Kopiku Sudah Habis, Kekasihku Sudah Datang

Sudah sekitar empat kali aku melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku, atau sesekali juga memandang jam dinding di ujung ruangan tak jauh dari tempatku duduk. Jam pulang kantor telah lewat dua jam yang lalu. Sengaja, kupilih busana yang jarang sekali kupakai sehari-hari, sebuah dress berbahan katun sejuk berwarna gelap. Mendapatkannya pun susah, kudapatkan pakaian ini di pulau Dewata setelah aku sedikit beradu mulut dengan seorang perempuan Ambon yang akhirnya kini menjadi kawan karibku, kawan yang pasti aku datangi rumahnya setiap aku pergi ke Bali.

Ada geletar di rongga dadaku yang tak sedikitkun mampu kubaca, tak terdefinisi, begitu katamu beberapa tahun yang lalu ketika kau melingkarkan sebuah cincin perak di jari manis tangan kananku. Ujung jempol kakiku merasa dingin, padahal kakiku tengah mengenakan sepatu converse tanpa kaus kaki. Dulu, kau suka sekali protes padaku karena aku tak pernah mengenakan kaus kaki setiap mengenakan sepatu. 

Seorang pelayan menghampiri kami dengan nampannya, dua cangkir berwarna kuning gading diletakkannya di depan kami dengan senyum, tanpa suara kemudian berlalu dengan tenang. Rupanya dia tahu, kami memang sedang menikahi diam. Cangkir di depanku tersenyum, namanya kopi, warnanya hitam pekat, asap masih mengepul ringan dan aromanya sudah menggelitik hidungku. Tak jauh dari cangkirku berada, sebuah cangkir cemberut, namanya teh. Air muka teh semacam ingin protes kepada laki-laki di depannya, sama denganku.

"Berapa menit kita diam?"

Bisiknya, pelan hampir tak terdengar olehku. Kedai ini agak gaduh, sama seperti isi kepalaku. Mungkin memang pemilik semesta yang tak kasat mata telah mengatur dan merencanakan pertemuan kami. Kebetulan, aku tak pernah percaya dengan yang namanya kebetulan. 

"Kaus kakimu sedang dicuci atau jempolnya bolong?"

Tanyanya, aku diam. Ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan aku yang malas mengenakan kaus kaki.

"Tumben sekali kau mengenakan baju gelap?"

Kali ini aku angkat bicara.

"Ada yang sedang ingin kumakamkan hari ini."

Raut mukanya berubah, posisi duduknya terlihat tak lagi senyaman tadi. Dia mengangkat pandangannya dan meletakkan pada mukaku.

"Kamu benar, kita harus dimakamkan. Aku minta maaf."

"Bukan salah kamu, atau salah Ibumu."

"Aku tak mencintai gadis itu."

"Aku tak lagi mencintai kamu."

"Berbohong itu dosa, masuk neraka."

"Muridku taman kanak-kanak juga tahu."

Aku menyesap kopiku, satu sesap, dua sesap, lalu meletakkan kembali pada tatakan cangkirnya. Tak banyak yang berubah darinya. Kakinya tak pernah bisa diam, dalam keadaan diam sekalipun. Sesekali, aku melihatnya tidur dengan kaki bergoyang-goyang. Parfummu juga belum ganti, dalam jarak satu meter begini aku masih mampu merasakan aromanya, aku hanya takut tiba-tiba kujatuhkan lagi hatiku atau paling buruk kujatuhkan pelukku di dadamu itu.

"Tak ada yang namanya belajar mencintai." ujarnya.

"Kalau begitu, cobalah untuk belajar menerima."

"Kamu yakin tak ingin berjuang?"

"Aku lelah. Aku kenal betul siapa ibumu, dia tak akan memberimu pilihan yang buruk."

Aku membenarkan letak dudukku. Bel pintu kedai kopi mengalun tanda pengunjung baru datang. Laki-laki itu menyapu pandangannya lalu tersenyum setelah menemukan keberadaanku. Dia hanya berdiri mematung di dekat pintu masuk, menunggu isyarat dariku. Rupanya dia sedang tak ingin menggangguku. 

Aku menyesap kopiku, lagi.

"Kopiku sudah habis, kekasihku sudah datang."

Aku beranjak dari tempat dudukku, menghampiri laki-laki dengan kemeja flanelnya. Mukanya terlihat lelah namun hilang diusir senyuman setelah aku menggandeng tangannya.

Cukup.

Semua sudah selesai.

Aku harus menulis cerita baru lagi.

Dan berjanji tak menoleh ke belakang.


Surabaya, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar