Panggil Aku Pengecut

Kalau kamu pernah melihat perempuan dengan dress berwarna biru langit dan sepatu converse merah di sebuah kedai kopi di sudut kota dengan mata yang lekat dengan layar komputer jinjingnya namun sebuah earphone yang berasal dari sebuah ponsel berwarna putih mengalunkan lagu-lagu milik Boyce Avenue mungkin kau bisa menyapanya atau mengajaknya makan bersama. Aku suka sekali menikmati Boyce Avenue, bukankah syarat meng-cover sebuah lagu adalah dia harus mampu menyanyikan lebih bagus dari penyanyi aslinya? Aku rasa mereka berhasil.

Namun ini bukan cerita tentang seberapa suka aku dengan Boyce Avenue atau seberapa sering aku menghabiskan waktuku dengan diriku sendiri. Ini tentang seorang laki-laki dengan jaket biru tuanya yang beberapa hari lalu masih bisa kupeluk dari belakang, yang satu bulan lalu masih bisa kudengar gelak tawanya, yang satu tahun lalu masih suka memainkan tanganku sambil menyetir, atau yang kemarin lusa masih mengusap sisa es krim di sudut bibir kananku dengan bibirnya.

"Aku cuma ingin tahu apa kau masih mencintaiku, De?"

Laki-laki itu diam tanpa ekspresi. Kopinya sudah dingin, itu sebab dia enggan untuk menyentuhnya. Bukan salahku kopinya dingin, kenapa dia tak menyentuhnya sama sekali setelah pramusaji dengan senyumnya yang manis meletakkan pesanannya di atas meja. Aku tahu dia sangat gelisah, kakinya tak pernah mau diam ketika gelisah. Sayangnya, bibirnya diam seperti tak mengenal aksara.

"Bicaralah, De. Satu kata saja."

Kali ini dia menatapku, tanpa berkedip. Aku tak tahu harus berbuat apa, bahkan membaca matanya pun aku tak lagi sanggup. Aku tahu, kita sudah memutuskan untuk saling mengikhlaskan. Namun jika memang kita akhirnya harus berpisah, setidaknya beri aku waktu sejenak saja rebah di dadamu untuk terakhir kalinya.

"Kopiku sudah dingin, minumlah. Nanti kupesan lagi."

"Aku sedang tak ingin minum kopi dingin."

"Bukankah itu bagian favoritmu? Menikmati kopi yang selagi dingin?"

"De, bukan itu yang ingin kudengar."

"Aku harus pergi, jagalah dirimu baik-baik. Habiskan kopiku, biar nanti aku yang bayar semuanya."

Laki-laki itu beranjak tanpa mencium keningku, atau setidaknya membuat rambutku berantakan seperti biasanya. Dia pergi tanpa ekspresi.

Ini tepat dua tahun setelah kau pergi meninggalkanku, De. Aku terlalu pengecut untuk menghadiri acara yang hanya beberapa langkah dari tempatku duduk kala itu. Di seberang sana, beberapa pengunjung berpakaian rapi dan berjas memenuhi sebuah gedung. Sedang aku, terlalu pengecut untuk sekadar memberimu kata selamat.

Selamat menempuh hidup baru, De.

Maaf terlambat.

Namun, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Surabaya, 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar