Sinta Dalam Keputusasaan.

Ada yang tak kau ketahui tentangku, bahwa perasaan ini masih menyala, masih bara, dan tak pernah tahu apa itu sirna.

Sedang kau dengan gagahnya menyerukan pada semesta, kaulah satu-satunya rama yang paling mengerti sinta seakan lupa bahwa rahwana benar adanya.

Kau tak pernah tahu bahwa aku memainkan sebuah permainan yang tak membutuhkan lawan untuk menang; menunggu kau dengan pendirianmu yang congkak.

Padahal di suatu pagi yang biasa, di tempat biasa kita bertukar cerita, kau menyentuh tengkukku seakan tak ada perempuan yang kau inginkan di alam semesta ini selain aku.

Sesampainya di rumah, aku menulis di halaman pertama buku catatanku yang kosong hampir bertahun-tahun. sebab sukar bagiku menuangkan isi dadaku dalam bentuk kata jika itu kamu.

"Jika suatu hari kau memutuskan untuk pergi, akan kuserahkan ragaku pada rahwana dan bunuh diri di pangkuannya. Sedang jiwaku, akan kubiarkan lesap di dalam dadamu yang kini direbahi perempuan lain"


Surabaya, November 2015.

Dear Mr. Nob,

Pukul berapa di tempatmu sekarang, Tuan? Di sini baru saja terdengar kumandang adzan Isya. Aku baru saja memarkirkan mobilku di garasi, bahkan aku belum juga turun dari mobil untuk menulis surat ini.

Betapa aku sangat merindukanmu, merindukan caramu tertawa juga lesung di pipi kananmu, merindukan caramu membenarkan letak kacamatamu yang suka miring. Oh, harusnya kau membeli sebuah kacamata baru yang lebih bagus, Mr. Nob.

Aku merasa kadang dunia ini terlihat tidak adil buatku, buat kita. Mengapa kita bisa sejauh ini. Aku suka merasa dunia ini menyebalkan saat melihat dua anak muda berpelukan di depanku saat menaiki eskalator. Rasanya ingin meninju kedua wajahnya. Haha. Konyol sekali.

Aku punya cerita untukmu, Sir. Tentu selain sarapanku yang gosong tadi pagi dan kukirimkan gambarnya lewat chat karena kutinggal sebentar untuk memeriksa surel di komputer jinjingku, aku punya kabar yang lebih baik dari itu.

Sore tadi, ketika aku membereskan mejaku untuk kembali merindukanmu setelah seharian berhadapan dengan layar komputer, atasanku memanggilku. Awalnya, kukira dia akan memarahiku habis-habisan karena seorang klien membatalkan kerja sama kemarin dan itu karena aku. Ternyata tidak, laki-laki 40 tahunan yang masih terlihat luar biasa meski sudah memiliki dua jagoan itu malah memberikan kenaikan gaji. Katanya agar aku lebih semangat lagi bekerja. Setelah sedikit mengomeliku mengenai kerja sama yang batal itu, tentunya.

Mr. Nob, kapan terakhir kali kita bertemu? Apakah kau tak ingin sebentar saja pulang untuk menemuiku? Rasanya, memendam rindu terlalu lama tanpa menuntaskannya sama saja dengan bunuh diri. Tapi tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu di sana. Jaga kesehatanmu, Tuan. Hal yang paling menyakitkan adalah mendengar kesehatanmu terganggu. Jangan telat makan dan jangan sesekali meninggalkan sholat.

Sincerely,

Who already missing you
Nona Pop.

Bangun Tidur Kuterus Mandi

Seperti biasa, saya menyikat gigi saya malam ini sebelum akhirnya merangkak ke atas tempat tidur untuk berbagi mengenai apa saja yang telah saya lalui seharian ini kepada Tuan Guling dan Nyonya Bantal. Merasa hidup ini seperti robot yang sudah diatur untuk setiap menitnya harus melakukan apa.

Saya bangun pagi hampir di setiap pukul 04.30, tanpa alarm. Kecuali ayah saya sudah membangunkan saya ketika adzan Subuh sebelum pukul 04.30 iti artinya saya bangun dengan alarm suara dan sentuhan dari ayah saya.

Saya bangun, shalat Subuh, memasak dan menyiapkan sarapan, lalu menonton televisi sebentar tentang bagaimana cara me-rescue anjing peliharan, lalu sarapan sisa orang-orang rumah sarapan, mandi, dan beraktivitas. Begitu terus setidaknya setiap hari Senin hingga Jumat.

Kemudian saya berpikir, apakah saya memang seteratur itu? Ternyata tidak, jika mengenai hati. Tapi iya jika itu mengenai aktivitas sehari-hari. Saya marah jika ada yang tidak menaruh sesuatu pada tempatnya, saya kesal jika melihat kasur berantakan atau tidak rapi, saya tidak nyaman melihat sesuatu tidak dalam susunannya. Hingga sekarang saya kurang paham, ini benar-benar OCD atau tidak. Jika saya marah mengenai masalah-masalah di atas, ibu saya suka berbalik memarahi saya. Terkadang, saya ingin sekali berteriak. Sekarang saya tanya, bagaimana jika kamu sedang berada di posisi tidak nyaman? Bad mood? Marah? Ya, itulah perasaan saya.

Begitu juga malam hari, saya tak bisa naik ke atas tempat tidur sebelum shalat Isya, mencuci muka, dan menggosok gigi. Saya juga tak bisa melanggar rambu, kadang saya pikir bukan karena saya tak mau, tapi karena saya takut.

Mungkin apa yang saya lakukan sehari-hari ini adalah pengaruh dari salah satu lagu waktu saya kanak-kanak. Bunyinya, bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku.

Semacam, saya harus mandi setelah bangun lalu menggosok gigi dan membantu ibu. Begitu setiap hari. Tapi keteraturan itu terkadang menimbulkan rasa takut dari dalam diri saya. Semisal saya diwajibkan pulang ke rumah pukul 9 malam tepat. Apa yang akan terjadi jika saya pulang melebihi pukul  9? Saya memikirkan hal-hal mengerikan. Atau bagaimana jika sehari saja saya tidak menggosok gigi? Apakah gigi saya nanti bolong terus sakit? Atau bagaimana jika saya melanggar rambu-rambu lalu lintas di depan saya? Jangan-jangan di depan ada polisi sedang sembunyi yang siap menilang dan memarahi saya dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.

Malam ini, saya menyudahi kegiatan menggosok gigi saya lalu menggumam dalam hati, "Mungkin ini waktunya saya untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu".

Surabaya, November 2015

Cerita Sahabat

Menyempatkan diri merenung di pagi hari di hadapan secangkir teh hangat tanpa gula. Sebenarnya siapa yang paling banyak memberi warna di hidup kita. Selain keluarga kandung, tentunya. Aku tak akan bercerita tentang keluargaku, sebab bercerita tentang mereka tak akan pernah habis bahkan dalam sepuluh judul buku.

Ini tentang sahabat dan siapa saja di sekeliling kita, yang sedikit banyak memengaruhi emosimu. Aku punya banyak sekali sahabat, tak akan cukup dihitung oleh jari di kedua tanganku ditambah tanganmu.

Aku punya sahabat-sahabat sejak SMP, SMA, juga ketika mengambil studi sarjana di salah satu universitas negeri yang sampai sekarang masih keep in touch dan akan begini seterusnya. Aku punya sahabat dari komunitas paling keren di Surabaya, dan banyak perkumpulan lainnya.

Aku punya seorang sahabat yang kami bisa membicarakan apa saja berjam-jam tanpa bosan, mulai dari hal-hal yang ringan sampai yang lebih berbobot macam politik. Kami punya pandangan yang sama sekali jauh berbeda mengenai politik tapi kami bisa punya selera film yang sama atau kami bisa berdebat dengan hebat mengenai hal-hal sepele lalu diakhiri tertawa terbahak bersama-sama.

Selain seorang sahabat, dia bisa jadi penghibur, pendengar yang baik, penasehat kesehatan, bahkan supir yang baik. Haha, yang terakhir maafkan, aku kadang bisa sedikit manja. Kami punya intensitas waktu bertemu yang cukup sering namun hampir tak pernah melakukan chat secara online. Kami menghabiskan waktu dengan menonton film dan membahagiakan perut. Bahkan kami bisa saling curhat tentang masalah masing-masing. Seorang penulis bilang, bahwa jika ada yang menceritakan masalah terberatnya kepadamu, itu artinya dia sangat percaya padamu dan kamu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

Mengapa aku menulis tentang dia? Sebab aku baru saja mendapat kabar baik darinya, beberapa hari yang lalu. Penelitiannya mendapat acc dari dosen pembimbing. Satu langkah lagi buatnya mendapat gelar sarjana. Sebagai sahabat aku turut berbahagia. Doaku, semoga segalanya selalu dilancarkan oleh Tuhan hingga dia memakai TOGA, nanti.

Bisa kudapat aamiin?

Surabaya, November 2015.

Saya terbangun pukul tiga tepat dini hari, kepala saya penuh dengan hal-hal entah dan segera ingin dimuntahkan. Mencoba mengajak langit-langit kamar mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk kembali memejam. Sebab tak ada yang lebih bijak dari mereka, mereka pendengar yang baik.

Saya ingin sekali bisa membaca isi kepalamu sekali saja agar tak lagi bingung mengambil keputusan, lalu menyesal. Sayangnya, bahkan membaca isi kepala saya sendiri saja saya tak pernah bisa, bagaimana membaca milik orang lain?

Ada dua pilihan yang membuat bimbang, membuat langkah kaki saya suka tiba-tiba terhenti, dan membuat saya lupa mengaduk minuman saya; haruskan saya tetap tinggal atau pergi saja?

Tapi mengapa saya harus pergi jika bisa tetap tinggal?

Saya mencintaimu lebih dari yang pernah kaubayangkan. Hanya saja, saya terkadang malu untuk mengakuinya bahkan kepada diri saya sendiri. Lalu saya teringat kata-kata dosen saya suatu hari, "satu hal yang sukar kamu lakukan itu hanya satu, berdamai pada dirimu sendiri."

Saya bukan puteri dan kamu bukan ksatria, bahkan tak ada bintang jatuh di antara kita. Tapi di mataku, kamu ialah ksatria. Saya mencintaimu bukan karena suatu hari kamu bisa mengabulkan semua impian-impian saya yang mustahil. Terkadang cinta terlalu rumit untuk diungkapkan. Namun belasan tahun rasanya membuat saya cukup paham dan yakin bahwa saya mencintaimu.

Jika kamu membaca tulisan ini, setidaknya kirimi saya sebuah pesan, katakan apa yang harus saya lakukan, sebab saya tak bisa membaca isi kepalamu.

Sampai Kita Sama-sama Memaafkan Diri Sendiri dan Masa Lalu

“Aku kebelet pipis. Mampir situ bentar, yak!”seruku.

Laki-laki di sampingku menghentikan mobilnya agak jauh. Entah kenapa, dia gemar sekali parkir agak jauh dari tempat tujuan, dia gemarmeletakkan batu untuk mengganjal roda belakang mobilnya. Aku kira, dia tak pernah tahu fungsi hand rem di mobilnya.

“Aku ikut turun deh, ikut kamu pipis.”

“Dasar followers!”ejekku lalu meninggalkannya yang masih melepas seat belt-nya.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam minimarket yang disulap sekalian jadi tempat nongkrong itu. Cuaca sedikit mendung, mungkin ini balasan dari cuaca yang panas beberapa hari belakangan kemarin.

“Hujan, nih.”ujarnya ketika aku menghampirinya yang sedang menyesap rokoknya di salah satu sudut kursi yang sedang kosong.

“Yah, lu sih markirin mobilnya jauh banget. Mana deres banget ujannya.”

Ngiyup sini ajalah, sekalian ngopi.”

“Sekalian ngerokok?”

“Ayolah.”

“Gua engga suka liat lu ngerokok depan gua.”

“Yaudah bentar, sebatang aja ini.”

“Gua ke dalam bentar, deh. Beli kopi."

Hujan selalu mengingatkan pada kenangan, katanya. Entah siapa yang memulai membangun mind set seperti itu. Tapi bagiku, hujan itu semacam rindu yang berhasil ditumpahkan, tak lebih. Aku sudah lama mengenal anak laki-laki yang sedang asyik dengan rokoknya itu. Pertemuannya pun sungguh aneh. Di pantai kuta dua tahun lalu, aku sedang berlibur dengan pacarku waktu itu, dan dia sedang berlibur dengan teman-temannya.

“Nunggu sunset juga?”tanyanya waktu itu.

“Maaf?”

“Nunggu sunset juga?”tanyanya lagi sambil mengamati wajahku. Aku mengangguk. “Perempuan secantik kamu, nungguin sunset sendirian?”

“Maaf sayang, biasa mama.”seseorang menghampiriku. Laki-laki itu terdiam lalu memalingkan wajahnya ke arah laut. Aku berjalan menjauhinya, menggamit tangan laki-laki yang memanggilku sayang.

***

“Selain menunggu sunset sendirian, seorang perempuan seperti kamu juga suka pergi ke coffee shop sendirian?”tanya seseorang tiba-tiba sambil duduk kursi di hadapanku.

“Kamu?”

“Namaku Rio. Waktu itu kita belum sempat berkenalan. Mana pacarmu?”

“Aku May.”jawabku sambil membalas uluran tangannya, “Dia sudah pergi jauh.”

Lalu kami mulai memutuskan untuk mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.

         ***

Hujan tak juga reda, meskipun hari ini agenda kami hanya menonton film di bioskop tapi lama-lama sebal juga dengan kebiasannya memarkiran mobil jauh dari tempat tujuan. Aku menyesap kopiku, pahit. Rupanya aku lupa menuangkan gula tadi.

“Mau hujan-hujan?”

“Males.”

“Engga usah manja, deh. Takut basah? Masa kalah sama Sony Xperia?"

"Ah elah. Bandinginnya sama henpon deh. "

“Kalau gitu ayo hujan-hujan!”

“Tapi...”

“Udah.. ayoo...”laki-laki itu menyeret tanganku lalu berlari ke arah dia memarkirkan mobilnya. Membukakan pintunya untukku, oke, ini hal yang tidak biasa.

“Sampai kapan kita seperti ini?”

“Sampai kita sama-sama memaafkan diri sendiri dan masa lalu.”ujarnya sambil mencium bibirku. Hangat.

Tertipu?

Aku memainkan benda kotak berwarna putih di tangan kananku. Mataku tak behenti memperhatikan jam dinding berwarna putih susu di atas gerobak gado-gado di kantin kantor. Beberapa kendaraan di parkiran yang tak jauh dari kantin satu persatu mulai meninggalkan tempatnya. Kecuali sebuah Honda Brio yang selalu diparkir di samping pohon asam dekat parkiran. 

Kantor Akuntan Publik ini berada di sebuah gedung yang tak begitu besar. Selain kantor kami, juga ada beberapa kantor lain seperti kantor finance, bank dan entah aku tak hapal semuanya. Letaknya pun berada di jantung kota Surabaya yang ramai. Dimana pukul tujuh pagi keadaannya tak jauh berbeda dengan isi kepalaku. Riuh. 

Namanya Jo, itu yang tak sengaja kudengar ketika makan siang beberapa hari yang lalu saat seorang kawannya memanggil namanya. Sudah beberapa hari ini kucuri pandang ke arahnya yang suka sekali memesan mi ayam, terkadang soto ayam dan segelas jus sirsak. Selalu. Bagaimana bisa perhatianku tersita sama seseorang yang bahkan aku tak tahu siapa nama lengkapnya, warna matanya dan parfum apa yang dia pakai.

"Sebentar lagi hujan. Tak pulang?"sapanya sambil memasukku bungkus rokoknya ke dalam saku celana bahannya sebelah kiri, karena aku tahu di saku sebelah kanan biasa dia letakkan iPhone-nya.

"Nunggu jemputan?"

Aku mengangguk. Jarak kami memang jauh, kami harus melewati satu meja makan. Aku sedang malas berteriak maka hanya kuisyaratkan sebuah anggukan.

"Nunggu pacar?"

"Kakak."

"Sebentar lagi gelap, kantin juga sudah tutup. Lebih baik menunggu di lobi."

Aku tak bisa merokok kalau sedang di lobi, batinku. 

"Merokok?"tanyanya. 

Aku mengangguk. lagi.

"Baiklah. Aku duluan, ya. Kamu hati-hati."

Laki-laki itu beranjak pergi dari tempatnya. Mukanya samar terlihat agak sedikit lelah, tak sesegar tadi pagi waktu kulihat dia turun dari mobilnya sesaat setelah turun dari mobil Mbak Tanti di depan lobi.

Langit Surabaya akhir-akhir ini begitu sendu semenjak pergantian tahun lima hari yang lalu. Pagi hari, matahari memilih untuk terlelap lebih lama dari biasanya. Langit seperti menangis. Sedikit, biar kubagi beberapa peristiwa penting yang terjadi di tahun kemarin.

Awal tahun kemarin, tepatnya minggu terakhir Januari, aku dihadapkan oleh empat orang penguji skripsi. Satu langkah lagi menuju sukses, begitu batinku saat itu. Kulihat dosen pembimbingku tersenyum manis sesaat setelah aku masuk ke dalam ruangan, di luar beberapa kawan menanti dengan hara-harap cemas. Ujian berjalan begitu lancar, dosen pun tak begitu banyak memberiku pertanyaan yang aneh atas penelitianku. Dua jam kemudian, kampus ini memberiku gelar Sarjana Akuntansi. Aku berlutut, bersujud pada Illahi.

Pertengahan Maret, yang kuingat itu masih pukul tujuh malam. Aku mencoba sebuah kebaya berwarna merah jambu cantik untuk dikenakan besok pagi. Pukul lima besok Tante Gina, perias yang merupakan kawan Ibu semasa remaja itu berjanji akan datang ke rumah untuk menyulapku menjadi seorang putri sehari. Tuhan, begini rasanya wisuda. Ada genangan air yang tak mampu dibendung sudut mataku, sesaat setelah acara sesi foto bersama keluarga selesai.

Akhir Agustus, putus setelah menjalani hubungan hampir satu tahun. Putusnya lucu, aku memergoki dia sedang berpegangan tangan mesra di sebuah rumah makan di suatu malam. Setahu saya, saya sudah memberitahu dia bahwa saya akan makan di rumah makan itu bersama kawan-kawan semasa SMA. Entahlah, ceritanya FTV sekali. Bahkan dia lebih membela selingkuhannya ketimbang saya. Mungkin, dia memang ingin meninggalkan saya. Namun, caranya buruk sekali. 

Awal September, saya mulai bekerja di kantor ini. Masuk pukul delapan pagi dan pulang pukul lima sore. Begitu seterusnya. Itulah, mengapa kubilang tahun kemarin tak begitu wah seperti tahun sebelum-sebelumnya, tak banyak cerita menarik. Akhirnya, kugantungkan semua harapanku pada tahun baru ini.

Sudah pukul enam tepat, terpaksa aku menumpang sholat di lantai dua. Lantai tiga tempat kantorku berada terlalu seram untuk kudatangi. Kantor finance di lantai dua memang masih agak ramai, di sinilah, tempat Jo bekerja. Dia eksekutif muda yang sudah dua tahun bergelut di bidangnya. Jangan tanya mengapa aku tahu semuanya, ikuti saja ceritaku sampai selesai.

Blackberry-ku bergetar, ada pesan singkat. Mbak Tanti.

Dek, mbak harus lembur. Kamu naiklah taksi. Nanti Mbak ganti uangnya jangan khawatir.

Gontai, kumasukkan ponselku ke dalam tas. Kupikir daripada aku pulang tak ada orang di kontrakan, lebih baik jalan-jalan sebentar. Ke sebuah taman yang tak jauh dari kantor. Biasanya hari Jumat begini ramai sekali. Benar saja, di salah satu sudut beberapa remaja yang kutaksir umurnya kisaran SMP hingga SMA sedang asik bermainskateboard. Pengamen jalanan tak luput beraksi menjajakan suaranya. Beberapa perempuan paruhbaya menenteng termos dengan beberapa rentang kopi di sampingnya.

"Kopi, Neng?"

"Satu ya, Bu. Jangan panas-panas."

Tak lama, sebuah gelas plastik berisi kopi hitam beralih di tanganku.

"Katanya tadi pulang nunggu kakak?"seseorang mengagetkanku. Tangannya sibuk menyulut api di ujung rokoknya.

"Kakakku lembur."

"Bu, saya juga kopi satu, ya. Jangan panas-panas."

Aku terdiam, entah ini suatu kebetulan atau apa bisa bertemu dengannya di sini. Jarak kami tak lebih dari satu depa.

"Waduh, Nak. Engga ada kembaliannya."ujar ibu itu. Mukakanya kebingungan. Pria bodoh, membeli kopi dengan uang seratus ribu. Dipikir ini kafe.

"Pake uangku saja."

"Engga usah."bisiknya, "Engga apa-apa, Bu. Ambil saja kembaliannya buat biaya anak sekolah."

Perempuan paruh baya itu menyalami kami, mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan kami dengan muka sumringah. Mungkin pulang lalu tidur di samping anaknya dengan nyenyak hingga pagi. 

"Kamu Astrid, kan?"tanyanya. "Junior Auditor di kantor atas?"

Aku mengangguk.

"Tahu dari mana?"

"Tak ada orang yang tak tahu siapa kamu di gedung itu."

Laki-laki ini maunya apa?

"Lain kali, ngopi, yuk! Tapi tidak di tempat seperti ini."

Kami pun larut dalam obrolan ringan.

"Ada pin bb?"tanyanya.

Aku mengangguk.

"Handphone-ku mati. Catat deh pinku."

Aku mengeluarkan blackberry-ku dari dalam tas. Sebuah pesan pendek dari Mbak Tanti yang mencariku dan menyuruhku segera pulang. Setelah mencatata nomornya, aku pun berpamitan pulang.

***

Betapa kasur adalah tempat terbaik di dunia setelah seharian bekerja. Aku meraihblackberry-ku yang sedang mengisi daya di samping kasurku. Kubuka recent updates, Jonathan Wijaya is now contact. Jonathan Wijaya changed display picture.

Sebuah foto keluarga kecil bahagia, dia dan seorang perempuan ayu di sampingnya yang sedang menggendong seorang bayi mungil. 

Tertipu?

Ah, tidak. Kami belum sejauh itu.

Namanya, Jonathan.

Parfumnya Bvlgari.

dan

warna matanya

cokelat muda.