Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, berkali-kali kusibukkan hariku untuk membaca buku yang menarik di perpustakaan. Namun, baru kubaca judulnya saja yang mampu kueja hanya namamu. Aku sedang memaksa kepalaku membaca sebuah buku tentang sepasang kekasih yang keduanya sedang sakit keras, namun tidak pada hatinya. Hatinya mampu untuk saling mencintai dengan sempurna dari keterbatasan.
Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, yang tengah diprotes beberapa pohon trembesi di depan rumahmu--saksi ciuman-ciumanmu dengan yang sedang menggandeng tanganmu erat--untuk segera memberi hatiku pekerjaan. Dia terlalu lama menjadi pengangguran, katanya. Tahu apa pohon soal cinta? Oh, setidaknya dia mengajariku bahwa semakin tinggi kita semakin kencang angin yang menerpa. Rupanya aku sedang diuji agar segera memperoleh kelayakan.
Teruntuk aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, rupanya sudah terlalu lama aku menjelma jalan berlubang di komplek perumahanmu, yang selalu saja kauhindari dengan dalih takut merusak ban mobilmu yang mahal itu. Aku mungkin tak pandai berhitung seberapa banyak waktuku terbuang hanya untuk menunggu kau berhenti abai, meski kutahu aku tak akan pernah berhasil.
Inilah aku yang tak pernah mendapat tempat di kepalamu, yang mulai hari ini memutuskan untuk berhenti melayangkan protes.
Surabaya, 2014
keren kak, aku suka, semangat nulis terus ya :)
BalasHapusdanke, nona manis.
BalasHapus