Berkat Jasamu

Aku berjalan menyusuri jalanan tak seberapa lebar di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota besar macam Surabaya. Di kiriku terhempas dataran hijau berupa sawah ditanami padi yang masih belia, nun jauh di sana sebuah gunung menjulang dipayungi awan malu-malu. Di kananku mengalirlah air dengan tenangnya dari sungai kecil yang masih jernih.

Di sungai itulah aku dulu pernah bermain ketika masa kanak menangkap yuyu membasahi kaki atau sekadar bermain air dengan kawan. Aku juga masih ingat sawah hijau itu pernah kupakai bermain mengotori kakiku sebelum akhirnya aku menceburkan diri di sungai.

Peristiwa menyenangkan masa kanak yang bermain di kepalaku berhenti ketika melewati sebuah sekolah dasar yang harusnya tak asing buatku, di situlah aku pernah menimba ilmu selama enam tahun. Badanku masih kecil kala itu, rambutku masih cepak dan bajuku masih putih-merah. Dimana aku masih begitu merasakan arti guru sebenarnya, digugu dan ditiru.

Surat ini aku tujukan kepada seorang guru bahasa Indonesiaku ketika SD, bapak Astamun. Berkat beliaulah aku jadi gemar sekali menulis dan membaca. Membaca apa saja. Aku masih ingat sekali ketika beliau mendorongku mengikuti lomba story telling dan resensi buku hingga berhasil menjadi juara. Beliau juga yang mengajakku membaca puisi dekat dengan alam, bukan di dalam kelas.

Terima kasih, Pak. Semoga panjang umurmu dan sehat selalu.

Paiton, Probolinggo, 2014.

Mengapa Harus Kamu?

Semesta (kembali) menamparku sore ini, bahwa kebahagiaan tak melulu perkara aku berhasil memiliki (si)apa yang kita cintai. namun terlebih pada kita yang mampu membahagiakan sekitar. Angin sore ini yang berhasil menelisik masuk melewati kerudungku membisikkan kabar bahagia tentangmu, aku turut bahagia tentu saja. sayangnya, aku tak bisa ikut merayakan kebahagiaan denganmu.

Aku mungkin satu-satunya yang tak pernah mendapat balasan darimu, bukan hanya perasaan namun juga sapaan-sapaan yang kulempar dengan diikuti senyum semanis mungkin yang aku bisa bahkan tak jarang hanya sebatas sebagai salam yang bertepuk sebelah tangan.

Aku sempat menjadi perempuan yang paling khawatir mendengar kau sakit. Aku juga sempat menjadi perempuan yang selalu ingin menyemangati setiap langkah baik yang akan kau ambil. Sayangnya, selain semesta, hatimu tak pernah merestuinya.

Hingga sebuah malam dimana aku mendapati mata berbinar itu (kembali) menyadari kehadiranku, aku menegaskan diri untuk tetap bertahan pada sosok elokmu. Waktu berkata lain, nyatanya malam ialah hari terakhir kau mengijinkanku mengagumimu. Kau memintaku berhenti dan menyerah. Aku menurut.

Tapi aku masih ingat terakhir kali kita bertemu dan kau sengaja duduk di sampingku mengharap aku kembali menyapamu dengan ceria dan senyum terkembang. Maaf, dua hal itu tak akan lagi bisa kaudapatkan.

Aku mencintaimu, namun aku membenci diriku.
Mengapa harus kamu?

Surabaya 2014.

Aku Bingung, Mau Diberi Judul Apa.

Aku sedang sibuk memikirkan kalimat pembuka apa yang tepat untuk suratku ini, atau lebih tepatnya aku sedang bingung kalimat apa yang bagus untuk mengawali sebuah surat yang rasanya aneh jika harus mengirimkannya padamu padahal aku bisa mengatakannya langsung ketika bertemu nanti denganmu. Oh, sungguh mungkin bahwa jika kau tak mampu berujar lewat bibir menulis adalah jalan keluar yang baik.

Aku tak pernah berhitung berapa tahun berapa bulan berapa minggu atau berapa hari tepatnya kita saling mengenal, yang jelas, kamu sudah masuk dalam daftar orang penting yang memengaruhi hidupku. Teriakan semangat darimu, sungguh itu hal yang berarti buatku sekarang. Namun aku tak akan pernah lupa masa-masa perjuangan yang kita lalui bersama dalam menggapai mimpi. Mungkin benar, belum ada satupun dari kita yang sudah mampu menggapai mimpi yang kita gantung tinggi-tinggi di angkasa, namun setidaknya kamu melompat lebih tinggi dari aku, kamu berada satu langkah lebih depan dariku.

Satu hal yang membuatku sungguh terharu ialah, meski kamu berada satu langkah di depanku, kamu tak pernah absen menoleh ke belakang menyemangkatiku yang kali ini sungguh sedang begitu terengah-engah melangkah. Tak ada yang patut disalahkan memang, mungkin aku yang kurang berusaha atau kurang berdoa. Tapi sekali lagi, kamu adalah salah satu yang tak pernah bosan meneriakan semangat dengan menoleh ke belakang.

Aku akan bertanya satu hal, sampai kapan terus menunggu? Oh tidak dua hal, satunya adalah, mengapa sekarang kau tak rajin menulis surat, hah?! *keplak*

Kamu tahu, hari ini Pesvaku mogok mbuh kenapa, padahal beberapa hari yang lalu beru saja aku servis. Oke ini curhat. Kembali ke topik, uhmmm... sepertinya aku kehabisan kata-kata, aaaaaaaaak. Baiklah, setelah aku bingung mencari kalimat yang oke untuk pembukaan sekarang aku dibingungkan oleh kalimat apa yang pas untuk menutup surat ini.

Oh, ya, jangan pernah bosan untuk saling memberi semangat denganku, ya!

Segala doa baik akan selalu kupanjatkan untukmu. CMIAW!

untuk, @notanita

Untuk Februari

Teruntuk Februari yang hampir usai, aku titipkan sebuah surat elektrik kepada tukang pos @poscinta hari ini. Ada beberapa hal yang ingin sekali aku bagi kepadamu. Anggap saja, aku terlalu malu untuk mengatakannya langsung kepadamu.

Kepada Februari yang akan segera pergi, aku mendapat banyak pelajaran di bulan yang paling singkat dalam satu tahun ini. Terutama mengenai bagaimana caranya menghargai diri sendiri. Satu poin yang kucatat adalah, bagaimana kita mampu menghargai orang lain jika menghargai diri sendiri saja masih tak sanggup.

Pertanyaan yang sedari kecil belum kudapat jawabannya adalah, mengapa Februari tak pernah genap 30 seperti bulan lainnya namun di bulan ini aku selalu mendapati hal baru lebih banyak dari bulan lainnya? Baiklah, kamu tak perlu menjawab. Bulan ini, aku juga menuliskan sebuah kalimat, bahwa hanya yang benar-benar kita cintailah yang bisa membuat kita patah hati.

Tidak, kau jangan salah, aku tak sedang patah hati. Aku sedang jatuh cinta pada beberapa kawan dan seorang pria. Dan satu hal lagi yang aku dapatkan di bulan ini adalah, sebanyak apa pun masalah dan sepening apa pun kepalamu, semuanya tak ada apa-apanya jika kita punya banyak kawan menyenangkan yang selalu ada kapan saja untuk membuat kita tertawa dan juga seorang kekasih yang lapang memberimu dekap setiap saat.

Surabaya, 2014

Dalam Diam


bulan memendarkan cahayanya malam ini
sambil melukis jejak-jejak kaki peri
dibawah sunyi di atas gemuruh
ditikam rasa percaya yang sungguh-sungguh
aku telah menemukan tempat bersauh
lekuk tubuh nyaman untuk bersandar
hati yang menampung rasa yang liar
dua belas bulan bersatu
berhias rindu yang tak jarang semu
tiga ratus enam puluh lima hari terajut
pada dadamu aku tak enggan berlutut
sejuntai gaun membungkus tubuh mungil
tak peduli lutut yang menggigil
hari ini aku milikmu
tubuh ini punyamu
hingga kotak berlapis perak
padanya perasaanku terserak
lalu mari lahap nasi barang sepiring
berteman segelas asa yang terjatuh nyaring
dan ingat pesanku
jangan kau hirau pikuk yang menertawai
aku sudah tak peduli dengan denting dawai
karena di sampingmu aku hening
dan di pelukmu aku tak bergeming.

Kepada kau, ijinkan aku mencintaimu...
...dalam diam.

Iqro

"You are What You Read"

Tulisan di atas mungkin tak lagi asing bagi beberapa orang, terutama yang gemar menikahi sunyi di sudut perpustakaan dengan beraneka ragam buku. Benar saja, sejak kecil aku suka sekali buku yang beraroma sastra dan terbawa hingga sekarang.

Tulisan ini aku tujukan kepada semua orang yang gemar sekali membaca. Teruskanlah kebiasaan baik kita, guys. Bukankah membaca itu membawa energi positif? Kecuali kamu membaca timeline seseorang dengan tujuan stalking.

Coba, deh, kita ibaratkan membaca itu virus terus kita sebar-sebarkan deh ke sekitar kita. Jangan khawatir menginfeksi sesuatu yang positif itu dapat pahala, kok. Jadi, mari kita buat gerakan melestarikan membaca.

Hidup membaca!

Surabaya 2014

Cokelat Panas

Teruntuk secangkir cokelat panas di hadapanku, kamu tahu betul bahwa kota kita ini langitnya sedang gemar-gemarnya menangis. Bahkan aku sampai lupa bahwa negeri kita ini tidak hanya memiliki satu musim--musim hujan. Namun barangkali semesta menciptakan rasa dingin agar kau punya alasan tercipta, seperti pelukan. Meski terkadang, pelukan hanya menenangkan satu diantara dua tubuh yang tengah bersauh.

Teruntuk secangkir cokelat panas dia hadapanku, kamu tahu betul bahwa bukan hanya aku, namun setangkup roti isi di piring bulat putih yang kupesan juga butuh seorang kawan. Setidaknya kawan yang selalu menggaduhkan harimu yang sepi atau memancing hormon tertawamu ketika kalut menyelimuti.

Teruntuk secangkir cokelat panas yang masih memenangkan sebagai pengantar tidur mengalahkan secangkir the cammommile, kau serupa suara serak basah yang mengucapkan selamat malam dan bermimpi indahlah. Tak jarang juga kau menjelma bibir basah yang menjatuhkan ciuman tepat di kening sesaat sebelum lampu kamar dimatikan.

Masuk surgalah kau, pencipta minuman cokelat panas.

Surabaya, 2014

Mlaku-mlaku Nang Tunjungan Numpak Agya Bersama @adityadaniel

biim.. biim..

Kira-kira begitulah suara di linimasa kalau bosse @PosCinta lagi anterin surat. Tapi aku tetep suka sama suara kring.. kring.. pos.. pos.. -nya Bosse. Tapi #NaikAgya bikin Bosse engga kehujanan dan kepanasan, ya? Maklum, cuaca di Indonesia lagi galau-galaunya. Kayak ditinggalin kekasih pas lagi sayang-sayangnya.

Surat cinta bertema hari ini aku tujukan buat kakpos @adityadaniel yang baru saja berulang tahun. Happy Belated Birthday, Kak Adit. Kalau ajakan kentjan naik Agya ini jadi hadiah ulang tahun Kak Adit gimana? Aku tambahin deh nanti kita keliling-keliling Surabaya naik Agya. Kita datengi tempat-tempat oke dan bersejarah di Surabaya macam Tugu Pahlawan, Balai Pemuda, lewati Jembatan Suramadu, daerah pecinan, Museum Mpu Tantular, Museum Kesehatan, Museum Angkatan Laut, Museum rokok di House of Sampoerna. Jangan khawatir juga nanti kita beri makan naga-naga kelaparan di perut kita. Kak Adit mau apa? Di Surabaya banyak sekali kuliner enak, seperti lontong balap, semanggi, tahu petis di daerah pasar Blauran, bebek Sinjay, kue rangin, jajan pasar. Apa aja deh. Pokoknya kita nanti mlaku-mlaku nang Tunjungan numpak Agya.

Dear, Kak Adit, selain mlaku-mlaku aku juga tak akan lupa mengaminkan doa-doa baik yang kak Adit panjatkan.

Sekali lagi,
Happy Belated Birthday, kakpos @adityadaniel

Yuk! Mlaku-mlaku nang Tunjungan numpak Agya.

sincerely,
@pratiwihputri

Dear Valentine

Dear Valentine,

Happy Valentine, dearest.
Bagaimana kabarmu hari ini? Kuharap jawabannya baik-baik saja. Karena aku pun baik-baik saja. Entah kapan kita terakhir bertemu, tapi seingatku ketika kita sedang menghadiri reuni akbar bersama kawan-kawan SMP.

Selamat Ulang Tahun, Cantik.
Semoga bahagia senantiasa merengkuhmu.
Semoga secepatnya didekatkan dengan jodoh.
Dan akan kuaminkan segala doa baik yang engkau panjatkan.

Kawanmu,
@pratiwihputri

Untuk Cinta yang Tak Mampu Kubalas

Selamat pagi, kamu yang menghujaniku dengan perhatian. Sungguh, perempuan mana yang tak tersipu jika diperlakukan spesial oleh seorang lelaki macam kamu? Perempuan mana yang tak mampu tiba-tiba menjatuhkan hatinya tanpa sadar kepada laki-laki dengan begitu banyak perhatian seperti milikmu. Oh, maaf, kecuali aku.

Oh, jangan khawatir, aku pun perempuan normal yang masih menyukai lawan jenis. Hanya saja, aku sudah membuat garis pertahanan di antara kita. Aku pernah membaca sebuah tulisan, it says:

"There is a fine line between love and friendship. When you pass the line, you'll never go back"

Garis yang kutarik jauh sebelum aku menyadari sebuah keganjalan ini bertujuan agar sebuah persahabatan yang kita jalin bertahun-tahun ini tak rusak hanya karena hal-hal yang tak seharusnya terjadi. Betapa aku mencintai persahabatan ini lebih dari apa pun.

Apa sebenarnya yang kau tunggu? Jika cinta dijatuhkan karena perasaan nyaman saat bersama, kumohon periksa kembali hatimu mengenai aku. Jika persahabatan ini menjelma manusia, dia pasti serupa bocah yang sedang nakal-nakalnya dan berseragam putih-merah. Tak mengindahkan ibunya yang melarangnya untuk jajan sembarangan, yang paling malas mengerjakan tugas rumah dan sedang gemar-gemarnya bermain. Lalu kita, sebagai orang tuanya harus mampu mengarahkannya agar bocah ini tumbuh menjadi manusia baik-baik.

Untuk cinta yang tak mampu kubalas ini, kumohon segeralah mencari dada lain tempatmu menjatuhkan peluk. Biarlah aku di sini, menjadi pemandu sorak akan hal-hal baik yang ingin kau lakukan dan mengaminkan segala doa-doa baik yang kaupanjatkan dalam sujudmu.

Dari sahabatmu,
@pratiwihputri

Kepada Kalian Pecinta Kata

Pagi ini aku membuka mata tepat pukul lima pagi lalu membersihkan ruangan tengahku yang begitu berantakan selepas aku membuat beberapa kartu ucapan. Beberapa? Iya, karena aku sedang membuat untuk dihadiahkan kepada kalian yang semalam ikut meramaikan suasa, entah dengan membaca puisi atau bernyayi.

Tepatnya kemarin, 14 Februari 2014 sebuah akun yang tak asing, @MalamPuisi mempunyai acara fantastis. Bagaimana tidak kusebut fantastis, acara yang bertajuk #LovePoetry #UntukKelud ini dihelat di 24 kota penggerak Malam Puisi se-Nusantara. Dari linimasa aku tahu bahwa acara ini berjalan begitu pecah dan khidmat di setiap kota.

Surat ini aku tujukan kepada mereka yang datang di acara Malam Puisi #LovePoetry #UntukKelud. Baik yang hanya menyaksikan sambil menikmati cemilan atau yang ikut berpartisipasi ikut meramaikan. Surat ini ditujukan untuk mereka yang turur serta menyukseskan acara keren ini, baik yang telah datang di @malampuisiSUB atau kota-kota lain.

Baik aku, Cukmin @kotajancuk bahkan Momod @malampuisiSUB pastinya sangat mengapresiasi kalian yang sudah meramaikan, terutama kawan-kawan dari ID_puisi, welfarian, beat box surabaya, juga kopdarsurabaya. Kartu-kartu yang kubagikan semalam itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kalian yang membuat acara semalem menjadi pecaaaaah.

Kami hanyalah satu dari beberapa hal yang tak ada artinya tanpa support serta partisipasi kalian para pecinta kata. Sedikit, aku akan menceritakan apa yang kurasakan tadi malam hingga sekarang. Oh, aku lupa aku sudah kehabisan kata mengenai acara semalam. Semuanya pecah. Kalian keren. Sekali lagi, terima kasih sudah ikut berpartisipasi juga ikut berbagi di event #UntukKelud semalam. Mari berdoa yang terbaik untuk kita juga alam semesta.

Al-fatihah..

@pratiwihputri

Selamat Ulang Tahun

Aku mengarungi jalanan Surabaya pagi ini lalu selintas melihat tanggal di telepon genggamku, YASSALAM SUDAH TANGGAL TIGA BELAS. Itulah mengapa selepas aku memarkirkan kendaraanku, aku memutuskan untuk menulis sebuah surat yang aku peruntukkan kepada salah satu kakak kami yang saya sayangi. Panggil saja Masni, kalian bisa temukan dia lewat @mazni_ dan nikmati sajak-sajak di linimasanya.

Kalau aku ingin bernyanyi rasanya sudah tak pantas, eh tapi lagu tak mengenal berapa umur kita, ya? Lucu juga aku mengirimkan surat kalau bisa saja aku langsung menemuimu seperti biasanya, menghujanimu dengan amin akan doa-doa baikmu lalu memelukmu.

Selamat Ulang Tahun, Mas Masni.

Selamat ulang tahun kakak kami tersayang, terima kasih sudah menjadi kakak yang begitu baik untuk kami. Terima kasih sudah selalu ada untuk kami. Terima kasih sudah mengajarkan kami perihal mencintai dengan hati tanpa pamrih. Eh tapi, terkadang cinta butuh pamrih lho, mas. Hehehe.

Aku kehabisan kata-kata, doaku adalah apa-apa yang terbaik, buatmu dan buat sekitarmu.

Sekali lagi,

Selamat Ulang Tahun, Mas Masni.

Dari salah satu adekmu yang tak berhenti makan,
@pratiwihputri

Payung untuk yang Sedang dalam Pelukan

Selamat siang, Kamu. Hari ini tidakkah kau lihat wajahku lebih berseri-seri daripada biasanya? Sebab aku sedang bahagia-bahagianya menyaksikan kau yang menandaskan bekal makan siang yang sudah kubuat khusus untukmu tadi pagi.

Aku sengaja tak tidur selepas sembahyang Subuh tadi, sayang. Semalam aku berselancar di dunia maya iseng sekali mencari resep makanan di situs online. Nama makanannya, Nasi Goreng Tuna Pedas. Aku tahu sekali kau suka sekali makanan pedas, meski kau selalu memarahiku jika aku menyendok sambal bahkan hanya satu sendok. Rupanya kau mengindahkan pesan ibu untuk menjagaku, terutama lambungku yang suka sekali rewel.

Kemarin, hujan deras di kota kita membuat pertemuan kita kembali dibatalkan. Tak apa, semesta telah menggantinya hari ini. Karena dadaku ini, sayang, sumber segala gelisah ketika pertemuan kita sedang tak direstui semesta. Namun gelisah, hanya kerikil dalam perjalanan kita yang meski kecil janganlah pernah kita abaikan.

Oh, iya, beberapa waktu lalu ketika kubantu kau membersihkan mobilmu tak kudapati payung sebuah pun. Cerobohmu tak hilang-hilang rupanya. Bukankah percuma mengendarai mobil namun tak bawa payung ketika turun dari mobil dan akan masuk gedung? Tak sekalipun aku ingin mendengar kamu diserang sakit.

Kepada kamu yang sedang dalam pelukan, sengaja selepas pertemuan kita siang tadi, kuletakkan payung di bagasi belakang mobilmu. Warnanya hijau toskah polos, kubeli di supermarket dekat rumah kemarin sore. Kenakanlah jika hari hujan agar tak basah pakaianmu atau panas agar tak berkeringat tubuhmu. Lipatlah rapi-rapi setelah kau kenakan.

Kepada kamu yang sedang dalam pelukan, selamat sore dan selamat menikmati macet sepulang ngantor. Kabari aku setibamu di rumah.

Surabaya 2014.

Siapa Namamu, Gadis Manis?

Hari ini aku berhenti di sebuah lintasan kereta api tanpa palang, memoto seorang penjaga lintasan kereta api yang selalu kutemui setiap aku melewati daerah itu, tapi fotonya hilang dan akhirnya aku memutuskan mengirim surat hari ini kepada salah satu anak jalanan yang diasuh sebuah social movement di Surabaya, yaitu @SSChildSurabaya.

Sekitar dua bulan yang lalu, komunitas pecinta puisi di Surabaya alias @kotajancuk yang berkolaborasi dengan @SSChildSurabaya mengadakan acara #TamanKata dimana acara diperuntukkan untuk anak-anak jalanan di Surabaya. Aku lupa siapa namanya, kenal pun bahkan tidak. Namun, gadis kecil berambut keriting ini naik ke atas panggung dengan pedenya.

Siapa namamu, gadis manis? Aku salut akan keberanianmu membacakan puisi di depan banyak orang dan tanpa teks. Bahkan aku, belum pernah membacakan puisi tanpa teks satu kalipun, bahkan ketika membacakan puisi yang kubuat sendiri.

Siapa namamu, gadis manis? Siapapun namamu kamu ialah serupa bunga-bunga yang sedang mekar di sebuah taman bernama Indonesia. Siapapun kamu, belajarlah yang rajin agar jadilah kau anak yang berguna bagi orang lain. Siapapun kita tak akan pernah ada artinya jika tak bermanfaat bagi sekitar.

Semoga aku, masih mampu melihat ceriamu di setiap acara yang akan kami gagas nanti.

Dari, seseorang yang tak pernah tahu namamu.

Bumblebee

Aku masih ingat sekali waktu itu tanggal 1 Januari 2004, beberapa bulan setelah aku kehilangan salah seorang adikku, Papa menghadiahkan Mama sebuah motor aneh berwarna kuning. Aku masih belum tahu apa itu kendaraan bermotor matic, yang aku tahu motor Mama terlihat sangat aneh dari bentuk dan juga warna.

Namun ternyata, Yamaha Mio berwarna kuning inilah yang akhirnya dihibahkan Mama kepadaku menemani hati-hariku semasa SMA hingga aku menjadi seorang mahasiswa. Aku masih ingat saat-saat aku terjebak banjir atau kehilangan kunci motor atau bahkan si Kuning yang tiba-tiba mogok.

Terhitung semenjak Agustus tahun lalu aku sudah tak lagi menggunakannya dalam keseharian. Papa membelikanku sebuah Piaggio berwarna putih keluaran terbaru. Jika saya si Kuning alias yang biasa kupanggil Siti Maemunah atau kalau lagi pengin keren kupanggil dia Bumblebee bisa berbicara, dialah motor paling berjasa sedunia. Setidaknya selama 10 tahun belakangan ini.

Baik-baiklah di garasi, jangan khawatir, sesekali aku pun akan menunggangimu.

Dari majikanmu yang super bawel dan jarang sekali menyucimu,
@pratiwihputri

Surabaya, 2014.

Berhenti untuk Berputar

"bahwa cinta tak akan jatuh ke tempat yang salah"

Begitulah yang sempat kubaca di suatu tempat, entah di sebuah buku, sebuah sosial media atau situs pribadi orang. Detailnya aku lupa, tapi aku meyetujui kalimat di atas. Ini surat kesekian yang aku tulis bulan ini dan aku memilih kamu sebagai tempat surat ini tertuju.

Seorang kawan sempat memperingatkan aku agar segera menyuruh hatiku bekerja. Rupanya dia benar sekali, terlalu lama sudah hatiku mendapat liburan dan menganggur. Sekali waktu juga timbul ketakutan dari dalam diri akan kehilangan fungsi hati. Aku lupa apa itu cinta, yang kutahu selama ini cinta adalah bagaimana aku memperlakukan kawan-kawanku. Mungkin tak salah, tapi semandiri apa pun, perempuan akan selalu membutuhkan laki-laki yang tak hanya mendampingi, namun juga mendukung serta mendoakan. Laki-laki, yang seperti kamu.

Sungguh tak ada yang berbeda dengan hari itu, malam masih berkutat dengan yang mereka sebut misteri. Tapi bukankah, dada laki-laki lebih misteri dari malam? Ah, sebentar, aku ingin membicarakan hal-hal seputar kamu bukan malam. Kita abaikan paragraf ini sebentar.

Ada dua bintang untuk kau dan aku,
menanti kita kembali 'tuk bersama.
Di angkasa terlukislah kisah kita,
dua manusia yang berputar demi cinta.

Sepotong lagu milik Dendy Mike berjudul Dua Manusia mengalun lembut menemani malam kita, kala itu. Tak ada yang berbeda hari itu, kita masih dua orang yang mampu tertawa lepas ketika sedang bersama, yang seakan kehilangan beban jika sedang bertemu. Hingga akhirnya kita sadar, sejauh apapun kita berputar mengelilingi bumi untuk mencari cinta sejati, mustahil bagi kita untuk menemukannya. Kau tahu, bahwa yang sedang kita cari-cari itu sejatinya telah berada di sini, di antara kita. Hanya saja, kita tak pernah menyadari.

Hingga hari ini, sebuah perbedaan telah kita ciptakan. Kita berhenti mencari, kita lebih banyak menciptakan pelukan, lebih banyak suara tawa dan yang pasti, kita berhenti untuk berputar.

Selamat saling mencintai, Kamu.

Surabaya, 2014.

Vanilla Latte

Tak ada yang lebih hangat selain sebuah pelukan, bahkan dari matahari pukul tujuh pagi dengan malam tanpa hujan tentunya. Sebuah pertemuan akan dilangsungkan pagi ini, itu mengapa pagi ini wajahku mungkin terlihat lebih bercahaya dari kemarin. Aku melangkahkan kakiku dengan lincah sambil bersenandung kecil lagu We are Kids milik Lacrosse dengan sebuah earphone yang menempel di kedua telinga sambil sesekali  menghindari beberapa kubangan kecil bekas hujan semalam.

Aku begitu merindukan sebuah pertemuan, sudah beberapa bulan meyakinkan hati bahwa menunggu kekasih pulang dalam pelukan itu salah satu dari kegigihan yang nantinya berbuah manis. Meski aku tahu, bahwa menunggu ialah perkara melapangkan dada, meninggikan kesabaran dan harus siap dengan risiko tidak menghasilkan apa-apa kecuali penyesalan, yang aku yakini hingga saat ini adalah bahwa kegigihan itu manis.

Matahari belum juga tinggi, tapi aku sudah merasa segar dibalut dress kotak-kota biru laut pemberian ibu dengan panjang di atas lutut dan flat shoes warna biru tua dengan pita putih di tengahnya. Di leherku menggantung kalung berbentuk sebuah kunci dan seperti biasa, rambut kugulung sembarangan, beberapa menjuntai ke bawah menghiasi leherku.

Aku memasuki sebuah kedai kopi di ujung sebuah jalan, tempat favorit untuk melamun. Melamun tentang apa saja. Tempat favoritku menghadap jendela yang kala itu masih basah lalu seorang waitress menghampiri dan memberiku sebuah buku menu sambil tersenyum ramah. Di pagi yang biasa ini ada yang berjanji menemaniku sarapan sebelum berangkat ke kantor di kedai kopi biasa.

“Biasa sajalah, Mas. Sedang tak begitu lapar.”

“Ditunggu ya, Mbak.”

Mahardika. Begitu yang tertulis di name tag yang menempel di dada sebelah kirinya. Pegawai baru kedai ini, baru tiga bulan namun sudah hafal betul denganku. Minuman kesukaanku, roti kesukaanku bahkan dia tahu lagu kesukaanku

“Mbak Nina suka The Cure?”tanya mbak mbak yang menjaga kasir suatu ketika.

“Tahu dari mana, Mbak? Oh, iya, akhir-akhir ini suka diputar, ya?”

“Mas Dika, Mbak. Dia yang request ke saya.”

“Dika?”

“Hari ini dia engga masuk, Mbak. Adiknya sakit katanya.”

“Oh.”

Aku suka tertawa sendiri melihat Dika yang santun ketika mengantarkan pesanannya, seperti pagi ini. Secangkir Vanilla Latte dan sepotong Red Velvet sudah terhidang manis di mejaku, tentu dengan sebuah kejutan kecil yang selalu diberikannya setiap aku datang ke kedai tempatnya bekerja. Dua minggu lalu dia memberiku sebuah gantungan kunci berbentuk anak kucing, oleh-oleh dari Bandung, katanya. Sejak kapan oleh-oleh khas Bandung adalah gantungan kunci berbentuk kucing. Pernah juga waktu itu dia meletakkan setangkai mawar putih di atas mejaku saat aku tengah asik dengan komputer jinjingku, katanya dia membelinya dari seorang nenek tua yang lewat di kedai ini tadi malam. Atau yang paling kuingat adalah dia memberiku sebungkus vitamin, katanya sudah semingguan ini aku terlihat sangat capek dan pucat.

“Apa ini?”tanyaku sambil menunjuk sebuah kotak berwarna kuning pastel di samping cangkirnya.

“Semalam sepulang dari kedai aku lihat ini di toko depan sana, mumpung lagi sale.”ujarnya sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkanku yang kini digantungi penasaran.

Aku menyendok sepotong red velvet,kemudian meneguk vanilla latte yang mulai dingin. Bagaimana tidak, sudah hampir empat puluh lima menit yang ditunggu belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku meraih bingkisan kuning pastel di depanku.

“Jangan dibuka sekarang! Tunggu di rumah!”seru Mahardika dari balik mesin kasir.

“Selamat pagi, Nona Manis.”sapa seseorang bergestur tegap yang mengambil tempat duduk di hadapannya lalu meletakkan blackberry-nya dengan led yang tak pernah berhenti mengedip.

Kalian tak akan pernah tahu kapan cinta datang atau pergi, yang kita tahu hanya bahwa cinta selalu datang tepat waktu tanpa kau pinta. Laki-laki ini dulu datang padaku dengan dada yang tercabik-cabik dan sedang bertunangan dengan sepi, begitu yang kutaksir dari cerita-ceritanya. Aku bukan perempuan baik-baik, perkenalanku dengannya pun berawal dari dua botol Black Russian yang akhirnya membuat lidah kami tak berhenti bercerita tentang masing-masing hingga subuh. Dia meracau tentang seorang perempuan yang meninggalkannya, yang kutahu dia begitu menyayangi perempuan itu.

“Selamat pagi, Mas.”

“Maaf terlam...”

“Tak apa, sudah biasa aku menunggu.”desahku. Hal yang paling sulit aku lakukan adalah bersikap biasa seolah tak ada apa-apa padahal aku sedang menyembunyikan setangkup rasa kecewa, “Oh iya, mas mau kupesankan apa?”

“Tidak usah, mas sudah sarapan tadi. Bagaimana kuliahmu? Dosenmu masih suka marah-marah?”

“Hahaha, masih. Aku sudah tujuh kali ganti judul dan beliau masih belum bisa menerimanya. Dia terlalu sempurna, segalanya harus sempurna termasuk judul tak boleh mainstream.”

“Sudah macam anak twitter saja dosenmu. Jaga kesehatan, aku tak ingin kamu sakit.”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”

“Aku lega bisa melihatmu hari ini. Maafkan aku, aku harus pergi. Dua puluh menit lagi masuk kantor. Sekali lagi ma..”

“Jangan terlalu dipikirkan, mas menyempatkan diri kemari saja aku sudah senang setidaknya rinduku terobati sedikit. Rindu itu semacam luka di lutut, mas, yang ditutupi celana jeans baru.”
“Tapi kau sedang tak memakai celana jeans.”guraunya. Aku hanya tersenyum. Kehabisan kata-kata. Percuma saja berpuisi di hadapannya, dia kehabisan makna. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya mendekatiku dengan tatapan yang tak pernah kumengerti maksudnya. Hubungan kami sudah hampir satu tahun berjalan, tapi beberapa bulan terakhir aku hampir tak pernah menemukan sosoknya yang dulu ketika kami masih gemar berbincang ditemani dua gelas bir hingga subuh, bahkan ketika bertatap sekalipun.

Laki-laki itu mencium keningku, membalai rambutku perlahan lalu tersenyum, “Aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik.”

Kata-katanya barusan, seperti seseorang yang sedang berpamitan hendak bepergian jauh. Mataku terasa panas seiring dengan matahari yang semakin meninggi. Tak sekali dua kali dia melakukan hal ini. Dulu, bagi kamu hal romantis bukanlah makan malam dengan lilin di atas meja di restoran mahal, tapi saling mencuri waktu untuk sekadar sarapan bersama sebelum kami akhirnya melakukan aktivitas masing-masing. Dulu, bagi kami hal menyenangkan bukan nonton film bersama di bioskop sambil memegang tangan, tapi menghabiskan sore bersama sampai mentari menjemput malam di atas rooftop sebuah gedung tua dekat kantornya.

***

“Berhenti, Nin. Sudah habis berapa botol kau?”seseorang memegangi lenganku.

“Ngapain kamu di sini?”

“Sudah hampir sebulan kamu tak datang ke kedai. Ada apa?”

“Tak apa.”

“Sudah dibuka bingkisan dariku?”

“Sebuah kotak berbentuk kardus, kupakai buat asbak di kosan.”

“Itu untuk mengemas hatimu, Nina. Sudah saatnya kamu pindah.”

“Maksudmu?”

“Sebulan ini aku mencarimu, laki-laki yang mencium keningmu pagi itu setelah kuberikan bingkisan ini padamu memberiku ini. Dia menyampaikan banyak maaf untukmu, aku bilang jika dia gentleman harusnya dia menghampirimu. Tapi katanya, dia tak sanggup melihat air matamu yang luruh.”

“Apa ini?”

“Undangan pernikahan. Dia akan menikah, Nina.”

“Mana mungkin. Perempuan yang pernah dicintainya itu meninggalkannya dengan laki-laki lain.”

“Dia belum sepenuhnya pindah kepadamu, dia banyak cerita kepadaku malam itu ketika dia memberiku undangan dan surat ini. Dia masih mengharapkan mantannya. Nina, pindah itu bukan hanya perkara kau menempati sesuatu yang baru tapi terkadang kita butuh isi yang benar-benar baru.”

“Maksudmu?”

“Baca surat darinya.”


Dear Nina,
Mas tahu kamu akan terkejut. Kamu boleh memanggil mas brengsek atau pengecut, mas tak punya nyali untuk mengatakan langsung padamu. Shinta kembali padaku dan menangis ingin dinikahi, aku tak bisa menolak keinginannya. Mas sayang padamu, tapi mas begitu mencintai Shinta. Mas tak mengharap kau hadir dalam pernikahan itu jika kau memang tak sanggup. Sekali lagi, maafkan mas.

                                                                                                                                                                                Aldino.

Pelukanku rebah di dada laki-laki di sampingku. Aku menangis sejadi-jadinya di sana. Dika benar, sudah waktunya aku pindah.

                                                                     ***

Dan di sinilah aku sekarang, setelah melewati jutaan detik waktu dan pertanyaan tentang dari mana kita harusnya memulai cerita dan saling belajar berdamai dengan keadaan juga waktu yang seringkali menjadi tersangka cerita pahit juga setelah ketelatenan seorang Mahardika mengobati luka di lutut dan menghadiahiku celana jeans baru yang wangi, apalagi kalau bukan cinta.

Jangankan kalian, bahkan aku tak pernah percaya, laki-laki berkulit putih yang tampan itu menawariku untuk membantuku pindah bukan hanya sekadar pindah dari pelukan yang konon katanya hangat itu pada pelukannya yang asing namun juga membenahi isi “rumah” yang berantakan.

Sore ini, setelah kejadian beberapa bulan yang lalu di depan berbotol-botol bir, sambil mengunyah vanilla latte di kedai favorit dan tempat duduk favorit aku tersenyum karena berhasil menjadi orang baru di sebuah lingkungan baru dengan isi “rumah” yang baru—di pelukannya. Pelukan Mahardika.

Pindah itu bukan hanya perkara kita menempati sebuah “rumah” yang baru, namun juga harusnya diikuti dengan isi “rumah” yang baru.


Surabaya, 2013.

Cara Kami Membunuh Rindu

Aku masih mengenakan seragam kantorku saat kuputuskan untuk memarkirkan mobilku di sebuah parkiran basement di sebuat pusat nongkrong paling ramai di kota ini. Sebuah pesan singkat diterima oleh ponsel pintarku satu jam yang lalu darimu yang memintaku membunuh rindu yang tumbuh selama satu minggu kemarin. Seringkali kau memintaku membunuh rindu, meski tahu bahwa dia akan kembali hidup bahkan lebih liar selepas kita ciptakan temu dan pelukan.
Aku membenarkan posisi rokku sebelum akhirnya turun dari dalam mobilku, memoles sedikit gincu berwarna lembut di bibirku dan menyisir anak rambutku yang agaknya mulai berantakan. Aku menyukai seberantakan apapun kamu, begitu katamu di sebuah pagi ketika aku merengek minta diantar karena bangun kesiangan dan tak sempat bersolek. Tapi perempuan mana di dunia ini yang tak ingin terlihat cantik dan rapi di depan kekasihnya, sayang? Tak ada.
Kau sedang membaca buku "Thirteen Reasons Why" milik Jay Asher yang kita temukan seminggu lalu di toko buku bekas. Rupanya kau benar-benar ingin membacanya. Aku sedang membaca "Paper Towns" karya John Green dan berhenti di halaman 5. Kesibukanku membuat waktu membacaku semakin berkurang. Perempuan mana yang tak luluh melihat lelakinya sibuk membaca buku? Itu hal yang seksi, bukan.
Kamu mengucapkan selamat datang lewat sebuah senyuman, betapa bahasa tubuh terkadang memang lebih bermakna dari sekadar kata-kata. Dua cangkir kopi diantar seorang perempuan berbusana dress pendek bermotif batik. Hari Jumat, selalu identik dengan batik. Salah satu usaha negeri ini melestarikan budayanya. Kau tak pernah salah dengan selera kopiku, kopi hitam dengan biji kopi asli dari pulau Jawa menjadi salah satu favoritku dan kau, tak pernah absen menuangkan satu sachet gula pasir ke dalamnya. Ya, cukup satu sachet. Aku belajar menikmati kopi darimu. Kopi banci, katamu dulu ketika aku menuang banyak gula di dalamnya. Seni menikmati kopi ialah rasa pahitnya, getirnya yang kau ibaratkan sebagai hidup bahwa dari pahitnya pengalamanlah kita banyak belajar dan menjadi lebih dewasa meski jangan pernah lupa bersyukur akan manis yang diberi semesta.
Kafe ini tak minimalis atau modern, suasananya mengajak kita kembali pada tahun 70'an. Zaman paling romantis, katamu. Entahlah, kamu tak pernah memberi alasan pada argumenmu. Namun aku tak pernah melayangkan protes. Aku meletakkan kepalaku pada bahumu, dimana aku ingin sejenak menghentikan detik-detik milik waktu agar bisa menikmati lebih lama detak di dada masing-masing kita yang berdegup tak seperti biasanya.
Kata-kata terkadang sungguh tak berlaku pada sebuah pertemuan, bahasa tubuh, sentuhan, pelukan, memang terkadang lebih dibutuhkan. Tak peduli kopi di cangkir kita tak lagi mengeluarkan kepulan asap, asalkan tangan kita masih tergenggam untuk saling menguatkan. Tak peduli kita tak sedang membaca buku yang sama dalam hening, asal kaki dan tanganmu tak pernah absen menjahiliku dan kau tak pernah protes kepalaku tetap berada di bahumu, meski kau sedang lelah-lelahnya sepulang bekerja.
Surat ini untuk para pembaca bahwa begitulah cara kami membunuh rindu. Lalu, bagaimana cara kalian?
Surabaya 2014.

Aku Masih Ingin Belajar

"Aku tak pernah tahu masih adakah aku di sini jika bukan karena kau ada, Ibu"

Kemarin sudah kulayangkan sebuah surat untuk Ayah, rasanya tak adil jika hari ini aku tak juga mengirimu surat. Bukankah cinta kalian sama denganku? Cintaku pada kalian pun demikian. Tak ada yang lebih kucintai, apakah itu Ayah, apakah itu engkau, Ibu. Jika bukan kau yang mau dan sanggup membawa aku meski hanya tujuh bulan di dalam rahimmu, mana mungkin hari ini aku dapat terlahir dengan lengkap tanpa kekurangan satu apapun.

Tak sedikit aku mendengar cerita tentangku, mulai ketika aku masih dalam rahimmu yang hangat itu hingga aku mampu menghirup oksigen di dunia yang keras ini. Aku tak pernah tahu, semulia apa hatimu? Namun, yang aku tahu hatimu lebih mulia dari berlian atau emas semahal apa pun di dunia ini. Bagaimana tidak, kau mampu mencintai seorang yang bahkan kau tak kenal, bahkan kau tak pernah tahu seperti apa rupanya atau seperti apa baunya. 

Kala itu, kita hanya dipisah oleh beberapa lapis tipis yang membalut tubuhku dalam rahim itu. Kubilang, bahwa rahim ialah tempat paling hangat dan nyaman di dunia ini. Aku tak pernah menangis di dalam sana, aku tak tahu apa itu kesedihan, yang aku tahu hanya aku sedang nyaman-nyamannya di sana tertidur pulas sepanjang hari atau sesekali terbangun ketika lapar dan terkadang menjahilimu dengan menendang-nendangkan kakiku yang rapuh. Tapi bukankah itu kegiatanku yang begitu membuat engkau senang, pun dengan Ayah.

Terima kasih atas dongeng-dongeng sebelum tidurnya, terima kasih atas susu cokelat di pagi hari, terima kasih atas rasa khawatir setiap kali aku masuk rumah sakit, terima kasih atas semuanya. Tetaplah menjadi Ibu yang keren untuk anak-anakmu dan tentu jagalah kesehatan, aku masih ingin belajar bagaimana caranya merawat anak dengan baik kelak ketika aku telah dikaruniai buah hati oleh Tuhan serta bagaimana caranya menjadi istri yang baik kelak ketika aku telah menemukan pendamping hidup yang dijanjikan Tuhan.

Betapa aku, mencintaimu, Ibu.

Surabaya, 2013.

Siapa yang Tak Kenal @penagenic?

Aku baru saja mengantar ayahku di sebuah stasiun pagi ini, ketika aku memutuskan untuk menulis surat (lagi) di event tahunan yang sesungguhnya keren. Ayahku, seperti biasa akan melakukan perjalanan dinas, kali ini ke Bandung. Sebenarnya ingin sekali aku mengiriminya surat macam ini, berhubung ini bertema dan temanya selebtwit aku memutuskan untuk menundanya.

Sejatinya, aku tak begitu paham akan konsep selebtwit. Sebenarnya siapakah dia? Bukankah sebelumnya semua dari kita bukan siapa-siapa hingga akhirnya banyak orang yang menyukai isi kepala kita di sosial media yang kebanyakan orang sebut twitter. Kita bukan apa-apa sebelum akhirya banyak yang meng-copy paste tulisan kita karena menarik di mata mereka. Ya, sesungguhnya semua dari kita bukanlah siapa-siapa di mata semesta.

Aku banyak sekali belajar dari sebuah akun bernama @penagenic. Akun ber-followers empat digit yang terkenal di linimasa. Siapa yang tak kenal MasPen, begitulah biasanya dia dipanggil. Sajak-sajaknya yang gelap sudah meramaikan linimasaku dalam beberapa tahun belakangan ini. Aku banyak belajar tentang menulis darinya. Namun sungguh, aku tak hanya belajar mengenai sajak, puisi serta penulisannya saja. Aku lebih banyak belajar mengenai kehidupan darinya. Dunia ini keras, dan itu sebuah kesialan yang menggantungi kita semua setelah Ibu melahirkan kita dari rahimnya.

MasPen ialah seorang yang tak pernah memandang sesuatu hanya dari satu sudut saja. Bagi seorang yang sangat rapih dalam beberapa hal kecuali dia paling malas menyuci sepeda motornya yang sudah sangat kotor, MasPen yang sudah kuanggap kakak ini banyak sekali mengajariku banyak hal terutama bagaimana cara bersikap dan memperlakukan teman yang mempunyai karakter berbeda-beda setiap individu.

MasPen juga yang membuat Malam Puisi Surabaya ada, dengan dibantu beberapa kawan hebat di @kotajancuk juga tentunya. MasPen berhasil mematahkan pesimisku mengenai hal ini. Saya suka sekali dengan semangatnya yang begitu menggebu. Kalau kalian tak percaya tanya saja @adimasnuel yang sudah pernah bertemu langsung. Doaku bagi MasPen semoga segalanya dilancarkan terutama urusan pekerjaan, semakin sayang Mbak Istri dan Carine, sayang kami semua dan lekaslah memberi adik untuk Carine. Hehehe.

Buat kalian yang kebetulan sedang main di Surabaya, sempatkanlah bertemu MasPen, dia salah satu orang paling energic di dunia ini. Maafkan Tiwi ya, mas, kalau Tiwi punya salah, ngambekan, tukang makan. Aku sayang kamu, aku sayang kalian semua di @kotajancuk.

Surabaya 2014

Aku yang Tak Pernah Mendapat Tempat di Kepalamu

Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, berkali-kali kusibukkan hariku untuk membaca buku yang menarik di perpustakaan. Namun, baru kubaca judulnya saja yang mampu kueja hanya namamu. Aku sedang memaksa kepalaku membaca sebuah buku tentang sepasang kekasih yang keduanya sedang sakit keras, namun tidak pada hatinya. Hatinya mampu untuk saling mencintai dengan sempurna dari keterbatasan.

Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, yang tengah diprotes beberapa pohon trembesi di depan rumahmu--saksi ciuman-ciumanmu dengan yang sedang menggandeng tanganmu erat--untuk segera memberi hatiku pekerjaan. Dia terlalu lama menjadi pengangguran, katanya. Tahu apa pohon soal cinta? Oh, setidaknya dia mengajariku bahwa semakin tinggi kita semakin kencang angin yang menerpa. Rupanya aku sedang diuji agar segera memperoleh kelayakan.

Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, rupanya sudah terlalu lama aku menjelma jalan berlubang di komplek perumahanmu, yang selalu saja kauhindari dengan dalih takut merusak ban mobilmu yang mahal itu. Aku mungkin tak pandai berhitung seberapa banyak waktuku terbuang hanya untuk menunggu kau berhenti abai, meski kutahu aku tak akan pernah berhasil.

Inilah aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, yang mulai hari ini memutuskan untuk berhenti melayangkan protes.

Surabaya, 2014

Aku Sayang Kalian, Cuk!

Kemarin, kita bisa saja mendebatkan tentang sajak siapa yang paling menyentuh di antara kita atau kata mana yang tak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun, tiba-tiba hari ini kita bisa saling tukar lirik lagu yang sedang kita dengarkan di kamar masing-masing sambil menunggu kantuk di antara malam yang kian memekat. Betapa kita tak pernah kehabisan cara untuk tetap merasa dekat meski jarak sedang melerai.

Pagi tadi, dengan kantuk yang masih menggantung dan membuat kantung mata terlihat berat di saat beberapa yang lain lebih memilih menikahi kasur masing-masing, kita lebih memutuskan untuk mempertemukan sauh dan mengumbar peluk di sudut taman kota mendengar celoteh bocah-bocah jalanan membaca puisi. Betapa aku yang konon gemar berceloteh tiba-tiba kehilangan kata-kataku.

Aku tak pernah lupa kapan pertama kali bertemu dengan masing-masing dari kalian. Ada yang bertemu di depan cangkir kopi bahkan beberapa dipertemukan di tempat yang tak terduga.

Jika mereka bertanya seperti apa puisi, jawabanku adalah kalian. Sebentar, biar aku jelaskan sedikit puisi macam apa kalian. Puisi cintakah? Puisi perjuangankah?

Kalian adalah apa-apa yang tak pernah bosan menyesaki pikiranku, mengukir senyum di bibirku, mencipta gelak tawa di hariku atau membuat lidahku tak berhenti berdecak kagum. Dari kalian, aku yang hampir mati hatinya ini kembali merasakan semenarik apa rasa rindu yang diciptakan Tuhan atau sehangat apa sebuah pelukan yang diciptakan dari dua tubuh yang saling mendekap.

Aku tak pandai menulis surat cinta, kawan. Itu mengapa aku memutuskan menulis racauan untuk kalian. Jangan pernah ragukan sesayang apa aku pada kalian, jangan pernah tanyakan berapa kali aku memikirkan kalian dalam sehari atau mengapa aku tak segan menjatuhkan hatiku pada kalian. Aku kehilangan tajiku akan tiga pertanyaan barusan. Seorang seniman pernah berkata, bahwa mencintai tak butuh alasan.

Tetaplah memenuhi semesta ini dengan sajak-sajak kalian, tetaplah menulis yang kepalamu pikirkan dan hatimu rasakan untuk meninggalkan jejak.

Surabaya, 2014.
Untuk kawan-kawan keren di @kotajancuk.

Segeralah Mencari Jodoh

Saya sedang memandang beberapa foto yang tercetak di benda kotak canggih di tanganku. Masih terlalu pagi, jam dinding di kamarku yang telah gelap menunjukkan pukul tiga dini hari dan kantuk masih enggan bertandang padaku. Aku rindu kamu, aku rindu kebersamaan denganmu dan dua orang sahabat kita yang lain semasa kuliah. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan kepadamu, salah duanya adalah ucapan maaf dan terima kasih. Maaf, karena aku belum menjadi kawan yang baik buatmu. Aku sadar, bahwa kawan yang baik ialah yang tak pernah absen menemani jika sedang dibutuhkan. Namun aku tidak. Tapi kau harus tahu, bahwa aku punya doa yang tak pernah putus aku panjatkan untukmu, untuk kita. Semoga segala urusan kita selalu mendapat kemudahan dari pemilik semesta. Terima kasih, karena kau mau berteman dengan perempuan macam sepertiku. 

Selamat atas gelar Sarjana Akuntansi yang kini melekat di belakang namamu. Pergunakanlah dengan baik, kalau kau  mau, kau bisa mencantumkan gelar cantik itu di undangan pernikahanmu nantinya. Doaku setelah aku memelukmu siang itu, selepas universitas memberimu gelar ialah, semoga peruntungan senantiasa merengkuhmu. Jangan khawatirkan aku, dalam waktu dekat ini aku akan menyusulmu, aku berjanji. Tapi kamu juga harus berjanji mendoakan aku. Doamu sangatlah berarti, kawan.

Ini bukan akhir dari segalanya, ini adalah permulaan. Bahwa sesungguhnya kampus ialah kolam tempat kita belajar berenang. Kini kau telah pandai berenang dan saatnya mengarungi lautan. Jangan pernah tinggalkan sembahyang, jangan pernah absen berdoa dan senantiasa bersyukur. 

Perkara jodoh, jangan khawatir, Jodoh tak akan tertukar. Namun kau juga harus berusaha mencarinya. Segeralah mencari jodoh! Semoga cita-cita kita tercapai dan segera dipertemukan dengan jodoh yang baik. Catat kata-kata ini, peremuan baik akan mendapatkan laki-laki yang baik pula.

untuk sahabatku, @estisuhar

Surabaya, 2014.