tiga ratus tiga puluh satu kilometer dari kota pahlawan

tiga ratus tiga puluh satu kilometer dari kota pahlawan,

/1/
sebentar lagi senja,
aku ingin menyeduh secangkir kopi untukmu
namun aku lupa,
kau sedang tak ingin memelukku
sebentar lagi senja,
aku ingin menyentuh keningmu
namun aku lupa,
rindumu bukan lagi untukku

/2/
di luar hujan
rindu sedang asik bersenggama dengan jarak
bulir-bulir kenangan
berbaris di jendela berarak-arak

/3/
luka itu,
lebih pedas dari masakan irwan bajang
juga lebih berdebu
dari buku-buku di rak yang tak sempat dipegang

/4/
doa-doa dijatuhkan
oleh sepasang dada yang tabah
dan tak banyak bicara
meski kabul tak juga bersua
meski peluk tak kunjung bersauh

kantor indie book corner, jogjakarta, 2013


hujan yang rebah di kota istimewa

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, namun prasangkaku rebah di dadamu tepat setelah kaki kiriku turun dari kereta sancaka sore. pukul delapan lebih empatpuluhlima menit, seorang petugas meniup peluit tanda masinis boleh menjalankan keretanya, namun kau masih belum mengijinkanku menghuni dadamu yang konon lapang itu. aku masih ingat betul ketika aku memutuskan menerima pinangan sepi setelah dua tahun dadaku kehilangan kuncinya kau yang membukanya perlahan dan menghidupkan kembali kepakan sayap kupu-kupu kupu-kupu di perutku yang tidur nyenyak berselimut air mata. 

aku jarang sekali mengunjungi kota ini kecuali jika sedang patah hati dan lucunya patah hatiku selalu tepat dengan musim hujan tiba seperti kali ini, hujan tak hanya rebah di kota istimewa, begitu juga di pipiku. dia rebah dengan hangat ketika bibirku mengeja lima huruf namamu. cukup bagiku mengetahui bahwa aku merindukan desah nafasmu di tengkukku.

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, tapi kali ini bukan hanya tubuhku yang menggigil tapi juga sikapmu hari ini. tak ada ucapan selamat pagi atau hati-hati di jalan. ah, sayang, betapa rinduku bukan hanya sekadar rindu pada pelukan-pelukan kecil kita.

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, di sepanjang jalan kaliurang ini aku ingin merebahkan rinduku sejenak dan menunggu kepalaku berubah pikiran untuk melupakanmu.

kaliurang, 2013 

menemui sepi

aku bosan menulis puisi dengan ditemani kopi, hujan serta kamu. mendadak aku ingin membungkam debar yang membuntuti dadaku beberapa bulan terkahir ini, selepas kauhujani aku dengan pelukan sebelum aku berpamitan masuk ke dalam mobilku. sisa-sisa pelukanmu di ujung malam itu membekas aroma wangi yang perih di ujung kerah bajuku, aku bahkan lupa kapan terakhir kemeja polos hijau pupus itu kucuci. aku terlalu sibuk bercengkerama dengan sepi.

di depanku, dua bocah berseragam putih-abu sedang menikmati masa mudanya yang membara. berkali-kali kulihat perempuannya tersipu malu dipuji si lelaki. masing-masing dadanya bergemuruh persis seperti milikku. namun gaduh itu sendiri, adalah sebenar-benarnya sunyi. segeralah tumbuh besar kalian, agar tahu seperti apa rasanya menikahi sepi.

surabaya, 2013

rindu masih saja terjaga

senja baru saja berpamitan
dan kita,
masih saja kehilangan kata-kata
jam tangan di pergelangan mulai menertawakan kita
menertawakan genggaman tangan yang sunyi
dua cangkir di meja mulai mengantuk
sedang satu piring kentang goreng sudah tertidur pulas
namun,
rindu masih saja terjaga

pukul dua lebih tujuh belas menit
suara mesin kereta api masih berderu
pengamen jalanan masih bersemangat berlantun
kopi masih terlalu panas untuk disesap
tiga puntung rokok teronggok di atas asbak
kepalaku sudah bersandar di bahumu
namun,
rindu masih saja terjaga

gelap pelan-pelan gugur
matahari menguap
beringharjo kembali riuh
dua pasang langkah terlihat berat
tugu jogja mencibir pada kita
pertemuan sudah dilangsungkan
perpisahan siap disambut (kembali)
namun,
rindu masih saja terjaga

aku kehabisan cara, mas.
cara untuk menghabisi rindu.

jogjakarta, 2012.

pada sebuah beranda

: didik rahmadi

gerimis sudah satu jam menandai bumi dengan lembabnya sore tadi, aku masih diam di sebuah beranda dengan meja yang dengan tabah menahan beban dua cangkir teh, satu cangkir yang hampir tak tersentuh, sedang cangkir yang lainnya telah tandas. kursi di sebelahku pun telah ditinggalkan olehmu.

lukisan di ruang tamu dengan gambar seorang kakek yang mengajak cucunya mengunjungi sebuah pasar burung -- kesukaanmu, malam ini sedang gemar-gemarnya mencemoohku. satu jam ini dia menjulurkan lidahnya ke arahku.

hujan masih mengetuk-etuk atap rumahku, sedang aku mengutuk diri sendiri.

hujan memadamkan api rindu antara langit dan bumi yang hampir hangus, sedang aku memadamkan apa-apa tentang kita.

hingga langit kehilangan cahayanya, aku tak mampu menemukan buluh sebatang untuk kujadikan layang-layang yang mampu menerbangkan permintaan maafku sampai ke depan kamarmu.

pasca sarjana unair, 2013.

#CUK: Cerita Untuk Kita - 19 Cinta 86 Rasa

#CUK


"Seperti maut. Cinta selalu menjadi peristiwa tak terduga”,
Kutipan milik Firman A. di salah satu halaman buku #CUK membuat saya hening sejenak, hingga kemudian saya tersenyum bahwa bukan hanya cinta atau maut melainkan kotajancuk adalah hal-hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Bermula dari jejaring sosial yang sering kita sebut twitter dan kicauan-kicauan yang terlahir dari pikiran-pikiran tak terduga kawan-kawan, kami jatuh ke dalam satu wadah yang sama, yang akhirnya kami beri nama kotajancuk. Tak pernah direncanakan sebelumnya, kotajancuk lahir dari celetukan-celetukan ringan kami di depan cangkir-cangkir kopi yang mulai tandas isinya, dari gelak tawa yang selalu tercipta ketika kami saling bertatap, dari pelukan yang kami tinggal jejakkan sebelum berpisah. Aku tak pernah percaya tentang konsep belajar mencintai, cinta itu tumbuh dengan sendirinya. Begitulah yang saya rasakan pada kawan-kawan di sini.

Seperti biasa, celetukan-celetukan itu terlahir lagi di setiap pertemuan dan seperti sebuah keajaiban, buku #CUK atau Cerita Untuk Kita ini lahir melalui tarian jemari kami yang terhubung dengan perasaan dan pemikiran yang tak terduga. Sekali lagi, tak terduga. Cerita Untuk Kita atau yang lebih senang kami menyebutnya dengan buku #CUK yang merupakan antologi puisi ini dilahirkan oleh 19 manusia-manusia hebat pecinta kata yang begitu mengagumi puisi namun berasal dari latar belakang yang semuanya berbeda. Terdapat 86 puisi di dalamnya, yang jika kau membaca satu demi satu kau akan mendapati dirimu semacam menaiki roller coaster di sebuah taman hiburan. Ya, taman hiburan.

Kenapa roller coaster?

Karena kalian akan mendapati perasaan yang beragam ketika sudah terjun ke dalamnya, mungkin awalnya akan ada puisi yang tenang, mengalir begitu saja yang menggambarkan perasaan dan pemikiran penulisnya lalu kamu bisa saja selanjutnya tiba-tiba berdebar semacam roller coaster yang sedang menanjak lalu setelahnya kau bisa teriak lepas penuh emosi seperti sedang menuruni tanjakan dengan kecepatan tinggi dan kemudian tertawa setelahnya. Seperti itu, perasaan kalian akan dipermainkan oleh tulisan-tulisan di dalamnya.


Buku #CUK juga kami persembahkan untuk kota kami tercinta dan lahir tepat di bulan di mana dikenal hari pahlawan. Buku ini bukan akhir dari tujuan kami, melainkan merupakan awal perjalanan kami. Buku #CUK merupakan buku antologi puisi kedua saya setelah Tiga Perayaan yang lahir awal tahun 2013. Hingga akhirnya, melalui buku #Cuk, saya ucapkan, selamat mengembara di semesta kata-kata.


Surabaya, 2013.

isi kepala

pikiranku ini,
serupa gang sempit sebuah kampung di pinggiran kota sore hari. bocah-bocah kampung yang sedang bemain petak umpet, anak laki-laki yang berlarian mengejar layang-layang putus dan desas-desus gosip dari ibu-ibu yang masih mengenakan daster dan enggan mandi.

pikiranku ini,
serupa jalan raya pukul tujuh pagi di ibukota. klakson yang menjerit dari kiri kananmu, peluit dari bibir polisi berperut buncit dan suara rem kendaraan bermotor yang berdecit serta teriakan umpatan dari mereka yang tak mampu mengendalikan emosi.

pikiranku ini,
seriuh taman kanak-kanak pukul tujuh hingga sembilan pagi. suara teriakan ibu guru yang tak dihiraukan, tawa, tangis, rajukan bercampur menjadi satu.

pikiranku ini,
penuh dengan kamu.

paiton, september 2013

Goes to Blitar #2

Liburan kali ini agak beda sih sebenarnya, sudah kubilang kan artikan sendiri liburan macam apa kali ini dengan membaca tulisan sampai selesai. Malam itu, Blitar dingin sekali. Kami bermalam di rumah salah satu tim di Unair Mengajar, sebut saja namanya Niswah. Kami beruntung karena disambut dengan hangat oleh keluarga Niswah, diberi tempat nyaman untuk menginap dan yang pasti saya sudah menghabiskan satu toples kue kacang di meja ruang tamu Niswah *sungkem ke Niswah*. 

Rencana esok hari adalah kami akan mengunjungi sebuah Taman Kanak-kanak di kawasan Pantai Jolosutro, mungkin sekitar 40km dari tempat tinggal Niswah. Malam itu kami berbenah banyak hal, membuat beberapa konsep untuk adik-adik yang kita temuin esok hari. Kertas lipat mulai bertebaran merusuhi ruang tengah Niswah, spidol warna-warni, kertas manila, gunting juga beberapa canda tawa ikut menghidupkan suasa di ruang tengah. Rencananya juga, berhubung esok salah seorang kawan kami Nisun berulang tahun, malam ini kita sengja memojokkan Nisun yang kebetulan memegang jabatang sebagai Manajer Program tahun ini.

pose dulu lah sebelum nggandol truk. oke, gue paling gembel di antara mereka. :/

uno everywhere everytime ~


Hingga esok paginya, selepas antri mandi dan bangunin beberapa bocah yang susah bangun dan setelah sarapan kami meluncur ke kawasan Pantai Jolosutro dengan mengendarai truk. Iya, truk, jangan harap kami ke sana yang berduapuluh lebih ini naik mobil. Kami naik truk. Iya, truk, yang biasanya dipakai untuk mengangkut sapi-sapi. Tapi jangan salah, naik apa pun kita itu bukan hal yang penting, namun dengan siapa kita pergi itu lebih penting dari semuanya. #sajakdungu #skip #abaikan

Kami menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih untuk sampai di lokasi, cukup jauh juga, apalagi saya memutuskan untuk berdiri dan tidak duduk. Alasannya sih biar bisa modusin Kak Yur menikmati pemandangan sekitar kawasan kota Blitar. Mulai dari Insiden Ria yang mabuk tetap tak mengurungkan niat saya untuk tetap berdiri sepanjang perjalanan dengan truk. Maklum, saya tipe orang penikmat perjalanan, bawa saja saya jalan-jalan, dijamin ndak bakal rewel deh, garansi seumur hidup, mengeluh uang kembali. Pffft.

Jangan dikira Taman Kanak-kanak di sana sama seperti TK di Surabaya dengan gedung mewah dan beberapa mainan ayunan, pelosotan dan sebagainya di halaman TK. TK Dharma Wanita, hanya terdiri dari satu ruangan, separuh batu bata dan separuh lagi berupa bambu yang disusun menyilang. Tak ada hiasan yang berarti di sana, hanya dua buah hiasan dari sedotan dan satu buah gantungan buah-buahan. Kami mengajak adik-adik untuk bernyanyi, bermain origami membuat burung dan bunga yang hasilnya kami pajang di dinding. Mengenalkan mereka beberapa profesi yang masih familiar bagi mereka dan yang seru adalah kami memasang pohon cita-cita di salah satu sudut ruang kelas dan menempelkan beberapa tulisan mereka di sana. Tulian mengenai cita-cita. Tak begitu beragam, sebagaian besar anak perempuan bercita-cita ingin menjadi guru, seorang menjadi bidan. Sedangkan anak laki-laki lebih memilih untuk menjadi pemain sepak bola dan seorang di antaranya menjadi superman. Oke, absurd! Tapi inilah kenyataannya.

TK Dharma Wanita dari depan. oke, gue numpang mejeng dulu ya bareng Astrid heuheu.

origami burung hasil karya anak bangsa bersama kawan-kawan unair mengajar

pohon cita-cita
Saya suka prihatin dengan anak-anak jaman sekarang. Sedikit banyak pergaulan mereka dipengaruhi oleh televisi yang menurut saya tidak lebih bermutu. Membuat pemikiran beberapa anak jaman sekarang terkesan sempit. Buktinya, dari sekian banyak anak, semuanya ingin menjadi guru. Tidakkah mereka tahu ada berbagai macam profesi hebat di luar sana yang bisa mereka kejar jika besar nanti? Polisi, Dokter, Hakim, Penulis, Reporter, Editor dan masih banyak lagi yang saya yakin tak banyak atau malah hampir semua dari mereka tidak begitu mengenal. Bukan menjudge hanya sebuah pendapat. :)) *tiba-tiba serius* *lalu minum wiski biar kembali normal*

Selepas mengajar, yang paling kami tunggu-tunggu adalah......yak! benar! ke pantai. Berhubung bingung mau cerita apa karena sebagian besar waktu dibuat untuk teriak-teriak, foto-foto dan bermain air lebih baik saya posting beberapa foto keindahan alam di tepi bibir jolosutro yang belum sempat mengecupku karena saya takut sekali untuk air di pantai bagian selatan. hehehe, penakut? whateveeeerrrr.. ~


bibir jolosutro

jolosutro dari atas gunung

nikmat tuhan mana lagi yang kamu dustakan, brooo. ~



Goes to Blitar #1

Hari itu hari kamis, tak terlalu manis lebih pada panas. Matahari di atas Surabaya yang terkenal panas itu masih saja suka menggigit kulit, dengan diantar sahabat saya Anita saya menuju Bungurasih atau Terminal Purabaya. Terminal yang berada di kawasan Waru, Sidoarjo. Hari ini rencananya saya mau jalan-jalan ke Blitar, oke, jalan-jalan? Well, entahlah, artikan saja sendiri apa namanya perjalanan saya kali ini. Syaratnya gampang, baca tulisan ini sampai selesai. Heuheuhue.

Di terminal, saya sudah dinanti oleh Sultan, salah satu kawan saya. Finalis Cak dan Ning Surabaya, sama-sama pecinta the blues dan suka nongton serial tv how i met your mother sampe lupa waktu. heuheuheu (oke, Lu udah aku promosiin, Taaaan! *mintak bayaran*). Bocah berkulit terang itu menunggu saya di depan bus ekonomi tujuan Malang-Blitar. Oke, sedikit bocorin rahasia, dia salah satu manusia yang bisa dikatakan naik bus adalah hal langka buatnya. 

Perjalanan Surabaya-Malang kami habiskan dengan membicarakan banyak hal, tentang politik, ekonomi sampai makanan ringan semasa kecil. Oke, ini random, dua jam empat puluh menit kami habiskan dengan ngobrol hingga berbusa. Jalanan pun bersahabat, hanya saja ketika selepas purwodadi ada sedikit hambatan karena bus terbakar. Ngeri, meeeeen. :/

Sebagai dua orang yang sok melancong padahal tak tahu arah, perjalanan Surabaya-Malang yang menyenangkan dirusak seketika ketika kami meluncur menuju Blitar setelah pindah bus. Semua berawal dari bus yang bersesakan dan Sultan yang galau mau berdiri memberi tempat ke ibu-ibu tapi takut mengubah formasi yang sudah ada dan malah mengganggu penumpang lain atau duduk saja pura-pura tak tahu. Lalu ibu-ibu yang ehem maaf, muntah, di sebelah kami. Juga bapak-bapak yang rupanya dengan sengaja membuka anak kancing kemejanya hingga auratnya terlihat kami. Absurd. Belum lagi supir bus yang menyetir sambil menelepon. Padahal, medan yang harus ditemput berkelok-kelok dan sempit. Anggap saja waktu itu kami berdua sedang sport jantung. 

Saya turun lebih dulu di daerah Pandean dan Sultan di Herlingga yang kita sama-sama tak tahu di mana itu seperti apa daerahnya. Bondo Nekat. Tapi syukurlah, Tuhan maha bercanda pun maha baik dan penyayang kepada kami. Kami bisa sampai di tempat tujuan masing-masing tanpa kekurangan apa pun. 

Setelah menunggu beberapa menit untuk dijemput Azul yang merupakan salah satu partner saya di Unair Mengajar, yaitu salah satu social movement di kampus tercinta kami yang sangat peduli terhadap pendidikan, saya pun sampai di rumah Niswah. 

*sujud syukur karena ndak nyasar*

to be continued...

Pengantar Pesan

Ting Tong.. Ting Tong..
Suara itu lagi, suara bel yang terbatuk-batuk karena usia itu buatku ibarat seorang pengganggu yang mengoyak-ngoyak tubuhku yang masih saja tertidur lelap untuk bangun. Matahari belum juga nampak, dingin masih betah memeluk namun bel batuk itu sudah berbunyi saja.

Tak lama setelah itu pintu kamarku akan diketuk oleh Ibu. 

Tok Tok Tok.
"Sudah siang, mau sampai kapan tidur?"kalimat yang sama setiap hari, suara yang sama setiap hari.

Sebelum aku berangkat ke kantor, ketika aku mengenakan sepatuku di teras rumah selalu kulihat satu buket bunga terdampar di meja teras. Ibu menghampiriku sambil berkata, "Itu bunga buat kamu." - selalu seperti itu setiap hari.

***

"Selamat pagi, Mbak Dona!" -- sapaan itu setiap pagi, dari satpam kantor dan Mbak Nuke, resepsionis kantor. Setelah itu, kutemui setangkai bunga mawar putih di mejaku dengan tulisan, "Selamat pagi, Dona!"

**

Oh iya, mengenai buket bunga tiap pagi dan setangkai mawar putih di meja kerja memang tidak setiap hari, itu semua ada semenjak dua minggi yang lalu. Selang-seling setiap hari, senin ada, selasa tidak, rabu ada, kamis tidak, begitu seterusnya. Sampai vas bunga hijau toska di sudut mejaku penuh dengan mawar putih, ada yang masih segar ada yang layu dan juga hampir layu. sebuah tanda tanya yang menggelantung di kelopak mataku makin membesar, berat, membuatku semakin mengantuk namun tak ingin tidur.

Aku membetulkan jas kuning gading yang membalut dress biru pastelku sore itu, kuteguk sebotol teh dingin di pinggir halte tak jauh dari gedung tinggi tempatku bekerja. Matahari menyisakan semburat oranye indah namun serasa panas. Tapi aku yakin, di ibukota ini tak akan ada yang menghiraukan panasnya warna oranye namun indah di ufuk barat yang hadir setiap senja itu. 

Jalanan sibuk dengan asap kendaraan bermotor warna hitam di mana-mana, polisi-polisi sibuk mengatur jalan mengurai kemacetan, kenek metromini sibuk berteriak dan menarik ongkos kepada penumpang, beberapa pasang kaki sibuk berlari mengejar waktu, kecuali aku, aku merasa hening dalam riuh tiap senja.

Aku sengaja membawa setangkai yang baru saja diletakkan di meja kerjaku pagi tadi untuk kubawa pulang, kupikir kamarku akan terlihat cantik jika kuberi setangkai di sudutnya sambil mencoba mengurai tanda tanya.


***

Tok Tok Tok.

 Kulihat jam masih menunjukkan pukul delapan malam, belum pagi, tapi kenapa sudah ada yang mengetuk pintu?

"Iya?"seruku.

"Sayang, ada tamu!"seru Ibu dari luar.

"Siapa?"

"Ibu lupa namanya, lebih baik kamu segera keluar."

lalu suara itu lenyap.

Aku melangkahkan kakiku menyusuri anak tangga rumah sederhana berlantai dua itu. Kulihat anak laki-laki berdiri di serambi rumah, ada sebuket bunga lagi di meja teras. Laki-laki itu tak seperti kebanyakan laki-laki yang datang ke rumahku, setelan jas dan sepatu mengkilat. Dia hanya mengenakan celana jeans rapi dan kemeja dilipat sesiku, lalu parfumnya....aku hampir pingsan, ada memori yang tiba-tiba merangkak keluar dari tempat yang sudah kukunci rapat-rapat di pikiranku.

"Permisi, mas, mau cari sia..."

Laki-laki itu membalikkan badannya.

"Malam, Dona."

"Kamu? Jadi kamu yang selama ini..."

"Sudah dua minggu lima hari, kamu belum juga tahu pesan apa yang ada di balik bunga-bunga yang kukirim? Atau bahkan kamu belum tahu siapa pengirim bunga-bunga itu?"

"Aku..."

"Coba kamu baca ini."kata laki-laki itu sambil menyerahkan secarik kertas kumal berwarna merah muda. 


Dear, Dimas.
Aku terlalu muda untuk mengerti apa itu cinta.
Aku terlalu bodoh untuk membaca perasaan-perasaaan.
Tapi yang kutahu, Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.
Memberinya sebuah rasa bernama cinta dalam hati setiap kita
nyatanya, cinta itu bernama kamu.
Pergilah, raih cita-citamu.
Aku baik-baik di sini, lebih baik dari apa yang kamu kira
Menunggu.. mungkin itu yang akan kulakukan.
Jika kita sudah siap nanti, dan kau sudah memeluk cita-citamu,
datanglah, berikan aku sebuket bunga dan setangkai mawar putih
maka, aku akan kembali mengingatmu, sebagai soerang kekasih.

Aku berdiri terpaku tak tahu apa yang harus aku keluarkan dari  bibirku dengan lidah yang mulai kelu, mataku mulai layu badanku makin terlihat kuyu, surat itu berumur sepuluh tahun, aku mungkin tak akan mengingatnya sebelum hari ini, sebelum akhirnya Dimas, menepati janjinya.

Surabaya, 2013.

Tiga Senjata: Syukur, Jujur, Sabar

“Masalah itu bukan untuk dihindari atau dianggap tak ada, tapi untuk dihadapi, diselesaikan.”

Pesan singkat namun mampu membuat Ajeng tak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini. Perempuan yang tahun ini genap berusia 26 tahun itu menyalakan kembali lampu kamarnya, membuka komputer jinjing yang tergeletak di atas meja kerjanya. Untuk perempuan berusia di atas dua puluh lima, Ajeng bukannya tak khawatir karena belum juga menemukan pendamping hidup.

Kisah cintanya yang terakhir membuatnya tak lagi percaya akan sebuah komitmen. Sebagai seorang auditor yang konon katanya sibuk dan tak punya waktu luang Ajeng berhasil mengesampingkan bahkan lupa mengenai segala hal tentang lelaki pun dengan komitmen.

“Kamu nggak bisa gini terus, Jeng.”kata Risty siang itu, sahabat lamanya itu memang sering sekali menyempatkan waktu untuk sekadar mengajaknya makan malam selepas jam kantor. Risty bekerja di sebuah stasiun televisi swasta kenamaan sebagai tim kreatif itu tak jauh beda dari Ajeng. Dia juga hampir tak punya waktu, namun Risty telah menikah tahun lalu. Dengan pacar lamanya ketika mereka masih di perguruan tinggi.
“Maksud, Lo?”

“Tahun ini kita sudah 26, Jeng. Menikahlah.”

“Dengan siapa? Tukang becak depan komplek? Ini bukan hal sepele, Ty. Bukan masalah ah aku lapar lalu kita pergi ke warung depan komplek beli nasi goreng.”

“So? What will you do next?”

“Sudah berapa lelaki yang  kau tolak lamarannya?”

“Baru dua.”

“Baru dua? Mau nunggu sampai berapa? Sepuluh? Seratus? Seribu?”

Ajeng membasahi wajahnya yang sebenarnya sama sekali tak mengantuk itu lalu memandangi refleksi dirinya. Sudah beberapa munggu ini berat tubuhnya menurut drastis. Ini berkaitan dengan pekerajaannya. Perusahaan yang dia audit banyak sekali mempunyai masalah, Ajeng diminta melancarkan segala urusan, bahkan atasannya memintanya untuk menerima permintaan perusahaan tersebut. Ajeng pun diancam dipeccat.

“Kak, jangan lupa minggu depan Dani bayar uang semester.”

Begitulah isi pesan singkat lewat blackberry messenger miliknya dari Dani, adik semata wayangnya. Ayah dan ibunya sudah pensiun lama dan dia berjanji menanggung semua biaya kuliah dan biaya hidup Dani di luar negeri. Anak laki-laki itu sedang mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam.

“Kenapa tak kau biarkan saja adikmu kuliah di dalam negeri jika kamu memang tak mampu membayar biaya hidupnya, Mbak?”ujar ibu beberapa hari yang lalu, saat itu Ajeng sedang duduk melamun di beranda rumah sambil matanya tak lepas dari layar ponselnya.

“Ajeng sanggup, Bu. Ibu jangan khawatir, semua biar Ajeng yang urus.”

“Ibu percaya, tapi ingat, jangan dipaksa.”
***
“Maaf, kamu sudah buat klien kita kecewa, Jeng. Apa salahnya sih membuang egomu sebentar kali ini saja. Maaf, mulai besok kamu tidak bisa lagi bekerja di kantor kami.”begitu kata bos Ajeng siang itu.
Ajeng hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Sebagai pimpinan tim audit, Ajeng memberi opini disclaimer terhadap hasil laporan auditan kliennya. Ajeng mengemasi barang-barangnya lalu pergi ke sebuah kedai kopi tak jauh dari mantan kantornya.

“Lu nggak kerja?”tanya Risty yang sengaja ia undang.

“Gue dipecat.”

“Gara-gara masalah itu?”

“Begitulah.”

“Kata mamaku, kita harus jujur apa pun resikonya.”

“Aku juga bersyukur karena aku dipecat. Kantor itu bukan kantor yang baik buat aku.”

“Aku bangga sama kamu, Jeng. Makin cinta pun!”

“Jijaaaay tauk! Oiya, aku ketemu Satya kapan hari.”

“Terus?”

“Gue nikah tiga bulan lagi.”

“WHAAAT? DAN LU BARU KASIH TAU GUE SEKARANG?”

“Surprise, dear.”

“Tak apa, ini buah dari tiga hal yang kamu pegang teguh selama ini.”

“Tiga? Apa saja?”

“Syukur, karena kamu tak pernah mengeluh dengan keadaanmu. Jujur, karena kamu berani mengambil resiko bahkan untuk dipecat dan Sabar.”


Risty memeluk sahabatnya.

Sepasang Sepatu Tua

“Kok begini doang? Dandan dulu kek sana.”
“Kita ini mau kencan, bukan mau nonton bola. Penampilannya yang bagusan dikit, kek.”
“Yaampun jorok banget sih makan pake tangan. Itu pencipta sendok sama garpu udah susah-susah nyiptainnya, tauk!”
“Sepatu buluk begini masih aja dipake, ayo kita ke mall kamu boleh pilih satu yang bagus di sana. Masalah harga, biar aku yang bayarin.”
“Jojaaaaaa! Ini mobil sudah berapa lama nggak dicuci? Jorok! Hari ini kita keluar pake mobilku aja.”
“Sudah jam berapa ini dan kamu belum mandi? Padahal aku sudah rapi pagi-pagi ke sini pengen ajakin kamu sarapan bareng. Eh, kamunya masih kumel begini, sih?”

Joja menangkupkan kedua tangan di wajahnya yang sudah mulai sembab. Sudah sejam ini dia menangis tak tahan dengan suara-suara yang baru saja mengitar bebas di kepalanya. Perempuan dengan rambut hitam panjang menjuntai indah di hadapannya hanya bisa diam melihat sahabat baiknya seberantakan siang itu, sesekali menepuk pundaknya, menguatkan. Belum pernah Dina melihat Joja seperti hari ini, itu artinya, ini sudah titik puncak sebuah masalah bagi seorang Joja.

Siang ini terik, panas, sepanas perasaan Joja setelah pertengkaran karena masalah kecil beberapa jam yang lalu dengan kekasihnya, Rian. Dina memainkan gelas kopinya, menunggu sahabatnya itu tenang.

Usia hubungan Joja dan Rian sudah tak bisa dikatakan muda lagi, hampir tiga tahun ini mereka menjalin sebuah komitmen. Sebuah rekor Rian yang konon dulu adalah seorang playboy cap kapak di Sekolah Menengah Atas di tempat dia bersekolah dulu. Tapi semua berubah semenjak Rian bertemu dengan Joja, begitu cerita Rian kala itu.

Bahkan menurut sepengetahuan Dina, mereka tak pernah terlihat ada masalah. Entahlah, memang tak pernah ada masalah atau mereka pandai menutupi masalah mereka di hadapan orang lain.

“Mau nangis sampe kapan? Jangan siksa dirimu sendiri, Jo.”
“Aku sudah nggak kuat lagi, Din. Tapi aku sayang banget sama Rian.”
Joja menangis lagi.
Dina kembali memainkan cangkir kopinya.
***

“Saya terima nikah dan kawinnya Atikah Wulansari binti Surya Sucipto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Gimana saudara-saudara? Sah?”
“Saaaaaaaah!”

Joja menitikkan air mata melihat sosok perempuan di hadapannya, hari ini Atikah, kakak perempuan pertama Joja telah resmi menjadi istri. Joja memandang foto di sudut kamar ruangan lalu kembali menitikkan air matanya lebih deras lagi.

Joja adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Atikah, kakak perempuan pertamanya hari ini akan resmi menjadi istri seorang pilot adalah lulusan termuda sebuah fakultas kedokteran di universitas ternama di kotanya. Bima, kakak laki-laki Joja adalah seorang arsitek slengekan yang sampai saat ini masih kuat dengan status jomblonya. Sedangkan Joja sendiri, adalah anak terakhir yang bulan depan resmi menjadi sarjana pendidikan bahasa inggris. Cita-citanya sejak kecil memang ingin menjadi guru.

“Tadi nangis, ya?”tanya Rian. Joja mengangguk. “Cengeng.”celetuk Rian sambil mencubit pipi Joja lalu berlalu meninggalkannya. Joja menggelengkan kepalanya.

“Kamu pasti adiknya Atikah.”seseorang menghampirinya.
“Siapa, ya?”
“Ludi.”ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
“Joja.”
“Itu sepatu pasti spesial, ya?”
“Tahu dari mana?”
“Kalau melihat penampilanmu dari atas, sih. Rambut rapi, wangi, gaun cantik dan feminin sekali, aksesoris, tapi kamu masih mempertahankan sepatu yang kumel begitu kurasa itu sepatu spesial.”
“Hadiah ulang tahun ke-tujuh belas, dari almarhummah mama. Kenapa? Jelek ya?”
“Sudah kuduga. Enggak, bagus, bukan sepatunya yang bikin penampilan kamu jelek. Tapi muka kamu yang daritadi cemberut. Senyum, deh. Kurasa kamu akan terlihat lebih manis.”celotehnya.
Laki-laki itu tersenyum lalu berkata sebelum pergi, “Kamu cantik, sekumel apa pun sepatumu.”

***

“Siapa?”tanya Rian.
“Enggak tahu, tamunya kakak mungkin.”
“Kok akrab sekali?”
“Aku bahkan belum kenal.”
“Oh, kenalan baru?”
“Rian, apaan, sih?”
“Sepatu yang aku belikan kemarin mana? Lihat deh, gaun sudah anggun, rambut rapi, cantik tapi penampilan dirusak gitu aja sama sepatu kumel itu. Sana ganti, aku tunggu.”ketus Rian.
Joja menggelengkan kepalanya.
“Kamu tahu kan, ini sepatu kado terakhir sebelum mama pergi?”
“Terus, apa hubungannya?”
“Kamu memang nggak pernah bisa ngerti, Rian.”
“Kamu mau cari ribut?”
“Kurasa kamu benar kemarin, kita harus putus.”

Joja menatap Rian dengan gusar, lalu pergi meninggalkan laki-laki dengan penampilan sempurna dan menghampiri Dina yang sudah menunggunya sejak tadi dari kejauhan.

“Simpan tangismu setelah acara ini. Jangan buat kakakmu sedih di hari pentingnya.”bisik Dina.




Pada Akhir Masa

: Aku bagai Chairil Anwar untuk Pratiwi H Putri
.
Pada perjalanan yang kukira menakutkan,
aku mendengarkan alunan lagu.
Antara Karawang – Bekasi,
aku cuma tulang-tulang yang dibalut rindu.
Kita butuh hidup seribu tahun lagi, 
karena berbincang tentang masa depan
tak akan pernah cukup dalam sekali fajar.
.
Di meja fajar aku bersandar,
kukatakan aku takut.
Aku tak mau tertidur kali ini.
Aku takut bila tak sanggup
merindukanmu
seribu tahun lagi.
.
Dengan lengan lembut embun pagi,
kau merangkulku,
“tersenyumlah karena apa saja,
aku akan ikut tersenyum,
aku tak ingin menjadi yang sekali berarti
habis itu mati buatmu,”
doamu padaku.
.
Kukatakan padamu tentang kisahku,
aku,
pada akhir masa,
bukan binatang jalan yang tak terbuang–karenamu…
.
—————
terinspirasi dari karya Chairil Anwar: Aku dan Karawang – Bekasi
kutipan dialog dari Pratiwi H Putri

reblog dari setintapena oleh @JvTino

Puisi Istimewa di Hari Puisi

Ini bukan sajak cinta yang hari ini belum terlihat,
bukan pula fiksimini yang selalu membicarakan ledakan
apalagi sekadar sajak-sajak biasa,
dalam seratus empat puluh karakter
Puisi ini ditulis tepat di ulang tahun ke-sembilan puluh satu
seorang Chairil Anwar
enam puluh empat tahun semenjak kepergiannya

Ini puisi istimewa, sayangku
dari perasaan-perasaan istimewa.
Sudah kukisahkan padamu kisah sebuah
sudah kau datangkan padaku rasa percaya pengusir ragu
tapi percakapan kita tak pernah tuntas.
Mungkin benar kata Chairil Anwar
kita butuh hidup seribu tahun lagi, sayang
untuk sekadar berbincang tentang masa depan
atau bersama menanti fajar datang
atau hanya untuk saling merindukan.

Surabaya, 26 Juli 2013
Selamat Hari Puisi Nasional, @JvTino

Tentang Benih Waktu

” Duhai Kamu..”
Kamu bertanya, 
“siapa sebenarnya kita, Sayang?”
Sedekat azan dan salat, sedekat waktu dan nadi.
 Aku menjawab,
“kita adalah detak yang terpisah,
kelak menyatu dalam pelukan,
tanpa luka,
menjadi satu nyawa.”
Sedekat pemberian Tuhan dan kamu yang aku cari.
.
Bagiku, perjalanan tak hanya mengenai waktu,
tapi untuk apa,
untuk siapa.
.
Bagiku, pertanyaan tak hanya mengenai jawaban,
tapi kenapa ditanyakan,
siapa yang menanyakan.
.
Bahkan, bagiku, pertanyaan hanyalah pilihan,
bukan tentang siapa aku yang kamu tanyakan,
atau penyair yang mengenal Tuhannya sekali pun;
tapi tentang benih waktu yang memilih tumbuh dan menyakinkan.
.
Duhai milikku…
Tanyakan padaku ribuan pertanyaan,
tentang apa yang kamu ragukan;
maka jalanlah berdampingan denganku,
di setapak pelaminan,
kelak, semua pertanyaanmu
hanya terjawab dengan satu kisah,
tentang megahnya aku memilikimu.”

dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari:  "Tentang Benih Waktu" di setintapena

Kita yang Melawan Jarak

: adityan

Semisal kita dilahirkan di tahun seribu delapan ratus
waktu akan mempertemukan kita
dengan Abigail dan John Adams.
Untuk bertanya
bagaimana caranya mengalahkan jarak.
Bagaimana caranya menulis surat cinta yang panjang dan dalam,
di tengah situasi peperangan.

Semisal kita di Paris,
aku akan merengek minta dipertemukan,
dengan Heloise dan kata-kata pilunya,
ketika dia kehilangan Abelard.
Bagaimana rasanya menjadi tabah,
ketika keadaan memisahkan mereka,
dengan jarak yang sepanjang entah.

Puisi ini kutulis dengan tanganku sendiri
di atas trotoar
dengan debar.
Ketika tak jauh dari tempat aku duduk kulihat
seorang tukang sampah tersengal menarik gerobaknya
padahal terik sedang beraksi.
Semangatnya tak patah,
di atas kepalanya tergambar seorang perempuan cantik,
beserta dua orang anak yang lucu-lucu
sedang merintih kelaparan.

Kau tau apa yang ada di pikiranku?
Kita harus sekuat tukang sampah.
meski anak-anak rindu kita makin banyak dan lapar
meski kangen di setiap sel tubuh kita makin menggeletar
meski kita belum juga sempat,
untuk bersauh.

Kita adalah dua yang tabah, Adityan.
Kita adalah dua yang tegar.
yang akan menang bertempur dengan jarak.

Surabaya, 2013




Beberapa Pertanyaan yang Menginginkan Jawaban

: JvTino
/1/
Beberapa hari yang lalu, seorang penyair menghampiriku, memberiku sebuah buku dan berkata bahwa hidup ini sedemikian singkat, sedekat antara adzan dan sholat. Lalu aku bersujud di pekat malam, melinangkan air mata hingga kedua mataku lebam. Mulutku tak henti mengucap shalawat, 
                        apakah kita juga sedekat adzan dan sholat?

/2/
Esoknya, penyair itu datang lagi. Menemaniku menandaskan segelas kopi yang sesungguhnya tak ingin kuminum. Dia berbicara tentang luka, katanya, aku mengingatkannya pada seorang perempuan yang menghadiahi luka di dadanya dengan perpisahan-perpisahan kecil melalui sebuah pelukan. Pelukan katanya, hanyalah kosmetik yang mempercantik perpisahan. 
                       Lalu, sayangku, apa sebenarnya arti dari sebuah pelukan?

/3/
Hari ini hujan, sayang. Di stasiun ini, aku sudah menunggu lama, namun kau tak datang. Tebak, siapa yang bertandang?
Sang Penyair, dia memelukku sambil menangis. 
"Hujan adalah selembar karcis yang ditukarkan untuk membasuh luka mata orang-orang yang ditinggalkan" bisiknya.
Kekasihnya pergi, kepada entah. Setelah sadar bahwa mereka adalah tubuh-tubuh yang saling melukai. 
                      Aku bertanya dalam hati, siapa sebenarnya kita, sayang?

/4/
"Aku malu bila tak memegahkan kita
saat cangkir di depan kita justru tersipu malu."
kalimat terakhir yang kamu ucapkan padaku dan masih kugenggam dalam ingatan bersama beberapa kenangan yang menyesakkan dada.
                Apakah kau akan tetap berjalan di sampingku, sayang?
Hingga waktu memegahkan kita.

Semesta di Meja Mahoni

Kali ini, aku menyimakmu,

bercerita tentang setia,
berpuasa demi cinta,
berbuka dengan linangan syukur berairmata.
.
Di meja mahoni,
kita tak lagi bercerita tentang cahaya pagi,
senja,
atau pelangi di malam hari.
Di meja mahoni ini,
izinkan aku menatap matamu,
menatap semestaku,
menikmatinya lebih dalam lagi.
.
“Sayang, aku malu pada cangkir kopi di depan kita,”
katamu,
kataku,
“aku malu bila tak memegahkan kita
saat cangkir di depan kita justru tersipu malu.”
.
Darimu,
di meja mahoni,
semangkuk kolak gula kamu sajikan untuk berbuka,
dan bercerita tentang tegar setia itu ada.
Dariku,
aku menatap malam seribu bulan di matamu,
saat kamu bercerita,
saat aku enggan pergi dari meja mahoni,
saat kita saling suap semesta cinta
dari semangkuk kolak gula.
.
——————-
dari @JvTino untuk #DuetPuisi
re-blog dari: "Semesta di Meja Mahoni" di setintapena