Vanilla Latte

Tak ada yang lebih hangat selain sebuah pelukan, bahkan dari matahari pukul tujuh pagi dengan malam tanpa hujan tentunya. Sebuah pertemuan akan dilangsungkan pagi ini, itu mengapa pagi ini wajahku mungkin terlihat lebih bercahaya dari kemarin. Aku melangkahkan kakiku dengan lincah sambil bersenandung kecil lagu We are Kids milik Lacrosse dengan sebuah earphone yang menempel di kedua telinga sambil sesekali  menghindari beberapa kubangan kecil bekas hujan semalam.

Aku begitu merindukan sebuah pertemuan, sudah beberapa bulan meyakinkan hati bahwa menunggu kekasih pulang dalam pelukan itu salah satu dari kegigihan yang nantinya berbuah manis. Meski aku tahu, bahwa menunggu ialah perkara melapangkan dada, meninggikan kesabaran dan harus siap dengan risiko tidak menghasilkan apa-apa kecuali penyesalan, yang aku yakini hingga saat ini adalah bahwa kegigihan itu manis.

Matahari belum juga tinggi, tapi aku sudah merasa segar dibalut dress kotak-kota biru laut pemberian ibu dengan panjang di atas lutut dan flat shoes warna biru tua dengan pita putih di tengahnya. Di leherku menggantung kalung berbentuk sebuah kunci dan seperti biasa, rambut kugulung sembarangan, beberapa menjuntai ke bawah menghiasi leherku.

Aku memasuki sebuah kedai kopi di ujung sebuah jalan, tempat favorit untuk melamun. Melamun tentang apa saja. Tempat favoritku menghadap jendela yang kala itu masih basah lalu seorang waitress menghampiri dan memberiku sebuah buku menu sambil tersenyum ramah. Di pagi yang biasa ini ada yang berjanji menemaniku sarapan sebelum berangkat ke kantor di kedai kopi biasa.

“Biasa sajalah, Mas. Sedang tak begitu lapar.”

“Ditunggu ya, Mbak.”

Mahardika. Begitu yang tertulis di name tag yang menempel di dada sebelah kirinya. Pegawai baru kedai ini, baru tiga bulan namun sudah hafal betul denganku. Minuman kesukaanku, roti kesukaanku bahkan dia tahu lagu kesukaanku

“Mbak Nina suka The Cure?”tanya mbak mbak yang menjaga kasir suatu ketika.

“Tahu dari mana, Mbak? Oh, iya, akhir-akhir ini suka diputar, ya?”

“Mas Dika, Mbak. Dia yang request ke saya.”

“Dika?”

“Hari ini dia engga masuk, Mbak. Adiknya sakit katanya.”

“Oh.”

Aku suka tertawa sendiri melihat Dika yang santun ketika mengantarkan pesanannya, seperti pagi ini. Secangkir Vanilla Latte dan sepotong Red Velvet sudah terhidang manis di mejaku, tentu dengan sebuah kejutan kecil yang selalu diberikannya setiap aku datang ke kedai tempatnya bekerja. Dua minggu lalu dia memberiku sebuah gantungan kunci berbentuk anak kucing, oleh-oleh dari Bandung, katanya. Sejak kapan oleh-oleh khas Bandung adalah gantungan kunci berbentuk kucing. Pernah juga waktu itu dia meletakkan setangkai mawar putih di atas mejaku saat aku tengah asik dengan komputer jinjingku, katanya dia membelinya dari seorang nenek tua yang lewat di kedai ini tadi malam. Atau yang paling kuingat adalah dia memberiku sebungkus vitamin, katanya sudah semingguan ini aku terlihat sangat capek dan pucat.

“Apa ini?”tanyaku sambil menunjuk sebuah kotak berwarna kuning pastel di samping cangkirnya.

“Semalam sepulang dari kedai aku lihat ini di toko depan sana, mumpung lagi sale.”ujarnya sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkanku yang kini digantungi penasaran.

Aku menyendok sepotong red velvet,kemudian meneguk vanilla latte yang mulai dingin. Bagaimana tidak, sudah hampir empat puluh lima menit yang ditunggu belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku meraih bingkisan kuning pastel di depanku.

“Jangan dibuka sekarang! Tunggu di rumah!”seru Mahardika dari balik mesin kasir.

“Selamat pagi, Nona Manis.”sapa seseorang bergestur tegap yang mengambil tempat duduk di hadapannya lalu meletakkan blackberry-nya dengan led yang tak pernah berhenti mengedip.

Kalian tak akan pernah tahu kapan cinta datang atau pergi, yang kita tahu hanya bahwa cinta selalu datang tepat waktu tanpa kau pinta. Laki-laki ini dulu datang padaku dengan dada yang tercabik-cabik dan sedang bertunangan dengan sepi, begitu yang kutaksir dari cerita-ceritanya. Aku bukan perempuan baik-baik, perkenalanku dengannya pun berawal dari dua botol Black Russian yang akhirnya membuat lidah kami tak berhenti bercerita tentang masing-masing hingga subuh. Dia meracau tentang seorang perempuan yang meninggalkannya, yang kutahu dia begitu menyayangi perempuan itu.

“Selamat pagi, Mas.”

“Maaf terlam...”

“Tak apa, sudah biasa aku menunggu.”desahku. Hal yang paling sulit aku lakukan adalah bersikap biasa seolah tak ada apa-apa padahal aku sedang menyembunyikan setangkup rasa kecewa, “Oh iya, mas mau kupesankan apa?”

“Tidak usah, mas sudah sarapan tadi. Bagaimana kuliahmu? Dosenmu masih suka marah-marah?”

“Hahaha, masih. Aku sudah tujuh kali ganti judul dan beliau masih belum bisa menerimanya. Dia terlalu sempurna, segalanya harus sempurna termasuk judul tak boleh mainstream.”

“Sudah macam anak twitter saja dosenmu. Jaga kesehatan, aku tak ingin kamu sakit.”

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja.”

“Aku lega bisa melihatmu hari ini. Maafkan aku, aku harus pergi. Dua puluh menit lagi masuk kantor. Sekali lagi ma..”

“Jangan terlalu dipikirkan, mas menyempatkan diri kemari saja aku sudah senang setidaknya rinduku terobati sedikit. Rindu itu semacam luka di lutut, mas, yang ditutupi celana jeans baru.”
“Tapi kau sedang tak memakai celana jeans.”guraunya. Aku hanya tersenyum. Kehabisan kata-kata. Percuma saja berpuisi di hadapannya, dia kehabisan makna. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya mendekatiku dengan tatapan yang tak pernah kumengerti maksudnya. Hubungan kami sudah hampir satu tahun berjalan, tapi beberapa bulan terakhir aku hampir tak pernah menemukan sosoknya yang dulu ketika kami masih gemar berbincang ditemani dua gelas bir hingga subuh, bahkan ketika bertatap sekalipun.

Laki-laki itu mencium keningku, membalai rambutku perlahan lalu tersenyum, “Aku pergi dulu, jaga dirimu baik-baik.”

Kata-katanya barusan, seperti seseorang yang sedang berpamitan hendak bepergian jauh. Mataku terasa panas seiring dengan matahari yang semakin meninggi. Tak sekali dua kali dia melakukan hal ini. Dulu, bagi kamu hal romantis bukanlah makan malam dengan lilin di atas meja di restoran mahal, tapi saling mencuri waktu untuk sekadar sarapan bersama sebelum kami akhirnya melakukan aktivitas masing-masing. Dulu, bagi kami hal menyenangkan bukan nonton film bersama di bioskop sambil memegang tangan, tapi menghabiskan sore bersama sampai mentari menjemput malam di atas rooftop sebuah gedung tua dekat kantornya.

***

“Berhenti, Nin. Sudah habis berapa botol kau?”seseorang memegangi lenganku.

“Ngapain kamu di sini?”

“Sudah hampir sebulan kamu tak datang ke kedai. Ada apa?”

“Tak apa.”

“Sudah dibuka bingkisan dariku?”

“Sebuah kotak berbentuk kardus, kupakai buat asbak di kosan.”

“Itu untuk mengemas hatimu, Nina. Sudah saatnya kamu pindah.”

“Maksudmu?”

“Sebulan ini aku mencarimu, laki-laki yang mencium keningmu pagi itu setelah kuberikan bingkisan ini padamu memberiku ini. Dia menyampaikan banyak maaf untukmu, aku bilang jika dia gentleman harusnya dia menghampirimu. Tapi katanya, dia tak sanggup melihat air matamu yang luruh.”

“Apa ini?”

“Undangan pernikahan. Dia akan menikah, Nina.”

“Mana mungkin. Perempuan yang pernah dicintainya itu meninggalkannya dengan laki-laki lain.”

“Dia belum sepenuhnya pindah kepadamu, dia banyak cerita kepadaku malam itu ketika dia memberiku undangan dan surat ini. Dia masih mengharapkan mantannya. Nina, pindah itu bukan hanya perkara kau menempati sesuatu yang baru tapi terkadang kita butuh isi yang benar-benar baru.”

“Maksudmu?”

“Baca surat darinya.”


Dear Nina,
Mas tahu kamu akan terkejut. Kamu boleh memanggil mas brengsek atau pengecut, mas tak punya nyali untuk mengatakan langsung padamu. Shinta kembali padaku dan menangis ingin dinikahi, aku tak bisa menolak keinginannya. Mas sayang padamu, tapi mas begitu mencintai Shinta. Mas tak mengharap kau hadir dalam pernikahan itu jika kau memang tak sanggup. Sekali lagi, maafkan mas.

                                                                                                                                                                                Aldino.

Pelukanku rebah di dada laki-laki di sampingku. Aku menangis sejadi-jadinya di sana. Dika benar, sudah waktunya aku pindah.

                                                                     ***

Dan di sinilah aku sekarang, setelah melewati jutaan detik waktu dan pertanyaan tentang dari mana kita harusnya memulai cerita dan saling belajar berdamai dengan keadaan juga waktu yang seringkali menjadi tersangka cerita pahit juga setelah ketelatenan seorang Mahardika mengobati luka di lutut dan menghadiahiku celana jeans baru yang wangi, apalagi kalau bukan cinta.

Jangankan kalian, bahkan aku tak pernah percaya, laki-laki berkulit putih yang tampan itu menawariku untuk membantuku pindah bukan hanya sekadar pindah dari pelukan yang konon katanya hangat itu pada pelukannya yang asing namun juga membenahi isi “rumah” yang berantakan.

Sore ini, setelah kejadian beberapa bulan yang lalu di depan berbotol-botol bir, sambil mengunyah vanilla latte di kedai favorit dan tempat duduk favorit aku tersenyum karena berhasil menjadi orang baru di sebuah lingkungan baru dengan isi “rumah” yang baru—di pelukannya. Pelukan Mahardika.

Pindah itu bukan hanya perkara kita menempati sebuah “rumah” yang baru, namun juga harusnya diikuti dengan isi “rumah” yang baru.


Surabaya, 2013.

3 komentar: