Sampai Kita Sama-sama Memaafkan Diri Sendiri dan Masa Lalu

“Aku kebelet pipis. Mampir situ bentar, yak!”seruku.

Laki-laki di sampingku menghentikan mobilnya agak jauh. Entah kenapa, dia gemar sekali parkir agak jauh dari tempat tujuan, dia gemarmeletakkan batu untuk mengganjal roda belakang mobilnya. Aku kira, dia tak pernah tahu fungsi hand rem di mobilnya.

“Aku ikut turun deh, ikut kamu pipis.”

“Dasar followers!”ejekku lalu meninggalkannya yang masih melepas seat belt-nya.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam minimarket yang disulap sekalian jadi tempat nongkrong itu. Cuaca sedikit mendung, mungkin ini balasan dari cuaca yang panas beberapa hari belakangan kemarin.

“Hujan, nih.”ujarnya ketika aku menghampirinya yang sedang menyesap rokoknya di salah satu sudut kursi yang sedang kosong.

“Yah, lu sih markirin mobilnya jauh banget. Mana deres banget ujannya.”

Ngiyup sini ajalah, sekalian ngopi.”

“Sekalian ngerokok?”

“Ayolah.”

“Gua engga suka liat lu ngerokok depan gua.”

“Yaudah bentar, sebatang aja ini.”

“Gua ke dalam bentar, deh. Beli kopi."

Hujan selalu mengingatkan pada kenangan, katanya. Entah siapa yang memulai membangun mind set seperti itu. Tapi bagiku, hujan itu semacam rindu yang berhasil ditumpahkan, tak lebih. Aku sudah lama mengenal anak laki-laki yang sedang asyik dengan rokoknya itu. Pertemuannya pun sungguh aneh. Di pantai kuta dua tahun lalu, aku sedang berlibur dengan pacarku waktu itu, dan dia sedang berlibur dengan teman-temannya.

“Nunggu sunset juga?”tanyanya waktu itu.

“Maaf?”

“Nunggu sunset juga?”tanyanya lagi sambil mengamati wajahku. Aku mengangguk. “Perempuan secantik kamu, nungguin sunset sendirian?”

“Maaf sayang, biasa mama.”seseorang menghampiriku. Laki-laki itu terdiam lalu memalingkan wajahnya ke arah laut. Aku berjalan menjauhinya, menggamit tangan laki-laki yang memanggilku sayang.

***

“Selain menunggu sunset sendirian, seorang perempuan seperti kamu juga suka pergi ke coffee shop sendirian?”tanya seseorang tiba-tiba sambil duduk kursi di hadapanku.

“Kamu?”

“Namaku Rio. Waktu itu kita belum sempat berkenalan. Mana pacarmu?”

“Aku May.”jawabku sambil membalas uluran tangannya, “Dia sudah pergi jauh.”

Lalu kami mulai memutuskan untuk mengenal satu sama lain lebih jauh lagi.

         ***

Hujan tak juga reda, meskipun hari ini agenda kami hanya menonton film di bioskop tapi lama-lama sebal juga dengan kebiasannya memarkiran mobil jauh dari tempat tujuan. Aku menyesap kopiku, pahit. Rupanya aku lupa menuangkan gula tadi.

“Mau hujan-hujan?”

“Males.”

“Engga usah manja, deh. Takut basah? Masa kalah sama Sony Xperia?"

"Ah elah. Bandinginnya sama henpon deh. "

“Kalau gitu ayo hujan-hujan!”

“Tapi...”

“Udah.. ayoo...”laki-laki itu menyeret tanganku lalu berlari ke arah dia memarkirkan mobilnya. Membukakan pintunya untukku, oke, ini hal yang tidak biasa.

“Sampai kapan kita seperti ini?”

“Sampai kita sama-sama memaafkan diri sendiri dan masa lalu.”ujarnya sambil mencium bibirku. Hangat.

1 komentar: