Bagaimana Bisa


harapan kosong


Telunjuk Laila menyusuri sederet nama-nama yang tertulis di papan pengumuman. Sudah belasan menit dia mengurutnya dari bawah ke atas tapi belum juga menemukan sebuah nama. Hari ini pengumuman akan diletakkan di perusahaann mana dia oleh Universitas setelah mengikuti beberapa tes tulis, wawancara dan sebagainya yang cukup berat. Pikiran Laila sudah nggak karuan, perasaan takut tak diterima di mana-mana menyelimutinya.
“He, La. Ngapain disitu?”
“Lu, Ken. Nama gue engga ada, nih.”bisik Laila gemetaran. Niken tertawa terbahak.
“Saklek! Yaiyalah engga ada, ini buat mahasiswa Ilmu politik, buat mahasiswa sastra noh disana! Salah alamat, Neng!”seru Niken sambil menyeret sahabatnya satu itu ke sebuah papan pengumuman lain yang tak jauh dari situ.
Sebuah nama tercantum di urutan dua puluh satu, Laila Mei Anggraini, Tanda Seru Adv. sebagai art director junior. Niken memeluk sahabatnya.
“Selamat ya, meskipun cuman magang tapi kan jadi art director junior. Jadi, tolong dong dibuang muka kusut ketakutannya.”bisik Niken di telinga Laila. Laila membalas pelukan sahabatnya.
“Makasih ya, bungkus indomi. Lu sendiri keterima magang di mana?”
“Kantor konsultan pajak, asisten staff acounting.”bisik Niken. Mereka berpelukan sekali lagi. Persahabatan yang mereka rajut sejak smp dan berlanjut hingga perguruan tinggi membuat kedekatan mereka sangat kental.

***

Tap tap tap.
Suara trotoar beradu dengan sepatu converse yang berasal dari seorang gadis kecil yang tengah berlari-lari kecil. Berkali-kali dia mengangkat tangan kirinya menengok arloji hijau muda yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih lima menit, itu artinya Ila terlambat, dan buruknya lagi, Ila terlambat di hari pertamanya.
Sebuah tanda seru besar berwarna merah menyambutnya di pintu masuk seakan menegurnya bahwa hari ini dia benar-benar terlambat, telak, setengah jam. Laila menghampiri mbak-mbak di front office yang sedang mengobrol di telepon sambil terengah-engah. Diam-diam, seseorang mengamati tingkahnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”tanya mbak-mbak FO itu sambil meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Laila mengatur napasnya.
“Maaf, Mbak. Saya anak magang dari...”
“Oh, iya mbak, Pak Dimas telah menunggu di ruangannya. Mbak naik aja ke lantai dua, ada ruangan dengan pintu warna merah.”
Tanpa banyak basa-basi Laila berlari ke arah yang diinstruksikan mbak-mbak yang bernama Cintya yang Lalila tau dari tag name di dadanya. Pintu berwarna merah, lagi-lagi berwarna merah, semua ornamen di kantor ini kebanyakan memang berwarna merah. Bahkan tanda seru besar di depan tadi juga berwarna merah. Laila mengetuk pintu merah besar itu dengan hati-hati.
Come in!”seru yang ada di dalam.
“Maaf pak, Saya Laila, saya anak magang dari...”
“Kamu tau arti waktu adalah uang?”
“Maaf, Pak, saya terlambat, tapi saya bisa jelaskan.”
“Hari pertama terlambat, good job, Laila. Hari ini saya maafkan, tapi besok, saya nggak ingin ada alasan lagi. Jam kantor dimulai pukul delapan tepat, sanggup?”tanya pria yang berdiri di belakang mejanya itu. Laila mengangguk-angguk. Pria itu tertawa, Laila makin bingung, nafasnya masih tersengal.
“Saya paling nggak bisa marah, Laila. Hahaha. Kenalkan, saya Dimas, owner dari Tanda Seru Advertising. Just Dimas, no Mas or Pak. Semua disini manggil saya seperti itu kecuali menyebut nama saya kepada tamu yang datang. Ikut saya, akan saya kenalkan kepada rekan-rekan yang lainnya.”
Dimas menggandeng tangan Laila yang masih berkeringat tanpa canggung membawanya berputar mengelilingi bagian kantor mungil yang hanya terdiri dari dua lantai dan berakhir di sebuah ruangan dengan salah satu meja kosong yang sudah disediakan untuknya.
“Yes, welcome to Tanda Seru Advertising. Tuangkan selalu ide gila kamu di sini tanpa canggung. Ini, Martha, art director senior kamu yang akan membimbingmu nantinya. Jangan sungkan untuk bertanya dan selamat bekerja!”seru Dimas sambil mengacak-acak rambut Ila lalu berlalu meninggalkan ruangan itu.
Hidup Laila banyak berubah semenjak hari itu, waktu buat karaoke atau ngemall nggak jelas bareng Niken, sahabatnya. Dia punya Martha, senior yang sangat telaten membimbingnya, juga Dimas, bos yang sangat perhatian terhadapnya.

***

“Heh, Lu bengong aja.”ujar Niken. Hari ini agaknya ada yang aneh pada diri Laila, terutama sejak seminggu yang lalu, semenjak Laila magang di kantor advertising itu. Niken tahu betul cerita kehidupan Laila. Sudah setengah tahun ini Laila jarang sekali menyunggingkan senyumnya, terutama jika mendengar nama Rendi.
“Heh, La. Gue dikacangin ih. Daritadi bengong senyam senyum sendiri liatin blackberry. Bbm’an sama siapa, sih?”celoteh Niken sambil mengusik ketenangan bengong Laila.
“Apaan sih, Ken. Lu ganggu aja, deh.”
“Kemaren gue liat Rendi sama Tiara...”
“Lu bisa nggak sih nggak ngomongin mereka. Gue lagi males dengernya.”
“Lu jatuh cinta ya? Lu udah move on?”
“Rahasiaaaa.”seru Laila sambil mengerlingkan matanya.

***

Keberuntungan juga buat Laila kala itu, mereka ada project ke Jogja menggarap sebuah proyek iklan besar di kota itu dua minggu penuh. Jogja, yang artinya, bekerja sambil liburan.
“Pagi, Laila!”sapa Dimas pagi itu bersamaan dengan Laila yang sedang menguap hebat di pinggir kolam renang.
“Eh, Dimas. Hmmm.. pagi.”
“Aku lihat semalam kamu masih nongkrong di bar jam 1’an. Nggak heran kalau jam segini masih menguap lebar.”sindir Dimas. Laila hanya tersenyum malu-malu. “Oiya, La. Nanti malam ada pertemuan khusus dengan klien. Ya, sekedar makan malam ucapan terima kasih beliau pada perusahaan kita. Kamu bisa kan temenin aku? Kebetulan rekan-rekan yang lain pada ada pertemuan dengan yang lain.”
“Mas Dimas nawarin Laila atau ngajakin Laila?”tanya Laila.
“Hmmm. Ngajak La. Ngajak. Kamu bisa kan?”
“InsyaAllah.”
“Oke, jam tujuh malam kamu saya jemput di depan kamar kamu. Hari ini kita sedang ngga ada progress apa-apa, La. Selamat menikmati liburan ya.”jawab Dimas sambil mengacak-acak rambut Laila lalu berlalu meninggalkannya sendirian di pinggir kolam renang dengan sejuta tanya. Seperti yang sudah-sudah, mengacak-acak rambut Laila sudah menjadi ritual Dimas sebelum meninggalkannya sendirian.
Makan malam itu berlangsung sukses, klien memang betul-betul suka dengan kinerja Dimas dan rekan-rekan yang lainnya. Dimas terlihat sumringah sekali malam itu, Laila kehabisan kata-kata. Hujan rintik-rintik yang membasahi Kota Jogja malam itu pun enggan membuat Laila dan Dimas berteduh. Dimas menceritakan kisah hidupnya dari nol, dimana dia harus jatuh bangun membangun perusahaan ini hingga sesukses sekarang sambil tak henti menggenggam tangan Laila.

***

Laila terjatuh, hatinya yang terjatuh. Dia sudah lupa akan luka yang dimilikinya yang dibiarkannya menganga hampir selama setengah tahun lamanya. Dengan hati-hati Dimas merawat lukanya, membalutnya dengan sejuta perhatian yang dia curahkan pada diri Laila. Hingga suatu malam, di hari terakhir Laila magang dan di sudut sebuah cafe di hadapan dua piring spaghetti, segelas milk shake strawberry dan segelas iced lychee tea Dimas menggenggam tangan Laila.
“Ada yang ingin aku bicarakan, La.”
“Apa itu, Mas?”
“Aku bukan tipe orang yang suka basa-basi, sebelumnya aku minta maaf. Berjanji untuk tidak marah padaku, La?”
“Katakan saja, Mas.”
“Aku sudah tau perasaanmu padaku, La. Kita sudah sama-sama dewasa, tapi aku minta agar kamu berhenti, La. Aku tak ingin kamu terlibat lebih jauh lagi denganmu. Aku mohon, La.”
“Apa ini, Mas? Kamu menolak permintaan yang bahkan aku tak pernah memintanya.”
“Maafkan aku, La.”

Lelaki itu melepas genggaman tangan Laila. Mengacak-acak rambut Laila sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkan Laila. Untuk yang terkahir kalinya. Sebuah lagu terputar dalam cafe.

For all the things that you said
For all the lines that we played
For all the very best dates
How could you do this to me
.
The things we did to stay sane
The walks we had in the rain
The places we used to hang
How could you do this to me
.
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire
Oh well
Look at me now I’m falling in pieces
I don’t know what to do now
I’m lost within this fire inside me


Don’t make someone felt special if they don’t. You just heart breaker.
Don’t pretend to care with someone if you are not. You just heart breaker.

Jogjakarta. Agustus 2012
Terinspirasi dari lagu The Triangle Band “How Could You” dan sebuah kisah nyata yang begitu klasik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar