Megalogi Fajar

Di ujung terpisah,

“ada mega fajar di dadamu,

yang kamu pendam begitu lama,”

cahaya matahari runtuh perlahan
mengejar sesapan kopiku di cangkir pemberianmu.
Perlahan, sesapan kopiku luruh di dinding-dinding kacanya,
mengandai jejak gurat bibirmu masih lekat,
merasai wujudnya,
sekadar memadu rasa kopiku
dengan sinar fajar yang menyayat.
.
Di ujung perjalanan cahaya
kamu bertanya,

“jika kamu ingin menjadi senja,

sedangkan aku adalah pagi,

bagaimana bisa aku menemuimu?”

Duhai geloraku,
matahari sejenak runtuh cahayanya,
gemetar dibungkam malam yang tak mampu menjawab.
.

“… Matahariku, ini tentang kamu …”

Ini tentang tuturan kisah
mengapa aku memilihmu,
menginginkanmu,
hingga jatuh jingga
pada dada yang sama.
.

“Duhai surya pujaanku,

akan datang ribuan geram untuk sebuah kehilangan,

tapi akan datang dekapan yang kau cari.”

Seperti matahari yang kau benci setengah ragu,
seperti kau benci setengah rindu saat aku menyebutmu Matahariku.
.
Di ujung rentang jingga,
aku memintamu duduk bersama,
bertukar jejak bibir di cangkir kopi yang sama,
lalu kuceritakan
tentang jarak fajar dan senja,
tentang ribuan tahun nyawa cahaya.
Maka, aku berharap kamu akan mengerti
saat…

“… ada megalogi fajar di dadamu,

yang kamu pendam begitu lama,

berdenyut mengaliri nyawa,

menembus terawangmu,

menarikku,

untuk rasakan debar asmara yang nganga…”

.
—————-

dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari: "Megalogi Fajar" di setintapena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar