Mari Merenung, Sejenak.

Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang cukup berada itu sebuah anugerah terbesar yang saya miliki hingga saat ini, di saat semua orang bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan "makan apa saya hari ini?" saja sungguh bukan hal yang mudah, saya dengan mudah melahap nasi dan lauk yang notabene hasil kerja keras kedua orang tua saya. Dilahirkan di tengah-tengah kecukupan lahir dan batin ternyata lantas tak boleh membuat kita berleha-leha, apa yang kamu nikmati sekarang tak lain tak bukan adalah hasil jerih payah kedua orang tuamu. Pernakah kamu sempat berpikir seperti ini, ketika kalian sedang nongkrong di mall, hura-hura, berhedon ria bertanyalah pada diri sendiri uang siapa yang sedang kamu pakai untuk itu? Bersyukurlah dan saya akan beri kamu dua jempol saya jika itu uang hasil jerih payah kamu sendiri. Tapi tidak jika itu adalah hasil dari orang tua kamu, well tidakkah kalian memikirkan apa yang sedang dan telah orang tuamu lakukan sekarang? Membanting tulang menghabiskan seluruh tenaganya seharian demi kamu bisa hura-hura sepreti itu. Ironi.

Pernahkan suatu hari kamu terbangun dari tidur lalu menangis tersedu-sedu akan entah? Saya pernah, dan kalau kalian pernah, itu hal yang wajar. Sedikit saya mengutip sebuah quote dari kawan saya bahwa yang terbaik selalu datang seusai yang terburuk agar kita tahu bahwa itu yang terbaik, yah, terkadang kita harus menyesal dulu sebelum akhirnya kita berubah. Saya pun sempat mempertanyakan keberadaan pencipta hidup dan mati ketika saya tengah berada dalam pelik. Bodoh. Kata itulah yang harusnya menampar saya waktu itu. Kembali, coba bertanyalah pada dirimu sendiri lagi, apakah kau masih ingat denganNya ketika bahagia tengah memeluk? Berapa banyak syukur yang sudah kau serukan dalam sehari atas nikmat dariNya? Begitu kau ingin dipeluk olehNya ketika pelik jika dalam bahagia kau tak pernah ingat denganNya. Ya, saya bukan orang yang religius, tapi saya percaya jika kamu berpikiran positif maka semesta akan selalu mendukungmu. 

Seringnya saya membaca beberapa twit dari kawan saya yang suka nelangsa lalu mengumpat hingga melontar sumpah serapah pada sosial media. Seringnya saya menangkap dia adalah tipe orang yang tak menghargai orang lain, terlebih pada mereka yang menurutnya berada pada level di bawah mereka. Masih, ini soal uang. Negara ini sudah tak sehat rupanya, hukum yang berlaku saat ini adalah siapa yang beruang dialah yang berkuasa. Ngehe. Semua orang punya derajat yang sama di mata Tuhannya, itu yang saya yakini. 

Kamu masih bisa tidur enak di kasur yang empuk namun masih saja mengeluh banyak-banyak tak terhitung tiap hari, kamu dapat salam dari mereka yang tak punya tempat untuk tidur. 

Jadi, sudah berapa syukur yang kau lontarkan hari ini, Kawan?

Surabaya, 2012.

Spekulasi Hati



“Assalamualaikum.”

Terdengar suara salam di depan pintu. Aranta mengurangi suara volume televisinya. Siang itu langit Surabaya nampaknya begitu bersahabat, terlihat mendung sedikit menggantung menyejukkan hawa Surabaya yang biasanya panas. Kipas angin di samping televisi pun sedang tak difungsikan oleh Aranta, tak seperti biasanya. Aranta melangkahkan kakinya menuju pintu depan, sedang tak ada siapa-siapa di rumah kali ini. Hanya dia dan Mbak Yum yang beberpa menit yang lalu pamit menemui Mas Somad, penjual siomay di depan komplek yang notabene adalah gebetannya.

“Waalaikumsalam.”jawab Aranta sambil membuka pintu, “Ingin bertemu siapa?”tanyanya sejurus kemudian saat melihat sosok wanita yang ditaksir Aranta umurnya tak lagi muda namun masih terlihat segar. Jilbab biru toska menghiasi auratnya, di tangannya terdapat satu buah kardus yang rupanya berisi makanan. Di depan pagar Aranta ada sebuah mobil berwarna silver terparkir.

“Ibu Alina ada, Nduk*?”tanyanya, logatnya masih kental jawa Surabaya.

“Ibu masih di kantor, hmmm. Ada perlu apa, nggih**?

“Kalau begitu biar Nenek tunggu, boleh Nenek masuk?”tanyanya.

Aranta tetap harus waspada, bukannya bermaksud negatif. Terlihat jelas bahwa Nenek di depan Aranta ini adalah manusia baik-baik. Nada bicaranya halus walau pun kental dengan aksen jawanya, tak ada tanda-tanda jahat menyelimutinya. Namun Aranta, tetap harus waspada.

“Silahkan, Nek. Tapi mungkin baru dua jam lagi Ibu pulang.”

Aranta membuka pintunya kali ini lebar-lebar lalu mempersilahkan Nenek itu duduk di ruang tamu. Sedikit banyak menemaninya berbincang, tak lupa Aranta menyuguhkan segelas teh hangat dan kue seadanya untuk Nenek itu. Namanya Nenek Tari, Aranta hanya boleh memanggilnya dengan Eyang Tari. Eyang Tari banyak bercerita tentang masa mudanya saat  masih seumuran dengan Aranta, Eyang Tari berkenalan dengan Ibu di Tanah Suci tahun lalu  ketika mereka sama-sama menjalankan ibadah haji. Sudah beberapa kali Beliau bertandang ke rumah Aranta, dan selalu tak pernah bertemu Aranta. 

Sebuah mobil sedan lawas berwarna hitam masuk ke dalam pelataran rumah, seorang wanita dengan seragam pegawai negerinya keluar dari mobil sambil membawa sebuah tas jinjing besar. Ibu, begitulah Aranta memanggilnya. Sudah pukul dua siang, pantas saja ini waktunya Ibu kembali ke rumah. Melihat ada mobil terparkir di depan rumah, Ibu masuk sambil tergopoh-gopoh.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ya Allah, Eyang Tari... Kok kemari nggak telepon saya dulu?”seru Ibu sambil bercipika-cipiki ria dengan beliau. Melihat Ibu yang sudah datang, Aranta bergegas ke kamar untuk bersiap, hari ini dia ada jadwal kursus pukul tiga sore.

***

sebelum bertemu kamu

sebelum bertemu kamu, saya pernah memutuskan untuk membekukan hati.

sebelum mengenal kamu, saya pernah memutuskan untuk tak peduli apa itu cinta.

bahwa dulu kita hanya dua orang asing yang aku tak kenal siapa kamu dan kamu tak tahu menahu perihal aku.

lalu berdua kita mengawinkan tangan kanan kita melalui jabat sore itu, senja itu, bersamaan dengan mentari yang hendak pamit untuk beristirahat di peraduannya.

lalu kita membangun percakapan-percakapan singkat saat bertatap, celotehan-celotehan ngawur, dan kamu ciptakan beberapa tawa renyah padaku. percakapan-percakapan sebelum tidur yang tanpa ujung karena terpisah oleh kantuk.

ya, sebelum bertemu kamu, saya pernah memutuskan untuk berhenti jatuh cinta.

Selamat Menempuh Hidup Baru


Sebuah motor matik berwarna merah marun berhenti di pinggiran jalan, tak jauh dari situ ada gerobak penjual mie ayam. Sepertinya abang mie ayam sudah kenal dengan dua orang anak manusia yang baru saja turun dari motor itu. Yang satu mengenakan celana kain dengan kemeja lengan panjang berwarna putih bergaris hitam samar putus-putus yang lengannya dilipat hingga siku, sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Yang satu berpenampilan sedikit cuek, celana jeans agak belel dengan kaus warna putih bertuliskan “england” rambutnya dicepol sembarangan bahkan beberapa terlihat menjuntai menghiasi lehernya yang jenjang, di tangannya ada dua buku tebal yang satu tak didapati sampul yang biasanya menghias buku.

“Biasa ya, Bang! Dua!”seru laki-laki itu.
“Beres, Mas. Ke mana saja sudah berminggu-minggu tak kemari?”
“Rumah sakit sedang ramai-ramainya, Bang.”
“Baiklah, tunggu sebentar. Pesanan akan segera datang!”kata bang Rohmat kala itu.

Hampir seminggu dua kali mereka jajan di tempat ini dalam kurun waktu dua tahun terakhir, menikmati semangkuk mie ayam bang Rohmat yang memang terkenal di daerah ini. Setiap hari jumat sepulang Rizki dari jumatan dan Minggu siang setelah Citra pulang beribadah. Banyak hal yang mereka bicarakan sembari menghabiskan makanan.

Terkadang Rizki bercerita tentang keadaan rumah sakit, konyolnya menghadapi pasien-pasien anak-anak, cerewetnya pasien ibu-ibu dan tak jarang mendapat cerita sedih atas cobaan yang menimpa pasiennya. Citra pun begitu, dia suka sekali berbagi cerita dengan Rizki tentang kawan-kawannya, tentang killernya dosen, tentang Citra yang diusir dari kelas karena terlambat.

Tapi ada yang beda dari hari itu, Rizki hanya berjalan menyusuri jalanan tempat Bang Rohmat mangkal lalu tersenyum saat pandangannya bertemu dengan mata Bang Rohmat. Gereja di depan Bang Rohmat mangkal terlihat sangat ramai. Ada karangan bunga berdiri dengan cantik di depannya, bertuliskan, “Selamat Menempuh Hidup Baru Citra dan Rian”

Surabaya, 2012

forget jakarta




Fara menyesap Caramel Macchiato panas dalam cangkir berwarna kuning gading di depannya. Lelaki di hadapannya masih sibuk menyesap rokoknya, dalam hening. Kira-kira sudah hampir sejam mereka terdiam tanpa kata satupun. Fara melayangkan pandangannya jauh ke luar jendela.

“Sudah pernah kukatakan sebelumnya padamu, bukan? Bahwa aku tak percaya jarak.” Laki-laki itu mengeluarkan suara pada akhirnya sambil mematikan rokoknya.

“Fara itu menuntut ilmu, mas. Fara kuliah di sana.”

“Lalu kamu akan bertemu kawan-kawan baru di sana, sibuk dengan kuliahmu dan cepat atau lambat kamu akan melupakan aku.”

“Aku tahu pikiranmu sedang kalut, hubungi Fara kalau mas rindu dengan Fara.”ujar Fara lalu meletakkan selembar uang di atas meja meraih tasnya dan berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan dua cangkir yang masih penuh di atas meja.

Edgar Nasution, entah bagaimana awalnya Fara bisa jatuh cinta dengan laki-laki yang lahir dua tahun lebih dulu darinya. Tak ada yang istimewa dari laki-laki keturunan batak muslim yang dikenalnya lewat sebuah komunitas membaca buku empat tahun yang lalu. Mereka sama-sama menyukai Adhitia Sofyan dan lagu-lagunya, sama-sama penggemar beratnya Dewi Lestari dan Benyamin Sueb, suka sekali berdebat tentang siapa yang lebih tampan Vidi Aldiano atau Afghan, dan tak pernah bosan menghabiskan waktu kala mereka sedang santai tak ada kerjaan dengan menonton film-film kartun di nickelodeon channel di ruang tengah rumah Edgar.

pukul satu lebih dua puluh lima tanpa kantuk

1.
sudah kucium gelagat rembulan
rupa-rupanya ia ingin cepat-cepat tertidur
namun tidak dengan mata kita
dua pasang milik kita terbuka lebar
tak ada kantuk yang singgah, bahkan sejenak

2.
satu dua tiga empat lima
kita mulai berhitung
sejak kapan kita saling mengenal hati
masing-masing yang dulu adalah asing
tik tok tik tok tik tok
bahkan detak jam pun tak lagi terdengar
mereka tenggelam oleh beberapa celotehan
dari bibir kita masing-masing

3.
kotak bersuara di hadapan kita masih saja berceloteh
namun mata kita tak lagi hirau padanya
mata kita saling memuja
percakapan kita sudah tak ada lagi buntutnya
terurai berai hingga ratusan kilometer

4.
tik tok tik tok tik tok
tatap kita mendongak pada dentum jam yang besar
di sisi kanan kami
pukul satu lebih dua puluh lima
tak juga kita mengantuk
pukul satu lebih dua puluh lima
tanpa kantuk 

2012

pelesir mimpi

: adimas immanuel

aku mencintaimu, adimas. seperti rangkaian sajak indah yang dibagikan di sosial media  oleh para pecinta kata lalu di retweet oleh followersnya.

aku mencintaimu, adimas. dan aku tak percaya akan teori dua buah lingkaran yang bersisian namun tak beririsan katamu. semua hanya tentang jarak.

aku mencintaimu, adimas. lalu aku akan menjadi penghidup cinta yang katamu mati oleh wanita sebelum aku. cinta matimu, katamu.

aku mencintaimu, adimas. tak usah kau merepotkan diri atas kenangan yang ingin merdeka. mereka itu urusanku. kamu, merebahlah pada pelukku.

aku mencintaimu, adimas. laut dan hutan yang menari di surga pasir putih dadaku katamu sudah kukenali, dan itu berwujud kamu.

aku mencintaimu, adimas. ingatatan-ingatan yang bertamasya di antara bayang-bayang trauma dan traoma pada benakku itu, ternyata serupa kamu.

aku mencintaimu, adimas. lebih dini dari pagi hari, lebih larut dari malam hari, dan lebih indah dari senja hari.

aku sudah mempelesir mimpi karenamu. semua hal di sana memuja kamu, mengucap namamu, dan berwujud kamu.

surabaya-semarang, 2012
aku mencintaimu karena sajak-sajak yang kau ukir.

senyala api

mati sebuah pertaruhan
egoisme tersingkirkan
nada-nada kebebasan terdendang
ragu didustakan begitu saja
benak terukir hanya nama tuhan
rasa tak sudi dijajah pun alasan
harga diri mereka tak ada nilainya
terlalu berharga untuk dinominalkan
sebongkah emas pun tak cukup 
anak-anak menangis merintih
tak jua membuat langkah menjadi tertatih
semangat senyala api
merah merona warnanya
sungguh patut kita hargai
bukan dengan emas berlian, kawan
namun patut kita hargai
dengan menanam semangat pada diri masing-masing

surabaya, 10 nopember 2012
untuk pahalawan-pahlawan dengan semangat senyala api. tularkan semangat itu, pada kami kawula muda, wahai pahlawan.

semisal aku.


semisal aku sebuah ombak
aku ingin kamu jadi pantainya
satu-satunya tempatku bersauh
satu-satunya alasanku untuk pulang
bukan sekedar pantai
namun pantai yang dikenal orang dengan kata eksotik
yang memanjakan setiap pengunjung
akan indah rona merah kala senja
atau guratan cantik kala terbit sang fajar

semisal aku matematika
aku tak ingin menjadi irisan atau gabungan
dalam hitungan yang membingungkan
namun aku akan menjadi angka yang pasti
dari sebuah penjumlahan hati
bahwa satu ditambah satu adalah kita

semisal aku sepatu
aku hanya ingin menjadi sepatu kaca
seperti yang sering ibu ceritakan
ketika aku masih kanak-kanak dulu
bahwa dia hanya cukup dikenakan oleh seorang
seorang kamu

semisal aku gunung
aku hanya ingin menjadi yang berstatus awas
bahwa tak akan ada orang biasa yang berani
bahkan sekedar mendekat pada radius tertentu
namun aku,
ingin seorang pejuang
yang tak takut apa pun
bahkan kepada letusan gunung berapi
seorang berupa kamu

semisal aku penari
aku hanya ingin menjadi balerina
yang cantik dengan roknya yang mekar
selayak bunga di musim semi
karena aku kagum
akan teguhnya
menopang seluruh berat yang dipunya
oleh dua buah tumit yang lembut itu

semisal aku adalah waktu
aku tak ingin menjadi kemarin
atau pun besok
karena aku adalah hari ini.

kita pernah

pernah sekali waktu,
hening dengan lancang menyelinap di antara kita
mematahkan suara 
mengaburkan pandangan

pernah sekali waktu,
ragu dengan gusar membalut kita
mematahkan percaya
mengaburkan tujuan

pernah sekali waktu,
benci dengan lancang mempengaruhi kita
mematahkan ingin
mengaburkan semangat

pun pernah sekali waktu
aku dan kamu menjadi kita
hingga kembali menjadi 
aku
kamu
yang 
tak 
saling
mengenal

layang-layang

jemariku selalu memuntahkan
beberapa bait puisi
yang terkadang sudah tak peduli
masih sudikah kiranya kau tengok barang sekedar

kemarau panjang tak ada habisnya
dahagaku meradang dalam lengang
tubuhku terkilir oleh rindu yang tak berhilir
teronggok dalam bebatu yang menyanyi sendu

sekelebat layang di sudut mata
beterbang tujuh keliling
mengundang anak laki-laki turut serta
mengejar hingga terluka lututnya

tarik ulur saja aku dengan senarmu
hatiku tak pernah merasa terbelenggu
waktu istirahatmu hanya gerimis
menghiasi pelupuk mata yang kupunya

kupas asa dalam gelap
remas jemariku yang dibekap harap
anggap hanya ilalang yang tau kapan terlepas
layak dandelion tertiup angin terbang bebas

layang-layang memang tak pernah berhenti
hingga putus senar yang membelenggunya
apa itu yang kau nanti
memutus asa yang kurajut lama

surabaya, 2012
untuk para wanita yang tak peduli akan hatinya yang serupa layang-layang oleh lelakinya.

senandung kelelahan

gemuruh dupa meruap hening
menyisa aroma getir hingga memusing
sorotnya tajam mengecup kening
dipercik air keruh oleh sang bening
di atas mentari berbalut kostum kuning
durhaka ia tak ambil pusing
ditantangnya seekor mamalia bertaring
memancing mosi mengundang muring
hatinya tak pernah hilang hanya mengering
bukan sesekali ia terluka terlalu sering

surabaya, 2012
senandung hati yang mulai lelah bahkan sekedar untuk mendengar

spekulasi hati; ketika cinta sudah memilih



Tak ada lagi yang menahan Kila di kota kecil ini, tidak juga dengan En. Yah, En, begitu Kila memanggil anak laki-laki berpostur tubuh tegap dan rambut jambul Tin-tinnya. Hari itu hari terakhir Kila berada di kota kecil ini bertepatan dengan acara perpisahan di aula sekolah. Kila menatap deretan nama-nama di papan pengumuman, melihat namanya berada di deretan daftar siswa yang lulus tahun ini. Kila tersenyum, getir.

Rasanya baru kemarin dia mengikuti MOS atau Masa Orientasi Sekolah. Rasanya baru kemarin dia dihukum hormat di bawah tiang bendera seharian oleh seniornya. Rasanya pun baru kemarin Kila dinobatkan menjadi the best reporter di majalah sekolahnya. Mungkin Kila tidak begitu cemerlang di bidang akademik, namun debutnya di organisasi sekolah membuat satu isi sekolah tidak ada yang tak mengenalnya. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru, karyawan di bagian Tata Usaha, hingga tukang kebun dan satpam sekolah pun mengenal gadis ramping dan mungil itu.

Kila mencari sebuah nama. Zulkarnaen. Lalu menghembus nafas lega sesudahnya, anak laki-laki itu juga berada di daftar yang sama dengan Kila.

“Hey, Kila.”sapa Dito, cowok berbehel itu merangkul leher Kila.

“Hey, To.”

“Selamat ya, namamu masuk sepuluh besar.”

“Selamat juga namamu masuk ada di daftar nama yang lulus.”sahut Kila sambil cekikikan. Dito melepas pelukannya, nyengir melihat namanya berada di urutan paling bawah.

“Ada di urutan paling bawah aku udah bersyukur banget, La.”desis Dito.  Kila tersenyum. Kila juga tau, potensi Dito memang bukan di bidang akademis. Tapi, dia kapten basket hebat yang pernah dimiliki sekolah itu. Tiga tahun berturut-turut sekolah mereka mendapat gelar juara umum pada kompetisi basket se kabupaten. Dito juga tahu, Kila bukan bermaksud meledeknya tadi. Dito mendekatkan pandangannya ke deretan nama-nama di hadapannya.

“Udah, mau dipelototi gimana pun. Namamu nggak bisa dituker posisinya sama Ayu.”

“Ah, gila. Kok bisa ada anak secerdas Ayu. Liat itu nilainya. Bulet semua kayak orang bunting.”ujar Dito. Kila tergelak. “Kamu nggak mau gabung sama temen-temen di dalem? Sejam lagi bandnya En manggung.”

“Kamu duluan aja.”

“Yaudah, jangan sampe kelewatan, La. Kata En besok kamu udah berangkat ke Surabaya?”tanya Dito. Kila mengangguk, seperti ada sejuta pertanyaan yang ingin Dito lontarkan pada Kila. Dito menatap mata Kila sejurus kemudian berlalu meninggalkan gadis kecil dengan kuncir kudanya.

jadi kapan, sayang ?

jadi kapan sayang ?
kau memperbolehkan namaku menjejali alam pikirmu
aku menjadi yang pertama buatmu dan menjadikan kedua dan ketiga menjadi tiada
aku menjadi pusat rotasi alam semestamu dan
menjadi titik pemberhentian terakhir akan perjalananmu

jadi kapan sayang ?
kau menyambut dengan peluk akan kebahagiaan yang kutawarkan
bayanganku memenuhi setiap ruang benak yang kau punya
suaraku menjadi irama yang paling merdu yang pernah kau dengarkan
dan nafasku melengkapi setiap sengal yang kau rasa

jadi kapan sayang ?
kehadiranku menjadi hal yang paling kau rindukan adanya
kecupanku menjadi bagian dari partikel semangat yang melengkapi harimu
lalu genggaman tanganku adalah yang selalu dicari oleh jari-jarimu kala mereka lelah

jadi kapan sayang ?
aku dan kamu menjadi kita.

delapan tanda tanya

aku tahu aku tersesat jika sekali saja kulangkahkan kakiku menjauhimu

namun mungkin akan lebih salah lagi jika aku tetap tinggal sedang kau menyuruhku pergi

karena kau mengingatkan kita lebih awal agar tak saling terjatuh. pun tak saling melukai. itu pertanda cinta, bukan ?

dengar! itu masa lalu milikmu berteriak-teriak ingin direngkuh. sambutlah! itu yang kau mau, bukan ?

lalu atas dasar apa kau menghentak rasa yg tercipta pada dadamu semenjak bertemunya dua tatap kita siang itu ?

dan atas alasan apa kau menyuruhku berhenti atas langkah yang telah terlanjur kutapaki ?

apa mengenai masa lalu yg bergelantung tepat empat koma lima senti di dahimu yg membayangi rasa yakin dan mencipta ragumu, betul begitu ?

lalu apa arti dari bahwa masa lalu bukan untuk didatangi lagi tapi dipetik buah ajarnya yg sempat kau lontarkan, apakah kau ingat ?

kau bilang tak perlu kita sebegitu cintanya. tapi kau diikat sebegitu eratnya oleh masa lalu. apa benar bahwa kau hanya terlalu nyaman ?

pemakluman yg dalam itu yg kau harapkan dariku atas setangkup harap yg sempat kau hadiahkan padaku untuk kurengkuh, apa itu yg kau mau ?

aku diombang-ambing sayang, oleh delapan tanda tanya yg sesegera ingin bersua pada jawabnya.

aku tercekat sayang di tengah ruang kosong yang sempat berisi sebuah pengharapan yg ternyata abu-abu, hatiku pun membiru.

aku tak butuh tanggung jawab atas perasaan yg terlanjur tercipta. namun, aku butuh penjelasan. tak banyak, hanya delapan tanda tanya.


survey for survive


 kuliah kerja nyata, apa yang ada di benak kalian saat mendengar tiga kata itu? jika aku menjadi? salah satu program di sebuah stasiun tv swasta? bisa jadi, aku pun sempat berpikiran ke sana. berkecimpung dengan masyaraka desa yang jauh dari peradaban, jauh dari hiruk pikuk, jauh dari apa yang namanya modern dan hedonitas. 

sembilan belas orang, yang belum pernah saling mengenal sebelumnya dipertemukan disini. desa besah, kecamatan kasiman kabupaten bojonegoro, saya yakin waktu itu belum ada satu pun dari kami yang pernah mendengar nama desa itu. makanya, ketika kami sedang berkumpul untuk rapat, kami menyempatkan membuka google map, yaah.. alat bantu manusia modern seperti kami, apalagi.

keadaan tempat tinggal kami
survey beberapa kelompok pasti lah waktu itu mengharuskan diri untuk survey ke desa masing-masing, pun dengan kamu. survey for survive. setidaknya akan ada gambaran nantinya di sana seperti apa. barang-barang apa saja yang harus dibawa ke sana. dan yang terpenting bagi kami adalah nyaman atau tidak tempat tinggal yang akan kami diami selama kurang lebih 26 hari nantinya.

survey pertama.. ngaret.. seperti biasa rencana kumpul jam 6 pagi akhirnya kita berangkat pukul setengah delapanan kurang lebih. tak banyak yang ikut kala itu, hanya saya, mas @koendhie, mbak @TaaaGieta, @kie7812, dan ketua kami @arisonly. kami belum dekat satu sama lain kala itu, tak banyak yang bisa kita bicarakan selain rencana kita di sana nantinya. setelah agak sedikit nyasar dan dibantu dengan supirnya aris kita akhirnya tiba di rumah bu kades. yaaa.. kepala desanya kala itu seorang wanita yang nanti akan saya jelaskan lebih lanjut di edisi berikutnya. berbekal beberapa pertanyaan dari teman-teman yang di surabaya kami mulai mewawancarai bu kades, pun mengenai tempat tinggal, kami juga sempat mendatangi salah satu sekolah dasar yang ada di sana, sayangnya sekolah sudah bubar kala itu.

survey kedua agak hectic, hampir semua ikut. dengan tiga mobil kami berangkat dengan ngaret seperti biasa. tapi kami menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah tempat makan, sebut saja kaliotik yang akhirnya beberapa dari kami sempat sedikit mengumpat ketika melihat bill, hahaha, maklum kantong mahasiswa dan anak kos. saya sendiri waktu itu habis 19 ribu untuk nasi, telur, kompilasi kuah dan segelas teh hangat. perkiraan saya waktu itu kompilasi kuahlah yang membuat billnya bernilai tinggi, cukup sekian dan terima kasih.

wajah-wajah para survivor

  sampai di sana kami kembali menemui ibu kepala desa dan juga pak bayan, orang desa memanggilnya mbah bayan. jabatannya adalah ketua urusan.. hmmm saya agak nggak mudeng juga beliau urusan apa, tapi waktu itu beliau menjadi penengah antara kami dengan warga. hingga akhirnya urusan mengenai tempat tinggal juga konsumsi beres kala itu juga setelah dengan beberapa negosiasi pastinya. kami juga sempat mendatangi pusat kesehatan hewan untuk urusan proker teman-teman dari kedokteran hewan. survey ditutup dengan makan soto di lamongan yeay!

ruang tengah rumah cewe


pak rete mulai pedekate sama antok kliwir



kisah pak rete yang ditinggal sebatang kara oleh kawan-kawannya
 

Layang-layang di Ujung Senja dan Terminal Asap Rokok yang Memenuhi Kotak Kenangan


oleh: Pratiwi Herdianti Putri

Empat lebih empat puluh lima sore, jarum jam yang sama yang selalu dilihat Nadira ketika disandarkan punggungnya pada ujung tiang halte tempatnya menunggu bemo yang akan mengantarkannya pulang. Nadira akan betah berlama-lama menyandar di sana menanti senja, ketika senja merangkak datang padanya maka akan Nadira sambut dengan peluk hangat di tambah kecupan mesra di pipi senja.
Sudah dua tahun semenjak Nadira mencopot seragam putih-abunya. Ambisinya untuk menjadi penulis mulai memudar semenjak senja jarang sekali menghampirinya di halte tempatnya menunggu. Senja lebih suka menghampiri segerombol anak laki-laki yang asyik bermain layang-layang di ujung gang dekat rumahnya. Kalau Nadira tau senja di sana, Nadira cemburu. Tentu  saja. Makanya Nadira lebih suka menyibukkan diri dengan kuliahnya, dengan organisasinya.
Dulu Nadira suka sekali bermain layang-layang, lalu senja akan menghampirinya. Menemaninya bermain layang-layang. Tapi karena kesibukannya, layang-layang yang Nadira buat dengan Kakek kini terpaksa dibiarkan teronggok di pojokan garasi. Kadang, ketika Nadira mengambil mobilnya di garasi, terdengar rintihan layang-layang yang tengah merindu untuk diterbangkan, merindukan senja terutama. Nadira pun.
“Sudah kubilang aku akan menjemputmu pukul lima di depan kampusmu, apa yang kamu lakukan di sini, Nona Manis?”sebuah suara mengangetkan Nadira.
“Maaf, Mas. Aku lupa.”
“Kepada senja kamu tak pernah lupa.”desah Alex.
Laki-laki itu menggandeng tangan Nadira membawanya menuju parkiran di kampus Nadira, tempatnya memarkirkan motor bebeknya. Tadi Alex sedikit kelimpungan mencari Nadira. Beberapa kawannya bilang, Nadira sudah keluar kelas semenjak pukul setengah lima sore. Ponselnya pun sudah tak aktif. Hingga Alex membayangkan, jika Nadira menjadi sepatu Nadira, kemana Nadira akan melangkahkan kaki sepulang kerja. Benar saja, wanita yang sedang Nadira cintai didapatinya tengah melamun sambil menyandarkan punggungnya pada tiang halte.
Senja mulai merangkak menunjukkan wujudnya yang oranye, Alex memang tak suka senja. Tapi karena Alex akan mendapati Nadira tersenyum lebar-lebar sambil mempererat genggaman tangannya padanya, sedikit demi sedikit Alex suka berterima kasih pada senja lewat surat yang Alex titipkan pada malam. Genggaman tangan itu, menurut Alex, adalah genggaman tangan paling menenangkan di dunia.
Nadira memeluk Alex dari belakang, deru motor bebek Alex tak dihiraukannya. Kehadiran Alex adalah hening dalam riuh yang menghampirinya. Semangat dan harapan Nadira tercipta dari aroma tubuh Alex. Baginya, pelukan itu lebih indah dari sekedar kata-kata aku menyayangimu atau aku membutuhkanmu. Nadira memeluk tubuh lelakinye erat bersamaan dengan deru motor bebek usang yang memecah jalanan ibu kota.
“Besok kamu jadi ke Jakarta, Mas? Satu tahun?”
“Aku kira kamu tak ingat.”
“Mana mungkin aku tak ingat akan perpisahan kecil yang akan terjadi besok, Mas. Pukul berapa kamu pergi?”
“Pukul sembilan pagi. Kalau kamu tak bisa antar, biar Ayah nanti yang mangantarku, Nona Manis.”
“Kok gitu? Aku bisa ijin, Mas. Itu kalau Mas mau.”
“Enggak usah, Nona Manis.”
“Baiklah, Mas. Jangan lupa hubungin aku kalau Mas mau berangkat.”
“Pasti. Malam ini mampirlah ke kosanku sebentar. Bantu mas bersiap.”
“Dengan senang hati.”jawab Nadira sambil mengencangkan pelukannya.
Deru mesin motor bebek, senja yang perlahan mulai hilang, jalanan Kota Surabaya yang mulai macet, punggung yang wangi. Benak Nadira sangat pandai dalam merekam kenangan. Ada sebuah kotak berwarna ungu dalam benak Nadira, isinya kenangan, tak besar ukurannya. Isinya pun hampir penuh. Nadira takut kalau suatu hari kotak itu penuh, Nadira harus menutupnya dan menggantinya dengan baru.

***

terkapar





aku terkapar di tepian ulu hati, telingaku mendengar suara teriakan menyuruhku bangkit lalu terjun. hingga mati. langit sore membiru tergurat oranye. sembiluku membiru disayat apa yang seringnya mereka sebut harap yang berisikan kosong kedap pengap.

aku sedang tak ingin mati, aku masih ingin hidup meski sukar napasku tersengal. meski partikel-partikel oksigen enggan sudah untuk kuhirup. meski jutaan debu masa lalu masih saja dengan rajinnya datang menjejali pikiranku, menjejali saluran pernasapanku, namun aku tak ingin mati.

yah, aku terlambat menyadari bahwa aku jatuh cinta pun bahwa aku sedang disakiti, aku terlambat. hingga aku kini.. terkapar..

kaca spion

dari kawanan tak dikenal peluru menikam barang selasar
namun begitu pun tak jua buatmu berhenti berkelakar
hingga tentara kembali mengisi ulang selongsong
mulutmu masih saja dipenuhi omong kosong
selagi padaku rindu masih merong-rong
hei, kamu, sebentar ikuti aku
ratapi sebungkus gamang
yang tak menghilang
jangan menolak
ini kehendak
tidak
bukan mauku
hidup selalu begitu
membuat kita tersudut
akan beberapa hal yang kalut
tak jarang harus sedikit mengalah
jangan kau coba untuk kembali pandang
pada sepasang kaca spion pembuat hati resah
yang kerjanya hanya bisa menjadi dinding penghalang
sia-sia sudah jika kau berteman mereka si penyulut kenangan
yang kerjanya membuat onar dalam benak yang tak layak di angan

surabaya, 2012
kaca spion, padanyalah skenario kita waktu itu dibentuk, terlukis, cantik, elegan, juga pilu.

konspirasi pagi

pagi yang bisu, sedikit berbisik aku pada semesta
mengajaknya berkonspirasi
tentang apa arti diam dalam riuh di sekitar
mengapa embun, hanya datang ketika pagi menjelang
pun hanya membasahi rumput dan dahan
tidak dengan hati yang kering
mengapa pagi, selalu memaksa mata-mata berkantung hitam beraktivitas
menggerakkan tubuh-tubuh yang padahal lelah
bekerja lebih keras dari kemarin, demi nafas yang tetap berlangsung
mengapa matahari, tak selamanya hangat memaku
pagi hilang, beringaslah dia
menggigit kulit-kulit yang semakin hitam sebabnya
mengeringkan jiwa yang tandus di awalnya
menyusup hidup yang terberontak jiwanya
bukankah kita tinggal di negara bebas
harusnya tak boleh ada belenggu dalam jiwa
harusnya tak boleh ada kekang yang menelanjang
semua bebas berkonspirasi
tak terkecuali pada pagi yang bisu, pagi harimu

surabaya, 2012
untuk kalian yang susah bangun pagi dan jarang menikmati hangatnya pagi.

kumohon

kumohon katakan padaku, apa yang lebih kejam dari sepotong kenangan yang pernah kita lukis berdua dengan tinta warna-warni. terkadang jika rindu sedang berlebih kita menyempatkan diri membeli secangkir tinta emas lalu menorehkannya di atas kertas menggunakan kuas yang menggantung pada harapan. dengan ditemani sebait dua bait lagu tentang kau dannya. apakah pisau besar tukang daging yang baru saja diasah ujungnya ataukah sebilah pedang yang mempunyai kisah masa lampau.

kumohon jelaskan padaku arti dari seikat bunga yang tergeletak manja di depan pintu rumahku dengan pita merah jambu dan sepucuk surat bersuara merdu yang kau kirimkan melalui rinai sepi yang menghunjam melonglong memasuki kerongkongan dan mengenyangkan.

kumohon bisikkan padaku sekalimat alasan untuk mendukung argumen yang pernah kau lemparkan di atas dahiku bahwa hati tak pernah memilih, dia menunggu untuk dipilih hingga akhirnya harus menyakiti beberapa kawanan hati yang harusnya tak layak untuk terluka.

surabaya, 2012
aku hanya butuh penjelasan.

memaki gelap

memaki dalam gelap kurasa aku sedang
tetiba luka kembali merayap dalam benak
menjejal pikiran dengan sebelas bait pertanyaan
membungkam mulut oleh kekarnya
mereka menari sambil tertawa
sesekali mengecup pipi kiriku, lalu pipi kananku
memandangi sekujur tubuhku seakan ingin menguasai tak hanya benakku
hidupku pun ingin dibalutnya
tersengal aku berlarian
dikejar kenangan yang menumpang di punggung luka
mereka menggenggam sebilah pilu
yang siap menikamku kapan mereka ingin
gelap meraja seakan tak peduli
makian yang kulontar seakan hanya makanan basi
tertatih aku dalam tubuh gulita
lumpuhlah aku dibuatnya
dihantam rindu bertubi pada tekuk
menarik sembab di pelupuk mata
sepotong cahaya merengkuh tetiba
menguliti luka dan mematah pilu 
gelap tersungkur di ujung ragu
oleh cahaya berwarna biru

surabaya 2012
untuk cahaya biru yang kunanti hadirnya

Bagaimana Bisa


harapan kosong


Telunjuk Laila menyusuri sederet nama-nama yang tertulis di papan pengumuman. Sudah belasan menit dia mengurutnya dari bawah ke atas tapi belum juga menemukan sebuah nama. Hari ini pengumuman akan diletakkan di perusahaann mana dia oleh Universitas setelah mengikuti beberapa tes tulis, wawancara dan sebagainya yang cukup berat. Pikiran Laila sudah nggak karuan, perasaan takut tak diterima di mana-mana menyelimutinya.
“He, La. Ngapain disitu?”
“Lu, Ken. Nama gue engga ada, nih.”bisik Laila gemetaran. Niken tertawa terbahak.
“Saklek! Yaiyalah engga ada, ini buat mahasiswa Ilmu politik, buat mahasiswa sastra noh disana! Salah alamat, Neng!”seru Niken sambil menyeret sahabatnya satu itu ke sebuah papan pengumuman lain yang tak jauh dari situ.
Sebuah nama tercantum di urutan dua puluh satu, Laila Mei Anggraini, Tanda Seru Adv. sebagai art director junior. Niken memeluk sahabatnya.
“Selamat ya, meskipun cuman magang tapi kan jadi art director junior. Jadi, tolong dong dibuang muka kusut ketakutannya.”bisik Niken di telinga Laila. Laila membalas pelukan sahabatnya.
“Makasih ya, bungkus indomi. Lu sendiri keterima magang di mana?”
“Kantor konsultan pajak, asisten staff acounting.”bisik Niken. Mereka berpelukan sekali lagi. Persahabatan yang mereka rajut sejak smp dan berlanjut hingga perguruan tinggi membuat kedekatan mereka sangat kental.

***

Tap tap tap.
Suara trotoar beradu dengan sepatu converse yang berasal dari seorang gadis kecil yang tengah berlari-lari kecil. Berkali-kali dia mengangkat tangan kirinya menengok arloji hijau muda yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih lima menit, itu artinya Ila terlambat, dan buruknya lagi, Ila terlambat di hari pertamanya.
Sebuah tanda seru besar berwarna merah menyambutnya di pintu masuk seakan menegurnya bahwa hari ini dia benar-benar terlambat, telak, setengah jam. Laila menghampiri mbak-mbak di front office yang sedang mengobrol di telepon sambil terengah-engah. Diam-diam, seseorang mengamati tingkahnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”tanya mbak-mbak FO itu sambil meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Laila mengatur napasnya.
“Maaf, Mbak. Saya anak magang dari...”
“Oh, iya mbak, Pak Dimas telah menunggu di ruangannya. Mbak naik aja ke lantai dua, ada ruangan dengan pintu warna merah.”
Tanpa banyak basa-basi Laila berlari ke arah yang diinstruksikan mbak-mbak yang bernama Cintya yang Lalila tau dari tag name di dadanya. Pintu berwarna merah, lagi-lagi berwarna merah, semua ornamen di kantor ini kebanyakan memang berwarna merah. Bahkan tanda seru besar di depan tadi juga berwarna merah. Laila mengetuk pintu merah besar itu dengan hati-hati.
Come in!”seru yang ada di dalam.
“Maaf pak, Saya Laila, saya anak magang dari...”
“Kamu tau arti waktu adalah uang?”
“Maaf, Pak, saya terlambat, tapi saya bisa jelaskan.”
“Hari pertama terlambat, good job, Laila. Hari ini saya maafkan, tapi besok, saya nggak ingin ada alasan lagi. Jam kantor dimulai pukul delapan tepat, sanggup?”tanya pria yang berdiri di belakang mejanya itu. Laila mengangguk-angguk. Pria itu tertawa, Laila makin bingung, nafasnya masih tersengal.
“Saya paling nggak bisa marah, Laila. Hahaha. Kenalkan, saya Dimas, owner dari Tanda Seru Advertising. Just Dimas, no Mas or Pak. Semua disini manggil saya seperti itu kecuali menyebut nama saya kepada tamu yang datang. Ikut saya, akan saya kenalkan kepada rekan-rekan yang lainnya.”
Dimas menggandeng tangan Laila yang masih berkeringat tanpa canggung membawanya berputar mengelilingi bagian kantor mungil yang hanya terdiri dari dua lantai dan berakhir di sebuah ruangan dengan salah satu meja kosong yang sudah disediakan untuknya.
“Yes, welcome to Tanda Seru Advertising. Tuangkan selalu ide gila kamu di sini tanpa canggung. Ini, Martha, art director senior kamu yang akan membimbingmu nantinya. Jangan sungkan untuk bertanya dan selamat bekerja!”seru Dimas sambil mengacak-acak rambut Ila lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.
Hidup Laila banyak berubah semenjak hari itu, waktu buat karaoke atau ngemall nggak jelas bareng Niken, sahabatnya. Dia punya Martha, senior yang sangat telaten membimbingnya, juga Dimas, bos yang sangat perhatian terhadapnya.

***

“Heh, Lu bengong aja.”ujar Niken. Hari ini agaknya ada yang aneh pada diri Laila, terutama sejak seminggu yang lalu, semenjak Laila magang di kantor advertising itu. Niken tahu betul cerita kehidupan Laila. Sudah setengah tahun ini Laila jarang sekali menyunggingkan senyumnya, terutama jika mendengar nama Rendi.
“Heh, La. Gue dikacangin ih. Daritadi bengong senyam senyum sendiri liatin blackberry. Bbm’an sama siapa, sih?”celoteh Niken sambil mengusik ketenangan bengong Laila.
“Apaan sih, Ken. Lu ganggu aja, deh.”
“Kemaren gue liat Rendi sama Tiara...”
“Lu bisa nggak sih nggak ngomongin mereka. Gue lagi males dengernya.”
“Lu jatuh cinta ya? Lu udah move on?”
“Rahasiaaaa.”seru Laila sambil mengerlingkan matanya.

***

Keberuntungan juga buat Laila kala itu, mereka ada project ke Jogja menggarap sebuah proyek iklan besar di kota itu dua minggu penuh. Jogja, yang artinya, bekerja sambil liburan.
“Pagi, Laila!”sapa Dimas pagi itu bersamaan dengan Laila yang sedang menguap hebat di pinggir kolam renang.
“Eh, Dimas. Hmmm.. pagi.”
“Aku lihat semalam kamu masih nongkrong di bar jam 1’an. Nggak heran kalau jam segini masih menguap lebar.”sindir Dimas. Laila hanya tersenyum malu-malu. “Oiya, La. Nanti malam ada pertemuan khusus dengan klien. Ya, sekedar makan malam ucapan terima kasih beliau pada perusahaan kita. Kamu bisa kan temenin aku? Kebetulan rekan-rekan yang lain pada ada pertemuan dengan yang lain.”
“Mas Dimas nawarin Laila atau ngajakin Laila?”tanya Laila.
“Hmmm. Ngajak La. Ngajak. Kamu bisa kan?”
“InsyaAllah.”
“Oke, jam tujuh malam kamu saya jemput di depan kamar kamu. Hari ini kita sedang ngga ada progress apa-apa, La. Selamat menikmati liburan ya.”jawab Dimas sambil mengacak-acak rambut Laila lalu berlalu meninggalkannya sendirian di pinggir kolam renang dengan sejuta tanya. Seperti yang sudah-sudah, mengacak-acak rambut Laila sudah menjadi ritual Dimas sebelum meninggalkannya sendirian.
Makan malam itu berlangsung sukses, klien memang betul-betul suka dengan kinerja Dimas dan rekan-rekan yang lainnya. Dimas terlihat sumringah sekali malam itu, Laila kehabisan kata-kata. Hujan rintik-rintik yang membasahi Kota Jogja malam itu pun enggan membuat Laila dan Dimas berteduh. Dimas menceritakan kisah hidupnya dari nol, dimana dia harus jatuh bangun membangun perusahaan ini hingga sesukses sekarang sambil tak henti menggenggam tangan Laila.

***

Laila terjatuh, hatinya yang terjatuh. Dia sudah lupa akan luka yang dimilikinya yang dibiarkannya menganga hampir selama setengah tahun lamanya. Dengan hati-hati Dimas merawat lukanya, membalutnya dengan sejuta perhatian yang dia curahkan pada diri Laila. Hingga suatu malam, di hari terakhir Laila magang dan di sudut sebuah cafe di hadapan dua piring spaghetti, segelas milk shake strawberry dan segelas iced lychee tea Dimas menggenggam tangan Laila.
“Ada yang ingin aku bicarakan, La.”
“Apa itu, Mas?”
“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi, sebelumnya aku minta maaf. Berjanji untuk tidak marah padaku, La?”
“Katakan saja, Mas.”
“Aku sudah tau perasaanmu padaku, La. Kita sudah sama-sama dewasa, tapi aku minta agar kamu berhenti, La. Aku tak ingin kamu terlibat lebih jauh lagi denganmu. Aku mohon, La.”
“Apa ini, Mas? Kamu menolak permintaan yang bahkan aku tak pernah memintanya.”
“Maafkan aku, La.”

Lelaki itu melepas genggaman tangan Laila. Mengacak-acak rambut Laila sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkan Laila. Untuk yang terkahir kalinya. Sebuah lagu terputar dalam cafe.

For all the things that you said
For all the lines that we played
For all the very best dates
How could you do this to me
.
The things we did to stay sane
The walks we had in the rain
The places we used to hang
How could you do this to me
.
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire inside me


Don’t make someone felt special if they don’t. You just heart breaker.
Don’t pretend to care with someone if you are not. You just heart breaker.

Jogjakarta. Agustus 2012
Terinspirasi dari lagu The Triangle Band “How Could You” dan sebuah kisah nyata yang begitu klasik.