yang diselenggarakan oleh Kota Jancuk tak setiap bulan hadir, maka merugilah kalian yang tak menyempatkan diri untuk hadir.

Banyak yang masih belum paham, bahwa Malam Puisi bukanlah hanya acara untuk para penggiat sastra, penyair, atau sejenisnya. Malam Puisi ialah acara untuk siapa saja. Bahkan kalian bisa ajak siapa saja untuk hadir. Entah itu sekadar datang, mendengarkan mereka membacakan satu dua bait puisi, atau ikut membacakan satu dua buah puisi. Kami akan senang sekali dengan kedatangan kalian.

Sampai jumpa tanggal 5.

Sinta Dalam Keputusasaan.

Ada yang tak kau ketahui tentangku, bahwa perasaan ini masih menyala, masih bara, dan tak pernah tahu apa itu sirna.

Sedang kau dengan gagahnya menyerukan pada semesta, kaulah satu-satunya rama yang paling mengerti sinta seakan lupa bahwa rahwana benar adanya.

Kau tak pernah tahu bahwa aku memainkan sebuah permainan yang tak membutuhkan lawan untuk menang; menunggu kau dengan pendirianmu yang congkak.

Padahal di suatu pagi yang biasa, di tempat biasa kita bertukar cerita, kau menyentuh tengkukku seakan tak ada perempuan yang kau inginkan di alam semesta ini selain aku.

Sesampainya di rumah, aku menulis di halaman pertama buku catatanku yang kosong hampir bertahun-tahun. sebab sukar bagiku menuangkan isi dadaku dalam bentuk kata jika itu kamu.

"Jika suatu hari kau memutuskan untuk pergi, akan kuserahkan ragaku pada rahwana dan bunuh diri di pangkuannya. Sedang jiwaku, akan kubiarkan lesap di dalam dadamu yang kini direbahi perempuan lain"


Surabaya, November 2015.

Dear Mr. Nob,

Pukul berapa di tempatmu sekarang, Tuan? Di sini baru saja terdengar kumandang adzan Isya. Aku baru saja memarkirkan mobilku di garasi, bahkan aku belum juga turun dari mobil untuk menulis surat ini.

Betapa aku sangat merindukanmu, merindukan caramu tertawa juga lesung di pipi kananmu, merindukan caramu membenarkan letak kacamatamu yang suka miring. Oh, harusnya kau membeli sebuah kacamata baru yang lebih bagus, Mr. Nob.

Aku merasa kadang dunia ini terlihat tidak adil buatku, buat kita. Mengapa kita bisa sejauh ini. Aku suka merasa dunia ini menyebalkan saat melihat dua anak muda berpelukan di depanku saat menaiki eskalator. Rasanya ingin meninju kedua wajahnya. Haha. Konyol sekali.

Aku punya cerita untukmu, Sir. Tentu selain sarapanku yang gosong tadi pagi dan kukirimkan gambarnya lewat chat karena kutinggal sebentar untuk memeriksa surel di komputer jinjingku, aku punya kabar yang lebih baik dari itu.

Sore tadi, ketika aku membereskan mejaku untuk kembali merindukanmu setelah seharian berhadapan dengan layar komputer, atasanku memanggilku. Awalnya, kukira dia akan memarahiku habis-habisan karena seorang klien membatalkan kerja sama kemarin dan itu karena aku. Ternyata tidak, laki-laki 40 tahunan yang masih terlihat luar biasa meski sudah memiliki dua jagoan itu malah memberikan kenaikan gaji. Katanya agar aku lebih semangat lagi bekerja. Setelah sedikit mengomeliku mengenai kerja sama yang batal itu, tentunya.

Mr. Nob, kapan terakhir kali kita bertemu? Apakah kau tak ingin sebentar saja pulang untuk menemuiku? Rasanya, memendam rindu terlalu lama tanpa menuntaskannya sama saja dengan bunuh diri. Tapi tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu di sana. Jaga kesehatanmu, Tuan. Hal yang paling menyakitkan adalah mendengar kesehatanmu terganggu. Jangan telat makan dan jangan sesekali meninggalkan sholat.

Sincerely,

Who already missing you
Nona Pop.

Bangun Tidur Kuterus Mandi

Seperti biasa, saya menyikat gigi saya malam ini sebelum akhirnya merangkak ke atas tempat tidur untuk berbagi mengenai apa saja yang telah saya lalui seharian ini kepada Tuan Guling dan Nyonya Bantal. Merasa hidup ini seperti robot yang sudah diatur untuk setiap menitnya harus melakukan apa.

Saya bangun pagi hampir di setiap pukul 04.30, tanpa alarm. Kecuali ayah saya sudah membangunkan saya ketika adzan Subuh sebelum pukul 04.30 iti artinya saya bangun dengan alarm suara dan sentuhan dari ayah saya.

Saya bangun, shalat Subuh, memasak dan menyiapkan sarapan, lalu menonton televisi sebentar tentang bagaimana cara me-rescue anjing peliharan, lalu sarapan sisa orang-orang rumah sarapan, mandi, dan beraktivitas. Begitu terus setidaknya setiap hari Senin hingga Jumat.

Kemudian saya berpikir, apakah saya memang seteratur itu? Ternyata tidak, jika mengenai hati. Tapi iya jika itu mengenai aktivitas sehari-hari. Saya marah jika ada yang tidak menaruh sesuatu pada tempatnya, saya kesal jika melihat kasur berantakan atau tidak rapi, saya tidak nyaman melihat sesuatu tidak dalam susunannya. Hingga sekarang saya kurang paham, ini benar-benar OCD atau tidak. Jika saya marah mengenai masalah-masalah di atas, ibu saya suka berbalik memarahi saya. Terkadang, saya ingin sekali berteriak. Sekarang saya tanya, bagaimana jika kamu sedang berada di posisi tidak nyaman? Bad mood? Marah? Ya, itulah perasaan saya.

Begitu juga malam hari, saya tak bisa naik ke atas tempat tidur sebelum shalat Isya, mencuci muka, dan menggosok gigi. Saya juga tak bisa melanggar rambu, kadang saya pikir bukan karena saya tak mau, tapi karena saya takut.

Mungkin apa yang saya lakukan sehari-hari ini adalah pengaruh dari salah satu lagu waktu saya kanak-kanak. Bunyinya, bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku.

Semacam, saya harus mandi setelah bangun lalu menggosok gigi dan membantu ibu. Begitu setiap hari. Tapi keteraturan itu terkadang menimbulkan rasa takut dari dalam diri saya. Semisal saya diwajibkan pulang ke rumah pukul 9 malam tepat. Apa yang akan terjadi jika saya pulang melebihi pukul  9? Saya memikirkan hal-hal mengerikan. Atau bagaimana jika sehari saja saya tidak menggosok gigi? Apakah gigi saya nanti bolong terus sakit? Atau bagaimana jika saya melanggar rambu-rambu lalu lintas di depan saya? Jangan-jangan di depan ada polisi sedang sembunyi yang siap menilang dan memarahi saya dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.

Malam ini, saya menyudahi kegiatan menggosok gigi saya lalu menggumam dalam hati, "Mungkin ini waktunya saya untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu".

Surabaya, November 2015

Cerita Sahabat

Menyempatkan diri merenung di pagi hari di hadapan secangkir teh hangat tanpa gula. Sebenarnya siapa yang paling banyak memberi warna di hidup kita. Selain keluarga kandung, tentunya. Aku tak akan bercerita tentang keluargaku, sebab bercerita tentang mereka tak akan pernah habis bahkan dalam sepuluh judul buku.

Ini tentang sahabat dan siapa saja di sekeliling kita, yang sedikit banyak memengaruhi emosimu. Aku punya banyak sekali sahabat, tak akan cukup dihitung oleh jari di kedua tanganku ditambah tanganmu.

Aku punya sahabat-sahabat sejak SMP, SMA, juga ketika mengambil studi sarjana di salah satu universitas negeri yang sampai sekarang masih keep in touch dan akan begini seterusnya. Aku punya sahabat dari komunitas paling keren di Surabaya, dan banyak perkumpulan lainnya.

Aku punya seorang sahabat yang kami bisa membicarakan apa saja berjam-jam tanpa bosan, mulai dari hal-hal yang ringan sampai yang lebih berbobot macam politik. Kami punya pandangan yang sama sekali jauh berbeda mengenai politik tapi kami bisa punya selera film yang sama atau kami bisa berdebat dengan hebat mengenai hal-hal sepele lalu diakhiri tertawa terbahak bersama-sama.

Selain seorang sahabat, dia bisa jadi penghibur, pendengar yang baik, penasehat kesehatan, bahkan supir yang baik. Haha, yang terakhir maafkan, aku kadang bisa sedikit manja. Kami punya intensitas waktu bertemu yang cukup sering namun hampir tak pernah melakukan chat secara online. Kami menghabiskan waktu dengan menonton film dan membahagiakan perut. Bahkan kami bisa saling curhat tentang masalah masing-masing. Seorang penulis bilang, bahwa jika ada yang menceritakan masalah terberatnya kepadamu, itu artinya dia sangat percaya padamu dan kamu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

Mengapa aku menulis tentang dia? Sebab aku baru saja mendapat kabar baik darinya, beberapa hari yang lalu. Penelitiannya mendapat acc dari dosen pembimbing. Satu langkah lagi buatnya mendapat gelar sarjana. Sebagai sahabat aku turut berbahagia. Doaku, semoga segalanya selalu dilancarkan oleh Tuhan hingga dia memakai TOGA, nanti.

Bisa kudapat aamiin?

Surabaya, November 2015.

Saya terbangun pukul tiga tepat dini hari, kepala saya penuh dengan hal-hal entah dan segera ingin dimuntahkan. Mencoba mengajak langit-langit kamar mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk kembali memejam. Sebab tak ada yang lebih bijak dari mereka, mereka pendengar yang baik.

Saya ingin sekali bisa membaca isi kepalamu sekali saja agar tak lagi bingung mengambil keputusan, lalu menyesal. Sayangnya, bahkan membaca isi kepala saya sendiri saja saya tak pernah bisa, bagaimana membaca milik orang lain?

Ada dua pilihan yang membuat bimbang, membuat langkah kaki saya suka tiba-tiba terhenti, dan membuat saya lupa mengaduk minuman saya; haruskan saya tetap tinggal atau pergi saja?

Tapi mengapa saya harus pergi jika bisa tetap tinggal?

Saya mencintaimu lebih dari yang pernah kaubayangkan. Hanya saja, saya terkadang malu untuk mengakuinya bahkan kepada diri saya sendiri. Lalu saya teringat kata-kata dosen saya suatu hari, "satu hal yang sukar kamu lakukan itu hanya satu, berdamai pada dirimu sendiri."

Saya bukan puteri dan kamu bukan ksatria, bahkan tak ada bintang jatuh di antara kita. Tapi di mataku, kamu ialah ksatria. Saya mencintaimu bukan karena suatu hari kamu bisa mengabulkan semua impian-impian saya yang mustahil. Terkadang cinta terlalu rumit untuk diungkapkan. Namun belasan tahun rasanya membuat saya cukup paham dan yakin bahwa saya mencintaimu.

Jika kamu membaca tulisan ini, setidaknya kirimi saya sebuah pesan, katakan apa yang harus saya lakukan, sebab saya tak bisa membaca isi kepalamu.

Sampai Kita Sama-sama Memaafkan Diri Sendiri dan Masa Lalu

“Aku kebelet pipis. Mampir situ bentar, yak!”seruku.

Laki-laki di sampingku menghentikan mobilnya agak jauh. Entah kenapa, dia gemar sekali parkir agak jauh dari tempat tujuan, dia gemarmeletakkan batu untuk mengganjal roda belakang mobilnya. Aku kira, dia tak pernah tahu fungsi hand rem di mobilnya.

“Aku ikut turun deh, ikut kamu pipis.”

“Dasar followers!”ejekku lalu meninggalkannya yang masih melepas seat belt-nya.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam minimarket yang disulap sekalian jadi tempat nongkrong itu. Cuaca sedikit mendung, mungkin ini balasan dari cuaca yang panas beberapa hari belakangan kemarin.

“Hujan, nih.”ujarnya ketika aku menghampirinya yang sedang menyesap rokoknya di salah satu sudut kursi yang sedang kosong.

“Yah, lu sih markirin mobilnya jauh banget. Mana deres banget ujannya.”

Ngiyup sini ajalah, sekalian ngopi.”

“Sekalian ngerokok?”

“Ayolah.”

“Gua engga suka liat lu ngerokok depan gua.”

“Yaudah bentar, sebatang aja ini.”

“Gua ke dalam bentar, deh. Beli kopi."

Hujan selalu mengingatkan pada kenangan, katanya. Entah siapa yang memulai membangun mind set seperti itu. Tapi bagiku, hujan itu semacam rindu yang berhasil ditumpahkan, tak lebih. Aku sudah lama mengenal anak laki-laki yang sedang asyik dengan rokoknya itu. Pertemuannya pun sungguh aneh. Di pantai kuta dua tahun lalu, aku sedang berlibur dengan pacarku waktu itu, dan dia sedang berlibur dengan teman-temannya.

“Nunggu sunset juga?”tanyanya waktu itu.

“Maaf?”

“Nunggu sunset juga?”tanyanya lagi sambil mengamati wajahku. Aku mengangguk. “Perempuan secantik kamu, nungguin sunset sendirian?”

“Maaf sayang, biasa mama.”seseorang menghampiriku. Laki-laki itu terdiam lalu memalingkan wajahnya ke arah laut. Aku berjalan menjauhinya, menggamit tangan laki-laki yang memanggilku sayang.

***

“Selain menunggu sunset sendirian, seorang perempuan seperti kamu juga suka pergi ke coffee shop sendirian?”tanya seseorang tiba-tiba sambil duduk kursi di hadapanku.

“Kamu?”

“Namaku Rio. Waktu itu kita belum sempat berkenalan. Mana pacarmu?”

“Aku May.”jawabku sambil membalas uluran tangannya, “Dia sudah pergi jauh.”

Lalu kami mulai memutuskan untuk mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.

         ***

Hujan tak juga reda, meskipun hari ini agenda kami hanya menonton film di bioskop tapi lama-lama sebal juga dengan kebiasannya memarkiran mobil jauh dari tempat tujuan. Aku menyesap kopiku, pahit. Rupanya aku lupa menuangkan gula tadi.

“Mau hujan-hujan?”

“Males.”

“Engga usah manja, deh. Takut basah? Masa kalah sama Sony Xperia?"

"Ah elah. Bandinginnya sama henpon deh. "

“Kalau gitu ayo hujan-hujan!”

“Tapi...”

“Udah.. ayoo...”laki-laki itu menyeret tanganku lalu berlari ke arah dia memarkirkan mobilnya. Membukakan pintunya untukku, oke, ini hal yang tidak biasa.

“Sampai kapan kita seperti ini?”

“Sampai kita sama-sama memaafkan diri sendiri dan masa lalu.”ujarnya sambil mencium bibirku. Hangat.

Tertipu?

Aku memainkan benda kotak berwarna putih di tangan kananku. Mataku tak behenti memperhatikan jam dinding berwarna putih susu di atas gerobak gado-gado di kantin kantor. Beberapa kendaraan di parkiran yang tak jauh dari kantin satu persatu mulai meninggalkan tempatnya. Kecuali sebuah Honda Brio yang selalu diparkir di samping pohon asam dekat parkiran. 

Kantor Akuntan Publik ini berada di sebuah gedung yang tak begitu besar. Selain kantor kami, juga ada beberapa kantor lain seperti kantor finance, bank dan entah aku tak hapal semuanya. Letaknya pun berada di jantung kota Surabaya yang ramai. Dimana pukul tujuh pagi keadaannya tak jauh berbeda dengan isi kepalaku. Riuh. 

Namanya Jo, itu yang tak sengaja kudengar ketika makan siang beberapa hari yang lalu saat seorang kawannya memanggil namanya. Sudah beberapa hari ini kucuri pandang ke arahnya yang suka sekali memesan mi ayam, terkadang soto ayam dan segelas jus sirsak. Selalu. Bagaimana bisa perhatianku tersita sama seseorang yang bahkan aku tak tahu siapa nama lengkapnya, warna matanya dan parfum apa yang dia pakai.

"Sebentar lagi hujan. Tak pulang?"sapanya sambil memasukku bungkus rokoknya ke dalam saku celana bahannya sebelah kiri, karena aku tahu di saku sebelah kanan biasa dia letakkan iPhone-nya.

"Nunggu jemputan?"

Aku mengangguk. Jarak kami memang jauh, kami harus melewati satu meja makan. Aku sedang malas berteriak maka hanya kuisyaratkan sebuah anggukan.

"Nunggu pacar?"

"Kakak."

"Sebentar lagi gelap, kantin juga sudah tutup. Lebih baik menunggu di lobi."

Aku tak bisa merokok kalau sedang di lobi, batinku. 

"Merokok?"tanyanya. 

Aku mengangguk. lagi.

"Baiklah. Aku duluan, ya. Kamu hati-hati."

Laki-laki itu beranjak pergi dari tempatnya. Mukanya samar terlihat agak sedikit lelah, tak sesegar tadi pagi waktu kulihat dia turun dari mobilnya sesaat setelah turun dari mobil Mbak Tanti di depan lobi.

Langit Surabaya akhir-akhir ini begitu sendu semenjak pergantian tahun lima hari yang lalu. Pagi hari, matahari memilih untuk terlelap lebih lama dari biasanya. Langit seperti menangis. Sedikit, biar kubagi beberapa peristiwa penting yang terjadi di tahun kemarin.

Awal tahun kemarin, tepatnya minggu terakhir Januari, aku dihadapkan oleh empat orang penguji skripsi. Satu langkah lagi menuju sukses, begitu batinku saat itu. Kulihat dosen pembimbingku tersenyum manis sesaat setelah aku masuk ke dalam ruangan, di luar beberapa kawan menanti dengan hara-harap cemas. Ujian berjalan begitu lancar, dosen pun tak begitu banyak memberiku pertanyaan yang aneh atas penelitianku. Dua jam kemudian, kampus ini memberiku gelar Sarjana Akuntansi. Aku berlutut, bersujud pada Illahi.

Pertengahan Maret, yang kuingat itu masih pukul tujuh malam. Aku mencoba sebuah kebaya berwarna merah jambu cantik untuk dikenakan besok pagi. Pukul lima besok Tante Gina, perias yang merupakan kawan Ibu semasa remaja itu berjanji akan datang ke rumah untuk menyulapku menjadi seorang putri sehari. Tuhan, begini rasanya wisuda. Ada genangan air yang tak mampu dibendung sudut mataku, sesaat setelah acara sesi foto bersama keluarga selesai.

Akhir Agustus, putus setelah menjalani hubungan hampir satu tahun. Putusnya lucu, aku memergoki dia sedang berpegangan tangan mesra di sebuah rumah makan di suatu malam. Setahu saya, saya sudah memberitahu dia bahwa saya akan makan di rumah makan itu bersama kawan-kawan semasa SMA. Entahlah, ceritanya FTV sekali. Bahkan dia lebih membela selingkuhannya ketimbang saya. Mungkin, dia memang ingin meninggalkan saya. Namun, caranya buruk sekali. 

Awal September, saya mulai bekerja di kantor ini. Masuk pukul delapan pagi dan pulang pukul lima sore. Begitu seterusnya. Itulah, mengapa kubilang tahun kemarin tak begitu wah seperti tahun sebelum-sebelumnya, tak banyak cerita menarik. Akhirnya, kugantungkan semua harapanku pada tahun baru ini.

Sudah pukul enam tepat, terpaksa aku menumpang sholat di lantai dua. Lantai tiga tempat kantorku berada terlalu seram untuk kudatangi. Kantor finance di lantai dua memang masih agak ramai, di sinilah, tempat Jo bekerja. Dia eksekutif muda yang sudah dua tahun bergelut di bidangnya. Jangan tanya mengapa aku tahu semuanya, ikuti saja ceritaku sampai selesai.

Blackberry-ku bergetar, ada pesan singkat. Mbak Tanti.

Dek, mbak harus lembur. Kamu naiklah taksi. Nanti Mbak ganti uangnya jangan khawatir.

Gontai, kumasukkan ponselku ke dalam tas. Kupikir daripada aku pulang tak ada orang di kontrakan, lebih baik jalan-jalan sebentar. Ke sebuah taman yang tak jauh dari kantor. Biasanya hari Jumat begini ramai sekali. Benar saja, di salah satu sudut beberapa remaja yang kutaksir umurnya kisaran SMP hingga SMA sedang asik bermainskateboard. Pengamen jalanan tak luput beraksi menjajakan suaranya. Beberapa perempuan paruhbaya menenteng termos dengan beberapa rentang kopi di sampingnya.

"Kopi, Neng?"

"Satu ya, Bu. Jangan panas-panas."

Tak lama, sebuah gelas plastik berisi kopi hitam beralih di tanganku.

"Katanya tadi pulang nunggu kakak?"seseorang mengagetkanku. Tangannya sibuk menyulut api di ujung rokoknya.

"Kakakku lembur."

"Bu, saya juga kopi satu, ya. Jangan panas-panas."

Aku terdiam, entah ini suatu kebetulan atau apa bisa bertemu dengannya di sini. Jarak kami tak lebih dari satu depa.

"Waduh, Nak. Engga ada kembaliannya."ujar ibu itu. Mukakanya kebingungan. Pria bodoh, membeli kopi dengan uang seratus ribu. Dipikir ini kafe.

"Pake uangku saja."

"Engga usah."bisiknya, "Engga apa-apa, Bu. Ambil saja kembaliannya buat biaya anak sekolah."

Perempuan paruh baya itu menyalami kami, mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan kami dengan muka sumringah. Mungkin pulang lalu tidur di samping anaknya dengan nyenyak hingga pagi. 

"Kamu Astrid, kan?"tanyanya. "Junior Auditor di kantor atas?"

Aku mengangguk.

"Tahu dari mana?"

"Tak ada orang yang tak tahu siapa kamu di gedung itu."

Laki-laki ini maunya apa?

"Lain kali, ngopi, yuk! Tapi tidak di tempat seperti ini."

Kami pun larut dalam obrolan ringan.

"Ada pin bb?"tanyanya.

Aku mengangguk.

"Handphone-ku mati. Catat deh pinku."

Aku mengeluarkan blackberry-ku dari dalam tas. Sebuah pesan pendek dari Mbak Tanti yang mencariku dan menyuruhku segera pulang. Setelah mencatata nomornya, aku pun berpamitan pulang.

***

Betapa kasur adalah tempat terbaik di dunia setelah seharian bekerja. Aku meraihblackberry-ku yang sedang mengisi daya di samping kasurku. Kubuka recent updates, Jonathan Wijaya is now contact. Jonathan Wijaya changed display picture.

Sebuah foto keluarga kecil bahagia, dia dan seorang perempuan ayu di sampingnya yang sedang menggendong seorang bayi mungil. 

Tertipu?

Ah, tidak. Kami belum sejauh itu.

Namanya, Jonathan.

Parfumnya Bvlgari.

dan

warna matanya

cokelat muda.

Langit Surabaya mungkin memang sedang cerah-cerahnya, tapi ponsel Nona Pop menunjukkan angka 33 derajat untuk suhu kota yang satu ini. Nona Pop membuka tumbler berwarna hijau toska lalu meneguk isinya hingga hampir setengahnya. Kabar buruk pertama, artinya Nona Pop sudah menujukkan pukul 13.18. Itu artinya dia sudah hampir setengah jam menunggu di lobi kantor ini. Kabar buruk kedua, menurut tulisan yang sempat dibacanya beberapa hari lalu bahwa Surabaya akan bertahan sepanas ini hingga akhir tahun.

"Ibu Pop?"tanya seseorang membuyarkan lamunan Nona Pop tentang Surabaya.

"Maaf, benar dengan Ibu Pop?"tanyanya lagi. Nona Pop mendongakkan kepalanya.

"Iya, saya. Jangan panggil ibu. Usia saya bahkan belum seperempat abad."

"Oh, maaf, Nona. Saya Ari, maaf terlambat. Ada meeting yang harus diselesaikan. Bisa kita mulai sekarang?"tanyanya lagi. Nona Pop mengangguk.

Laki-laki dengan setelah kemeja putih dibalut jas tanpa dikancing itu membawa sebuah clutch. Iya, clutch. Sekarang memang lagi hits di kalangan anak muda kota ini, atau mungkin terutama untuk seorang eksekutif muda semacam Ari. Ari membawanya ke sebuah ruangan, oh maaf, bukan ruangan. Tapi sebuah coffee shop yang berada di tengah-tengah kantor. Nona Pop tercengang.


Ari:
Kaget, ya? Ada Coffee Shop di tengah-tengah kantor?

Nona Pop:
Lumayan.

Ari:
Silakan, duduk. 

Laki-laki itu melambaikan tangannya sambil tersenyum. Seorang pramusaji menghampiri mereka, menyerahkan sebuah buku menu. Tapi Ari hanya tersenyum.

Ari:
Kamu minum kopi, kan?

Nona Pop:
*menggeleng*
I have a bad time with coffee

Ari:
*tertawa terbahak-bahak*
Kita sama, itu sebabnya aku bertanya. Green tea, maybe? Do you like it?

Nona Pop:
Kalau ada, boleh, satu green tea latte less sugar, please.

Ari:
Dua green tea latte less sugar ya, Mbak. Sama camilan yang biasa ketika saya menerima tamu.

Nona Pop:
Hey, kenapa kamu tak biarkan saya memilih cemilan saya sendiri?

Ari:
Kalau kamu pilih sendiri, artinya kamu bayar sendiri. Tapi untuk yang satu ini, gratis!
*Ari tertawa memandang Nona Pop, lalu berbalik memandang Mbak Pramusaji*
Kamu boleh pergi, terima kasih.

Nona Pop:
Kantor yang aneh.

Ari:
Tapi kamu akan betah dan ketagihan datang kemari.

Nona Pop:
Terserah Anda. Jadi, gimana? Bisa kita mulai rapatnya?

*bersambung*




Balai Pemuda untuk Berbagai Usia

Balai Pemuda, dari Jl. Gubernur Suryo

Berbicara mengenai ruang publik di kota Surabaya tentu tidak akan cukup dalam satu tulisan. Kota yang kian hari makin macet ini memiliki sejuta ruang publik yang diberi nama warkop atau warung kopi di setiap sudut kota. Tak heran, menjamurnya warung kopi konvensional atau warkop hingga yang elit dan biasa disebut cafe disebabkan karena hobi wong Suroboyo, yaitu nyangkruk.

Tapi ada salah satu ruang publik, fasilitas milik pemerintah kota Surabaya yang dalam satu area memilki banyak fungsi. Sebut saja, Balai Pemuda. Sempat terbakar beberapa tahun lalu namun kini balai Pemuda menjadi salah saru ruang publik favorit warga Surabaya. Memang namanya saja Balai Pemuda, tapi pada kenyataannya, semua usia boleh mengunjungi tempat ini.

Di pintu masuk akan kalian jumpai bangunan anyar yang diberna nama Rumah Bahasa. Di sana, kita bisa menikmati kursus bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan komputer tanpa dipungut biaya. Pemkot memberi fasilitas ini agar warga Surabaya mampu bersaing dalam memyambut AFTA 2015. Ancungan jempol untuk pemkot Surabaya. 

Di samping Rumah Bahasa ada bangunan dua lantai bernama Balai Budaya. Salah satu tempat favorit saya, sebab di Balai Budaya sering diadakan pameran kesenian semacam pameran lukisan sampai berbagai pertunjukan wayang. Lagi-lagi kita dapat menikmati secara cuma-cuma.

Di tengah komplek Balai Pemuda ada Perpustakaan Umum. Tempatnya full AC, full wifi, dan yang terpenting buku bacaan di perpustakaan ini beragam. Mulai dari pelajaran sekolah, buku kuliah, buku agama, peternakan, perkebunan, bahkan komik dan novel disediama. di sini. Buka setiap hari kecuali hari libur nasional mulai pukul 7 pagi hingga 7 malam. 

Perpustakaan Umum Balai Pemuda
(pict. from here)


Di samping perpustakaan, ada Tourisme Information Centre. Di sini, pengunjung dari mancanegara yang biasa disebut turis mendapatkan informasi mengenai Surabaya. Mulai dark tempat wisata, penginapan, hingga kuliner. Yang lebih menarik lagi, di Balai Pemuda disediakan bus Surabaya Shopping and Culinary Track dimana kita akan dibawa berkeliling berbagai tempat bersejarah di Surabaya hingga tempat dijual makanan khas kota Pahlawan ini. Saya sendiri pun belum pernah naik, sebab selalu full dan tak dapat kursi. Jadi saran saya, sebaiknya memesan kursi jauh-jauh hari. Kita hanya dikenai Rp 7.500 untuk bisa menikmati City Sight Seeing bus in Surabaya.



Satu gedung lagi yang dulu sempat terbakar, semacam gedung aula serbaguna yang biasa digunakan untuk pameran hingga acara resepsi pernikahan. Berminat menggelar resepsi di sini? Hehe.


Pusat Ritel yang Disulap Menjadi Museum

"Rek, ayo rek.. mlaku-mlaku nang Tunjungan.."


Siapa yang tak pernah mendengar lagu yang satu ini. Lagu tersohor dari Surabaya, Jawa Timur. Bukan, saya sedang tak ingin membahas lagu di atas. Saya ingin membahas apa yang ada di jalan Tunjungan. Ya, Tunjungan merupakan nama sebuah jalan di Surabaya. Letaknya di tengah kota dan memasuki wilayah kecamatan Genteng.

Ada yang menarik dari lagu itu, mengapa jalan-jalan ke Tunjungan? Sebab tempo dulu, jalan Tunjungan merupakan pusat komersial dan pertokoan utama di kota Pahlawan. Jika berbicara mengenai Tunjungan, tak bisa dilepaskan oleh sebuah gedung yang dikenal dengan SIOLA. Gedung tersebut berdiri memanjang di jalan Tunjungan dan jalan Genteng Kali. Didirikan tahun 1877 oleh seorang pemodal asing asal Inggris, Robert Laidlaw dan menjadi pusat ritel terbesar di Indonesia saat itu. Gedung ini mengalami pasang surut. Sempat berjaya pada awal didirikan namun hancur menjadi korban perang 10 November.

Menurut buku yang dulu pernah saya baca, gedung ini sempat mangkrak sampai akhirnya tahun 1950 ada 5 pengusaha Surabaya yang ingin menghidupkan kejayaan gedung ini. Mereka adalah Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, dan Ang yang membangun kongsi dagang sehingga toko itu diberi nama SIOLA yang merupakan kependekan dari huruf depan kelima pengusaha yang merupakan pemilik modal. Hingga sekitar tahun 1960-an, SIOLA menjadi toko ritel terbesar kembali, walau hanya di Surabaya.

Saya masih ingat waktu kecil sering diajak Papa ke pertokoan di jalan Tunjungan yang banyak menjual barang elektronik, hingga sekarang daerah Tunjungan terkenal dengan nama TEC atau Tunjungan Electronic Centre.

Bagaimana dengan SIOLA?

Berkat bu Risma, walikota Surabaya saat ini, walikota kesayangan arek-arek Suroboyo, SIOLA kini menjadi destinasi wisata edukasi baru bagi masyarakat Surabaya. Sebab, SIOLA kini telah disulap menjadi Museum Surabaya yang diresmikan oleh bu Risma bulan Mei lalu. Di dalam museum tersebut, berbagai macam koleksi barang peninggalan sejarah dan ada deretan 17 foto wali kota Surabaya sari tahun 1916 hingga sekarang. Bahkan pengunjung akan mengetahui bagaimana perjalanan kota Surabaya hingga bisa seperti sekarang.

Terima kasih, Bu Risma. Arek-arek surabaya kini punya tempat "dolen"* baru untung mengisi waktu liburan. Jadi, gimana? Mlaku-mlaku nang Tunjungan, yuk!

Surabaya, 3 September 2015
@prtwhp


*dolen = bermain.
Tunjungan Tempoe Doeloe (pict. from here)
Tunjungan City, sekarang. (pict. from here)

Menikmati Es Duren Cara Beda

es duren buntel oreo cheese 


Mungkin kawan-kawan sudah pernah nyoba atau pun sekadar tahu minuman es palu butung.  Minuman yang paling pas dinikmati di terik siang. Es palu butung terbuat dari pisang yang dibalut oleh semacam kulit pancake dengan kuah santan manis dan bubur putih sebagai pelengkap.

Namun ada yang unik kali ini, dirintis sejak tahun 2014 dan diberi nama Es Duren Buntel. Penasaran? Yak! Es ini semacam modifikasi dari es palu butung namun dengan isian durian bukan pisang. Bagi pecinta rajanya buah satu ini, rugi banget lah kalau engga sampai nyobain.

Menunya bervariasi, dengan menu jagoan yaitu Es duren buntel original yang berisi duren buntel, bubur putih, jeli, dan nata de coco, lidah kalian akan diajak untuk berpetualang hebat dengan durian sebagai rasa yang paling kuat yang dipadukan dengan kuah yang manis. Bagi kalian anak kekinian, jangan khawatir, ada empat varian rasa lagi yang memanjakan lidah kalian. Ada es duren buntel froot loops cheese, es duren buntel oreo cheese, es duren buntel koko krunch cheese, dan es duren buntel honey corn cheese. Menarik, bukan?


Outlet di Jl. Kepanjen


Jajanan yang menyebut para penikmatnya dengan #buntelista ini, stay dan siap menjamu kawan-kawan di Jl. Kepanjen, Surabaya. Tak jauh dari Tugu Pahlawan, salah satu icon kota Pahlawan yang sudah mendunia. Tepat di depan SMPN 2 Surabaya dan seberang Gereja Santa Maria Perawan. Kalau kawan-kawan masih bingung, silakan tanya paklek tukang becak di sekitaran situ Jl. Kepanjen di mana, insha Allah paklek becak tahu. Hehe. Es Duren buntel buka setiap hari Senin hingga Sabtu pukul 11.00-16.00. Follow juga instagramnya di instagram.com/esdurenbuntel. 


Jadi, tunggu apa lagi wahai kalian para pecinta durian garis keras? Let's be a #buntelista. 

Ciuman Pertama

Ini seperti menonton film yang sama di bioskop yang berbeda, begitulah kira-kira. Nona Pop sama sekali tak bisa memejamkan matanya padahal malam sudah semakin pekat, sebab ini adalah malam terakhir Nona Pop tidur di kamar berukurang 4x6 meter berwarna biru toska dengan dinding yang sesak oleh beberapa tulisan kecil dan lukisan-lukisan yang kata Ibu tak dapat dipahami. Semua lukisan dan catatan-catatan kecil sudah dicopot dari tempatnya, Ibu tak meminta dibuang, tapi Ibu tak ingin itu semua dipasang di kamar Nona Pop yang baru.

Nona Pop tak tahu apakah dia akan betah dengan rumahnya yang baru, khususnya kamarnya yang baru. Apakah kolong tempat tidurnya nanti juga akan sering terdengar suara jangkrik seperti kamarnya yang lama. 

Namun, hal yang akan paling dirindukan Nona Pop adalah jendela dengan dua daun bergaya 80'an. Jendelanya tak terlalu tinggi, di situlah Nona Pop suka diam-diam menerima tamu yang suka datang tiba-tiba tak diundang padahal Nona Pop sudah mengenakan piyamanya dan bersiap untuk tidur.

Nona Pop berulang tahun tanggal 15 Agustus, malam itu pukul 23.57 14 Agustus, telepon Nona Pop berdering.

Nona Pop:
Halo..

Mr. Nob:
whatca doin', Nona?

Nona Pop:
Mau tidur, Sir.
What's going on?

Mr. Nob:
Do you believe it, if i say i'm in your window right now?
Nona POp:
You must be kidding..

Mr. Nob:
No, I'm not.

Nona Pop beranjak dari tempat duduknya, bersijingkat mendekati jendela, benar saja, seorang anak laki-laki berdiri di sana sambil memasang senyum paling lebar.

Mr. Nob:
Happy birhtday, Nona!

Anak laki-laki itu setengah berseru tapi buru-buru Nona Pop menutup mulutnya dengan tangannya, dia tak ingin Ibu, Ayah, dan abangnya mendengar hingga terbangun.

Mr. Nob:
(he whispering)
Happy Birthday, Nona!

Nona Pop:
Are you crazy? What time is t?

Mr. Nob:
Aku cuma pengin jadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun buatmu.

Nona Pop:
Jangan diulangi lagi, kamu tak perlu jadi yang pertama mengucapkan, kamu hanya perlu selalu ada di hari ulang tahunku. 

Nona Pop tersenyum mengingat sebuah ingatan yang masih segar di dalam kepalanya, meski itu sudah beberapa tahun yang lalu. Ketika mereka masih terlalu bodoh mengartikan apa itu cinta.

Nona Pop memandang jendela itu sekali lagi sebelum memutuskan untuk memejam, jendela itu terlalu rendah sehingga mereka dapat mencuri beberapa pelukan dan sebuah ciuman. Ciuman pertama. Tepat tengah malam, di hari ulang tahun.

Sembilan Tahun Untuk Selamanya

: kepada Penagenic dan Mbak Nyit

Salah satu keagungan semesta yang diturunkan Tuhan ke bumi ialah berwujud sepasang kekasih berbentuk Kalian. Tak banyak yang ingin aku sampaikan di sepucuk surat kali ini selain doa-doa baik. Mari tengadahkan kedua tangan kita bersama menuju langit, bersyukur atas anugerah 9 tahun bernama kalian.

Jika ada laki-laki bersedia menjadi landasan terakhit pesawat asmaraku mendarat, berjanjilah akan datang ke pesta sederhana kami sesibuk apa pun kalian nanti. Mungkin pesta kami tak akan mewah, hanya pesta kecil di sebuah kebun hijau dengan cemilan-cemilan favorit kami tertata rapi di atas meja-meja kayu dan hanya dihadiri keluarga dan teman terdekat, tapi percayalah, pesta kami tak akan lengkap tanpa kehadiran pasangan manis seperti kalian.

Selamat ulang tahun pernikahan, dan tetap menjadi pasangan favorit kita semua. Semoga akan selalu ada angka setelah 9, seperti 10, 11, 12, dan seterusnya. Semoga segera dianugerahi jagoan kecil, semoga Ayin selalu sehat dan tumbuh menjadi gadis kecil manis, semoga kesehatan selalu diberikan Allah kepada kalian berdua, semoga segala kebaikan dan kebahagiaan senantiasa merengkuh keluarga kecil kalian. Semoga ini adalah 9 tahun yang berarti untuk selamanya.

Surabaya, 5 July 2015

Peluk cium buat Ayin manis yang menggemaskan.

Confusing

It is Saturday morning, when wake up too early is a sin for Nona Pop. When Nona Pop opened her eyes, mommy sitting down besider her bed stared at a nice photo.

Mom:
Who is he?

Nona Pop:
I called him, Mr. Nob.

Mom:
How old are you, Nona?

Nona Pop:
22 years old, Mom. Why?

Mom:
You’re still young. Never stop figured out.

Nona Pop:
But, mom..


Mom leaving Nona Pop who still don’t understand what mommy means.

Sebuah Sabtu

Nona Pop punya kabar baik akhir pekan ini, malam minggunya tak sendirian lagi. Malam minggunya sedang tak dihabiskan di ruang tengah dengan menonton DVD dan membukakan pagar orang rumah yang pulang malam mingguan. Malam minggunya tak hanya ditemani dengan satu toples makaroni pedas dan satu gelas orange jus. Malam minggu Nona Pop kali ini tak lagi mengenakan celana gemes dan tanktop.

Nona Pop sedang berada di teras sebuah kafe dengan pencahayaan yang dibuat agak redup agar terkesan romantis dengan dua gelas bir dan cemilan yang sudah tinggal setengahnya. Iya, somebody is going home.

Sepasang muda-mudi tengah kasmaran di sudut kafe, mereka cekikian sambil sesekali saling suap kentang goreng. Lalu hening menikmati waktu yang berkualitas lalu cekikian lagi. Mr. Nob tersenyum memandang Nona Pop yang memperhatikan pemandangan di sekitar mereka.

Mr. Nob:
We have passed that era.

Nona Pop:
Time flies, people change, Sir.
Aku melewati masa muda dengan banyak orang, but ujung-ujungnya ya aku sekarang di sini, sama kamu.

Mr. Nob:
But i will never. Setidaknya buat kamu.

Nona Pop:
Do you believe it with, bahwa sejauh apa pun kita terpisah kalau jodoh bakal ketemu juga, aren’t you?

Mr. Nob:
I don’t know. Semesta is so funny.

Nona Pop:
How was your job, Sir? Is it okay?
Kamu jarang cerita deh sekarang.

Mr. Nob:
I want to resign for this job.

Nona Pop:
Well, but why?

Mr. Nob:
I’ll find a better company, Nona.

Nona Pop:
Doaku akan selalu mengiringi setiap langkah kakimu, Sir.

Mr. Nob:

*smile and drink his beer*