forget jakarta




Fara menyesap Caramel Macchiato panas dalam cangkir berwarna kuning gading di depannya. Lelaki di hadapannya masih sibuk menyesap rokoknya, dalam hening. Kira-kira sudah hampir sejam mereka terdiam tanpa kata satupun. Fara melayangkan pandangannya jauh ke luar jendela.

“Sudah pernah kukatakan sebelumnya padamu, bukan? Bahwa aku tak percaya jarak.” Laki-laki itu mengeluarkan suara pada akhirnya sambil mematikan rokoknya.

“Fara itu menuntut ilmu, mas. Fara kuliah di sana.”

“Lalu kamu akan bertemu kawan-kawan baru di sana, sibuk dengan kuliahmu dan cepat atau lambat kamu akan melupakan aku.”

“Aku tahu pikiranmu sedang kalut, hubungi Fara kalau mas rindu dengan Fara.”ujar Fara lalu meletakkan selembar uang di atas meja meraih tasnya dan berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan dua cangkir yang masih penuh di atas meja.

Edgar Nasution, entah bagaimana awalnya Fara bisa jatuh cinta dengan laki-laki yang lahir dua tahun lebih dulu darinya. Tak ada yang istimewa dari laki-laki keturunan batak muslim yang dikenalnya lewat sebuah komunitas membaca buku empat tahun yang lalu. Mereka sama-sama menyukai Adhitia Sofyan dan lagu-lagunya, sama-sama penggemar beratnya Dewi Lestari dan Benyamin Sueb, suka sekali berdebat tentang siapa yang lebih tampan Vidi Aldiano atau Afghan, dan tak pernah bosan menghabiskan waktu kala mereka sedang santai tak ada kerjaan dengan menonton film-film kartun di nickelodeon channel di ruang tengah rumah Edgar.


***

"Selamat pagi, mas. Tumben menelepon?”tanya Fara. Lelaki di ujung telepon terbatuk-batuk. Damn You Fara, Fara mengutuk dirinya sendiri kenapa harus ada kata “tumben” damn you Fara! Damn you! Fara membetulkan letak kacamatanya yang sedikit miring lalu menahan telepon seluler di telinganya dengan bahunya. Kedua tangannya sedang sibuk mengikat tali sepatunya.

“Selamat pagi, sayang. Maafkan mas sudah tiga hari tak menghubungimu, mas...”


“It’s okay, mas. Ada apa?”
“Ada yang ingin mas bicarakan sama kamu. Nanti malam tempat biasa.”
“Masih mengenai hal itu.”
“Sudahlah Fara, kita bicarakan nanti. Aku ada kuliah pagi. Assalamualaikum.”

Telepon diputus sebelum Fara membalas salamnya. Perasaan Fara kacau sekali. Kota ini sudah tak pernah bersahabat dengan Fara semenjak beberapa bulan yang lalu sesaat setelah Fara lulus dari Sekolah Menengah Atasnya, semenjak Edgar memasuki kuliah di tahun ketiganya, entah apakah memang waktu patut disalahkan akan semua ini.

Ayah Fara adalah lulusan Pendidikan Dokter Gigi di salah satu Universitas Negeri di Surabaya, adalah bukan hanya permintaan Ayah Farah melanjutkan karir ayahnya namun menjadi dokter gigi adalah cita-cita Fara semenjak kecil.

***

Fara menyusuri jalanan di Radio Dalam senja itu, jalanan sudah mulai ramai. Tak ada ceritanya Jakarta tak macet, terlebih pada jam-jam karyawan keluar kantor seperti sekarang. Fara melirik arloji biru laut yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, sejam lagi harusnya Edgar baru tiba. Tapi Fara sengaja datang lebih awal, dia ingin menikmati senja di kota yang tak lama lagi akan ditinggalkannya ini.

Fara mengamati sekeliling, tak ada yang tak ada di sini. Di salah satu sudut ada dua orang tengah saling bergandengan tangan, langkah mereka sungguh berat. Seperti ada cairan kental bernama cinta yang mengikat kaki mereka. Di sudut yang lain terlihat ayah dengan seorang anak laki-laki kecilnya, rupanya sang anak tengah rewel, dengan sabar Sang Ayah membujuknya agar dia diam.

“Hey.”sapa seseorang memenduk pundak Fara.
“Mas.”
“Sudah lama?”
“Lumayan.”
“Yuk ke tempat biasa, kamu sudah lapar kan?”

Edgar menggandeng tangan Fara menuju tempat favorit mereka. Bukan tempat mahal yang istimewa dan dipenuh dengan prestis. Hanya salah satu sudut di Radio Dalam. Salah satu sudut cafe dengan kursi yang posisinya  menghadap ke luar jendela. Di situ Fara biasa memesan Caramel Macchiato dan Edgar memesan Frapuccino.

Edgar tersenyum setelah memesan secangkir kopinya. Ada tatapan yang berbeda dari mata Edgar, Fara tau itu.

“Apa yang tak kau suka dari Jakarta selain macet?”
“Tak ada.”
“Jangan bohong.”
“Aku tak bohong”
“Lalu apa yang kau suka dari Jakarta selain sudut cafe ini?”
“Kamu.”
“Aku? Aku akan jadi salah satu yang kau benci dari Jakarta sebentar lagi.”

Sebuah lagu mengalun lembut dari dalam cafe, sebuah lagu oleh Adhitia Sofyan.

I’m waiting in line to get to where you are
Hope floats up high along the way
I forget Jakarta
All the friendly faces in disguise
This time, I’m closing down this fairytale

And I put all my heart to get to where you are
Maybe it’s time to move away
I forget Jakarta
And all the empty promises will fall
This time, I’m gone to where this journey ends

Tidak ada komentar:

Posting Komentar