Babak Satu Jam

Halte depan kampus, 12.30

Aku menggaruk kepalaku yang tak sedang gatal dengan tangan kiri, sedang tangan kananku memainkan botol kaca minuman teh dalam botol yang sudah hampir habis. Perempuan itu masih saja menangis di sampingku, minumannya bahkan tak disentuhnya sama sekali. Aku tak percaya, perempuan yang kukenal hampir tiga tahun masa aku menjadi mahasiswa dan kukenal sebagai perempuan yang super tangguh itu matanya pecah dan pipinya banjir di hadapanku. Oh, tidak, dia menangis tanpa mengeluarkan sedikitpun isakan. Hanya air mata mengalir tak henti menghangatkan pipinya. 

Aku melirik ke arah kiri, sejenak. Matanya menerawang entah ke mana. Kulihat tangannya sedikit gemetar sedang kakinya enggan untuk diam. Ibu kota sedang panas-panasnya, sama seperti isi dadanya sekarang. Kurasa. Dia belum bercerita banyak, bibirnya kutaksir sedang kelu. Bagaimana tidak, dia mengirimiku pesan singkat untuk bertemu di depan kampus. Belum juga mengeluarkan satu kata pun dia sudah memelukku sambil menangis. Sebagai seorang mahasiswa merangkap wartawan di sebuah majalah kecil di kota ini, aku merasa sangat bodoh karena kehilangan kata-kata.

"Yakin tak mau bercerita?"aku mengawali percakapan.

"Kami sudah tak ada apa-apa lagi."ujarnya, perlahan.

"Kami? Siapa maksudmu?"

"Dia memutuskan hubungan kami."

Hening. Tak ada yang berbicara.

"Aku ada kuliah setengah jam lagi. Aku sudah membolos dua kali. Kutunggu kau di tempat biasa nanti malam selepas maghrib. Kamu harus kuat, jaga dirimu baik-baik."

Aku meletakkan botol minuman kosong itu pada tempatnya, membayar keduanya, menepuk bahunya lembut, berpamitan pada pemilik kios dan pergi menuju kelas. Aku hanya seorang mahasiswi semester enam yang sedang tak menjalin hubungan dengan siapa-siapa, sedang tak jatuh cinta dengan siapa-siapa dan sedang tak punya masalah apa-apa selain deadline dari kantor.


Kantin, 13.25

"Bengong aja, lu. Kesambet nanti."seseorang tiba-tiba duduk di sampingku. Siang ini dosen sedang tak ada, beberapa kawan sudah pulang dan sisanya pergi hangout entah ke mana. Sedangkan aku memilih duduk di kantin dengan segelas jus alpukat yang tinggal seperempat.

"Ngapain kamu di sini?

"Aku sengaja cari kamu seharian. Tadi pagi kulihat kamu masuk ke dalam kelas, lalu setelah itu aku tak melihat kamu lagi. Aku lapar, makanya aku ke sini dan tak sengaja melihat kamu. Mungkin kita berjodoh."

Aku tak menyahut. Berjodoh? Yang benar saja, dia pacar sahabatku. Laki-laki ini sedang tak waras rupanya. Mungkin pengaruh cuaca yang sedang panas-panasnya.

"Aku punya tiket konser Tulus. Dua buah."

"Lalu?"

"Ikutlah denganku."

"Apa kabar dengan..."

"Kami sudah tak ada hubungan apa-apa."

Aku membenarkan letak dudukku. Aku baru saja teringat malam nanti punya rencana ke toko kaset untuk membeli CD Tulus keluaran yang  baru. Tiba-tiba laki-laki di sampingku ini menawariku untuk menonton konser Tulus bersama. Kebetulan yang aneh.

"Oke, sekarang aku tahu mengapa siang tadi dia datang ke aku sambil menangis. Kau apakan dia?"

"Pertanyaanmu salah."

"Mana ada pertanyaan salah?"

"Harusnya kau bertanya, apa yang sudah dia perbuat denganku?"

"Kamu engga waras hari ini. Sungguh."

"Aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Sejujurnya, aku sungguh tak ingin ikut campur urusan kalian sedikit pun. Tapi aku akan sangat marah jika seseorang berani menyakiti sahabatku sendiri."

"Kamu tak perlu dengar dari aku, dengarkan saja jika dia bercerita nanti. Namun yang jelas, aku lelah memaafkan kesalahan yang sama berulang-ulang."

"Kalau begitu mungkin itu memang sifat atau kebiasaan dia. Belajarlah menerima."

"Aku lebih tertarik dengan perempuan macam kamu."

"Macam aku? Tidak. Aku bukan pagar yang doyan makan tanaman."

"Aku tahu posisi kita, tapi setidaknya, aku sudah mengatakan apa yang aku rasakan."

Surabaya, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar