Pada Akhir Masa

: Aku bagai Chairil Anwar untuk Pratiwi H Putri
.
Pada perjalanan yang kukira menakutkan,
aku mendengarkan alunan lagu.
Antara Karawang – Bekasi,
aku cuma tulang-tulang yang dibalut rindu.
Kita butuh hidup seribu tahun lagi, 
karena berbincang tentang masa depan
tak akan pernah cukup dalam sekali fajar.
.
Di meja fajar aku bersandar,
kukatakan aku takut.
Aku tak mau tertidur kali ini.
Aku takut bila tak sanggup
merindukanmu
seribu tahun lagi.
.
Dengan lengan lembut embun pagi,
kau merangkulku,
“tersenyumlah karena apa saja,
aku akan ikut tersenyum,
aku tak ingin menjadi yang sekali berarti
habis itu mati buatmu,”
doamu padaku.
.
Kukatakan padamu tentang kisahku,
aku,
pada akhir masa,
bukan binatang jalan yang tak terbuang–karenamu…
.
—————
terinspirasi dari karya Chairil Anwar: Aku dan Karawang – Bekasi
kutipan dialog dari Pratiwi H Putri

reblog dari setintapena oleh @JvTino

Puisi Istimewa di Hari Puisi

Ini bukan sajak cinta yang hari ini belum terlihat,
bukan pula fiksimini yang selalu membicarakan ledakan
apalagi sekadar sajak-sajak biasa,
dalam seratus empat puluh karakter
Puisi ini ditulis tepat di ulang tahun ke-sembilan puluh satu
seorang Chairil Anwar
enam puluh empat tahun semenjak kepergiannya

Ini puisi istimewa, sayangku
dari perasaan-perasaan istimewa.
Sudah kukisahkan padamu kisah sebuah
sudah kau datangkan padaku rasa percaya pengusir ragu
tapi percakapan kita tak pernah tuntas.
Mungkin benar kata Chairil Anwar
kita butuh hidup seribu tahun lagi, sayang
untuk sekadar berbincang tentang masa depan
atau bersama menanti fajar datang
atau hanya untuk saling merindukan.

Surabaya, 26 Juli 2013
Selamat Hari Puisi Nasional, @JvTino

Tentang Benih Waktu

” Duhai Kamu..”
Kamu bertanya, 
“siapa sebenarnya kita, Sayang?”
Sedekat azan dan salat, sedekat waktu dan nadi.
 Aku menjawab,
“kita adalah detak yang terpisah,
kelak menyatu dalam pelukan,
tanpa luka,
menjadi satu nyawa.”
Sedekat pemberian Tuhan dan kamu yang aku cari.
.
Bagiku, perjalanan tak hanya mengenai waktu,
tapi untuk apa,
untuk siapa.
.
Bagiku, pertanyaan tak hanya mengenai jawaban,
tapi kenapa ditanyakan,
siapa yang menanyakan.
.
Bahkan, bagiku, pertanyaan hanyalah pilihan,
bukan tentang siapa aku yang kamu tanyakan,
atau penyair yang mengenal Tuhannya sekali pun;
tapi tentang benih waktu yang memilih tumbuh dan menyakinkan.
.
Duhai milikku…
Tanyakan padaku ribuan pertanyaan,
tentang apa yang kamu ragukan;
maka jalanlah berdampingan denganku,
di setapak pelaminan,
kelak, semua pertanyaanmu
hanya terjawab dengan satu kisah,
tentang megahnya aku memilikimu.”

dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari:  "Tentang Benih Waktu" di setintapena

Kita yang Melawan Jarak

: adityan

Semisal kita dilahirkan di tahun seribu delapan ratus
waktu akan mempertemukan kita
dengan Abigail dan John Adams.
Untuk bertanya
bagaimana caranya mengalahkan jarak.
Bagaimana caranya menulis surat cinta yang panjang dan dalam,
di tengah situasi peperangan.

Semisal kita di Paris,
aku akan merengek minta dipertemukan,
dengan Heloise dan kata-kata pilunya,
ketika dia kehilangan Abelard.
Bagaimana rasanya menjadi tabah,
ketika keadaan memisahkan mereka,
dengan jarak yang sepanjang entah.

Puisi ini kutulis dengan tanganku sendiri
di atas trotoar
dengan debar.
Ketika tak jauh dari tempat aku duduk kulihat
seorang tukang sampah tersengal menarik gerobaknya
padahal terik sedang beraksi.
Semangatnya tak patah,
di atas kepalanya tergambar seorang perempuan cantik,
beserta dua orang anak yang lucu-lucu
sedang merintih kelaparan.

Kau tau apa yang ada di pikiranku?
Kita harus sekuat tukang sampah.
meski anak-anak rindu kita makin banyak dan lapar
meski kangen di setiap sel tubuh kita makin menggeletar
meski kita belum juga sempat,
untuk bersauh.

Kita adalah dua yang tabah, Adityan.
Kita adalah dua yang tegar.
yang akan menang bertempur dengan jarak.

Surabaya, 2013




Beberapa Pertanyaan yang Menginginkan Jawaban

: JvTino
/1/
Beberapa hari yang lalu, seorang penyair menghampiriku, memberiku sebuah buku dan berkata bahwa hidup ini sedemikian singkat, sedekat antara adzan dan sholat. Lalu aku bersujud di pekat malam, melinangkan air mata hingga kedua mataku lebam. Mulutku tak henti mengucap shalawat, 
                        apakah kita juga sedekat adzan dan sholat?

/2/
Esoknya, penyair itu datang lagi. Menemaniku menandaskan segelas kopi yang sesungguhnya tak ingin kuminum. Dia berbicara tentang luka, katanya, aku mengingatkannya pada seorang perempuan yang menghadiahi luka di dadanya dengan perpisahan-perpisahan kecil melalui sebuah pelukan. Pelukan katanya, hanyalah kosmetik yang mempercantik perpisahan. 
                       Lalu, sayangku, apa sebenarnya arti dari sebuah pelukan?

/3/
Hari ini hujan, sayang. Di stasiun ini, aku sudah menunggu lama, namun kau tak datang. Tebak, siapa yang bertandang?
Sang Penyair, dia memelukku sambil menangis. 
"Hujan adalah selembar karcis yang ditukarkan untuk membasuh luka mata orang-orang yang ditinggalkan" bisiknya.
Kekasihnya pergi, kepada entah. Setelah sadar bahwa mereka adalah tubuh-tubuh yang saling melukai. 
                      Aku bertanya dalam hati, siapa sebenarnya kita, sayang?

/4/
"Aku malu bila tak memegahkan kita
saat cangkir di depan kita justru tersipu malu."
kalimat terakhir yang kamu ucapkan padaku dan masih kugenggam dalam ingatan bersama beberapa kenangan yang menyesakkan dada.
                Apakah kau akan tetap berjalan di sampingku, sayang?
Hingga waktu memegahkan kita.

Semesta di Meja Mahoni

Kali ini, aku menyimakmu,

bercerita tentang setia,
berpuasa demi cinta,
berbuka dengan linangan syukur berairmata.
.
Di meja mahoni,
kita tak lagi bercerita tentang cahaya pagi,
senja,
atau pelangi di malam hari.
Di meja mahoni ini,
izinkan aku menatap matamu,
menatap semestaku,
menikmatinya lebih dalam lagi.
.
“Sayang, aku malu pada cangkir kopi di depan kita,”
katamu,
kataku,
“aku malu bila tak memegahkan kita
saat cangkir di depan kita justru tersipu malu.”
.
Darimu,
di meja mahoni,
semangkuk kolak gula kamu sajikan untuk berbuka,
dan bercerita tentang tegar setia itu ada.
Dariku,
aku menatap malam seribu bulan di matamu,
saat kamu bercerita,
saat aku enggan pergi dari meja mahoni,
saat kita saling suap semesta cinta
dari semangkuk kolak gula.
.
——————-
dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari: "Semesta di Meja Mahoni" di setintapena

Kali ini, Aku ingin Berkisah

: JvTino

Duduklah di sini sayang,
aku ingin menceritakan sebuah kisah
tentang sebuah meja makan kayu mahoni,
yang rindu akan sanjung puji
dari mulut seorang laki-laki.

Pernikahan beberapa bulan lalu,
hanya pernihakan sederhana.
Tak ada gedung mewah,
tak ada makanan enak.
Suaminya hanya seorang buruh pabrik,
istrinya hanya pelayan restauran padang di ujung gang.

Ramadhan kala itu, sayang.
Mereka lebih sering berbuka dengan air mata
berlinang dan dua gelas teh tawar.
Namun tak sedikitpun meredupkan
kasih sayang mereka yang begitu liar.

"Berbuka apa kita senja ini, manis?"
Sang suami berbisik, napasnya masih tersengal.
Istrinya hanya tersenyum.

Semangkuk besar kolak,
asapnya masih menyeruak,
memenuhi ruangan yang dindingnya mulai retak.
Mata sang suami tak berhenti memandang,
hingga adzan berkumandang.
Ucapan syukur tak berhenti terngiang.

Sayangku, aku malu pada cangkir kopi di depan kita.
Aku terlalu banyak mengeluh,
tentang kenangan yang menyisa peluh.

Sayangku, kemarin kita berbicara tentang cahaya.
Bayangkan senyum serta ucap syukur mereka,
kita tak berarti apa-apa.
Raguku tentangmu pun memudar
seiring datangnya percaya.



Megalogi Fajar

Di ujung terpisah,

“ada mega fajar di dadamu,

yang kamu pendam begitu lama,”

cahaya matahari runtuh perlahan
mengejar sesapan kopiku di cangkir pemberianmu.
Perlahan, sesapan kopiku luruh di dinding-dinding kacanya,
mengandai jejak gurat bibirmu masih lekat,
merasai wujudnya,
sekadar memadu rasa kopiku
dengan sinar fajar yang menyayat.
.
Di ujung perjalanan cahaya
kamu bertanya,

“jika kamu ingin menjadi senja,

sedangkan aku adalah pagi,

bagaimana bisa aku menemuimu?”

Duhai geloraku,
matahari sejenak runtuh cahayanya,
gemetar dibungkam malam yang tak mampu menjawab.
.

“… Matahariku, ini tentang kamu …”

Ini tentang tuturan kisah
mengapa aku memilihmu,
menginginkanmu,
hingga jatuh jingga
pada dada yang sama.
.

“Duhai surya pujaanku,

akan datang ribuan geram untuk sebuah kehilangan,

tapi akan datang dekapan yang kau cari.”

Seperti matahari yang kau benci setengah ragu,
seperti kau benci setengah rindu saat aku menyebutmu Matahariku.
.
Di ujung rentang jingga,
aku memintamu duduk bersama,
bertukar jejak bibir di cangkir kopi yang sama,
lalu kuceritakan
tentang jarak fajar dan senja,
tentang ribuan tahun nyawa cahaya.
Maka, aku berharap kamu akan mengerti
saat…

“… ada megalogi fajar di dadamu,

yang kamu pendam begitu lama,

berdenyut mengaliri nyawa,

menembus terawangmu,

menarikku,

untuk rasakan debar asmara yang nganga…”

.
—————-

dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari: "Megalogi Fajar" di setintapena

Dialog Pagi

: JvTino

Pagi di pinggiran kota Surabaya,
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja 
yang girang hendak menyambut pagi.
"Pagi itu, Matahariku, 
selalu datang membawa harapan-harapan,"
begitu bisikmu kala itu.

Ingatkah kau di suatu pagi, 
ketika aku bilang aku membenci matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?

Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.

"Aku benci kau memanggilku Matahari, 
panggil aku senja.
Bagaimana bisa aku menemuimu, 
jika kamu ingin menjadi senja,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku

"Percayalah, Sayang, 
pagi itu selalu datang dengan membawa harapan,"
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,
sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.

dialog dini hari

selalu ada rahasia yang kita temukan
pada jalanan pukul empat pagi
ketika cakrawala belum juga bertandang
ketika matahari belum juga menyapa
oh, iya, kamu tak perlu pendingin di kendaraanmu
kamu sudah menggigil

aku menikmati jalanan pukul empat pagi
di mana hiruk pikuk kendaraan belum terasa
enam puluh kilometer per jam
kuinjak gas dengan pasti
"jangan ngebut, ibu takut"
ibu menepuk bahuku pelan

pasukan kuning sudah mulai menyapu jalanan
"jalanan disapu, kapan selesainya, bu?"tanyaku pada ibu
"kuliahmu, kapan selesainya? apa yang kau tunggu?" ibu menusukku perlahan
                            dengan kata-katanya
"apa yang kau lakukan pukul empat pagi biasanya?"
aku tertidur pulas, adzan berkumandang, aku bangun, lalu tertidur lagi
                             kata-kata ibu menjelma bara tiba-tiba

sayur-mayur yang diangkut di atas pick up mengejekku
"sudah terjaga? mau jadi anak berbakti? yakin?"

"oh ya, apa kabar hati?"
traffic light yang masih kuning berkedip-kedip menyeringai
oh, lebih tepatnya tertawa melirikku

aku mengambil air wudhu
pagi ini serasa gerah
                            semua kata berubah bara, tiba-tiba

Terminal Bungurasih, Sidoarjo, 2013

puisi religius

puisi, terkadang bisa religius juga 
menjawab kumandang adzan 
mengamini doa-doa baik
ikut tadarus sehabis taraweh

puisi, terkadang bisa religius juga
bersedekah banyak banyak
berzakat di bulan ramadhan
mulai menabung untuk ONH

puisi, di mana religiusnya?
di setiap pilihan diksi dan rimanya
di setiap pilihan kata-kata yang di rangakai
atau
di setiap bait-bait yang tak terduga?

jika kamu menjadi puisi, puisi seperti apa kamu?
aku berdoa pada Tuhan, 
jika aku dilahirkan menjadi puisi, 
aku ingin menjadi
puisi syukur, yang banyak mengucap alhamdulillah
yang tak banyak mengeluh
puisi yang bijak
puisi syukur

Surabaya, 2013
#ngabubuwrite 

tiba-tiba aku menjadi religius

suatu waktu ketika malam ditelan sunyi
ketika kubaca bait demi bait puisi-puisimu
tiba-tiba aku menjadi religius
ijinkan aku menjadi puisi sekaligus jawaban 
dari doa-doa yang kaupanjatkan dalam sujudmu
yang kaurapalkan di atas sajadahmu
pada sepertiga malam yang sunyi
lebih sunyi dari kesedihan yang tak termaafkan
biarkan aku menikah dengan puisi-puisimu
lalu hidup dalam nadimu
biarkan aku bersemayam dalam puisi-puisimu
lalu tinggal dalam dadamu
dan mengamini
semua doa tentang kebaikan

Surabaya, 2013

suatu malam sehabis taraweh

suatu malam sehabis taraweh, aku membayangkan sesuatu sambil berjalan menuju rumah.

nanti akan ada saatnya kita sedang tak ingin pergi ke masjid, tapi ketika kudengar adzan berkumandang setelah kuambil air wudhu, kugelar sajadah di belakangmu. lalu sesudahnya kucium punggung tangan kananmu dan kaucium keningku.

malam hari sebelum tidur, beberapa ayat mari kita lantunkan bergantian. saling membenarkan jika salah. sebuah kewajiban yang mungkin akan tak begitu sering kita lakukan selain bulan ramadhan.

malam sebelum sahur, kau membangunkanku. memasaklah kita bersama untuk santap sahur yang sederhana. beberapa potong ayam goreng, satu wakul nasi, satu mangkuk sup nikmat buatan kita, beberapa potong buah apel dan tak lupa dua gelas teh hangat di atas meja. 

anggap saja itu sabtu pagi, ketika kantor tak mewajibkan kita untuk masuk dan kita tertidur sehabis sholat subuh. terbangunlah kita di bawah selimut, ketika matahari telah tinggi-tingginya. tak apa, seminggu sekali. ustadz yang ceramah di masjid beberapa waktu lalu bilang, tidur itu ibadah di bulan ramadhan.

lalu sampailah aku di depan rumah, ah, hanya angan-anganku saja. tapi anggap saja itu sebuah doa. doa untuk masa depanku, masa depanmu, masa depan kita. amin.

Surabaya, 2013

harapan itu benar adanya

harapan itu benar adanya, meskipun senja belum juga turun dan kenangan masih terlalu betah menggantung di kepala membawa gambaran wajahmu serta ukiran namamu,

harapan itu benar adanya, meskipun jarum jam berdetak merangkak tak mampu berjalan sore ini padahal perut-perut sudah mulai menabuh.

harapan itu benar adanya, lihat saja rerumputan yang kau injak-injak sore ini lalu layu namun kembali tegap esok pagi, kembali bersemangat karena tahu embun akan selalu datang tiap pagi untuknya untuk memercikkan semangat. optimis, kurasa.

harapan itu benar adanya, meski beberapa kawan sejawat seangkatan telah meraih gelarnya dengan senyum mengembang sambil melangkah bangga di hadapanmu yang masih saja berjalan di tempat.

ya, barangkali seperti yang ayah pernah bisikkan padaku ketika aku tersungkur, bahwa harapan itu benar adanya dan dia akan datang di saat yang tepat dan saat yang tak pernah kau duga sebelumnya.

surabaya, 2013.
#ngabubuwrite #day2