Penggalan

1/ 
dipertemukan

seingat saya, bumi waktu itu berwarna jeruk
dengan aroma selai apel favorit
di tanahnya ditumbuhi bunga-bunga tulip
warnanya merah maroon

hanya itu yang saya ingat
pertama kali membaca nama dadamu siang itu
gambaran sempurna seorang anak laki-laki remaja
dengan nama yang jarang sekali kudengar

bercengkeramalah kamu dengan penjaga kantin
sedang aku,
bercengkerama dengan kepalaku sendiri
aku jatuh cinta, ayah
pada laki-laki di sampingku


2/
dipisahkan

anak tangga itu jadi saksi
air mata yang merayap diam-diam
setelah ucapan sampai bertemu lagi
semenjak itu aku tahu,
perpisahan itu sungguh seram

3/
perjalanan

kalau semesta mengizinkan
saya ingin membungkusmu pulang
menyuruhmu tetap tinggal

saya sering meneriakkan
namamu keras-keras
namun tak seorang pun mendengar

pertemuan kita hanya singkat
sesingkat langit jeruk di tiap sore
lalu saya kembali menangisi perpisahan

4/
menunggu

saya merindukanmu sedikit kemarin malam
menjelang hari ulang tahunku
saya mendapati isi dadaku terurai di lantai
membentuk sebuah nama
namamu

saya mengenangmu tadi pagi
dengan merayakannya pada secangkir kopi 
yang tak lalu kusentuh hingga dingin

kemarin kau datang berwujud virtual
mengecup pipiku secara virtual
memberi harapan
yang saya harap
bukan juga virtual

surabaya, 2014.
Mari terus merajut mimpi dan menyusun strategi untuk meraihnya.

Melawan Ketakutan di Usia Baru

Hampir dua tahun saya tak berani melawan ketakutan sendiri hingga akhirnya saya sadar saya masih berjalan di tempat yang sama namun sahabat-sahabat saya sudah berada di depan bahkan jauh di depan saya. Malam tadi sebelum memejam usai melafazkan doa, ada benda hangat di sudut mata. Saya menangis, tanpa suara. Bulan ini saya akan meninggalkan usia 22 tahun, lalu saya bertanya di dalam hati, 22 tahun, sudah ngapain saja? Saya menangis kembali.

Saya pernah melawan ketakutan saya dulu ketika ada laki-laki yang mematahkan hati dan menghancurleburkan dada saya. Sudah lama sekali, namun masih tetap membekas. Saya takut hidup saya tak sama lagi, saya takut tak menjadi diri saya lagi jika saya harus merelakannya pergi. Namun ternyata saya salah, setelah memutuskan pergi segalanya berubah jauh lebih baik. Berat badan saya naik, saya lebih sering tersenyum, dan segalanya terlihat lebih terang. 

Iya, saya harus melawan ketakutan saya sekali lagi.

Akhir bulan nanti, usia saya genap 23 tahun.

Mimpi?

Mimpi saya usia 23 tahun saya sudah bergelar Sarjana Akuntansi setelah perjuangan lima tahun dengan beberapa ketakutan yang tak berani saya lawan dan mulai hari ini saya akan melawannya. 23 tahun saya ingin mendapatkan pekerjaan dan berhenti meminta dari orang tua, 23 tahun saya ingin menjadi kakak yang baik untuk ketiga adik saya minimal bisa membantu memberi mereka uang jajan, 23 tahun saya ingin mengakui bahwa saya mencintai seseorang tapi nanti setelah umur saya 23 tahun dan resmi menjadi sarjana dan kalian boleh menagih saya. 23 tahun, saya ingin lebih serius terhadap masa depan. 23 tahun, saya ingin menjadi orang yang lebih baik lagi dari hari ke hari.

Selamat datang bulan September. Baik-baiklah.

Akhir Pekan Vs. Hari Kerja

Saya termasuk orang yang mainstream, mengapa begitu? Sebab saya salah satu orang di dunia ini yang sangat bersemangat menyambut akhir pekan. Penyebabnya selain di akhir pekan seluruh anggota keluarga berada di rumah dan tak ada yang di luar kota, saya juga selalu punya akhir pekan yang menyenangkan bersama kawan-kawan saya. Tak mudah memang membagi waktu antara keluaga dan sahabat di akhir pekan. Terlebih dalam kondisi kami semua sekarang tengah sibuk dengan urusan sekolah dan pekerjaan masing-masing.

Akhir pekan saya tak pernah lesu, meski bisa dibilang jodoh saya berada di tempat yang berjarak ratusan kilometer dari saya berdiri hari ini. Saya punya Ayah dan Ibu yang suka mengajak saya dan ketiga adik saya hangout. Entah itu sekadar jalan ke mall lalu makan di tempat yang istimewa atau menghabiskannya dengan masak kue bersama di rumah atau paling sederhana menonton televisi di ruang tengah bersama dengan cemilan yang melimpah hingga larut malam sambil mengobrol ngalur ngidul

Begitu juga dengan kawan-kawan saya, kami selalu punya akhir pekan yang tak kalah seru. Terkadang akhir pekan kami bernilai nol rupiah atau terkadang merogoh dompet agak dalam. Mulai dari berolahraga rutin setiap pagi di akhir pekan bersama atau sekadar sarapan bersama. Menghabiskan hari di sebuah kedai kopi di depan bercangkir-cangkir kopi dan cemilan atau hanya sekadar berkumpul di teras rumah. Akhir pekan kami lalu pun sempat dihabiskan dengan berenang dan membuat es krim. Tak ada yang tak menyenangkan jika semuanya didasari dengan cinta.

Betapa bahagia saya dikelilingi keluaga yang menyenangkan juga sahabat yang ngangenin. 

Namun, saya adalah orang yang tidak terlalu mainstream mainstream sekali. Saya bahkan keluarga dan kawan-kawan saya tak pernah membenci hari Senin seperti kebanyakan orang yang mulai mengeluh nyaris seperti sapi di Minggu Malam karena segera bertemu Senin. Bukankah kita semua punya cita-cita yang butuh digapai? Di hari Senin hingga Jumat lah saatnya menggapai mimpi, mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bukankah kita juga butuh hidup yang layak? Dengan catatan tidak melupakan kebahagiaan yang hakiki. Yaitu menikmati hidup dan berkumpul bersama orang-orang terkasih di akhir pekan.

Jadi, bagaimana dengan kamu? Apakah kamu pembenci hari Senin? :)

Surabaya, di penghujung hari Senin di kala senja.

Beberapa Suka Lupa Bagaimana Cara Berinstropeksi Diri

Beberapa orang disibukkan dengan menyalahkan diri sendiri, namun sisanya lebih sibuk menyalahkan orang lain atas segala yang tengah dideritanya. Ada kalanya, kita tak perlu terburu-buru menyimpulkan sesuatu terlebih jika segalanya hanya menyulut emosi. Coba sejenak duduklah sambil menggenggam cangkir tehmu yang masih hangat. Tarik napas dalam-dalam lalu hembuskan lewat mulut, lakukan hal yang sama sebanyak tiga kali. Kita perlu menenangkan isi kepala dulu sebelum menyimpulkan sesuatu.

Beberapa orang memang terkesan bahwa berkat merekalah sekarang dia terpuruk, jatuh, dan tersungkur. Tidakkah pernah kita mencoba untuk sejenak berinstropeksi diri. Bukankah ada pepatah yang bilang bahwa apa yang kita tuai hari ini adalah hasil dari apa yang pernah kita tanam dulu. Ya, kira-kira seperti itu bunyinya. Percayalah, perjalanan hidup menuju puncak tak akan selalu mulus. Akan selalu kita temui jalan berbatu yang terjal atau bahkan jalan yang licin di beberapa kesempatan. Tapi jangan salahkan mereka jika bertemu.

Begini, aku pernah disakiti seorang laki-laki, mungkin juga dengan kamu. Tapi coba kita duduk sejenak, apakah dia bosan? Atau ada orang ketiga? Mengapa dia bosan? Mengapa tiba-tiba ada orang ketiga yang punya potensi untuk disalahakan? Mungkin sebagian dari kita lupa bahwa dulu, jauh sebelum kita bertemu dengan laki-laki itu, kita pernah bertemu dengan laki-laki lain dan tanpa sadar kita pernah menyakitinya. Kawan, karma itu eksis. Karma itu ada. Karma itu akan selalu ada. Berhentilah meneriakkan bahwa orang lain adalah penyebab jatuhnya kau, terkadang, semua itu hanya balasan karena apa yang pernah kita lakukan dulu.

Beberapa suka lupa bagaimana cara berinstropeksi diri, begitu juga dengan saya. Maka jika dadamu terasa sakit, duduklah sejenak, pegang cangkir tehmu yang masih hangat, tarik napas dalam-dalam sambil memejam, lalu hembuskan.

Meja Kerja, 5 menit sebelum pulang.