tiga ratus tiga puluh satu kilometer dari kota pahlawan

tiga ratus tiga puluh satu kilometer dari kota pahlawan,

/1/
sebentar lagi senja,
aku ingin menyeduh secangkir kopi untukmu
namun aku lupa,
kau sedang tak ingin memelukku
sebentar lagi senja,
aku ingin menyentuh keningmu
namun aku lupa,
rindumu bukan lagi untukku

/2/
di luar hujan
rindu sedang asik bersenggama dengan jarak
bulir-bulir kenangan
berbaris di jendela berarak-arak

/3/
luka itu,
lebih pedas dari masakan irwan bajang
juga lebih berdebu
dari buku-buku di rak yang tak sempat dipegang

/4/
doa-doa dijatuhkan
oleh sepasang dada yang tabah
dan tak banyak bicara
meski kabul tak juga bersua
meski peluk tak kunjung bersauh

kantor indie book corner, jogjakarta, 2013


hujan yang rebah di kota istimewa

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, namun prasangkaku rebah di dadamu tepat setelah kaki kiriku turun dari kereta sancaka sore. pukul delapan lebih empatpuluhlima menit, seorang petugas meniup peluit tanda masinis boleh menjalankan keretanya, namun kau masih belum mengijinkanku menghuni dadamu yang konon lapang itu. aku masih ingat betul ketika aku memutuskan menerima pinangan sepi setelah dua tahun dadaku kehilangan kuncinya kau yang membukanya perlahan dan menghidupkan kembali kepakan sayap kupu-kupu kupu-kupu di perutku yang tidur nyenyak berselimut air mata. 

aku jarang sekali mengunjungi kota ini kecuali jika sedang patah hati dan lucunya patah hatiku selalu tepat dengan musim hujan tiba seperti kali ini, hujan tak hanya rebah di kota istimewa, begitu juga di pipiku. dia rebah dengan hangat ketika bibirku mengeja lima huruf namamu. cukup bagiku mengetahui bahwa aku merindukan desah nafasmu di tengkukku.

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, tapi kali ini bukan hanya tubuhku yang menggigil tapi juga sikapmu hari ini. tak ada ucapan selamat pagi atau hati-hati di jalan. ah, sayang, betapa rinduku bukan hanya sekadar rindu pada pelukan-pelukan kecil kita.

hujan sedang gemar rebah di kota istimewa, di sepanjang jalan kaliurang ini aku ingin merebahkan rinduku sejenak dan menunggu kepalaku berubah pikiran untuk melupakanmu.

kaliurang, 2013 

menemui sepi

aku bosan menulis puisi dengan ditemani kopi, hujan serta kamu. mendadak aku ingin membungkam debar yang membuntuti dadaku beberapa bulan terkahir ini, selepas kauhujani aku dengan pelukan sebelum aku berpamitan masuk ke dalam mobilku. sisa-sisa pelukanmu di ujung malam itu membekas aroma wangi yang perih di ujung kerah bajuku, aku bahkan lupa kapan terakhir kemeja polos hijau pupus itu kucuci. aku terlalu sibuk bercengkerama dengan sepi.

di depanku, dua bocah berseragam putih-abu sedang menikmati masa mudanya yang membara. berkali-kali kulihat perempuannya tersipu malu dipuji si lelaki. masing-masing dadanya bergemuruh persis seperti milikku. namun gaduh itu sendiri, adalah sebenar-benarnya sunyi. segeralah tumbuh besar kalian, agar tahu seperti apa rasanya menikahi sepi.

surabaya, 2013

rindu masih saja terjaga

senja baru saja berpamitan
dan kita,
masih saja kehilangan kata-kata
jam tangan di pergelangan mulai menertawakan kita
menertawakan genggaman tangan yang sunyi
dua cangkir di meja mulai mengantuk
sedang satu piring kentang goreng sudah tertidur pulas
namun,
rindu masih saja terjaga

pukul dua lebih tujuh belas menit
suara mesin kereta api masih berderu
pengamen jalanan masih bersemangat berlantun
kopi masih terlalu panas untuk disesap
tiga puntung rokok teronggok di atas asbak
kepalaku sudah bersandar di bahumu
namun,
rindu masih saja terjaga

gelap pelan-pelan gugur
matahari menguap
beringharjo kembali riuh
dua pasang langkah terlihat berat
tugu jogja mencibir pada kita
pertemuan sudah dilangsungkan
perpisahan siap disambut (kembali)
namun,
rindu masih saja terjaga

aku kehabisan cara, mas.
cara untuk menghabisi rindu.

jogjakarta, 2012.