Cara Kami Membunuh Rindu

Aku masih mengenakan seragam kantorku saat kuputuskan untuk memarkirkan mobilku di sebuah parkiran basement di sebuat pusat nongkrong paling ramai di kota ini. Sebuah pesan singkat diterima oleh ponsel pintarku satu jam yang lalu darimu yang memintaku membunuh rindu yang tumbuh selama satu minggu kemarin. Seringkali kau memintaku membunuh rindu, meski tahu bahwa dia akan kembali hidup bahkan lebih liar selepas kita ciptakan temu dan pelukan.
Aku membenarkan posisi rokku sebelum akhirnya turun dari dalam mobilku, memoles sedikit gincu berwarna lembut di bibirku dan menyisir anak rambutku yang agaknya mulai berantakan. Aku menyukai seberantakan apapun kamu, begitu katamu di sebuah pagi ketika aku merengek minta diantar karena bangun kesiangan dan tak sempat bersolek. Tapi perempuan mana di dunia ini yang tak ingin terlihat cantik dan rapi di depan kekasihnya, sayang? Tak ada.
Kau sedang membaca buku "Thirteen Reasons Why" milik Jay Asher yang kita temukan seminggu lalu di toko buku bekas. Rupanya kau benar-benar ingin membacanya. Aku sedang membaca "Paper Towns" karya John Green dan berhenti di halaman 5. Kesibukanku membuat waktu membacaku semakin berkurang. Perempuan mana yang tak luluh melihat lelakinya sibuk membaca buku? Itu hal yang seksi, bukan.
Kamu mengucapkan selamat datang lewat sebuah senyuman, betapa bahasa tubuh terkadang memang lebih bermakna dari sekadar kata-kata. Dua cangkir kopi diantar seorang perempuan berbusana dress pendek bermotif batik. Hari Jumat, selalu identik dengan batik. Salah satu usaha negeri ini melestarikan budayanya. Kau tak pernah salah dengan selera kopiku, kopi hitam dengan biji kopi asli dari pulau Jawa menjadi salah satu favoritku dan kau, tak pernah absen menuangkan satu sachet gula pasir ke dalamnya. Ya, cukup satu sachet. Aku belajar menikmati kopi darimu. Kopi banci, katamu dulu ketika aku menuang banyak gula di dalamnya. Seni menikmati kopi ialah rasa pahitnya, getirnya yang kau ibaratkan sebagai hidup bahwa dari pahitnya pengalamanlah kita banyak belajar dan menjadi lebih dewasa meski jangan pernah lupa bersyukur akan manis yang diberi semesta.
Kafe ini tak minimalis atau modern, suasananya mengajak kita kembali pada tahun 70'an. Zaman paling romantis, katamu. Entahlah, kamu tak pernah memberi alasan pada argumenmu. Namun aku tak pernah melayangkan protes. Aku meletakkan kepalaku pada bahumu, dimana aku ingin sejenak menghentikan detik-detik milik waktu agar bisa menikmati lebih lama detak di dada masing-masing kita yang berdegup tak seperti biasanya.
Kata-kata terkadang sungguh tak berlaku pada sebuah pertemuan, bahasa tubuh, sentuhan, pelukan, memang terkadang lebih dibutuhkan. Tak peduli kopi di cangkir kita tak lagi mengeluarkan kepulan asap, asalkan tangan kita masih tergenggam untuk saling menguatkan. Tak peduli kita tak sedang membaca buku yang sama dalam hening, asal kaki dan tanganmu tak pernah absen menjahiliku dan kau tak pernah protes kepalaku tetap berada di bahumu, meski kau sedang lelah-lelahnya sepulang bekerja.
Surat ini untuk para pembaca bahwa begitulah cara kami membunuh rindu. Lalu, bagaimana cara kalian?
Surabaya 2014.

2 komentar:

  1. tulisan ini bikin inget sama film UP, di bagian Ellie dan Carl duduk berdampingan di kursi kesayangan mereka, saling membaca buku yang berbeda dalam hening, dan jemari mereka saling bertautan.

    Keheningan yang manis :)

    BalasHapus
  2. Oh iyaaa.. salah satu film favorit yang tak akan pernah bosan ditonton. :3

    BalasHapus