Sepasang Sepatu Tua

“Kok begini doang? Dandan dulu kek sana.”
“Kita ini mau kencan, bukan mau nonton bola. Penampilannya yang bagusan dikit, kek.”
“Yaampun jorok banget sih makan pake tangan. Itu pencipta sendok sama garpu udah susah-susah nyiptainnya, tauk!”
“Sepatu buluk begini masih aja dipake, ayo kita ke mall kamu boleh pilih satu yang bagus di sana. Masalah harga, biar aku yang bayarin.”
“Jojaaaaaa! Ini mobil sudah berapa lama nggak dicuci? Jorok! Hari ini kita keluar pake mobilku aja.”
“Sudah jam berapa ini dan kamu belum mandi? Padahal aku sudah rapi pagi-pagi ke sini pengen ajakin kamu sarapan bareng. Eh, kamunya masih kumel begini, sih?”

Joja menangkupkan kedua tangan di wajahnya yang sudah mulai sembab. Sudah sejam ini dia menangis tak tahan dengan suara-suara yang baru saja mengitar bebas di kepalanya. Perempuan dengan rambut hitam panjang menjuntai indah di hadapannya hanya bisa diam melihat sahabat baiknya seberantakan siang itu, sesekali menepuk pundaknya, menguatkan. Belum pernah Dina melihat Joja seperti hari ini, itu artinya, ini sudah titik puncak sebuah masalah bagi seorang Joja.

Siang ini terik, panas, sepanas perasaan Joja setelah pertengkaran karena masalah kecil beberapa jam yang lalu dengan kekasihnya, Rian. Dina memainkan gelas kopinya, menunggu sahabatnya itu tenang.

Usia hubungan Joja dan Rian sudah tak bisa dikatakan muda lagi, hampir tiga tahun ini mereka menjalin sebuah komitmen. Sebuah rekor Rian yang konon dulu adalah seorang playboy cap kapak di Sekolah Menengah Atas di tempat dia bersekolah dulu. Tapi semua berubah semenjak Rian bertemu dengan Joja, begitu cerita Rian kala itu.

Bahkan menurut sepengetahuan Dina, mereka tak pernah terlihat ada masalah. Entahlah, memang tak pernah ada masalah atau mereka pandai menutupi masalah mereka di hadapan orang lain.

“Mau nangis sampe kapan? Jangan siksa dirimu sendiri, Jo.”
“Aku sudah nggak kuat lagi, Din. Tapi aku sayang banget sama Rian.”
Joja menangis lagi.
Dina kembali memainkan cangkir kopinya.
***

“Saya terima nikah dan kawinnya Atikah Wulansari binti Surya Sucipto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Gimana saudara-saudara? Sah?”
“Saaaaaaaah!”

Joja menitikkan air mata melihat sosok perempuan di hadapannya, hari ini Atikah, kakak perempuan pertama Joja telah resmi menjadi istri. Joja memandang foto di sudut kamar ruangan lalu kembali menitikkan air matanya lebih deras lagi.

Joja adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Atikah, kakak perempuan pertamanya hari ini akan resmi menjadi istri seorang pilot adalah lulusan termuda sebuah fakultas kedokteran di universitas ternama di kotanya. Bima, kakak laki-laki Joja adalah seorang arsitek slengekan yang sampai saat ini masih kuat dengan status jomblonya. Sedangkan Joja sendiri, adalah anak terakhir yang bulan depan resmi menjadi sarjana pendidikan bahasa inggris. Cita-citanya sejak kecil memang ingin menjadi guru.

“Tadi nangis, ya?”tanya Rian. Joja mengangguk. “Cengeng.”celetuk Rian sambil mencubit pipi Joja lalu berlalu meninggalkannya. Joja menggelengkan kepalanya.

“Kamu pasti adiknya Atikah.”seseorang menghampirinya.
“Siapa, ya?”
“Ludi.”ujarnya sambil mengulurkan tangannya.
“Joja.”
“Itu sepatu pasti spesial, ya?”
“Tahu dari mana?”
“Kalau melihat penampilanmu dari atas, sih. Rambut rapi, wangi, gaun cantik dan feminin sekali, aksesoris, tapi kamu masih mempertahankan sepatu yang kumel begitu kurasa itu sepatu spesial.”
“Hadiah ulang tahun ke-tujuh belas, dari almarhummah mama. Kenapa? Jelek ya?”
“Sudah kuduga. Enggak, bagus, bukan sepatunya yang bikin penampilan kamu jelek. Tapi muka kamu yang daritadi cemberut. Senyum, deh. Kurasa kamu akan terlihat lebih manis.”celotehnya.
Laki-laki itu tersenyum lalu berkata sebelum pergi, “Kamu cantik, sekumel apa pun sepatumu.”

***

“Siapa?”tanya Rian.
“Enggak tahu, tamunya kakak mungkin.”
“Kok akrab sekali?”
“Aku bahkan belum kenal.”
“Oh, kenalan baru?”
“Rian, apaan, sih?”
“Sepatu yang aku belikan kemarin mana? Lihat deh, gaun sudah anggun, rambut rapi, cantik tapi penampilan dirusak gitu aja sama sepatu kumel itu. Sana ganti, aku tunggu.”ketus Rian.
Joja menggelengkan kepalanya.
“Kamu tahu kan, ini sepatu kado terakhir sebelum mama pergi?”
“Terus, apa hubungannya?”
“Kamu memang nggak pernah bisa ngerti, Rian.”
“Kamu mau cari ribut?”
“Kurasa kamu benar kemarin, kita harus putus.”

Joja menatap Rian dengan gusar, lalu pergi meninggalkan laki-laki dengan penampilan sempurna dan menghampiri Dina yang sudah menunggunya sejak tadi dari kejauhan.

“Simpan tangismu setelah acara ini. Jangan buat kakakmu sedih di hari pentingnya.”bisik Dina.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar