Percakapan Tentang Luka


sebuah percakapan antara aku dan dia perihal aku yang masih terbalut luka olehmu

pagi itu agaknya matahari masih terlalu mengantuk untuk tersenyum saat kubuka kedua mataku. hari ini aku punya janji yang harus dituntaskan. entah kenapa aku merasa takut, akan sebuah pertemuan. karena yang aku tau, di dalam pertemuan selalu akan mengandung perpisahan. mau atau tidak mau. kulihat matahari bukan hanya mengantuk, dia masih tertidur pulas pada peraduannya. ayam jantan pun tak sampai hati berkokok membangunkannya. pagi itu sungguh dingin. sedingin hatiku.

embun semacam bisa membaca gelisah yang mendera batinku. mereka menyapaku melalui titik-titik di kaca jendela, berkata "hai" dengan bahasa mereka yang cukup kumengerti. memijat syaraf kegelisahanku dengan sejuknya.

ponselku berdering.

"selamat pagi, nona manis. bagaimana tidurmu semalam?"suara di seberang kabel itu seakan menghapus rasa kantukku.

"selamat pagi, mas. tidurku cukup melelahkan."

"ah, aku bosan mendengarnya. satu jam lagi terbang. doakan aku. tunggu aku."

"apa yang akan kau lakukan saat pertama kali melihatku, mas?"

"aku akan memelukmu."

katamu


katamu waktu sudah kau kekang, dia tak akan pernah lekang. bahkan di tengah deru ombak terjang, pada gurat keriput di wajah yang mulai hilang. sebagai penyebab hati yang berang, di dasar lautan yang tenang.

katamu rindu sudah kau tanam, bersama manisnya kue-kue talam. yang mampu membuatku terbenam, dalam senyummu yang mulai terpejam. dibantu kepakan sayap yang kian meruam, menyisir semesta yang makin kelam.

katamu rasa itu bukan sekedar asa, bukan juga sesat yang merana. melainkan semangat yang membahana, membuat putih bertambah warna. juga puisi yang berirama, berdentum memainkan nada.

katamu cinta sudah kau tanak, bahkan dia mulai beranak-pinak. semakin deras menyerantak, sekalipun kaca jendela meretak. belum mengenak kata tak, pada keramaian yang semakin pekak.

katamu jemari kita nantinya melebur, hingga suatu saat kita terkubur. bahkan ketika kita hanya bisa kaku terkujur, dalam takdir yang pasti membilur. berharap masih terus dalam lajur, walau harus meruntut jalan tanpa jalur.

tapi tak dapat kurasa semua katamu, benar-benar hanya asa yang semu semu membiru.
karena memang semua hanya katamu, bukan lakumu.

dikekang sunyi


ketika harap tak mampu lagi merayap
hanya terdiam menengadah dipendam gelisah
merutuk sepi dalam sunyi tanpa bebunyi
tak menghirau amar yang menggelegar
membentuk barisan aposisi pada amunisi
dirajam mesiu wangi gaharu
di dalam jangkat rotan yang terikat di kaki dipan
meringkih kaku padahal dulu gigih berseru
sungguh bebal dalam ukuran yang katanya kekal
di waktu asyik menenun sampai majenun
bersulut-sulut lalu kumisnya beringsut
membelai miang yang terkekang oleh berang
ditimpuk sepi sampai melapuk
mengantar pada inferno yang katanya hanya kuno
dan mustahil untuk selamat hanya menunggu lumat

pada asa



pada asa yang telah binasa
kutitipkan secarik surat di tengah pelik
bertabur luka yang perlahan mulai murka
di tengah cercau suara parau


pada asa yang menggantung di angkasa
ikuti aku menari sambil berlari
hingga mengalir sapai ke hilir
menggenggam galah tanpa kenal lelah


pada asa yang sisa-sisa
mari melangkah lalu berserah
walau pun badik kian menukik
seperti aroma danur yang membaur


pada asa di dalam rasa
adakah pahit yang kian menghimpit
torehkan pada papan tulis dengan garis
dengan kapur yang semakin melebur


__ Surabaya, February 2012 __

Canting



hanya sebuah canting tanpa denting cipta merinding
menebar sajak tanpa mengenal semenjak
pada bilah-bilah bambu tertidur dalam tabu
diterangi lilin sebatang tanpa dipilin
berselimut gundah yang semakin membuncah
gadis kecil bersenandung barang secuil
syair merdu terjerembab di rimbunnya perdu
semacam tak kuat dicerca sang kilat
juga petir dengan nafas agak getir
ingin dipeluk dalam sambil melukis lebam
dalam tubuh angan tanpa kenangan


sayup-sayup kudengar kelakar mulai meredup
di bilur-bilur alur yang tak terukur
mencekam sudut mata yang tak sempat terekam
dalam dunia yang mereka anggap fana
menyekap corak lalu berteriak dalam dekap
pada sebuah sibur yang tak tahu alur
terbuat dari tembaga yang berjelaga
diukir seorang yang kikir
dengan tatah yang hampir patah
sambil mengahalau burung-burung gereja tanpa hirau
hingga lelah hingga semangat tak mampu lagi merekah

You!


Kamu itu kayak obor di jalan setapakku yang gelap, kayak bulan di tengah gelapnya malamku, kayak oase di tengah padang pasirku, kayak esgrim rasa cokelat di tengah panasnya Surabayaku, kayak nasi goreng yang memadamkan laparku.
tapi..

Obor itu telah Padam, Bulan lebih senang bersembunyi, Oase itu telah mengering, Esgrim itu telah meleleh, dan Nasi Goreng itu telah habis.


Sayang, mungkin kamu cukup mengenalku, atau mungkin sebenernya kamu belum mengenalku? Sadarkah kau sayang telah membangun pagar hati yang terlampau tinggi ? Tapi aku sangat menikmatinya sayang, Aku senang berada di dalamnya, karena hanya ada Kau dan Aku. Tapi sayang hal yang paling kutakuti terjadi, aku terbangun dan tak mendapatimu bersamaku di dalam pagar ini. Kemana pergimu sayang ?


Sesekali kau menjengukku sayang, tapi kau hanya berada di luar pagar. Jadi untuk apa kau bangun pagar ini tinggi-tinggi sayang? Apa kau hanya ingin mengurungku? Ingin rasanya aku pergi melarikan diri dari sini sayang, tapi semakin ku bersikeras ingin pergi, pagar hati itu menjadi semakin dan semakin kuat. Aku tak bisa pergi dari sini sayang, aku lebih memilih bertahan. Tapi aku manusia biasa sayang, tidakkah kau mengerti itu ?

Aku mulai membencimu sayang..

Dulu, kamu adalah pelita, oh tidak bukan hanya pelita tapi obor di tengah jalan setapakku yang gelap. Tapi obornya sudah padam. Mengapa kau padamkan sayang? Apakah kau sudah lelah menerangiku? Aku takut gelap sayang, tidakkah kau mengerti itu?

Dulu, kamu adalah bulan di tengah gelapnya malam. Tapi kini kau lebih senang bersembunyi di balik gelapnya awan. Aku serasa buta sayang, Aku jadi takut untuk pergi ke luar. Aku benci gelap sayang, tidakkah kau mengerti itu ?


Dulu, kamu lah oase di tengah padang pasirku yang kering. Tapi oase itu kini telah mengering, ke mana kau pindahkan mata air itu sayang ? Aku kekeringan di sini, tidakkah kau mengerti itu ?

Dulu, kamu kayak esgrim rasa cokelat favoritku di tengah panasnya Surabayaku. Baru setetes kurasakan nikmatnya rasa cokelat dan segarnya esgrim, dia sudah meleleh. Kamu kenapa sayang ? Padahal kamu favoritku sayang, tapi sepertinya aku bukan favoritmu. Aku kepanasan di sini sayang, tak ada lagi yang bisa menyejukkanku, tidakkah kau mengerti itu ?

Dulu kamu kayak nasi goreng pemadam kelaparanku. Tapi Nasi goreng itu sudah kau habiskan sendiri, atau jangan-jangan kau sudah membagikannya dengan yang lain ? Aku kelaparan di sini sayang, bahkan pemadam kebakaran pun tak bisa membantuku memadamkan lapar ini, tidakkah kau mengerti sayang ?

Aku mencintaimu sayang, tak pernah sedikitpun terlintas dalam benakku untuk membencimu.

pembohong!

harusnya kamu tahu itu, aku sangat pandai bersandiwara. aku pandai berbohong.


waktu kamu bilang, "aku dulu kan ganteng. sekarang cool."
jawabku, "ganteng dari mananya coba ?"


iyaa sayang, kamu memang nggak ganteng. karena kamu bukan sekedar ganteng. mana mungkin aku bisa jatuh cinta sama kamu kalau kamu hanya sekedar ganteng ? :)

hai, masa lalu!



selamat pagi, masa lalu. 
masih saja kamu betah tinggal yaa. mari temani saya untuk sarapan dengan secangkir luka dan sepiring kenangan ditambah dengan selembar roti kebahagiaan yang sudah terlumat habis.
sudah siapkah kau beraktivitas hari ini ?


selamat siang, masa lalu. 
kenapa kamu masih saja terus mengikutiku ? tidakkah kau bosan denganku ? 
hari sudah mulai panas. kepalaku juga terlalu panas untuk memikirkanku. mataku pun ikut panas karenamu. 
kamu masih saja terlihat abu-abut. 
mungkin aku harus membelikanmu sekotak crayon agar kau terlihat lebih indah.


selamat sore, masa lalu.
masih saja kamu melenggang di sampingku ? 
kalau gitu temani aku jalan-jalan sore, yuk.
nanti kita nongkrong di kedai kopi sore-sore menanti senja.
aku ingin tahu, apakah kamu masih saja menyisakan ampas kopi untuk kusesap seperti biasanya.
yang sudah tahu pahit tapi masih saja kumenikmatinya.


selamat senja, masa lalu.
senja ini terlalu indah untuk tidak kunikmati bersamamu.
aku sedikit terseok rupanya kalau kau tak disampingku.
mari peluk aku sebelum akhirnya kita harus pergi masing-masing.
anggap saja kita sedang bermimpi indah dan menikmatinya.


selamat malam, masa lalu.
sudah saatnya kita berbenah.
menyiapkan diri yang baru dan keluar dari mimpi indah yang buruk ini.
ada mimpi lain yang menunggumu.
bermimpilah yang indah.

Cium aku, Nona Manis.




Gadis yang sedang duduk di hadapanku malam itu menyesap caramel macchiato’nya dalam-dalam. Gadis cantik itu begitu menggilai kopi, itu kenapa aku sering melihatnya diam tapi kakinya tak bisa diam. Sepertinya dia memang kecanduan, kecanduan kafein. Juga kecanduan cinta, dari seorang pria tak tahu diri. Aku tersenyum menatapnya, aku selalu tahu suasana hatinya dari matanya, dan semoga tebakanku kali ini tepat. Dia pasti sedang bingung.

“Aku bingung, Yi.”

Nah! Apa aku bilang tadi. Dia sedang bingung. Beri saya setidaknya lima jempol malam ini.

“Bingung kenapa lagi, Ruu?”

“Seharian ini aku bertemu dengan dia, Yi. Dia memperlakukanku benar-benar seperti aku perempuan satu-satunya di dunia.”

“Oh.. come on mrs. Drama queen.”

“You’re not understand, Yi! Kamu nggak pernah ngerti perasaanku.”

Oh come on, girl. Mungkin aku tak pernah bisa mengerti perasaanmu pada pria itu. Tapi aku sangat memahami perasaanku padamu. Aku begitu mencintaimu, Ruu. Kenapa kamu harus mencari jauh-jauh kalau semuanya sudah tersedia terhidang di depan hidungmu ?

“Oke.. apa lagi yang harus aku mengerti?”

Tak bisa sedikit ku berkelakar. Aku tersulut emosi. Kini giliranku yang menghirup capuccino dan menandaskan hingga separuh cangkir, berharap mereka masuk ke dalam tubuhku dan menyesap sebagian emosiku agar tak terlihat di depan Ruri. Gadis cantik yang sudah membuatku gila. Membuatku tak bisa mencintai gadis lain selain dirinya.

“Aku begitu mencintainya, Yi.”

Oh, come on Rayi. You have to be strong. Even just pretending.

“Cinta? Masih saja kau berani bicara tentang cinta dihadapanku nona manis? Setelah dua minggu yang lalu kau menangis di pundakku karena cinta?”

“Kamu benar-benar menyebalkan, Rayi. Kamu seharusnya menghiburku bukan menyudutkanku.”

“Menyudutkan katamu? Aku mau membuka matamu, Ruu. Aku ingin kamu sadar.”

“Sadar mengenai apa, Yi? Aku sunggu tak mengerti jalan pikiranmu.”

Bagaimana kamu bisa mengerti jalan pikiranku yang tersembunyi gadis cantik ? Kalau membaca tulisan cinta di mataku yang terukir namamu saja kau tak becus.

“Kamu masih mengharapkan pria itu yang jelas-jelas tak ada lagi cinta buatmu di hatinya. Yang jelas-jelas tak pernah lagi mengharapkanmu. Tak pernah lagi memperhatikanmu. Dia abu-abu buatmu, Ruu. Bukankah kamu sangat menyukai warna merah? Dia terlalu brengsek untukmu.”

“Brengsek? Brengsek mana sama orang yang mencintai tapi tak pernah bisa mengungkapkan karena sesuatu yang tidak jelas? Mana wanita yang katanya kau cintai setengah mati itu? Sampai sekarang kamu tak pernah mempertemukanku dengannya.”

“Hentikan, Ruu. Kita sedang berbicara tentangmu bukan tentangku.”

Kulihat gadis itu menangis. Air matanya mengalir deras, bahkan terlalu deras. Aku benci melihatnya menangis. Lebih baik aku menjadi air mata itu agar bisa leluasa menciumi pipinya. Memakan pipinya. Menyentuh pipinya. Air matanya terus mengalir tanpa ada isakan atau sesenggukan. Itu lebih menyakitkan buatku.

“Dia lagi apa ya, Yi?”

“Aku mencintaimu, Ruu.”

“Apa?”

“Aku sayang kamu, Ruu. Apa aku harus berteriak?”

“Brengsek kamu, Yi. Ini nggak lucu. Bukan waktu buat bercanda.”

“Tak pernah aku bercanda soal cinta, Ruu. Aku mencintaimu dengan kesadaran penuh.”

“Tau apa kamu soal cinta, Yi?”

“Harusnya aku yang bertanya hal itu, Ruu. Tau apa kamu soal cinta? Aku mencintaimu Ruu. Kamu yang kucintai setengah mati. Tak perlu kuberi tau alasan kenapa aku tak berani mengungkapkannya Ruu.”

“Kamu brengsek!”

“Aku akan lebih merasa brengsek lagi kalau aku nggak segera mengungkapkan apa yang telah kupendam terhadapmu, Ruu.”

“Maafkan aku, Yi. Aku..”

“Hei. Aku tak pernah memaksamu untuk membalas cintaku. Kamu tahu saja itu sudah cukup buatku, Ruu. Maafkan aku pernah jadi yang brengsek buatmu. Tak perlu lagi kukenalkan seorang wanita sesuai permintaanmu, Ruu. Karena wanita itu kamu.”

“Kenapa, Yi? Kenapa harus aku?”

“Cium aku, Nona Manis. Kau akan tahu jawabannya.”

***

I can't fight this feeling

weheartit


Aku sedang duduk di foodcourt sebuah mall siang itu, menghabiskan novel yang baru saja kubeli dua hari yang lalu sambil menanti salah satu kawan saya, kami punya janji makan siang. Lolita dari Vladimir Nabokov, sebuah novel yang sudah dua kali di filmkan, yang menceritakan sepotong kisah cinta yang cukup tragis, tetang seorang laki-laki paruh baya yang terobsesi dengan gadis remaja. Bahasanya agak sulit dicerna menurutku, mungkin karena novel terjemahan. Tips dari saya yang sudah sering membeli buku terjemahan, lebih baik membeli buku aslinya daripada terjemahan. Karena terkadang bahasa dari penerjemah beda sama tulisan aslinya, namanya juga terjemahan. Sudah beberapa jam aku disitu dengan segelas minuman dingin yang telah kutandaskan dan tetap mengunyah permen karet, dan masih berkutat dengan bagian satu. Mungkin karena separuh otakku menyesap tulisan dalam novel Nabokov, dan separuh lainnya masih melayang jauh. Saya berada di barisan mereka yang belum move on. Mari tertawai saya!!

The End

weheartit


Entah kenapa pikiran saya suka melayang-layang sendiri. Berpikir tentang masa depan. Berpikir jauh melangkah berdepa-depa dari tempat saya berdiri sekarang ini. Sebut saja mimpi, dan meski pun banyak mimpi yang tak sepenuhnya terwujud, saya sering menyebutnya dengan kesuksesan yang ditangguhkan. Itu artinya ada satu sisi dalam hidup saya yang buruk dan harus segera diperbaiki. Begitulah cara saya menyemangati diri sendiri.

Bukan hanya mimpi menggapai bintang lalu memetiknya. Tapi menjadi penulis dan menjadikan "kamu" sebagai cerita terakhir yang lalu suatu hari akan ada tulisan "lalu hidup berbahagia selamanya" di akhir cerita juga salah satu khayalan saya yang melangkah jauh beberapa depa. Terlalu jauh bukan saya berkhayalnya? Tapi tidak apa-apa seperti yang seorang penulis terkenal tanah air pernah berujar, "hidup itu berawal dari mimpi" benarkan saya jika salah :)

Tapi terkadang mimpi saya bisa salah. 

Tak ada kalimat "lalu hidup berbahagia selamanya."

Hanya ada klimaks, anti klimaks, lalu penulis menulis kata "The End" dengan gusar.

rabu, angka 8, kamu, senja, dan semesta

Pagi-pagi sekali aku membuka mata saat terdengar dentingan sendok yang beradu dengan piring kaca di ruang makan. Rupanya keluargaku tengah sarapan. Aku terjaga dengan keadaan basah. Di pipi juga di sarung bantalku. Ah, rupanya aku pun tak ingat apa yang terjadi semalam. Yang kuingat semalam, ketika aku hendak memejamkan mata, untuk mengistirahatkan tubuhku aku merasakan ada bulir-bulir hangat di pipiku yang setelah kuselidiki bernama pilu. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang aku sendiri pun tak tahu apa. Hingga Matahari merayap di jendela kamarku, aku masih tak menemukan jawaban.  Biasanya matahari tersenyum ramah, tapi kali ini dia tak menggubrisku sedikitpun.

Harusnya aku terbangun dengan sunggingan senyum seperti biasanya. Meraih ponsel lalu menekan tombol panggilan cepat 8 dan mengucapkan selamat pagi. Kenapa Angka 8 ? Karena dia tak memiliki ujung. Telusuri saja garisnya, beritahu aku kalau kalian menemukan ujungnya. Aku sudah bertahun-tahun mencarinya tapi tak juga kutemui ujungnya. Anggap saja itu gambaran perasaanku padamu sayang, dia tak berujung, juga bercahaya. Tapi baru saja kau redupkan dengan cara yang tak kumengerti.

Tapi, aku bersyukur sayang, semesta telah menuliskan sebuah cerita untuk kita suatu hari itu. Walau pun ternyata semesta juga telah membuat akhir cerita yang menyakitkan. Mungkin tidak di kamu, tapi di aku. Tengok kalender sayang, ini bulan Februari bukan? Kata orang-orang bulang penuh cinta? Kukira itu semua omong kosong, sayang. Aku kehilangan cintaku di bulan ini. Semesta selalu punya banyak kejutan ya, sayang!

Malas menghujamku sayang, bahkan kulihat semesta juga demikian. Tak kulihat sedikitpun dedaunan bergerak-gerak lincah seperti biasanya. Bahkan kupu-kupu pun yang biasanya bernyanyi diperutku diam tak bergerak. Kupu-kupu di taman juga, mereka tak menampakkan diri satu pun. Kemana mereka, sayang? Belumkah cukup kamu menggores luka ketidaksengajaanmu padaku? Janganlah kau pula ajak semesta untuk menjadi jahat. 

Hari ini, pada waktu senja, kau berjanji untuk menatapku. Semoga bukan kabar buruk lagi, sayang. 

Adakah senja yang indah lagi, buat kita, sayang ?
Berjalan beriringan lalu saling menggenggam jemari ?

Please, Dont Look Back!


Tanpa makna, buat apa lagi kita hidup? Semesta seakan mebisikkan sebuah kalimat di telingaku, sangat dekat, hingga aku dapat mendengarnya dengan sangat jelas. Jika saja aku punya pemikiran dangkal, hari ini aku sudah memotong pembuluh nadiku atau terjun dari lantai 15. Tapi tidak, aku masih punya pemikiran yang sehat, namun sekarang tak lagi sesederhana dulu. Semuanya rumit. Bahkan ketika pemikiranku berputar ke belakang dua tahun lalu aku sempat terisak, bahkan ketika kasetnya kusut karena harus berputar ratusan kali dalam benakku aku masih tak punya nyali untuk membuangnya. Aku masih terus menatapnya atau bahkan memutarnya kembali berharap semuanya hanya mimpi. Hanya ilusi.

Semuanya seperti terjadi begitu saja, beberapa bulan yang lalu. Ketika aku merasakan ada hal yang aneh pada diri Raka. Hal yang paling suka adalah menganggap matanya yang indah itu adalah sebuah kolam yang membuatku bahagia ketika menyelam ke dalamnya lama-lama. Tapi sudah beberapa hari ini, tak ada lagi kolam di sana. Aku merasakan ada orang lain dalam diri Raka. Kolam itu sepertinya telah mengering, menguap entah kemana. Tapi aku tak berani mempertanyakan lebih lanjut.

Did I tell you you're wonderful?
I miss you yes I do
Did I tell you that I was wrong?
I was wrong
For so long long long

Sebuah lagu wonderful milik Adam Ant mengalir lembut dalam benakku. Aku dulu pernah menganggapmu begitu menakjubkan, tapi ternyata aku sekarang salah. Raka, dulu bukan sekedar empat huruf yang menemani hidupku dua tahun belakangan ini. Dia adalah R, bagaikan Rambo seorang yang selalu sedia melindungiku, bahkan ketika hujan ada untuk memeluk kami sekali pun.

“Hei, lihat. Hujan turun, Ka!”seruku waktu itu. Ketika kami sedang berlibur. Ketika kami sedang menyusuri jalan Braga yang merupakan salah satu maskot serta objek wisata kota Bandung yang merupakan pertokoan yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap mempertahankan ciri arsitektur lama pada masa Hindia Belanda dengan model Eropa yang terkenel sebagai Parijs Van Java. Menawar beberapa oleh-oleh untuk kawan-kawan.

“Baru gerimis. Are you okay, kan? Sudah mulai kerasa dinginnya.”

“I’m fine, darl.”

Tiba-tiba Raka melepas jaketnya lalu menyerahkan padaku, “Wear it, it was cold.”

“How about you? Nanti kamu kedinginan.”

“Doesn’t matter. Kalau kamu merasa hangat, aku juga akan merasa hangat. Kita kembali ke penginapan, yuk.”ajaknya  lalu.

Aku mengikuti kemana langkahnya pergi. Tiba-tiba lidahku kelu, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Aku sudah sering melihat di film-film, ketika sang cowok melepas jaketnya yang ia kenakan lalu dipakaikan kepada si cewek ketika dia melihat si cewek kedinginan, tapi kali ini aku benar-benar mengalaminya. Ada rasa aneh yang menyelimuti dadaku, ingin aku memeluknya, lama-lama. Mungkin kamu bukan orang yang mengenakan jaket ke tubuhku, tapi kamu orang yang rela melepas jaketnya untukku dan kedinginan.

surat terakhir


Kepada, Adji..
yang pernah menitipkan sejuta inspirasi untukku.

Selamat siang, jeleg!

Aku masih suka loh, manggil kamu dengan nama itu. Karena kamu memang jeleg. Hehehe. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku memanggil namamu. Maklum, kamu tau aku kan? Aku memang pelupa. Tapi jangan salah, aku nggak pernah lupa moment-moment penting yang pernah terjadi. Aku sudah menyimpannya erat di sebuah kotak rahasia dalam otakku yang kuberi gembok ber’password, dan hanya aku yang tau passwordnya. Aku jadi ingat pertama kali aku bertemu kamu. Di ruang 7, ingat? Remidi biologi, ingat? Kalau nggak salah di pertengahan tahun 2007. Tuh kan, aku masih nggak payah-payah banget dalam mengingat sesuatu.

Waktu itu tak ada yang istimewa saat pertama kali melihatmu. Malah aku mebencimu, ya aku membencimu. Saat itu aku masih belum pandai menulis surat cinta seperti sekarang. kita pun masih belum sempat merangkai kata sedikitpun. Tapi Tuhan baik sekali, dia mengutusmu menjadi teman sebangkuku. Teman sebangkuku yang menyebalkan. Yang tak pernah ada habisnya mengerjaiku, yang tidak bisa sehari saja melihatku tenang. Hingga akhirnya, kita memutuskan untuk menjalani hidup bersama-sama, melalui sebuah komitmen yang ternyata hari ini kita terbangkan bersama layang-layang tadi pagi. Jika kau bertanya apakah aku menyesal? Dengan lantang aku akan berkata tidak! Tahukah kau, dji, semesta berbisik padaku semalam, katanya, “di mana ada permulaan, pasti ada akhirnya”. Lalu aku menjadi kuat karenanya.

Mungkin ini surat terakhirku untukmu. Aku mau menyampaikannya setengah berbisik yaa, agar tak terdengar tetangga. Jadi, pasang telingamu tajam-tajam. Bacanya juga pelan-pelan yaa, biar pesanku merayap jauh ke dalam matamu hinggap di retinamu dan terlempar ke dalam pikiranmu perlahan namun pasti.

Delapan puluh lima minggu bukanlah waktu yang sebentar dji. Dan selama itu kamu sudah mencoret kanvasku dengan warna pelangi. Sekarang sudah penuh kanvasku, hingga tak ada tempat lagi untukmu melukis. Yaa, mungkin sudah saatnya untuk mengganti kanvas yang baru. Tapi jangan khawatir lukisanmu itu akan kupajang di dinding kamarku dan kupandangi setiap pagi, ketika aku bangun tidur lalu aku berjanji akan tersenyum setelahnya. Aku sempat termotivasi, sempat terinspirasi, sempat candu, sempat juga terombang-ambik karenamu.

Berjanjilah padaku dji, jika suatu hari kamu tengah digelayuti sedih ambillah pundakku dan bersandarlah disitu. Aku tak akan pernah bosan untuk menjadi tempatmu berkeluh kesah. Jika kamu sedang bahagia jangan lupa ajak aku juga. Hehe.

Tadi pagi dan pagi di delapan puluh lima minggu yang lalu adalah pagi yang indah buatku. Tak ada yang perlu disesali, dji.

Salam hangat dari hati yang pernah kau pinjam.

aku pernah tesesat karenamu, tapi hari ini kamu membantuku menuju jalan keluar.”

pratiwihputri

gule kepala ikan, mantap!

selamat sabtu malam, mblo!

Jangan sedih buat yang jomblo. Malam ini aku mau nyoba sharing tentang kuliner di Surabaya. Kebetulan buat orang macam saya yang fakir asmara #eaaaa malam minggu eh sabtu malam ding pasti nyari sensasi buat menghibur diri. hehehe. oke skip! Tadi sempet mampir di sebuah tempat makan. Sebut saja depot, soalnya kalau warung kebagusan, kalau restoran terlalu sederhana. Nama depotnya "Gule Kepala Ikan Mas Agus" letaknya di bilangan Jalan Kutai Surabaya. Daerah sekitar Surabaya Town Square. 

Kalau biasanya isi dari gulai adalah kambing atau sapi, panganan di sini disajikan agak berbeda dengan menyajikan gulai menggunakan kepala ikan. Kepala ikan disajikan dengan pilihan kuah seperti gule atau kuah tom yam. Ikan yang disajikan adalah ikan utuh dari ekor hingga kepala tapi bagian sampingnya sudah dikuliti karena selidik punya selidik ternyata bagian itu sudah digunakan untuk industri fillet ikan khusus ekspor. Sayang sekali tadi nggak sempet taken picture saking kalapnya, saking laparnya. Hehehe.

Kocek yang harus dikeluarkan pun juga sesuai dengan kantung anak kuliah macam saya. Hanya IDR 16,000 untuk seporsi gule kepala ikan dan IDR 14,000 untuk satu porsi kepala ikan dengan kuah tom yam. Untuk kepala ikan dengan kuah tom yam diberi daun kemangi dan potongan cabe merah jadi rasanya agak pedas. Oh iya sekedar tips, lebih baik memilih menu teh hangat daripada es. Menurut saya sih, lebih pas dengan kuah segar dari tom yam mau pun gule'nya.

Tapi yang saya agak heran, depotnya lumayan sepi. Padahal rasanya enak, harganya juga murah. Hehehe.

Oh iya, ada sedikit oleh-oleh nih, picture waktu saya sudah kekenyangan, hehehe.
check this out ! :

saya kalaaaap :9

rindu tak bertepi

ingatkah saat kita saling menatap mata.
saling bercerita lewat sebuah pandang, tanpa kata-kata.
saling terpingkal dalam bayang di sudut mata.
ingatkah saat kita menari bersama hujan.
saling memeluk hingga menggigil.
hingga terdampar pada kelabunya awan.

kapan lagi, kita menari lalu menatap hingga tertawa ?
rindu ini tak bertepi, sungguh!


April 2010