Tiga Senjata: Syukur, Jujur, Sabar

“Masalah itu bukan untuk dihindari atau dianggap tak ada, tapi untuk dihadapi, diselesaikan.”

Pesan singkat namun mampu membuat Ajeng tak bisa tidur dengan nyenyak belakangan ini. Perempuan yang tahun ini genap berusia 26 tahun itu menyalakan kembali lampu kamarnya, membuka komputer jinjing yang tergeletak di atas meja kerjanya. Untuk perempuan berusia di atas dua puluh lima, Ajeng bukannya tak khawatir karena belum juga menemukan pendamping hidup.

Kisah cintanya yang terakhir membuatnya tak lagi percaya akan sebuah komitmen. Sebagai seorang auditor yang konon katanya sibuk dan tak punya waktu luang Ajeng berhasil mengesampingkan bahkan lupa mengenai segala hal tentang lelaki pun dengan komitmen.

“Kamu nggak bisa gini terus, Jeng.”kata Risty siang itu, sahabat lamanya itu memang sering sekali menyempatkan waktu untuk sekadar mengajaknya makan malam selepas jam kantor. Risty bekerja di sebuah stasiun televisi swasta kenamaan sebagai tim kreatif itu tak jauh beda dari Ajeng. Dia juga hampir tak punya waktu, namun Risty telah menikah tahun lalu. Dengan pacar lamanya ketika mereka masih di perguruan tinggi.
“Maksud, Lo?”

“Tahun ini kita sudah 26, Jeng. Menikahlah.”

“Dengan siapa? Tukang becak depan komplek? Ini bukan hal sepele, Ty. Bukan masalah ah aku lapar lalu kita pergi ke warung depan komplek beli nasi goreng.”

“So? What will you do next?”

“Sudah berapa lelaki yang  kau tolak lamarannya?”

“Baru dua.”

“Baru dua? Mau nunggu sampai berapa? Sepuluh? Seratus? Seribu?”

Ajeng membasahi wajahnya yang sebenarnya sama sekali tak mengantuk itu lalu memandangi refleksi dirinya. Sudah beberapa munggu ini berat tubuhnya menurut drastis. Ini berkaitan dengan pekerajaannya. Perusahaan yang dia audit banyak sekali mempunyai masalah, Ajeng diminta melancarkan segala urusan, bahkan atasannya memintanya untuk menerima permintaan perusahaan tersebut. Ajeng pun diancam dipeccat.

“Kak, jangan lupa minggu depan Dani bayar uang semester.”

Begitulah isi pesan singkat lewat blackberry messenger miliknya dari Dani, adik semata wayangnya. Ayah dan ibunya sudah pensiun lama dan dia berjanji menanggung semua biaya kuliah dan biaya hidup Dani di luar negeri. Anak laki-laki itu sedang mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam.

“Kenapa tak kau biarkan saja adikmu kuliah di dalam negeri jika kamu memang tak mampu membayar biaya hidupnya, Mbak?”ujar ibu beberapa hari yang lalu, saat itu Ajeng sedang duduk melamun di beranda rumah sambil matanya tak lepas dari layar ponselnya.

“Ajeng sanggup, Bu. Ibu jangan khawatir, semua biar Ajeng yang urus.”

“Ibu percaya, tapi ingat, jangan dipaksa.”
***
“Maaf, kamu sudah buat klien kita kecewa, Jeng. Apa salahnya sih membuang egomu sebentar kali ini saja. Maaf, mulai besok kamu tidak bisa lagi bekerja di kantor kami.”begitu kata bos Ajeng siang itu.
Ajeng hanya tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Sebagai pimpinan tim audit, Ajeng memberi opini disclaimer terhadap hasil laporan auditan kliennya. Ajeng mengemasi barang-barangnya lalu pergi ke sebuah kedai kopi tak jauh dari mantan kantornya.

“Lu nggak kerja?”tanya Risty yang sengaja ia undang.

“Gue dipecat.”

“Gara-gara masalah itu?”

“Begitulah.”

“Kata mamaku, kita harus jujur apa pun resikonya.”

“Aku juga bersyukur karena aku dipecat. Kantor itu bukan kantor yang baik buat aku.”

“Aku bangga sama kamu, Jeng. Makin cinta pun!”

“Jijaaaay tauk! Oiya, aku ketemu Satya kapan hari.”

“Terus?”

“Gue nikah tiga bulan lagi.”

“WHAAAT? DAN LU BARU KASIH TAU GUE SEKARANG?”

“Surprise, dear.”

“Tak apa, ini buah dari tiga hal yang kamu pegang teguh selama ini.”

“Tiga? Apa saja?”

“Syukur, karena kamu tak pernah mengeluh dengan keadaanmu. Jujur, karena kamu berani mengambil resiko bahkan untuk dipecat dan Sabar.”


Risty memeluk sahabatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar