pada sebuah beranda

: didik rahmadi

gerimis sudah satu jam menandai bumi dengan lembabnya sore tadi, aku masih diam di sebuah beranda dengan meja yang dengan tabah menahan beban dua cangkir teh, satu cangkir yang hampir tak tersentuh, sedang cangkir yang lainnya telah tandas. kursi di sebelahku pun telah ditinggalkan olehmu.

lukisan di ruang tamu dengan gambar seorang kakek yang mengajak cucunya mengunjungi sebuah pasar burung -- kesukaanmu, malam ini sedang gemar-gemarnya mencemoohku. satu jam ini dia menjulurkan lidahnya ke arahku.

hujan masih mengetuk-etuk atap rumahku, sedang aku mengutuk diri sendiri.

hujan memadamkan api rindu antara langit dan bumi yang hampir hangus, sedang aku memadamkan apa-apa tentang kita.

hingga langit kehilangan cahayanya, aku tak mampu menemukan buluh sebatang untuk kujadikan layang-layang yang mampu menerbangkan permintaan maafku sampai ke depan kamarmu.

pasca sarjana unair, 2013.

#CUK: Cerita Untuk Kita - 19 Cinta 86 Rasa

#CUK


"Seperti maut. Cinta selalu menjadi peristiwa tak terduga”,
Kutipan milik Firman A. di salah satu halaman buku #CUK membuat saya hening sejenak, hingga kemudian saya tersenyum bahwa bukan hanya cinta atau maut melainkan kotajancuk adalah hal-hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Bermula dari jejaring sosial yang sering kita sebut twitter dan kicauan-kicauan yang terlahir dari pikiran-pikiran tak terduga kawan-kawan, kami jatuh ke dalam satu wadah yang sama, yang akhirnya kami beri nama kotajancuk. Tak pernah direncanakan sebelumnya, kotajancuk lahir dari celetukan-celetukan ringan kami di depan cangkir-cangkir kopi yang mulai tandas isinya, dari gelak tawa yang selalu tercipta ketika kami saling bertatap, dari pelukan yang kami tinggal jejakkan sebelum berpisah. Aku tak pernah percaya tentang konsep belajar mencintai, cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Begitulah yang saya rasakan pada kawan-kawan di sini.

Seperti biasa, celetukan-celetukan itu terlahir lagi di setiap pertemuan dan seperti sebuah keajaiban, buku #CUK atau Cerita Untuk Kita ini lahir melalui tarian jemari kami yang terhubung dengan perasaan dan pemikiran yang tak terduga. Sekali lagi, tak terduga. Cerita Untuk Kita atau yang lebih senang kami menyebutnya dengan buku #CUK yang merupakan antologi puisi ini dilahirkan oleh 19 manusia-manusia hebat pecinta kata yang begitu mengagumi puisi namun berasal dari latar belakang yang semuanya berbeda. Terdapat 86 puisi di dalamnya, yang jika kau membaca satu demi satu kau akan mendapati dirimu semacam menaiki roller coaster di sebuah taman hiburan. Ya, taman hiburan.

Kenapa roller coaster?

Karena kalian akan mendapati perasaan yang beragam ketika sudah terjun ke dalamnya, mungkin awalnya akan ada puisi yang tenang, mengalir begitu saja yang menggambarkan perasaan dan pemikiran penulisnya lalu kamu bisa saja selanjutnya tiba-tiba berdebar semacam roller coaster yang sedang menanjak lalu setelahnya kau bisa teriak lepas penuh emosi seperti sedang menuruni tanjakan dengan kecepatan tinggi dan kemudian tertawa setelahnya. Seperti itu, perasaan kalian akan dipermainkan oleh tulisan-tulisan di dalamnya.


Buku #CUK juga kami persembahkan untuk kota kami tercinta dan lahir tepat di bulan di mana dikenal hari pahlawan. Buku ini bukan akhir dari tujuan kami, melainkan merupakan awal perjalanan kami. Buku #CUK merupakan buku antologi puisi kedua saya setelah Tiga Perayaan yang lahir awal tahun 2013. Hingga akhirnya, melalui buku #Cuk, saya ucapkan, selamat mengembara di semesta kata-kata.


Surabaya, 2013.