Aku berjalan menyusuri jalanan tak seberapa lebar di sebuah desa yang jauh dari hiruk pikuk kota besar macam Surabaya. Di kiriku terhempas dataran hijau berupa sawah ditanami padi yang masih belia, nun jauh di sana sebuah gunung menjulang dipayungi awan malu-malu. Di kananku mengalirlah air dengan tenangnya dari sungai kecil yang masih jernih.
Di sungai itulah aku dulu pernah bermain ketika masa kanak menangkap yuyu membasahi kaki atau sekadar bermain air dengan kawan. Aku juga masih ingat sawah hijau itu pernah kupakai bermain mengotori kakiku sebelum akhirnya aku menceburkan diri di sungai.
Peristiwa menyenangkan masa kanak yang bermain di kepalaku berhenti ketika melewati sebuah sekolah dasar yang harusnya tak asing buatku, di situlah aku pernah menimba ilmu selama enam tahun. Badanku masih kecil kala itu, rambutku masih cepak dan bajuku masih putih-merah. Dimana aku masih begitu merasakan arti guru sebenarnya, digugu dan ditiru.
Surat ini aku tujukan kepada seorang guru bahasa Indonesiaku ketika SD, bapak Astamun. Berkat beliaulah aku jadi gemar sekali menulis dan membaca. Membaca apa saja. Aku masih ingat sekali ketika beliau mendorongku mengikuti lomba story telling dan resensi buku hingga berhasil menjadi juara. Beliau juga yang mengajakku membaca puisi dekat dengan alam, bukan di dalam kelas.
Terima kasih, Pak. Semoga panjang umurmu dan sehat selalu.
Paiton, Probolinggo, 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar