Waktu untuk Menyerah

"Hei."

Aku menepuk pundak laki-laki yang bangku kosong di sebelahnya kududuki, pelan. Dia menoleh ke arahku lalu kembali pada kesibukannya, memerhatikan salah seorang kawan sekelas kami yang sedang presentasi. Saya sudah terbiasa akan hal ini, tidak mendapat jawaban akan salam yang kuberikan padanya. Aku menarik napas panjang yang membuatku menyium aroma parfumnya, atau lebih tepatnya aroma tubuhnya yang bahkan setiap malam menari lembut di hidungku. Setiap malam, sebelum aku akhirnya tertidur.

"Terlambat?"

Dia mengganti kata balasan 'hai' yang sesungguhnya sangat terlambat untuk dijawab dengan 'terlambat' , sesaat setelah kelas usai. Saya tersenyum sambil menatap matanya -- datar, "Ban mobilku bocor."

"Mungkin sudah waktunya kau mencoba menggunakan fasilitas umum, mengendarai mobil sendirian hanya membuat daftar pembuat macet di kota ini."

Aku menggaruk kepalaku yang sesungguhnya tidak gatal.

"Belum keramas?"

Aku hanya melotot ke arahnya, pertanyaan macam apa barusan. Dia seperti tak pernah menyiumku saja.

"Bagaimana pekerjaanmu?"tanyaku sambil mengeluarkan sebungkus permen karet yang tak lupa menawarkan satu padanya. Meski kutahu, jawabannya pasti tidak. Aku tak pernah menyerah, walaupun aku tahu dia akan memilih menyalakan rokoknya dan menyuruhku memasukkan permen karetku kembali ke dalam tasku.

Dia tersenyum, senyum yang tak lagi asing bagiku. Bagaimana tidak, senyum itu yang mampu membuat hatiku memutuskan untuk jatuh saat pertama kali bertemu dengannya. Malam itu, di sebuah acara resepsi perkawinan salah seorang teman kami. Lucu rasanya, bahwa mempelai lelaki adalah sahabat karibku sejak SMP, sedangkan mempelai wanita-nya adalah sepupunya.

"Kenapa tanya? Selesaikan dulu skripsimu."

"Kamu juga belum."

"Aku hampir selesai, bahkan aku hanya tinggal mengambil satu mata kuliah saja. Sedang kau? Masih banyak."

Dia tak sama seperti sebagian banyak temanku yang lain, dia tak akan segan berkata apa-apa yang bisa saja membuatku tersinggung. Hebatnya, perempuan paling mudah tersinggung di dunia ini tak pernah marah akan kalimat ngawur apa saja yang terlontar dari mulutnya.

Untuk laki-laki setampan dia, sungguh mustahil rasanya melihat dia berstatus single. Begitu, kata sebagian orang di sekitar kami. Bahkan mereka tak pernah percaya jika aku mengatakan aku tak jatuh cinta padanya, pun sebaliknya. Iya, mereka benar, aku jatuh cinta padanya. Bahkan sejak pertama kali melihatnya. Orang-orang di sekitar kami juga tak pernah percaya jika kukatakan dia tak akan pernah jatuh cinta padaku.

"Kau tahu bagaimana rasanya ditinggal kekasih?"

Aku menggeleng. Sungguh, aku tak tahu rasanya seperti apa, terakhir aku pacaran sekitar tiga tahun yang lalu.

"Kalau begitu, kau tahu rasanya melihat jemari perempuan yang kau cintai dilingkari cincin oleh lelaki lain?"

Aku menggeleng, lagi. Aku perempuan, mana mungkin aku mencintai perempuan.

"Aku lupa, kamu perempuan."

"Bahkan kamu selalu lupa kalau aku ada. Oh, ya, kamu sudah membolos kerja dua kali? Ada yang bilang atasanmu sudah menyiapkan SP karena pekerjaanmu yang tak rapi dan beberapa omongan jelek tentangmu di kantor. Ada apa?"

"Siapa yang bilang?

"Dina, pacar Aldi."

"Kamu dengar sendiri dari Aldi?"

Aku menggeleng.

"Kalau mereka benar gimana? Aku memang bukan orang baik, tak punya kapabilitas dalam bekerja. Bagaimana?"

"Aku tidak percaya."

"Jangan pernah mendengar omongan yang bukan dari mulutnya sendiri, kau mau kubilang telah memfitnah?"

"Tapi aku..."

"Hujan, harusnya kau ke parkiran lebih awal tadi."

"Tak apa, kutemani kau."

"Kau orang yang gigih."

"Kegigihan itu manis, begitu kata salah seorang penyair."

"Sudah waktunya kau menyerah."ujarnya sambil menyerahkan sebuah payung berwarna hitam lalu berlari meninggalkanku menerobos rintik hujan.

Surabaya, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar