Layang-layang di Ujung Senja dan Terminal Asap Rokok yang Memenuhi Kotak Kenangan


oleh: Pratiwi Herdianti Putri

Empat lebih empat puluh lima sore, jarum jam yang sama yang selalu dilihat Nadira ketika disandarkan punggungnya pada ujung tiang halte tempatnya menunggu bemo yang akan mengantarkannya pulang. Nadira akan betah berlama-lama menyandar di sana menanti senja, ketika senja merangkak datang padanya maka akan Nadira sambut dengan peluk hangat di tambah kecupan mesra di pipi senja.
Sudah dua tahun semenjak Nadira mencopot seragam putih-abunya. Ambisinya untuk menjadi penulis mulai memudar semenjak senja jarang sekali menghampirinya di halte tempatnya menunggu. Senja lebih suka menghampiri segerombol anak laki-laki yang asyik bermain layang-layang di ujung gang dekat rumahnya. Kalau Nadira tau senja di sana, Nadira cemburu. Tentu  saja. Makanya Nadira lebih suka menyibukkan diri dengan kuliahnya, dengan organisasinya.
Dulu Nadira suka sekali bermain layang-layang, lalu senja akan menghampirinya. Menemaninya bermain layang-layang. Tapi karena kesibukannya, layang-layang yang Nadira buat dengan Kakek kini terpaksa dibiarkan teronggok di pojokan garasi. Kadang, ketika Nadira mengambil mobilnya di garasi, terdengar rintihan layang-layang yang tengah merindu untuk diterbangkan, merindukan senja terutama. Nadira pun.
“Sudah kubilang aku akan menjemputmu pukul lima di depan kampusmu, apa yang kamu lakukan di sini, Nona Manis?”sebuah suara mengangetkan Nadira.
“Maaf, Mas. Aku lupa.”
“Kepada senja kamu tak pernah lupa.”desah Alex.
Laki-laki itu menggandeng tangan Nadira membawanya menuju parkiran di kampus Nadira, tempatnya memarkirkan motor bebeknya. Tadi Alex sedikit kelimpungan mencari Nadira. Beberapa kawannya bilang, Nadira sudah keluar kelas semenjak pukul setengah lima sore. Ponselnya pun sudah tak aktif. Hingga Alex membayangkan, jika Nadira menjadi sepatu Nadira, kemana Nadira akan melangkahkan kaki sepulang kerja. Benar saja, wanita yang sedang Nadira cintai didapatinya tengah melamun sambil menyandarkan punggungnya pada tiang halte.
Senja mulai merangkak menunjukkan wujudnya yang oranye, Alex memang tak suka senja. Tapi karena Alex akan mendapati Nadira tersenyum lebar-lebar sambil mempererat genggaman tangannya padanya, sedikit demi sedikit Alex suka berterima kasih pada senja lewat surat yang Alex titipkan pada malam. Genggaman tangan itu, menurut Alex, adalah genggaman tangan paling menenangkan di dunia.
Nadira memeluk Alex dari belakang, deru motor bebek Alex tak dihiraukannya. Kehadiran Alex adalah hening dalam riuh yang menghampirinya. Semangat dan harapan Nadira tercipta dari aroma tubuh Alex. Baginya, pelukan itu lebih indah dari sekedar kata-kata aku menyayangimu atau aku membutuhkanmu. Nadira memeluk tubuh lelakinye erat bersamaan dengan deru motor bebek usang yang memecah jalanan ibu kota.
“Besok kamu jadi ke Jakarta, Mas? Satu tahun?”
“Aku kira kamu tak ingat.”
“Mana mungkin aku tak ingat akan perpisahan kecil yang akan terjadi besok, Mas. Pukul berapa kamu pergi?”
“Pukul sembilan pagi. Kalau kamu tak bisa antar, biar Ayah nanti yang mangantarku, Nona Manis.”
“Kok gitu? Aku bisa ijin, Mas. Itu kalau Mas mau.”
“Enggak usah, Nona Manis.”
“Baiklah, Mas. Jangan lupa hubungin aku kalau Mas mau berangkat.”
“Pasti. Malam ini mampirlah ke kosanku sebentar. Bantu mas bersiap.”
“Dengan senang hati.”jawab Nadira sambil mengencangkan pelukannya.
Deru mesin motor bebek, senja yang perlahan mulai hilang, jalanan Kota Surabaya yang mulai macet, punggung yang wangi. Benak Nadira sangat pandai dalam merekam kenangan. Ada sebuah kotak berwarna ungu dalam benak Nadira, isinya kenangan, tak besar ukurannya. Isinya pun hampir penuh. Nadira takut kalau suatu hari kotak itu penuh, Nadira harus menutupnya dan menggantinya dengan baru.

***



Bau jeruk pengharum ruangan menyeruak menggelitik hidung Nadira. Bersin. Nadira paling tidak tahan dengan bau yang tajam dan menyengat, kecuali bau punggung Alex tentunya. Kamar kos berukuran 4x5meter ini memang terlihat sangat sederhana. Namun rapi di setiap sudutnya. Hanya berisi sebuah kasur tanpa dipan dengan seprei yang selalu wangi, sebuah lemari pakaian yang isinya tertata sangat rapi, sebuah kalender gratisan, sebuah keranjang kecil tempat baju kotor, sebuah meja tulis dengan buku-buku yang tertata rapi di atasnya dan laptor Acer 14 inch hitam yang banyak virusnya dan hampir membunuh flashdisc Nadira dan sebuah meja kecil di samping kasur. Tempat Alex meletakkan dompet dan arloji Swiss Army hitam kesayangannya dan sebuah miniatur pahlawan bertopeng. Kotak kenangan itu terisi lagi.
“Jangan lupa obat-obatan, Mas.”
“Sudah Nona Manis, tenang aja.”
“Odol? Sikat gigi? Handuk?”
“Cek!”
“Selimut?”
“Cek!”
“Hmm.. kira-kira apalagi ya yang nggak boleh lupa?”tanya Nadira sambil memandang tas ransel di hadapannya yang sudah mulai gemuk.
“Semua sudah dimasukkan, Nona Manis. Sudahlah, Insya Allah nggak ada yang ketinggalan. Lagian aku cuman satu bulan di sana.”jawab Alex sambil menghampiri Nadira. Laki-laki itu memeluk Nadira dari belakang lalu mencium tengkuknya.
“Kita belum pernah terpisah sejauh itu untuk waktu yang lama, Mas.”
“Kita akan baik-baik saja, Nona Manis.”
“Aku harap begitu.”
“Hey, ada apa? Apa kau meragukanku?
“Sudahlah, Mas. Apa pertengkaran akan membuat kita semakin kuat? Boleh peluk?”tanya Nadira. Alex tersenyum lalu merengkuh tubuh mungil di hadapannya itu.
“Janji untuk tetap berkomunikasi?”
Nadira tak sempat menuntut Alex untuk menjawab pertanyaannya, karena Alex terlebih dulu menikmati bibirnya, mengulumnya lembut seperti bocah laki-laki gendut yang sedang mengunyah permen karet.
***
“Aku berangkat, sayang.”ujar laki-laki di ujung telepon.
“Kamu yakin aku tak perlu ke sana?”
“Sudahlah, Nona Manis. Aku tak ingin kamu membolos hanya gara-gara aku. Ingat pesanku, jangan terlalu berharap dengan senja. Dia terlalu sering mangabai ketimbang menyambut pelukmu. Jangan pula kau dengarkan rengekan layang-layangmu. Mereka bohong tentang prinsip tarik ulur.”
“Sudahlah, Mas. Kamu jaga diri baik-baik ya, Mas.”
“Kamu juga.”
“Aku sayang kamu, Mas.”
“Aku sayang kamu, Nona Manis.”
Trek. Telepon diputus.
Selalu saja berdebat soal senja, selalu saja berdebat soal layang-layang. Nadira dan Alex tak pernah punya pemikiran yang sejalan, sekalipun bahkan. Mereka terbiasa dengan gelas cangkir kopi masing-masing yang meski begitu, tetap berdampingan. Mereka terbiasa meminum melalui bibir cangkir yang berbeda tetapi mempertemukan dua rasa kopi yang berbeda dalam sebuah pertemuan hangat dua bibir yang saling mengulum. Mereka terbiasa berjalan pada jalan yang berbeda untuk pulang dengan hati yang masih tetap saling bergandengan.
Hingga akhir bulan  tiba Nadira susah sekali untuk memejamkan matanya di tiap malam. Nadira manjatuhkan tuduhan pada Alex perihal kebiasaan barunya yang susah tidur tiap malam mulai memekat. Ada sekantung rindu yang meraung-raung ingin dilepas.
Sebentar-sebentar Nadira melirik pada arloji berwarna silver yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Bahkan sepertinya Nadira lebih konsentrasi pada benda yang berdetak itu ketimbang lingkaran di hadapannya. Nadira hampir menabrak seorang penyeberang jalan yang menyeberang sembarangan. Harusnya Nadira sudah ada di terminal setengah jam yang lalu dan mungkin sekarang sedang memeluk Alex.
Nadira memarkirkan mobilnya lalu berlari menuju ruang tunggu.
“Mas.”
“Lama sekali?”
“Macet, Mas.”
“Yasudah ayo, pulang. Biarkan aku yang menyetir.”ujar Alex.
Apa-apaan ini? Apa tidak ada pelukan pelepas kangen? Atau basa-basi halo apa kabar dan sebagainya? Nadira mengerutkan keningnya. Ah, mungkin Alex sedang lelah, pikirnya.
Tempat duduk di ruang tunggu yang mulai keropos, wajah masam Alex, pedagang asongan yang lalu lalang, para kernet bus yang berteriak-teriak, gerimis yang mulai turun, bau asap rokok. Kotak kenangan itu kembali terisi.
“Maafkan sikapku kemarin saat kamu menjemputku.”desah Alex sore itu. Mereka baru saja tiba di terminal. Pekerjaan Alex masih tersisa beberapa bulan lagi, minggu sore itu Alex harus kembali ke Jakarta. Lagi. Banyak pekerjaan yang sudah menunggunya.
“Sudah lupa, Mas. Kamu sedang lelah waktu itu aku tau.”
“Makasih ya, Nona Manis. Masih kangen, nggak?”tanya Alex sambil mencubit pipi Nadira.
“Enggak.”
“Dasar tukang bohong. Sini biar Mas peluk.”ujar Alex lalu lagi-lagi merengkuh tubuh kecil Nadira. Nadira suka sekali menenggelamkan wajahnya di dada Alex. Tak peduli dengan sekitarnya. Seorang gadis kecil penjual koran menghampiri mereka, korannya masih tersisa banyak di gendongannya. Gadis kecil itu menatap Nadira malu-malu.
“Kak, seribu, Kak. Buat beli es.”
“Bagaimana kalau Kakak beli koranmu saja?”tanya Nadira. Alex terNadiram.
“Terserah kakak, ini harganya seribu, Kak.”
“Kakak beli dua ya. Buat kakak sama pacar kakak.”
“Eh terima kasih, Kak!”ujar gadis kecil itu senang. Apalagi setelah menerima dua lembar uang seribuan yang diberikan oleh Nadira.
“Berhubung kakak sama pacar kakak sudah baca koran ini tadi pagi, ini korannya buat kamu saja ya.”ujar Nadira tiba-tiba. Gadis kecil itu bingung menatap Nadira sambil meraih dua eksemplar koran yang diserahkannya. Tiba-tiba gadis kecil itu tersenyum dan berlari meninggalkan Alex juga Nadira.
Alex ikutan tersenyum, perempuannya ini memang selalu banyak kejutan. Pikirannya tidak mudah untuk ditebak. Keputusan yang diambil memang terkadang sangat ceroboh tapi penuh kejutan yang tak terduga di dalamnya. Alex memeluk Nadira lalu mengecup keningnya.
“Kamu perempuan penuh kejutan, Nona Manis.”ujarnya. Nadira tersenyum.
Senja yang perlahan hadir, terminal, bus kota yang menunggu, gadis kecil penjual koran, dua eksemplar koran. Lagi-lagi kotak itu terisi dan hampir penuh.

***

Entah apa yang membuat macet senang bertandang di kotanya, padahal ini hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nadira. Hari ini Alex pulang, kembali ke kotanya. Sekantung rindu kemarin sudah beranak pinak menjadi sekeranjang rindu. Mereka bertelur juga beranak tak terkendali, bahkan Nadira pun tak bisa mengendalikannya. Hanya Alex yang bisa.
“Mas.”
“Iya tau, macet. Mana kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir.”
Sama seperti yang lalu, apa lelah masih bisa Nadira salahkan sebagai alasannya? Nadira tak tahu, tapi yang jelas, kotak itu sekarang benar-benar hampir penuh.
“Kamu tak usah masuk ke dalam, Nona Manis. Kamu pulang saja.”ujar Alex sore itu saat Nadira mengantarkannya kembali ke terminal. Masih bersisa beberapa bulan. Sabar Nadira tinggal separuh, sebelumnya mereka pernah berpisah beberapa hari. Saat lebaran juga liburan, tapi tak pernah serumit kali ini.
“Kenapa, Mas?”
“Senja sudah turun. Dia ingin kau peluk, sambutlah Nadira. Tinggalkan aku di sini.”
“Tapi, Mas.”
“Tidak apa-apa, Nona Manis. Aku akan baik-baik saja.”
“Jaga diri baik-baik, Mas.”
“Kamu juga.”jawab Alex sambil membelai rambut Nadira. Lalu berlalu, dengan tergesa.
Nadira memandangi senja yang hadir sore itu, senja tersenyum hangat padanya. Warnanya tak hanya oranye yang menurut Alex cengeng, kali ini ditemani ungu. Cantik. Tapi tidak secantik perasaannya sekarang. Ada yang salah, Nadira tau itu, tapi tak tau apa.
Bulan terkahir,  harusnya Nadira senang, Nadira tak lagi bersahabat dengan macet. Nadira meringkuk sendirian di kamarnya, tapi itu artinya hari ini Alex memutuskan tinggal disana hingga sebulan lagi meskipun masa kerjanya telah habis. Rindu itu bukan hanya sekerenjang sekarang, Nadira sudah menjelma menjadi segentong penuh rindu yang liar. Nadira mengetuk-etuk ponselnya. Malam ini ada yang berjanji meneleponnya. Sepertinya lupa akan janjinya atau memang sengaja untuk lupa.
“Halo, Mas.”
“Nona Manis, maaf, di sini sedang sibuk. Akan kuhubungi kau setengah jam lagi.”
Trek. Telepon terputus.
Nadira memandang cangkir kopinya dengan nanar, kali ini Nadira benar-benar harus menyeduh kopinya sendiri, menikmati bibir cangkirnya sendiri, dan merasakan getir rindu yang sedikit pahit di dalam cangkirnya sendiri. Ponselnya bergetar.
“Halo. Maaf, sudah setengah jam ya? Sebentar akan kucari tempat yang agak sepi.”
Nadira menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya, ditinggalkannya secangkir kopi itu di atas meja belajarnya. Harusnya Nadira sudah sadar sejak awal, Alex tak pernah mengindahkan kesabarannya perihal menuai rindu yang mulai tanak.
“Sudah, bersenang-senanglah sana, Mas! Tak perlu kau meminta maaf, mungkin benar aku yang salah. Aku terlampau berharap kau sedikit memahami kesabaranku menunggumu. Rinduku sudah renta, Mas. Nadira sudah tanak, siap dipetik. Menunggu kau memetiknya seperti mengharapkan senja segera berbaikan dengan pagi.”
“Nona Manis, kenapa harus marah-marah?”
“Aku merindukanmu, Mas. Dua kali aku menjemputmu selalu melihat muka masammu. Muka lelahmu. Aku sakit, Mas melihat raut muka itu. Aku rindu punggungmu.”
“Nona Manis, kumohon dengarkan sebentar.”
“Masih mau berkelit, Mas? Sudah berapa banyak rinduku yang kau anggap sebagai angin lalu, Mas?”
“Aku tidak seperti yang kau ujarkan barusan, Nona Manis. Tidak menghubungimu bukan berarti aku tidak mengingatmu.”
“Kau hanya mengingatku, tidak mengingat rindu yang kupunya.”
“Jadi rindu itu sudah merajalela memenuhi otakmu rupanya. Rindu yang jahat, kukira mereka baik. Kukira mereka mengutkan. Ternyata tidak.”
“Jangan salahkan rindu, Mas.”
“Jadi siapa yang patut kusalahkan? Kamu?”
“Aku benci bentakan.”
“Aku benci tuduhan.”
“Mengapa kau seperti anak bayi, Nona Manis?”
“Kalau aku anak bayi, seharusnya kau menjadi Ibuku.”
“Baiklah, marahlah terus. Nanti akan kuabadikan dalam sebuah pigura, kuletakkan di samping tempat tidurku. Sebagai pengingat, sebagai kenangan, bahwa kita pernah menjadi dua orang bodoh yang memperdebatkan rindu.”
“Bersenang-senanglah malam ini, Mas. Sampai bertemu minggu depan, aku masih di sini menjaga hatimu.”
“Jaga dia  baik-baik, Nona Manis. Punyamu pun masih terdiam manis di saku celanaku, semanis senyummu.”
“Apa dia tak merengek sepertiku, Mas?”
“Dia pun, Nona Manis. Sama sepertimu.”
“Sampai bertemu satu minggu lagi, Mas. Rindu ini penuh ingin bersauh.”
“Simpan baik-baik rindumu. Tempatkan pada kotak paling cantik, kumpulkan di sana. Nanti kita nikmati bersama.”
“Aku rindu pelukmu, Mas.”
“Aku rindu bibirmu, aku gemas setiap kali membayangkannya. Ingin sekali kupotong bibirmu lalu kuawetkan di dalam toples kaca. Agar aku bisa membawanya kemanapun aku pergi. Agar aku bisa memandangnya kapanpun aku ingin.”
“Bibir ini milikmu, Mas.”
“Maka tubuh ini milikmu, Nona Manis.”
“Sampai jumpa di terminal, sebulan lagi.”
“Terminal asap rokok. Hehehe. Selamat malam, Nona Manis.”
“Selamat malam, Mas.”
Trek. Percakapan Nadira dan Alex berhenti sampai di situ.
Kotak kenangan itu kini penuh sudah, ada layang-layang yang menggantung di ujung senja, ada muka masam yang lelah, ada gadis kecil penjual koran dan dua eksemplar korannya, ada punggung yang wangi, ada terminal yang penuh dengan asap rokok, ada nama Alex tertera di atas kotaknya. Kotaknya sudah penuh, sudah saatnya mengganti dengan kotak yang baru.

Surabaya, April 2010. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar