kami hanya teman, tak lebih. jadi, tak perlu berharap banyak

"Terima kasih, Pak."ujarku seraya menyerahkan selembar uang rupiah berwarna merah kepada supir taksi di depanku.
"Bentar, Mbak. Kembalinya."
"Buat bapak aja, buat ngopi ngopi. Hehehe."
"Terima kasih, Mbak. Semoga sukses di perantauan!"serunya. Aku tersenyum lalu turun dari dalam taksi. Bapak supir taksi itu membantuku mengeluarkan dua buah koper berukuran sedang dari bagasi belakang mobilnya. Tersenyum lalu berkata, "Hati-hati di jalan, Mbak."
"Matur nuwun, Pak."

Aku melangkahkan kakiku gontai menuju bagian pemberangkatan, aku diterima bekerja di Jakarta setelah dua bulan menganggur semenjak bapak Rektor di universitas tempatku menuntut ilmu memindahkan tali di topi togaku tanda aku sudah layak disebut sarjana. Memang, aku bukan mahasiswa yang pintar, bahkan aku harus rela terlambat satu semester dari target 3,5 tahun yang aku rencanakan di awal aku menjadi mahasiswa, jabatan siswa paling tinggi di negara ini.

Aku kembali memeriksa tiket dan beberapa  berkas yang diperlukan di dalam tasku, semuanya lengkap. Kalau bukan bantuan mama aku tak akan bisa serapih ini. Sayangnya, tadi pagi-pagi sekali mama dan papa sudah lebih dulu berangkat ke bandara ini. Mereka ada urusan di luar kota. 

Benda kecil bulat berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul setengah enam pagi, terlalu pagi untuk merindukan seseorang namun sepagi ini bandara Internasional Juanda sudah lumayan gaduh. Suara berisik roda koper yang diseret pemiliknya, tas-tas besar yang dijinjing, beberapa peluk perpisahan, juga tawa dari sebuah pertemuan yang mengandung rindu semuanya tumpah ruah di sini. 

"Besok aku berangkat."
"Ke mana?"
"Jakarta, aku keterima kerja di sana."
"Oh, hati-hati di kota orang."

Percakapan singkat di sebauh kedai kopi yang tak jauh dari kampus seakan dibisikkan di telingaku. Aku memandangi ponsel kotak berwarna putih itu tak ada tanda-tanda sebuah pesan masuk atau telepon masuk ucapan perpisahan dari laki-laki itu. Petugas sudah memanggil nomor keberangkatanku, aku melangkahkan kaki sambil menyeret dua koper berwarna biru donker sambil sesekali menoleh ke belakang. Nihil. Aku positif tidak mendapatkan ucapan selamat tinggal.

Tulisan ini kutulis di atas kardus kue yang disiapkan pihak jasa penerbangan ketika pramugari sedang menjelaskan cara memakai benda oranye seperti rompi. Semacam cerpen atau lebih pantas disebut curhatan di buku diary, tak ada nama tokoh di dalamnya bahkan kalian pun tak tahu siapa namaku, bukan? Sebentar, aku sedang memikirkan apa judul yang pas buat tulisan singkat yang telah kubuat di atas. Oh, aku sudah menemukannya, Kami Hanya Teman, Tak Lebih. Jadi, Tak Perlu Berharap Banyak.

Surabaya, 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar