mendengar dan didengarkan

Malam ini tiba-tiba aku merasa melankoli, padahal aku bukan. Bahkan alisku seringnya membentuk huruf V beberapa waktu belakangan ini. Aku merasa begitu bosan dengan manusia sekitar. Hampir semuanya senang sekali berlindung di balik topeng, topeng dengan lukisan yang bahkan tak sedikitpun menggambarkan diri mereka. Aku kehabisan akal, apa aku harus berpura-pura menjadi seseorang yang entah agar mendapati tangan terbuka dalam kehidupan ini? Aku frustasi dibuatnya. Esok adalah pekan ujian akhir semester. Ujian akhir semester yang ke-delapan kalinya selama aku mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan ini. Harusnya aku bersyukur, harusnya aku tertawa bukan merasa pundung tak tentu seperti sekarang. Begitulah, jika apa yang kau lakukan berlandaskan paksaan dengan alasan membahagiakan seseorang pun. Aku tak menyalahkan siapa-siapa akan ketersesatanku ini, aku terlalu jauh untuk putar balik hanya demi merengkuh masa lalu yang takseharusnya ditoleh. Tapi aku pun tak punya kuasa untuk melangkahkan kakiku ke depan, itu kurasa. Tapi aku percaya, bahwa ada yang lebih terang dari benda bulat ciptaan Thomas Alfa Edison, ada yang lebih hangat dari mentari pukul tujuh. Kuberi nama itu, harapan. Percayalah, kawan, harapan itu bukan sekadar omong kosong seperti ucapan petinggi-petinggi di negara ini akan sebuah janji.

Hari ini, aku sengaja tak melangkahkan kakiku barang selangkah dari rumah, aku sengaja tak ingin menemui matahari. Entah kenapa matahari hanya membuatku rindu, rindu akan sebuah hal yang disebut pertemanan. Memiliki keluarga yang serba berkecukupan juga bahagia sekalipun tetap jiwa-jiwa kita akan merasa kosong jika tanpa kau miliki apa yang disebut persahabatan. Mereka yang setidaknya mau mendengar tak hanya kabar bahagia, namun juga perasaan melankoli seperti yang sedang dadaku getarkan malam ini. Sebenarnya, kawan, kita tak perlu memberi solusi akan masalah yang dikeluhkan sahabat kita, dengarkanlah, itu sudah lebih dari cukup buat mereka. Karena, menjadi pendengar yang baik itu lebih susah dibandingkan kau merakit sebuah pesawat terbang. Sialnya, kebanyakan kita ingin didengar dan enggan mendengarkan.

Surabaya, 2013

cermin

Aku menatap cermin berukuran sedang yang mampu menampakkan sekujur tubuh perempuan mungil di depanku. Rambutnya lurus tak lurus, keriting tak keriting, jarang disisir dan tak beraturan. Ada kacamata yang agak sedikit mengembun termangu di atas hidungnya yang sama sekali tak bisa disebut mancung. Matanya sayu dengan kantung mata yang cukup dimasukin belanja rumah tangga selama sebulan. Ada pop up di atas kepalanya yang menunjukkan indikasi hatinya. Hatinya sedang kosong dan semangatnya tinggal satu per-empat dari seratus. 

Sesungguhnya tak ada yang salah dari perempuan di dalam cermin yang sedang kupandang hari itu, tak ada yang aneh, semua normal seperti perempuan pada lainnya. Tapi yang aku tangkap, di sudah lupa apa itu cinta. 

fenomena ibu-ibu muda

Jadi, semalem aku periksa di sebuah klinik. Anggap aja check up sesuatu yang tak bisa aku share di sini. Sejak kecil, emang tubuhku ringkih tapi tenang aku kuat kok (lah piye ringkih apa kuat? :/). Ceritanya, di klinik ini juga ada praktek dokter spesialis anak. Sudah bisa ditebak dong yang periksa siapa? Anak-anak yang sebagian besar masih batita, masih bayi. Di sini mama cerita kalau aku dulu sering banget harus ke dokter spesialis anak. Kalau nggak ke spesialis nggak bisa sembuh, dan aku sedih, aku bukan anak-anak lagi. Umurku sudah kepala dua. Tapi, dengan tubuh semungil ini tak pernah ada yang percaya bahwa sebentar lagi aku sudah seorang serjana, bukan anak smp atau sma yang mereka kira. Itulah, don't judge the book from it's cover. Ungkapan lama, tapi tak selalu berlaku. 

Aku menunggu giliran periksa dan duduk di sebelah seorang ibu ibu yang kutaksir umurnya tak lebih dari 40. Mungkin 35'an lah sedang menggendong seorang bayi perempuan yang tertidur pulas. Bayinya cantik sekali, aku harus nahan-nahan nggak megang baby girl'nya nih, dan itu susaaaah banget buat aku yang gampang gemesh sama sesuatu yang lucu. Tapi, tangan si ibu tak henti memainkan blekberinya. Entah itu membalas bbm atau sekadar mengecek recent updates. Hehehe, sepertinya nggak jauh beda kelakuannya sama kita, ya?

Di sebelah kanan saya ada seorang ibu ibu muda juga mungkin umurnya nggak lebih dari 30 tahun, masih muda. Anaknya sekitar berumur 4tahun dengan pipi yang chubby dan cerewet yang sedang rewel karena demam. Tapi si ibu malah maenin blekberinya, sedangkan si anak ngomel ngalur ngidul. Lalu aku berpikir, buat kita khususnya aku yang bisa dikatakan ke mana-mana tak bisa lepas dengan gadget apakah ketika punya anak nanti juga bakal tetap memelihara kebiasaan ini atau gimana?

Tak lama kemudian, ada seorang perempuan dan laki-laki yang rupa-rupanya masih seperti manten anyar membawa bayi yang masih merah berumur sekitar dua minggu. Betek banget lihat emaknya, nggendong bayi merah tapi rambutnya menjuntai panjang warna merah ribet kadang gitu kena baby'nya. Pengen aku tarik terus aku potong pendek. Lha mbok ya dikuncir rapi gitu biar kesannya nggak ribet. :/

Itulah aku, hobby banget mengamati sekitar terus komen ini itu kebanyakana nyinyir. Eh, jangan ditiru ya? Hehehe. Tapi siapa sih yang nggak pengen nikah muda? Aku yakin kalian yang lagi baca ini juga pengen nikah muda tapi belum punya patjar? Pffftttt.. Samaan deh. :""'

Yaa, kita nggak boleh galau nikah dulu lah sebelum berumur 23 tahun dalam posisi belum punya patjar. Untungnya aku masih umur belasan. Fyuh. *digetok*

Rencana jangka pendekku adalah segera wisuda, rencana jangka panjangnya adalah jadi mamah-mamah muda. Sekian dan terima ciyum.

Surabaya, 2013.

kami hanya teman, tak lebih. jadi, tak perlu berharap banyak

"Terima kasih, Pak."ujarku seraya menyerahkan selembar uang rupiah berwarna merah kepada supir taksi di depanku.
"Bentar, Mbak. Kembalinya."
"Buat bapak aja, buat ngopi ngopi. Hehehe."
"Terima kasih, Mbak. Semoga sukses di perantauan!"serunya. Aku tersenyum lalu turun dari dalam taksi. Bapak supir taksi itu membantuku mengeluarkan dua buah koper berukuran sedang dari bagasi belakang mobilnya. Tersenyum lalu berkata, "Hati-hati di jalan, Mbak."
"Matur nuwun, Pak."

Aku melangkahkan kakiku gontai menuju bagian pemberangkatan, aku diterima bekerja di Jakarta setelah dua bulan menganggur semenjak bapak Rektor di universitas tempatku menuntut ilmu memindahkan tali di topi togaku tanda aku sudah layak disebut sarjana. Memang, aku bukan mahasiswa yang pintar, bahkan aku harus rela terlambat satu semester dari target 3,5 tahun yang aku rencanakan di awal aku menjadi mahasiswa, jabatan siswa paling tinggi di negara ini.

Aku kembali memeriksa tiket dan beberapa  berkas yang diperlukan di dalam tasku, semuanya lengkap. Kalau bukan bantuan mama aku tak akan bisa serapih ini. Sayangnya, tadi pagi-pagi sekali mama dan papa sudah lebih dulu berangkat ke bandara ini. Mereka ada urusan di luar kota. 

Benda kecil bulat berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul setengah enam pagi, terlalu pagi untuk merindukan seseorang namun sepagi ini bandara Internasional Juanda sudah lumayan gaduh. Suara berisik roda koper yang diseret pemiliknya, tas-tas besar yang dijinjing, beberapa peluk perpisahan, juga tawa dari sebuah pertemuan yang mengandung rindu semuanya tumpah ruah di sini. 

"Besok aku berangkat."
"Ke mana?"
"Jakarta, aku keterima kerja di sana."
"Oh, hati-hati di kota orang."

Percakapan singkat di sebauh kedai kopi yang tak jauh dari kampus seakan dibisikkan di telingaku. Aku memandangi ponsel kotak berwarna putih itu tak ada tanda-tanda sebuah pesan masuk atau telepon masuk ucapan perpisahan dari laki-laki itu. Petugas sudah memanggil nomor keberangkatanku, aku melangkahkan kaki sambil menyeret dua koper berwarna biru donker sambil sesekali menoleh ke belakang. Nihil. Aku positif tidak mendapatkan ucapan selamat tinggal.

Tulisan ini kutulis di atas kardus kue yang disiapkan pihak jasa penerbangan ketika pramugari sedang menjelaskan cara memakai benda oranye seperti rompi. Semacam cerpen atau lebih pantas disebut curhatan di buku diary, tak ada nama tokoh di dalamnya bahkan kalian pun tak tahu siapa namaku, bukan? Sebentar, aku sedang memikirkan apa judul yang pas buat tulisan singkat yang telah kubuat di atas. Oh, aku sudah menemukannya, Kami Hanya Teman, Tak Lebih. Jadi, Tak Perlu Berharap Banyak.

Surabaya, 2013.

hukum boyle

"Maaf, ini pulpenmu? Tadi terjatuh saat kamu berdiri di rak itu."tegur seseorang, tangan kanannya menyerahkan sebuah pulpen sedangkan tangan kirinya menunjuk sebuah rak bertuliskan "ekonomi".
"Eh, iya. Terima kasih."
"Kembali."ujarnya, lalu duduk di meja di hadapanku.

Aku membuka komputer jinjing kecilku lalu menekan tombol power, sembari menunggu benda berwarna putih di depanku ini menyala aku membuka salah satu dari setumpuk buku yang sengaja kuambil dari rak yang ditunjuk anak laki-laki di hadapanku tadi. Ini semua demi thesis, batinku sambil memasang mimik wajah seakan-akan siap melahap berpiring-piring makanan lezat di depanku. Aku tak tahu persis apa yang dipikirkan anak laki-laki itu namun dia tertawa geli melihatku.

"Fakultas apa?"tanyanya padaku sambil tersenyum. Oke, dia punya lesung pipi yang membuat dia terlihat begitu manis ketika tersenyum.
"Ekonomi."
"Wah calon menteri ekonomi."
"Aku nggak tertarik ngurusin pemerintah."
"Kenapa? Negara ini membutuhkan orang-orang pintar seperti kamu."
"Tau dari mana aku pintar?"
"Kacamata."
"Lah, emang semua yang pake kacamata pintar?"
"Semua orang yang melihat kamu pertama kali pasti punya kesan kamu pintar."
"Lebay ah, aku biasa aja."
"Seperti hukum boyle satu, cewek pintar nggak bakal mengakui dirinya pintar."
"Hukum boyle setahuku ngobrolin tentang hubungan antara tekanan, volume dan massa gas pada suhu konstan."
"Tuh kan, sudah kubilang kamu pintar."
"Kebetulan inget aja, sih."

Ponsel di hadapan anak laki-laki itu bunyi. 

"Kenapa nggak diangkat?"
"Nggak penting."
"Emang apa ukurannya penting dan nggak penting dari panggilan telepon? Memangnya di situ ada tulisannya dia nelepon untuk urusan apa?"
"Mantan. Paling-paling minta ditemenin lagi gara-gara lagi bertengkar sama pacar barunya."
"Kenapa nggak diangkat terus ditolak secara halus?"
"Susah."
"Susahnya? Kamu belum move on?"
"Apa ukuran seseorang dia sudah move on apa belum? Memangnya bisa dilihat dari dia nggak mau angkat telepon dari mantannya?"
"Entahlah."
"Kamu punya pacar?"
"Dulu, lima belas bulan yang lalu."
"Wah dihitungin. Belum move on?"
"Memangnya ukuran move on bisa dilihat dari dia ngitungin waktu dari dia putus?"
"Kamu lucu, namaku Reyhan."katanya sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Annisa."

Setelah lima belas bulan, aku kembali merasakan bagaimana rasanya dada yang bergetar akan sebuah kontak fisik. 

Balai Pemuda, 2013.

teman banyak itu terkadang tak berarti banyak

When the daylight's gone and you're on your own
And you need a friend just to be around
I will comfort you, I will take your hand
And I'll pull you through, I will understand


Lagu ini tiba-tiba  mengalun lembut ketika aku sedang mengemudi pulang, menuju rumah. Dari intronya saja aku sudah bisa menebak ini lagu milik The Corrs. Memangnya, siapa yang tak tahu lagu satu ini, tidak terlalu chessy. Tapi coba dengarkan liriknya, apa yang kalian pikirkan? Liriknya dalam? Oke, saya setuju. Tapi bukan itu  maksud saya, jika aku mendendangkan lagu ini, hati kecilku menangis. Iya, menangis. Kamu pikir orang seperti aku yang konon katanya ceria tak bisa menangis? Salah besar. Aku bahkan sangat mudah sekali menangis.

Aku berpikir, pernahkah kalian berpikir bahwa ada yang salah kalau kita yang menyanyikan. Salah besar. Harusnya ada yang menyanyikan untuk kita. Kalian tahu, mempunyai teman banyak itu terkadang tak berarti banyak. Kita butuh setidaknya satu orang teman yang sama-sama selalu ada jika keduanya sedang butuh, sama-sama mau menyeka air mata jika salah satunya sedang bersedih, saling memeluk jika ada yang membutuhkan, saling tertawa dan ikut merasa bahagia akan sebuah kebahagiaan dari salah satu di antara.

Di kota ini, kebanyakan orang lebih memilih turun ke jalan yang semrawut daripada melaut. Menikmati kemacetan tiap hari daripada ketenangan. Lebih memilih di tempat ramai daripada tempat yang damai. Mungkin, semua itu tuntutan. Bukan mengeluh, tapi kepalaku rasanya ingin pecah malam itu. Bukan karena kegaduhan di kota ini, bukan. Jalanan yang kita lewati boleh saja ramai dan semrawut, tapi terkadang malah rasa sepi yang hati kita rasakan. 

Mungkin, ketika kepala rasanya ingin pecah, gaduh yang menjelma sepi di dada, yang kalian butuhkan hanya teman. Coba simak baik-baik lirik lagu di bawah ini. Tapi ingat, jangan ikutan menangis.

I'll be at your side, there's no need to worry
Together we'll survive through the haste and hurry
I'll be at your side
If  you feel like you're alone, and you've nowehere to turn
I'll be at your side

Surabaya, 2013
dalam episode terjebak matjet di jl. pemuda.