Kejutan

sudah hampir di penghujung tahun
tapi pertemuan itu tak pernah terjadi
kita bukan tokoh tokoh di novel
atau sinetron dengan rating tinggi
dengan kisah cengengnya
namun setahun,
bukan waktu yang sebentar

di kota ini,
tidak ada nasi bebek enak kesukaan kita
tidak ada ahmad yani yang kau benci
atau mayjend sungkono yang selalu kau hindari

di kota ini,
pengemudinya penuh dengan kejutan
seperti kamu
yang siang tadi
mengunggah foto dengan seorang perempuan

Situbondo, November 2016

Memasuki Usia Seperempat Abad

Selain berkumpul bersama keluarga dan kawan, mendapat hadiah buku adalah hal yang menyenangkan hati


Kalau ditanya, sudah berapa resolusi tahun ini yang sudah kamu capai? Jawaban saya, banyak. Kecuali satu hal, menikah. Baiklah, jangan terlalu dipikirkan, jodoh sudah diatur sama Tuhan. Kita berdoa dan berusaha saja yang penting. Yekan?

Hal yang paling saya takutkan ketika menginjak pada tahun yang baru adalah ketika memasuki bulan September. Ketika mendekati tanggal ulang tahun saya, yang artinya, usia saya semakin habis dan jatah saya di dunia ini berkurang. Lalu, apa saja yang sudah saya berikan kepada lingkungan? Apa saya sudah berguna untuk orang lain khususnya keluarga? Itu yang suka menjadi momok bagi diri saya. Sebab hal yang paling saya takuti di dunia adalah, menjadi tidak berguna untuk orang lain khususnya keluarga.

Tapi saya selalu bersyukur, karena saya beruntung selalu punya keluarga dan sahabat yang tak pernah tidak perhatian. Pada tanggal 30 September kemarin, saya dihujani banyak doa di aplikasi message di ponsel, di media sosial, atau dengan ucapan langsung. Memasuki usia seperempat abad, artinya semakin banyak tuntutan untuk kita. Mulai dari ditanya kapan menikah jika belum menikah atau kapan kerja jika belum mendapat kerja. Sayangnya, mereka hanya melihat segalanya dari satu sisi. Coba mereka jadi kita. :(

Tapi, yasudahlah, hidup ini milik kita, kok, bukan milik mereka. Kuat-kuatnya telinga kita aja denger komen dari banyak pihak. Semoga nih ya, semoga, kita bukan bagian salah satu dari mereka yang suka komen seenak udelnya. Hehe. 

Di sini, saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala doa yang terucap dan saya mengucapkan permohonan maaf jika tidak semuanya bisa saya balas, segala doa yang baik insha Allah akan kembali kepada kalian, ya. Sukses untuk kita semua.

Salam,

Pratiwi.


Terima kasih, gengs! :*


I Love You, My Neighbor!

Hambok ya jangan diucapin mulu di atas pesawat, kapan diajak nae pesawatnya :(



Pagi ini teringat sebuah kalimat yang aku baca entah di mana dan kubagikan di salah satu media sosial. It said, "some people are meant to fall in love, but not meant to be together". Lalu seketika itu juga aku ingat salah satu kalimat teman kantorku mengenai cinta pertama.

Katanya, "Cinta pertama itu emang suka gitu, ya. Okelah kita udah memutuskan untuk merelakannya pergi. Memutuskan untuk melupakannya dan membunuh semua perasaan terhadapnya. Tapi satu hal yang ngga bisa kita hilangkan, rasa peduli terhadapnya."

Terkadang aku merasa apa yang terjadi belakangan ini semacam potongan-potongan puzzle yang aku temukan di beberapa tempat yang berbeda. Semua seakan berkesinambungan. It's all about cinta pertama yang akhirnya hanya bisa kita pandang dari kejauhan sambil bergumam, "selamat tinggal, semoga kamu bahagia".

Permasalahan yang klise, tapi hal ini mengganggu kepala saya beberapa hari ini; cinta pertama dan ketidakberdayaan untuk saling memiliki. 


It's Our Paradise and It's Our War Zone

Kalau bicara tentang musik, rasanya ngga ada di  dunia ini yang ngga suka sama musik. Genre favoritnya saja yang ngga sama. Aku sendiri, bukan tipe orang yang terlalu suka mendalam mendengarkan lagu-lagu pop, lagu-lagu kekinian, lagu-lagu yang beberapa minggu terakhir ini sering sekali diputer di mana-mana. Di radio, di mall, sampai bikin telinga seneb. Wait, telinga seneb? Ya sudah, pokoknya gitu. Membosankan, kupikir.

Malam ini, baru bertemu dengan beberapa kawan, ngobrol ngalor ngidul mengenai banyak hal sekalian ngomongin salah satu event kami akhir bulan nanti. Pada datang, ya? #Teteup. Dari obrolan kami tadi, ada satu kesimpulan yang menarik--bahwa di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, bahkan sehelai daun yang jatuh meninggalkan rantingnya semua sudah diatur, sudah ditulis oleh semesta, sudah ditetapkan oleh Tuhan jauh sebelum daun itu sendiri tumbuh. Dengan keberuntungan, tentunya.

Kembali ke masalah lagu, yap, mungkin sudah ditakdirkan juga malam ini di perjalanan pulang mp3 memutar lagunya Zayn Malik, Pillowtalk. Sebagai lagu yang masuk ke dalam kategori membosankan karena terlalu sering terdengar diputar di mana-mana, tadi tiba-tiba merinding karena salah satu kalimat di liriknya. 

Ooh
Climb on board
We'll go slow and high tempo
Light and dark
Hold me hard and mellow

I'm seeing the pain, seeing the pleasure
Nobody but you, 'body but me
'Body but us, bodies together
I love to hold you close, tonight and always
I love to wake up next to you
I love to hold you close, tonight and always
I love to wake up next to you

So we'll piss off the neighbours
In the place that feels the tears
The place to lose your fears
Yeah, reckless behavior
A place that is so pure, so dirty and wrong
In the bed all day, bed all day, bed all day
Fucking in and fighting on
It's our paradise and it's our war zone
It's our paradise and it's our war zone


Eh, gimana? Sudah belum bapernya? Coba perhatikan liriknya, I love to hold you close, tonight and always, I love to wake up next to you. Siapa coba yang ngga meleleh kalau ada yang bilang gitu ke kalian? Siapa sih, yang ngga pengen terus ada di samping orang yang lagi dicintai. Oh, God! Gombal banget tapi ngena banget. 

Tapi ada satu yang bikin aku merinding terus ngebayangin gimana kalau tokoh yang lagi diceritakan di lagu itu aku sama dia. Dia? Haha, bentar aku cari "dia"-nya dulu. Tapi seriusan, nih coba, in the bed all day, bed all day, bed all day, fucking in and fighting on, it's our paradise and it's our war zone. Aku bayangin sudah dalam poisi meniah, pulang kerja karena aku sama dia saking sibuknya pulangnya sedikit larut dan ketemunya di kasur. Nah di situ terjadilah yang namanya Pillow Talk. Kami ngobrolin tadi seharian di kantor ngapain aja, tentang bos yang nyebelin suka ngasih deadline seenaknya, tentang temen kantor yang suka bikin gosip, tentang si A yang katanya mau menikah, tentang apa saja yang kami alami seharian tadi. But, bell all day? Maksudnya cuddling gitu seharian di kasur sama pasangan? Ya ampun, itu priceless banget, kan? Yekan? Iyain aja, deh. Belum ngerasain juga soalnya.

Dan makanya kenapa di situ ditulis "it's our paradise", seneng gitu ya punya soulmate yang sekalian sahabat, teman curhat, sambil kadang curi-curi cium di kening, tangan yang menggengam. Surga sekali, bukan? Tapi, namanya juga manusia kadang kita berbeda argumen makanya di situ katanya "it's our war zone". Ngga seru juga, kan, kalau ngga ada berantem-berantem kecilnya. 

Kyaaaa, seneng banget ya bisa membayangkan gimana sih rasanya terlibat dalam sebuah lirik lagu. Hal yang masih aku percayai sampai sekarang adalah, lagu adalah puisi. Puisi bernada. Jadi rindu bikin puisi-puisi atau sajak-sajak pendek. Ke mana aja kemaren kemaren, Tiw? Engga ke mana-mana, sih. Cuma sibuk saja, sibuk memantaskan diri biar bisa sekece Mbak Dian Sastro, secara otak juga fisik. Tsaaaaah~

Nih, aku kasih videonya Zayn Malik. Hehe.




"Godaan orang yang mau menikah ada aja, ya, May?"

"Ha? Menikah? Siapa yang mau menikah, Pop?"

Punya temen sekantor, seruangan macam Maya kadang bisa buat Nona Pop gemas karena saking lugunya. Tapi Nona Pop bersyukur banget punya Maya dibanding anak-anak ruangan lain yang ada aja masalahnya sama teman satu ruangan.

Nona Pop menyesap jusnya habis.

"Pop! Siapa yang mau menikah?"

"Gua."

"Becanda ya Lu?"

"Yasudah, Reza Rahardian yang mau menikah."

"What? Reza Rahardian? Beneran Pop? Serius Pop? Kok dia kaga bilang guaaaaa? Pop! Pop! Lah, Pop mau ke manaaaa? Gua jangan ditinggal. Ah elah."

Nona Pop tak menghiraukan panggilan Maya. Pikirannya tertuju pada Dimitri. Semalam anak itu kembali menghubungi Nona Pop. Lewat telepon.

"Halo."

"Halo. Dengan siapa?"

"Ya ampun, Non. Masa suaraku kamu ngga hafal?"

DEG.

Nona Pop menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Non.. Non.." terdengar suara dari seberang sana.

"Ha..halo.. Mas Dim?"tanya Nona Pop ragu-ragu.

"Masih ingat juga ya, Non? Lagi di mana?"

"Baru sampai rumah?"

"What? Ini jam 10 malam dan kamu baru sampai rumah?"

"Mas Dim, ada apa?"

"Orang kangen emang ngga boleh ya, Non?"

"Boleh, sih. Tapi, kan."

"Kamu masih marah ya sama aku, Non? Oiya, besok aku ada pameran di mall deket rumah kamu biasanya. Dateng ya, jam 7 malam. Aku tunggu loh, Non. Selamat malam, Nona manis."

Klik.

Telepon diputus.

Ada yang tak pernah bisa dipahami oleh Nona Pop. Pikiran laki-laki. Terkadang kebaikan mereka suka membingungkan. Ponsel itu berdering lagi.

"Halo, ada apa lagi?"

"Non? Are you okay?"

Nona Pop melihat nama yang tertera di layar ponsel. Mr. Nob.

"Eh, hai! Whats going on, Dear?"

"I called you many times. Habis teleponan sama siapa, sih?"

"Ngg.. nganu.. itu Maya. Biasa..."

Nona Pop menepuk dahinya. Tak seharusnya dia berbohong pada laki-laki itu. Tapi entah kenapa tadi di pikirannya adalah lebih baik tak menceritakan pada Mr. Nob perjumpaannya dengan Dimitri siang tadi. Meski Mr. Nob tahu siapa Dimitri dan cerita apa yang pernah ditulis semesta antara Dimitri dan Nona Pop.

"Maya? Ngapain sih? Masih kurang dia sama kamu seharian. Heran, deh."

"Hahaha. Udah, deh. Ada apa, Sayang?"

Rasanya memanggil laki-laki itu dengan panggilan sayang masih aneh untuk Nona Pop. Tapi, benar adanya, dia menyayangi bahkan mencintai laki-laki itu lebih lama dari umur ponakannya yang kelas 1 SD.

"I miss you. I will go home this weekend. Meet up?"

"Pleasure, Sir."

"Take care then, Dear. Can't wait to see you."

Klik.

Telepon ditutup.

Tapi Nona Pop, tak dapat tidur nyenyak malam itu.


***

Flashback

"Sudah di mana? Aku sudah di depan."

"Bentar, ke toilet dulu. Abisgitu ke sana."

Nona Pop celingukan di depan sebuah mall. Ada rambu dilarang berhenti, sudah pasti tak mungkin menemukan anak itu di sekitar sini. Ponselnya bergetar.

"Aku lihat kamu, di sebelahmu ada tulisan dilarang berhenti. Aku muter dulu bentar."

Hari Senin pukul 11.45, bukan waktu yang tepat untuk turun ke jalan. Jalanan sungguh tak bersahabat. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya melihat ke arah jalan. Tangannya tegang memegang kemudi.

Dimitri, anak itu tiba-tiba menghubungi Nona Pop dan mengajaknya bertemu.

Mobil sedan hitam itu menyalakan lampu sein sebalah kanan, lalu parkir di depan sebuah tempat makan yang tak begitu ramai.


Aku ngga tahu ini tempat akan enak atau ngga, tapi aku dapat rekomendasi dari temanku."

"Never here before. Let's try"

"Lama ya kita ngga ketemu, kamu begitu aja bentuknya."

" Sialan, emang mau berubah gimana lagi?"

"Sibuk apa?"

"You know-lah, mahasiswa semester akhir yang masih ada kuliah. Apalagi. Gimana kerjaanmu?"

"Well, lancar banget. Aku kadang bosen begitu-begitu aja udah dapat duit banyak."

"Disyukurin, kek."

"Pasti lah. Eh, kamu kapan nikah?"

"Scumbag question, Mas. Pake toga aja belum. Nah Mas Dim sendiri?"

" Lu liat kan mobil gue baru? Aku beli mobil baru. Eh, si Mama nanyak kapan aku nikah."

"Terus? kamu jawab apa?"

"Aku jawab aja tahun depan."

"Sama siapa? Nah lu kan belum ada pacar? Apa sih yang lu tunggu? Kerjaan enak. Duit banyak, tinggal nyari perempuan yang "nggenah" nih."

" Semua orang butuh rencana, Non. Beberapa minggu yang lalu aku beli mobil dan berimbas pada Mama yang nanyak begitu. Sudahlah, aku akhirnya kepikiran buat nyicil KPR. Aku lagi cari rumah yang pas buat aku. Pas di kantong juga, sih."

"Terus?"

"Kamu mau ngga nikah sama aku?"

" Edan. You drunk, boy! Just go home."

"Well, aku serius sih."

"Come on, Mas Dim. Sebelum aku keja. I'll not."

"Yaa setidaknya kita semua harus punya rencana yang matang untuk masa depan, Non"

Nona Pop tersenyum lebar.
Untuk laki-laki berusia 23 tahun, setidaknya lebih tua satu tahun di atasnya dia punya pemikiran yang sangat matang. Nona Pop sudah mengenalnya cukup lama ketika awal kuliah dulu. Ini pertemuan pertama mereka setelah peristiwa tidak mengenakkan di antara mereka.


"Pop! Malah bengong, ayo balik kantor."

Suara Maya teman seruangannya di kantor membuyarkan lamunannya. 
"Kenapa sih kamu dulu kuajakin nikah ngga mau?"

"Errr.. Kenapa bahas itu lagi?"

"Ya habisnya, kamu cari laki-laki seperti apa, sih? Aku rumah ada, mobil ada, kerjaan enak, sholat? Alhamdulillah aku tahu tanggung jawabku."

"Tapi kan perkara menikah ngga bisa diputuskan secepat itu, Mas Dim."

"Apa karena zaman kuliah dulu?"

"Errr.. ini kenapa bahas masa lalu kita, sih. Jadi, mana undanganmu? Katanya sudah mau rabi?"

"Lah, yang kuajakin rabi nolak kok. Gimana, sih?"

"Ih, aku seriusan!"

"Hahaha."

"Jadi, gimana?"

"Nanti aku beritahu kalau tanggalnya sudah fix."

"Awas aja pokoknya kalau aku ngga Mas Dim undang."

"Aku kalau ngundang kamu, takut kamu yang patah hati, Non."

"Patah hati apa-aaaaaaaaan!"

"Haha. Bercanda. Rindu deh, pengen ngeteh-ngeteh lucu lagi sama kamu kayak dulu."

"I am availabe after 4 p.m."

"Noted! Yasudah, aku balik kantor dulu, ya. Udah abis jam makan siangnya. Kamu juga, nanti dimarahin bos, loh,"

"Siap, Capt!"

"See you when I see you ya, Non. Take care."

Nona Pop tersenyum, pandangannya mengikuti langkah laki-laki itu pergi meninggalkan meja kasir. Nona Pop membayar tagihannya lalu kembali pada kenyataan.


Berani Memilih

Sebelumnya saya ucapkan Selamat Hari Kartini untuk semua Srikandi yang membaca tulisan ini, tentu juga untuk para kalian laki-laki yang juga ikut membaca. Kalau berbicara mengenai kesetaraan di hari Kartini, itu artinya bukan hanya perempuan saja yang boleh beraktivitas di luar rumah tetapi harusnya berlaku untuk para laki-laki agar tak segan melakukan pekerjaan seorang perempuan. Seperti pekerjaan di dapur dan mencuci baju, misalnya. Eh, gimana? Setuju engga?

Teman saya seorang perempuan pernah berkata kepada saya, dia tidak akan memilih laki-laki yang melarangnya untuk bekerja. Itu hak dia, saya rasa. Tapi perdebatan mengenai perempuan harusnya stay di rumah mengurus keluarga atau bekerja hingga saat ini belum ada titik tengah dari masing-masing kubu. Katanya sih, sayang banget sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga tapi kalau bekerja nanti katanya tidak sayang keluarga. Terus gimana, dong? 

Buat saya, itu tergantung perempuan itu mampu atau tidak bersikap adil kepada karir dan keluarganya. Sebab selain ikhlas, adil adalah hal yang paling susah dilakukan. Tapi saya berkiblat kepada Mama saya. Beliau, ibu dari 4 orang putra dan putri, saat ini bekerja sebagai kepala sekolah dan memegang dua sekolah sekaligus di kota yang berbeda. Beliau harus sering bolak-balik, tapi saya dan adik-adik saya sebagai anaknya toh tidak pernah merasa kekurangan perhatian dan kasih sayang. Hello, zaman sekarang teknologi sudah canggih dan jangan lupa masih ada weekend yang bisa kita gunakan sebagai quality time bersama keluarga. Jadi, kalau ada yang bilang kasihan anaknya kalau ditinggal bekerja, coba kalian lihat dari sisi yang lain, coba kalian bertanya pada mereka yang ibunya bekerja. Sekali lagi, semua tergantung seberapa adilkah perempuan itu terhadap karir dan keluarga.

Kembali ke judul postingan saya di atas mengenai berani memilih. Ketika saya lulus sebagai sarjana, artinya kehidupan saya baru saja dimulai. Di situ, seperti kebanyakan orang lainnya, saya harus memilih untuk menikah, melanjutkan sekolah, bekerja, atau melakukan salah dua bahkan ketiganya. Untuk urusan menikah, saya harus coret itu dalam daftar. Alasannya tidak usah saya ceritakan di sini, kalian kira-kira saja apa jawabannya. Hehe.

Akhirnya, hingga hari ini saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah saya ke jenjang yang lebih tinggi, magister sambil bekerja tentunya. Bukan hal mudah memang memutuskan hal yang akan memengaruhi hidup saya ke depannya. Tapi, begitulah, hidup itu harus berani untuk memilih dan berani pula untuk menanggung segala risiko atas pilihan yang sudah kita ambil. 

Sejauh ini dua-duanya berjalan dengan lancar. Meskipun tidak mudah, tapi saya bersyukur sebab dapat mengimbangi waktu antara pekerjaan dan sekolah. Saya bersyukur sebab saya berani untuk memilih. 

Mengenai menikah, ah, siapa yang tak ingin menikah. Makanya kalian doakan saja semoga segera ada Mr. Nob dari dunia nyata yang berani meminta saya untuk menikah. Hehe. Can I get amien? :'))))


Surabaya, 21 April 2016

Pratiwi H. Putri, 24 tahun, auditor.

Memilih melanjutkan magister sambil bekerja. 


Am I Ready?

Tadinya Nona Pop hanya ingin menghabiskan malam ini, sendirian.

Ada beberapa hal yang tak perlu direncanakan matang-matang, seperti memtuskan untuk memarkirkan mobilnya di halaman kedai ini lalu turun dan memesan satu gelas kardus machiato dengan nama yang lagi-lagi salah dituliskan oleh mas-mas bartender. Entah sengaja atau tidak, tapi kesalahan penulisan adalah salah satu strategi pemasaran yang cukup ampuh. Kamu tinggal sedikit typo lalu konsumen akan melayangkan protes dengan mengunggahnya di media sosial hingga hal ini menjadi salah satu postingan keren abad ini.

Tapi bukan mengunggah gelas kardus dengan namanya yang salah, Nona Pop bahkan tak sengaja berakhir di sini. Mengambil kursi di sudut ruangan dekat jendela lalu mengeluarkan ponselnya. Tak ada notifikasi, selain email dari klien dan sebuah chat dari Ari yang mengucapkan terima kasih atas proyek hari ini. 

*bulp*

Satu pesan Line di ponsel Nona Pop, perempuan itu menatap ponselnya tanpa menyentuhnya. Sebuah pesan tertulis di sana.

"Where are you?"

You must forget and forget to be free, you must forget to live.

Suara Johnny Flynn memenuhi langit-langit kedai, Nona Pop membuka komputer jinjingnya dan menekan tombol power. Sebuah suara mengagetkannya.

"Sibuk banget, ya? Sampai tak sempat membalas pesanku?"

Nona Pop mendongakkan kepalanya, tiba-tiba saja waktu seperti berhenti bergerak maju. Waktu tiba-tiba menyeretnya ke masa lalu, dimana laki-laki di depannya sedang menangis di depan pusara hewan peliharannya, lalu terlintas begitu saja bayangan laki-laki itu sedang tersenyum lebar karena Nona Pop memberinya sebuah kemeja berwarna biru langit di hari ulang tahunnya ke-25. Agak jauh lagi, waktu membawanya ke masa mereka baru saja menginjak kepala dua, laki-laki itu menggenggam tangan perempuan lain. Kemudian lebih jauh lagi, saat laki-laki itu loncat kegirangan di depan rumah Nona Pop karena lulus sidang skripsi dengan gelar Sarjana Kedokteran dan semakin jauh ketika dia sedang mengenakan busana putih-biru dan dikelilingi beberapa perempuan.

"Are you okay, Nona?"

Nona Pop tersentak dari lamunannya. Laki-laki itu tersenyum kepadanya, berlutut di hadapannya, menggenggam tangannya. Ya, kini tangannyalah yang dia genggam. 

I never knew just what it was about this old coffee shop

I love so much
All of the while I never knew
I never knew just what it was about this old coffee shop
I love so much
All of the while I never knew

Suara Landop Pigg menyelinap di antara anak-anak rambut yang menutup sebagian telinganya. Nona Pop tak punya kata-kata lagi, atau saat ini dia hanya ingin memanggil operator kedai dan memaki-makinya. Playlist ini lagi, kutuknya. Nona Pop masih ingat sekali, lagu yang sama, kedai yang sama, laki-laki yang sama, tujuh tahun lalu untuk pertama kali. 

"Kita nikah, yuk!"

Ujar laki-laki itu.






Ni Hao, Gengs!

Dear Peserta #30HariMenulisSuratCinta dengan awalan huruf H-L,

Bagaimana kabar kalian, gengs? Kakak Mini harap semuanya dalam keadaan bahagia. Sebab salah seorang kawanku pernah berbisik padaku ketika suatu ketika kesedihan sedang singgah di bahuku.

Katanya, "Jangan lupa bahagia, Tiw. Sebab bahagia itu hukumnya wajib."

Terima kasih sudah mempercayai kakak Mini untuk mengantar surat-surat kalian selama 30 hari penuh. Maafkan kalau selama ini masih banyak kekurangan di sana sini. Tapi percayalah, surat-surat kalian selalu mampu membunuh lelah setelah seharian di kantor.

Ada yang sempat bertanya bagaimana ekspresiku ketika membaca surat kalian. Kalian sudah membuat perasaanku jungkir balik. Membaca surat kalian aku bisa senyum-senyum sendiri membayangkan jika aku "Dia" yang kaukirimi surat, kadang aku bisa mengernyitkan dahi, tak jarang ikut sedih jika surat kalian sedang berbicara mengenai rindi, pertemuan yang takkunjung terjadi, atau hati yang tak mampu meraih cintanya. Tak apa, Gengs, semua itu wajar terjadi. Yang kita butuhkan hanya tetap semangat dan percaya kepada diri kita sendiri.

Pesanku tak banyak, sebab aku sendiri masih butuh banyak nasehat. Pesanku, tetap menulis, ya. Sebab menulis itu hanya butuh satu hal, kedisplinan. Media sosial kakak Mini terbuka lho buat kalian yang ingin curhat. Sesibuk apa pun kakak Mini akhir-akhir kini karena deadline, akan selalu ada waktu dan hatiku untuk kalian.

Sampai jumpa di event dan kesempatan lainnya. Semoga.

Salam,

Pratiwi Herdianti Putri.

Surat Ke-20: Kepada Mr. Nob

Jika aku tak salah hitung, sebab aku tak pandai matematika, ini sudah pekan kedua puluh tiga aku tak menatap wajahmu dari sekian centimeter. Bahkan aku tak tahu persis berapa kilometer yang memisahkan kedua langkah kita. Aku tak akan bicara mengenai rindu, mengelu-elukan rindu, atau pun memaki-maki jarak yang membuat debar jantungku berdebar tak semestinya setiap ada yang menyebut namamu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas, meski pada kenyataannya berpisah denganmu seperti satu kotak rokok yang kehilangan korek apinya.

Belakangan ini, aku lebih sering mendengarkan lagu-lagu dengan nada yang membuatku dadaku lebih hangat. Mereka bilang lagu sendu. Tapi kubilang ini puisi bernada. Aku juga lebih sering makan hal-hal yang manis seperti coklat, banyak yang bilang bahwa coklat bisa membuatmu lebih tenang. 

Aku masih ingat apa yang kita perdebatkan di ruang tunggu stasiun senja itu, percayakah kau, bahwa menu sarapanku tadi pagi saja aku tak bisa ingat. Aku masih ingat senyum terakhir yang kau lontarkan padaku, aku pun masih ingat kalimat terakhir milikmu sebelum akhirnya punggungmu itu menjauh, kalimat yang penuh rasa khawatir dan penyesalan. Aku bahkan masih mampu merasakan hangatnya kedua lenganmu yang menggapaiku. 

Jika kamu punya satu kotak rokok dan kamu kehilangan koreknya, tinggal berlari sajalah ke toko atau warung paling dekat dengan tempatmu sekarang. Namun jika berbicara mengenai rindu dan berusaha untuk tidak memakinya, bagaimana kalau aku berhenti menulis tentang rindu? Bagaimana kalau bertemu saja kita, saling memeluk erat, hingga lupa waktu.

                                                                                                   

                                                                                                             Surabaya, Februari 2016
aku tak perlu membaca headline surat kabar mana pun
atau memutar tombol radio menuju saluran mana pun
hanya untuk mencari tahu 
ulah apalagi yang teroris lakukan di negeri ini
apakah hujan akan singgah di kotaku hari ini
sebab bagiku,
berita yang paling terkini ialah
kabar darimu bahwa kau sedang baik-baik saja

beberapa waktu lalu
kuhabiskan satu setengah jamku di parkiran kampus 

aku tahu kau tak pernah suka puisi
atau sekadar membaca puisi
padahal aku menulis banyak puisi


Surat Ke-19: Kepada Mr. Nob

Dear Mr. Nob,

Dua tahun sebelum aku bertemu denganmu aku bertemu dengan seorang laki-laki. Namanya Dimitri.

Begini ceritanya,
aku yang saat itu berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri sedang rajin-rajinnya ke perpustakaan. Waktu itu pukul dua siang, aku sudah terlambat untuk makan siang. Aku bukan tipe orang yang suka pergi ke perpustakaan bergerumul seperti anak-anak lainnya. Aku suka pergi sendirian. Hingga siang itu aku makan siang sendirian.

Dimitri:
Tumben jam segini belum makan siang?

Nona Pop:
I beg your pardon, kakak bicara sama saya?

Dimitri:
Pergi ke perpustakaan setiap selesai kelas hingga matahari terbenam. Makan siang di kantin Fakultas Sastra duduk di pojok setelah sholat Dzuhur di musholla. Siapa lagi?

Aku hanya pura-pura meneruskan suapan makanku, meski sesungguhnya aku juga tak begitu menikmati rasanya. Aku lebih pada takut. Sebab sejujurnya, aku belum pernah bertemu dengannya.

Dimitri:
Nona Pop, itu namamu, kan? Aku Dimitri, angkatan satu tahun di atasmu. Jurusan Sosiologi, FISIP. Kampus kita sebelahan kan?

Nona Pop:
Nice to see you, but i have to go.

Dimitri:
See you tomorrow, Nona Pop!

Semenjak kenadian itu, Tuan, Dimitri suka sekali tiba-tiba duduk di hadapanku ketika aku sedang membaca di perpustakaan. Jauh dari perkiraanku, dia bukan sekadar playboy yang mencoba menggoda adik kelasnya. Dia salah satu mahasiswa terpandai di fakultasnya.

Mas Dim, begitu aku kemudian memanggilnya, ternyata menyukai banyal hal berbau sastra. Kami banyak ngobrol mengenai paham Marxisme dan Feminisme di Eropa. Dia juga membaca buku buku Pram, Armijn Pane, A.S. Laksana, Dan Brown, bahkan Fedrich Nietsche. Siapa yang tak betah berlama-lama duduk dan mengobrol dengan laki-laki macam dia?
Suatu hari, Mas Dim mengajakku menonton konser. Bukan konser, Gigs lebih tepatnya. Waktu itu belum kukenal Payung Teduh atau pun Silampukau, Mr. Nob. Aku hanya tahu The Upstair, SantaMonica, Mocca, Efek Rumah Kaca, dan Pure Saturday. Mas Dim memberiku kejutan, dia memberiku dua tiket Mocca. Aku tak bisa bilang tidak.
Pukul 7 tepat, kulihat mobilnya sudah berhenti di depan pagar rumahku. Kulihat dia sedang asik berbincang dengan ayahku di teras depan. Baru kali ini kulihat Ayah begitu menerima orang baru dan tidak melarangku pergi dengan laki-laki.

Hampir setahun setelah dia mengajakku berkenalan dengan paksa. Menjemputku setiap Sabtu Malam, membawaku untuk menonton bioskop setelah berbasi-basi dengan ayah sebentar jika beliau ada di rumah, menemaniku ke toko buku, dan seringnya menemaniku makan siang di kantin ketika aku sedang tak bersama kawan-kawanku.

Hingga malam itu, Mr. Nob, aku tak pernah merencanakannya. Semua itu terlontar sendirinya dari mulutku, kalimat yang membuatku setengah menyesal setengah tidak telah mengatakannya.

Nona Pop:
Mas Dim kenapa suka nemenin aku ke toko buku? Ngajakin aku nonton?

Dimitri:
Karena Nona Pop yang ajak Mas Dim ke toko buku dan Mas Dim suka ngajak Nona Pop ke bioskop. Kita punya banyak selera yang sama. Apalagi soal musik, ngga semua orang suka musik swing dan jazz seperti Nona Pop.

Nona Pop:
Bukan karena Mas Dim sayang sama aku?

Dimitri:
Mas Dim sayang sama Nona Pop. Tapi seperti ini sudah bikin Mas Dim bahagia.

Nona Pop:
Seperti ini? Hubungan tanpa status maksudnya?

Dimitri:
Begini, Nona, Mas Dim sangat menyayangimu. Kamu tak perlu bertanya untuk tahu jawabannya. Tapi, aku ngga bisa melakukan hal yang lebih dari sekadar apa yang sudah kita lakukan selama ini. Kamu adik dan sahabat terbaik yang pernah Mas Dim punya.

Semenjak itu, Mr. Nob, aku takut untuk jatuh cinta. Aku tahu aku sedang berada dalam penolakan. Atau aku yang terlalu berharap lebih pada pertemanan kami. Aku tak tahu siapa yang salah di sini, aku atau waktu memang sedang tidak tepat.

Aku dan Mas Dim masih berteman hingga sekarang. Kami masih sesekali bertemu untuk melepas rindu dan membicarakan buku apa yang sedang kami baca. Tapi kami tak pernah pergi ke toko buku bersama lagi, kami tak pernah menonton bioskop lagi, tak lagi menonton gigs, bahkan aku jarang melihatnya di kampus semenjak Mas Dim mulai sibuk dengan skripsinya.

Tak ada satu kisah tentang aku yang tak kuceritakan padamu, Mr. Nob. Sebab sebelum bertemu denganmu, aku ialah perempuan yang sangat hati-hati perihal menjatuhkan hati. Sebelum bertemu denganmu, aku sempat tak percaya diri dan takut untuk mencintai dan membuka hati.
Tapi semua itu sebelum akhirnya aku bertemu denganmu, Mr. Nob.

Jadi, kapan kamu akan melipat jarak agar aku bisa bercerita langsung semuanya kepadamu. Melihat kakimu yang tak bisa diam ketika duduk dan kamu yang gemar menggigit bibir bagian bawahmu?

Salam,
Nona Pop.

Seperti Apa?

Seharusnya, aku tak patut untuk mengeluh. Sayangnya, aku hanya manusia biasa saja. Satu tahun belakangan aku banyak menerima kabar gembira berupa undangan pernikahan. Bagaimana aku tak turut bahagia melihat kawan-kawanku tengah berbahagia. Nyatanya, kabar gembira itu justru meninggalkan kegelisahan di atas kepalaku.

Membingungkan memang dengan kebiasaan sebagian orang di sekitarku yang menerapkan hukum tidak tertulis bahwa perempuan di usia sepertiku saat ini adalah saat-saat ideal untuk menikah, atau setidaknya sedang merencanakan pernikahan.

Aku sempat berpikir, mungkin menyenangkan jika memiliki lengan hangat milikmu sendiri. Tapi bagaimana bisa aku membayangkan jika kepada siapa hatiku terjatuh saja aku tak benar-benar tahu, atau lebih tepatnya aku sedang dalam masa dimana sebuah pertanyaan muncul di atas kepalaku setiap pagi,

"Jadi, cinta itu seperti apa?"

Surat Ke-11: Kepada Mr. Nob

gambar diambil dari sini

Mr. Nob sayang,

Maafkan aku tak ada surat untukmu di hari pertama hingga sepuluh. Sebab aku terlalu sibuk menghitung rinduku. Mr, Nob, Februari yang basah tahun ini singgah di kotaku. Mampirlah sebentar kemari, temani aku menyeduh cerita-cerita di cangkir kopiku yang malang. Malang sebab tak punya kawan bermain dia di atas meja. 

Pulanglah, Tuan. 

Temani aku menghirup kopi dan membaca buku.

Surabaya, 10 Februari 2015

Happy New Year

Balkon tempat Nona Pop berdiri cukup tinggi, setinggi harapan yang pernah diberikan seseorang padanya. Harapan yang tertelan ribuan kilometer yang tak mampu dijangkau kedua lengannya. Jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 23.40, setidaknya masih ada sekitar dua puluh menit untuk menyesali segala apa yang terjadi di tahun ini.

Seorang pelayan mengantarkan dua botol berwarna hijau yang mengembun persis seperti matanya malam itu. Seorang laki-laki duduk bersandar di sebuah kursi rotan, memantikkan api dan menyalakan rokoknya. Satu sesapan.


Ari:
Langit malam ini terlalu indah untuk kau nodai dengan air mata, Miss.

Nona Pop:
Can you see that? Mendung.

Kafe itu terletak di atap sebuah gedung apartemen, tempat yang suatu saat nanti ingin Nona Pop kunjungi dengan seseorang. Di bawah mereka, klakson mobil dibunyikan bersahut-sahutan. Turun ke jalanan pada hari terakhir di kalender adalah ide yang sangat buruk, terutama di kota metropolitan semacam ini.

Kota ini dulu pernah indah, setiap sudutnya gemerlap, setiap jengkalnya indah, sebelum sebuah kenangan merusaknya. 

Rokok Ari sudah habis, minuman Ari tinggal setengahnya, namun Nona Pop belum juga menyentuh miliknya.

Ari:
Happy New Year, Miss. What do you wish?

Nona Pop:
Aku cuma ingin tahu, apa kami baik-baik saja.

Ari:
If he love you, Miss. He will call you, immediately.

Sebuah telepon genggam berdering.

Ari:
Halo, sayang..

Nona Pop mengusap pipinya, hangat. Perempuan itu merapatkan sweeternya. Jalanan mulai basah, beberapa pejalan kaki mencari tempat berteduh. Halo hujan pertama di tahun 2016.