Pagi ini teringat sebuah kalimat yang aku baca entah di mana dan kubagikan di salah satu media sosial. It said, "some people are meant to fall in love, but not meant to be together". Lalu seketika itu juga aku ingat salah satu kalimat teman kantorku mengenai cinta pertama.

Katanya, "Cinta pertama itu emang suka gitu, ya. Okelah kita udah memutuskan untuk merelakannya pergi. Memutuskan untuk melupakannya dan membunuh semua perasaan terhadapnya. Tapi satu hal yang ngga bisa kita hilangkan, rasa peduli terhadapnya."

Terkadang aku merasa apa yang terjadi belakangan ini semacam potongan-potongan puzzle yang aku temukan di beberapa tempat yang berbeda. Semua seakan berkesinambungan. It's all about cinta pertama yang akhirnya hanya bisa kita pandang dari kejauhan sambil bergumam, "selamat tinggal, semoga kamu bahagia".

Permasalahan yang klise, tapi hal ini mengganggu kepala saya beberapa hari ini; cinta pertama dan ketidakberdayaan untuk saling memiliki. 


It's Our Paradise and It's Our War Zone

Kalau bicara tentang musik, rasanya ngga ada di  dunia ini yang ngga suka sama musik. Genre favoritnya saja yang ngga sama. Aku sendiri, bukan tipe orang yang terlalu suka mendalam mendengarkan lagu-lagu pop, lagu-lagu kekinian, lagu-lagu yang beberapa minggu terakhir ini sering sekali diputer di mana-mana. Di radio, di mall, sampai bikin telinga seneb. Wait, telinga seneb? Ya sudah, pokoknya gitu. Membosankan, kupikir.

Malam ini, baru bertemu dengan beberapa kawan, ngobrol ngalor ngidul mengenai banyak hal sekalian ngomongin salah satu event kami akhir bulan nanti. Pada datang, ya? #Teteup. Dari obrolan kami tadi, ada satu kesimpulan yang menarik--bahwa di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan, bahkan sehelai daun yang jatuh meninggalkan rantingnya semua sudah diatur, sudah ditulis oleh semesta, sudah ditetapkan oleh Tuhan jauh sebelum daun itu sendiri tumbuh. Dengan keberuntungan, tentunya.

Kembali ke masalah lagu, yap, mungkin sudah ditakdirkan juga malam ini di perjalanan pulang mp3 memutar lagunya Zayn Malik, Pillowtalk. Sebagai lagu yang masuk ke dalam kategori membosankan karena terlalu sering terdengar diputar di mana-mana, tadi tiba-tiba merinding karena salah satu kalimat di liriknya. 

Ooh
Climb on board
We'll go slow and high tempo
Light and dark
Hold me hard and mellow

I'm seeing the pain, seeing the pleasure
Nobody but you, 'body but me
'Body but us, bodies together
I love to hold you close, tonight and always
I love to wake up next to you
I love to hold you close, tonight and always
I love to wake up next to you

So we'll piss off the neighbours
In the place that feels the tears
The place to lose your fears
Yeah, reckless behavior
A place that is so pure, so dirty and wrong
In the bed all day, bed all day, bed all day
Fucking in and fighting on
It's our paradise and it's our war zone
It's our paradise and it's our war zone


Eh, gimana? Sudah belum bapernya? Coba perhatikan liriknya, I love to hold you close, tonight and always, I love to wake up next to you. Siapa coba yang ngga meleleh kalau ada yang bilang gitu ke kalian? Siapa sih, yang ngga pengen terus ada di samping orang yang lagi dicintai. Oh, God! Gombal banget tapi ngena banget. 

Tapi ada satu yang bikin aku merinding terus ngebayangin gimana kalau tokoh yang lagi diceritakan di lagu itu aku sama dia. Dia? Haha, bentar aku cari "dia"-nya dulu. Tapi seriusan, nih coba, in the bed all day, bed all day, bed all day, fucking in and fighting on, it's our paradise and it's our war zone. Aku bayangin sudah dalam poisi meniah, pulang kerja karena aku sama dia saking sibuknya pulangnya sedikit larut dan ketemunya di kasur. Nah di situ terjadilah yang namanya Pillow Talk. Kami ngobrolin tadi seharian di kantor ngapain aja, tentang bos yang nyebelin suka ngasih deadline seenaknya, tentang temen kantor yang suka bikin gosip, tentang si A yang katanya mau menikah, tentang apa saja yang kami alami seharian tadi. But, bell all day? Maksudnya cuddling gitu seharian di kasur sama pasangan? Ya ampun, itu priceless banget, kan? Yekan? Iyain aja, deh. Belum ngerasain juga soalnya.

Dan makanya kenapa di situ ditulis "it's our paradise", seneng gitu ya punya soulmate yang sekalian sahabat, teman curhat, sambil kadang curi-curi cium di kening, tangan yang menggengam. Surga sekali, bukan? Tapi, namanya juga manusia kadang kita berbeda argumen makanya di situ katanya "it's our war zone". Ngga seru juga, kan, kalau ngga ada berantem-berantem kecilnya. 

Kyaaaa, seneng banget ya bisa membayangkan gimana sih rasanya terlibat dalam sebuah lirik lagu. Hal yang masih aku percayai sampai sekarang adalah, lagu adalah puisi. Puisi bernada. Jadi rindu bikin puisi-puisi atau sajak-sajak pendek. Ke mana aja kemaren kemaren, Tiw? Engga ke mana-mana, sih. Cuma sibuk saja, sibuk memantaskan diri biar bisa sekece Mbak Dian Sastro, secara otak juga fisik. Tsaaaaah~

Nih, aku kasih videonya Zayn Malik. Hehe.




"Godaan orang yang mau menikah ada aja, ya, May?"

"Ha? Menikah? Siapa yang mau menikah, Pop?"

Punya temen sekantor, seruangan macam Maya kadang bisa buat Nona Pop gemas karena saking lugunya. Tapi Nona Pop bersyukur banget punya Maya dibanding anak-anak ruangan lain yang ada aja masalahnya sama teman satu ruangan.

Nona Pop menyesap jusnya habis.

"Pop! Siapa yang mau menikah?"

"Gua."

"Becanda ya Lu?"

"Yasudah, Reza Rahardian yang mau menikah."

"What? Reza Rahardian? Beneran Pop? Serius Pop? Kok dia kaga bilang guaaaaa? Pop! Pop! Lah, Pop mau ke manaaaa? Gua jangan ditinggal. Ah elah."

Nona Pop tak menghiraukan panggilan Maya. Pikirannya tertuju pada Dimitri. Semalam anak itu kembali menghubungi Nona Pop. Lewat telepon.

"Halo."

"Halo. Dengan siapa?"

"Ya ampun, Non. Masa suaraku kamu ngga hafal?"

DEG.

Nona Pop menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Non.. Non.." terdengar suara dari seberang sana.

"Ha..halo.. Mas Dim?"tanya Nona Pop ragu-ragu.

"Masih ingat juga ya, Non? Lagi di mana?"

"Baru sampai rumah?"

"What? Ini jam 10 malam dan kamu baru sampai rumah?"

"Mas Dim, ada apa?"

"Orang kangen emang ngga boleh ya, Non?"

"Boleh, sih. Tapi, kan."

"Kamu masih marah ya sama aku, Non? Oiya, besok aku ada pameran di mall deket rumah kamu biasanya. Dateng ya, jam 7 malam. Aku tunggu loh, Non. Selamat malam, Nona manis."

Klik.

Telepon diputus.

Ada yang tak pernah bisa dipahami oleh Nona Pop. Pikiran laki-laki. Terkadang kebaikan mereka suka membingungkan. Ponsel itu berdering lagi.

"Halo, ada apa lagi?"

"Non? Are you okay?"

Nona Pop melihat nama yang tertera di layar ponsel. Mr. Nob.

"Eh, hai! Whats going on, Dear?"

"I called you many times. Habis teleponan sama siapa, sih?"

"Ngg.. nganu.. itu Maya. Biasa..."

Nona Pop menepuk dahinya. Tak seharusnya dia berbohong pada laki-laki itu. Tapi entah kenapa tadi di pikirannya adalah lebih baik tak menceritakan pada Mr. Nob perjumpaannya dengan Dimitri siang tadi. Meski Mr. Nob tahu siapa Dimitri dan cerita apa yang pernah ditulis semesta antara Dimitri dan Nona Pop.

"Maya? Ngapain sih? Masih kurang dia sama kamu seharian. Heran, deh."

"Hahaha. Udah, deh. Ada apa, Sayang?"

Rasanya memanggil laki-laki itu dengan panggilan sayang masih aneh untuk Nona Pop. Tapi, benar adanya, dia menyayangi bahkan mencintai laki-laki itu lebih lama dari umur ponakannya yang kelas 1 SD.

"I miss you. I will go home this weekend. Meet up?"

"Pleasure, Sir."

"Take care then, Dear. Can't wait to see you."

Klik.

Telepon ditutup.

Tapi Nona Pop, tak dapat tidur nyenyak malam itu.


***

Flashback

"Sudah di mana? Aku sudah di depan."

"Bentar, ke toilet dulu. Abisgitu ke sana."

Nona Pop celingukan di depan sebuah mall. Ada rambu dilarang berhenti, sudah pasti tak mungkin menemukan anak itu di sekitar sini. Ponselnya bergetar.

"Aku lihat kamu, di sebelahmu ada tulisan dilarang berhenti. Aku muter dulu bentar."

Hari Senin pukul 11.45, bukan waktu yang tepat untuk turun ke jalan. Jalanan sungguh tak bersahabat. Laki-laki itu mengernyitkan dahinya melihat ke arah jalan. Tangannya tegang memegang kemudi.

Dimitri, anak itu tiba-tiba menghubungi Nona Pop dan mengajaknya bertemu.

Mobil sedan hitam itu menyalakan lampu sein sebalah kanan, lalu parkir di depan sebuah tempat makan yang tak begitu ramai.


Aku ngga tahu ini tempat akan enak atau ngga, tapi aku dapat rekomendasi dari temanku."

"Never here before. Let's try"

"Lama ya kita ngga ketemu, kamu begitu aja bentuknya."

" Sialan, emang mau berubah gimana lagi?"

"Sibuk apa?"

"You know-lah, mahasiswa semester akhir yang masih ada kuliah. Apalagi. Gimana kerjaanmu?"

"Well, lancar banget. Aku kadang bosen begitu-begitu aja udah dapat duit banyak."

"Disyukurin, kek."

"Pasti lah. Eh, kamu kapan nikah?"

"Scumbag question, Mas. Pake toga aja belum. Nah Mas Dim sendiri?"

" Lu liat kan mobil gue baru? Aku beli mobil baru. Eh, si Mama nanyak kapan aku nikah."

"Terus? kamu jawab apa?"

"Aku jawab aja tahun depan."

"Sama siapa? Nah lu kan belum ada pacar? Apa sih yang lu tunggu? Kerjaan enak. Duit banyak, tinggal nyari perempuan yang "nggenah" nih."

" Semua orang butuh rencana, Non. Beberapa minggu yang lalu aku beli mobil dan berimbas pada Mama yang nanyak begitu. Sudahlah, aku akhirnya kepikiran buat nyicil KPR. Aku lagi cari rumah yang pas buat aku. Pas di kantong juga, sih."

"Terus?"

"Kamu mau ngga nikah sama aku?"

" Edan. You drunk, boy! Just go home."

"Well, aku serius sih."

"Come on, Mas Dim. Sebelum aku keja. I'll not."

"Yaa setidaknya kita semua harus punya rencana yang matang untuk masa depan, Non"

Nona Pop tersenyum lebar.
Untuk laki-laki berusia 23 tahun, setidaknya lebih tua satu tahun di atasnya dia punya pemikiran yang sangat matang. Nona Pop sudah mengenalnya cukup lama ketika awal kuliah dulu. Ini pertemuan pertama mereka setelah peristiwa tidak mengenakkan di antara mereka.


"Pop! Malah bengong, ayo balik kantor."

Suara Maya teman seruangannya di kantor membuyarkan lamunannya. 
"Kenapa sih kamu dulu kuajakin nikah ngga mau?"

"Errr.. Kenapa bahas itu lagi?"

"Ya habisnya, kamu cari laki-laki seperti apa, sih? Aku rumah ada, mobil ada, kerjaan enak, sholat? Alhamdulillah aku tahu tanggung jawabku."

"Tapi kan perkara menikah ngga bisa diputuskan secepat itu, Mas Dim."

"Apa karena zaman kuliah dulu?"

"Errr.. ini kenapa bahas masa lalu kita, sih. Jadi, mana undanganmu? Katanya sudah mau rabi?"

"Lah, yang kuajakin rabi nolak kok. Gimana, sih?"

"Ih, aku seriusan!"

"Hahaha."

"Jadi, gimana?"

"Nanti aku beritahu kalau tanggalnya sudah fix."

"Awas aja pokoknya kalau aku ngga Mas Dim undang."

"Aku kalau ngundang kamu, takut kamu yang patah hati, Non."

"Patah hati apa-aaaaaaaaan!"

"Haha. Bercanda. Rindu deh, pengen ngeteh-ngeteh lucu lagi sama kamu kayak dulu."

"I am availabe after 4 p.m."

"Noted! Yasudah, aku balik kantor dulu, ya. Udah abis jam makan siangnya. Kamu juga, nanti dimarahin bos, loh,"

"Siap, Capt!"

"See you when I see you ya, Non. Take care."

Nona Pop tersenyum, pandangannya mengikuti langkah laki-laki itu pergi meninggalkan meja kasir. Nona Pop membayar tagihannya lalu kembali pada kenyataan.