Sinta Dalam Keputusasaan.
Dear Mr. Nob,
Pukul berapa di tempatmu sekarang, Tuan? Di sini baru saja terdengar kumandang adzan Isya. Aku baru saja memarkirkan mobilku di garasi, bahkan aku belum juga turun dari mobil untuk menulis surat ini.
Betapa aku sangat merindukanmu, merindukan caramu tertawa juga lesung di pipi kananmu, merindukan caramu membenarkan letak kacamatamu yang suka miring. Oh, harusnya kau membeli sebuah kacamata baru yang lebih bagus, Mr. Nob.
Aku merasa kadang dunia ini terlihat tidak adil buatku, buat kita. Mengapa kita bisa sejauh ini. Aku suka merasa dunia ini menyebalkan saat melihat dua anak muda berpelukan di depanku saat menaiki eskalator. Rasanya ingin meninju kedua wajahnya. Haha. Konyol sekali.
Aku punya cerita untukmu, Sir. Tentu selain sarapanku yang gosong tadi pagi dan kukirimkan gambarnya lewat chat karena kutinggal sebentar untuk memeriksa surel di komputer jinjingku, aku punya kabar yang lebih baik dari itu.
Sore tadi, ketika aku membereskan mejaku untuk kembali merindukanmu setelah seharian berhadapan dengan layar komputer, atasanku memanggilku. Awalnya, kukira dia akan memarahiku habis-habisan karena seorang klien membatalkan kerja sama kemarin dan itu karena aku. Ternyata tidak, laki-laki 40 tahunan yang masih terlihat luar biasa meski sudah memiliki dua jagoan itu malah memberikan kenaikan gaji. Katanya agar aku lebih semangat lagi bekerja. Setelah sedikit mengomeliku mengenai kerja sama yang batal itu, tentunya.
Mr. Nob, kapan terakhir kali kita bertemu? Apakah kau tak ingin sebentar saja pulang untuk menemuiku? Rasanya, memendam rindu terlalu lama tanpa menuntaskannya sama saja dengan bunuh diri. Tapi tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu di sana. Jaga kesehatanmu, Tuan. Hal yang paling menyakitkan adalah mendengar kesehatanmu terganggu. Jangan telat makan dan jangan sesekali meninggalkan sholat.
Sincerely,
Who already missing you
Nona Pop.
Bangun Tidur Kuterus Mandi
Seperti biasa, saya menyikat gigi saya malam ini sebelum akhirnya merangkak ke atas tempat tidur untuk berbagi mengenai apa saja yang telah saya lalui seharian ini kepada Tuan Guling dan Nyonya Bantal. Merasa hidup ini seperti robot yang sudah diatur untuk setiap menitnya harus melakukan apa.
Saya bangun pagi hampir di setiap pukul 04.30, tanpa alarm. Kecuali ayah saya sudah membangunkan saya ketika adzan Subuh sebelum pukul 04.30 iti artinya saya bangun dengan alarm suara dan sentuhan dari ayah saya.
Saya bangun, shalat Subuh, memasak dan menyiapkan sarapan, lalu menonton televisi sebentar tentang bagaimana cara me-rescue anjing peliharan, lalu sarapan sisa orang-orang rumah sarapan, mandi, dan beraktivitas. Begitu terus setidaknya setiap hari Senin hingga Jumat.
Kemudian saya berpikir, apakah saya memang seteratur itu? Ternyata tidak, jika mengenai hati. Tapi iya jika itu mengenai aktivitas sehari-hari. Saya marah jika ada yang tidak menaruh sesuatu pada tempatnya, saya kesal jika melihat kasur berantakan atau tidak rapi, saya tidak nyaman melihat sesuatu tidak dalam susunannya. Hingga sekarang saya kurang paham, ini benar-benar OCD atau tidak. Jika saya marah mengenai masalah-masalah di atas, ibu saya suka berbalik memarahi saya. Terkadang, saya ingin sekali berteriak. Sekarang saya tanya, bagaimana jika kamu sedang berada di posisi tidak nyaman? Bad mood? Marah? Ya, itulah perasaan saya.
Begitu juga malam hari, saya tak bisa naik ke atas tempat tidur sebelum shalat Isya, mencuci muka, dan menggosok gigi. Saya juga tak bisa melanggar rambu, kadang saya pikir bukan karena saya tak mau, tapi karena saya takut.
Mungkin apa yang saya lakukan sehari-hari ini adalah pengaruh dari salah satu lagu waktu saya kanak-kanak. Bunyinya, bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku.
Semacam, saya harus mandi setelah bangun lalu menggosok gigi dan membantu ibu. Begitu setiap hari. Tapi keteraturan itu terkadang menimbulkan rasa takut dari dalam diri saya. Semisal saya diwajibkan pulang ke rumah pukul 9 malam tepat. Apa yang akan terjadi jika saya pulang melebihi pukul 9? Saya memikirkan hal-hal mengerikan. Atau bagaimana jika sehari saja saya tidak menggosok gigi? Apakah gigi saya nanti bolong terus sakit? Atau bagaimana jika saya melanggar rambu-rambu lalu lintas di depan saya? Jangan-jangan di depan ada polisi sedang sembunyi yang siap menilang dan memarahi saya dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.
Malam ini, saya menyudahi kegiatan menggosok gigi saya lalu menggumam dalam hati, "Mungkin ini waktunya saya untuk mengatasi ketakutan-ketakutan itu".
Surabaya, November 2015
Cerita Sahabat
Menyempatkan diri merenung di pagi hari di hadapan secangkir teh hangat tanpa gula. Sebenarnya siapa yang paling banyak memberi warna di hidup kita. Selain keluarga kandung, tentunya. Aku tak akan bercerita tentang keluargaku, sebab bercerita tentang mereka tak akan pernah habis bahkan dalam sepuluh judul buku.
Ini tentang sahabat dan siapa saja di sekeliling kita, yang sedikit banyak memengaruhi emosimu. Aku punya banyak sekali sahabat, tak akan cukup dihitung oleh jari di kedua tanganku ditambah tanganmu.
Aku punya sahabat-sahabat sejak SMP, SMA, juga ketika mengambil studi sarjana di salah satu universitas negeri yang sampai sekarang masih keep in touch dan akan begini seterusnya. Aku punya sahabat dari komunitas paling keren di Surabaya, dan banyak perkumpulan lainnya.
Aku punya seorang sahabat yang kami bisa membicarakan apa saja berjam-jam tanpa bosan, mulai dari hal-hal yang ringan sampai yang lebih berbobot macam politik. Kami punya pandangan yang sama sekali jauh berbeda mengenai politik tapi kami bisa punya selera film yang sama atau kami bisa berdebat dengan hebat mengenai hal-hal sepele lalu diakhiri tertawa terbahak bersama-sama.
Selain seorang sahabat, dia bisa jadi penghibur, pendengar yang baik, penasehat kesehatan, bahkan supir yang baik. Haha, yang terakhir maafkan, aku kadang bisa sedikit manja. Kami punya intensitas waktu bertemu yang cukup sering namun hampir tak pernah melakukan chat secara online. Kami menghabiskan waktu dengan menonton film dan membahagiakan perut. Bahkan kami bisa saling curhat tentang masalah masing-masing. Seorang penulis bilang, bahwa jika ada yang menceritakan masalah terberatnya kepadamu, itu artinya dia sangat percaya padamu dan kamu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.
Mengapa aku menulis tentang dia? Sebab aku baru saja mendapat kabar baik darinya, beberapa hari yang lalu. Penelitiannya mendapat acc dari dosen pembimbing. Satu langkah lagi buatnya mendapat gelar sarjana. Sebagai sahabat aku turut berbahagia. Doaku, semoga segalanya selalu dilancarkan oleh Tuhan hingga dia memakai TOGA, nanti.
Bisa kudapat aamiin?
Surabaya, November 2015.
Saya terbangun pukul tiga tepat dini hari, kepala saya penuh dengan hal-hal entah dan segera ingin dimuntahkan. Mencoba mengajak langit-langit kamar mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk kembali memejam. Sebab tak ada yang lebih bijak dari mereka, mereka pendengar yang baik.
Saya ingin sekali bisa membaca isi kepalamu sekali saja agar tak lagi bingung mengambil keputusan, lalu menyesal. Sayangnya, bahkan membaca isi kepala saya sendiri saja saya tak pernah bisa, bagaimana membaca milik orang lain?
Ada dua pilihan yang membuat bimbang, membuat langkah kaki saya suka tiba-tiba terhenti, dan membuat saya lupa mengaduk minuman saya; haruskan saya tetap tinggal atau pergi saja?
Tapi mengapa saya harus pergi jika bisa tetap tinggal?
Saya mencintaimu lebih dari yang pernah kaubayangkan. Hanya saja, saya terkadang malu untuk mengakuinya bahkan kepada diri saya sendiri. Lalu saya teringat kata-kata dosen saya suatu hari, "satu hal yang sukar kamu lakukan itu hanya satu, berdamai pada dirimu sendiri."
Saya bukan puteri dan kamu bukan ksatria, bahkan tak ada bintang jatuh di antara kita. Tapi di mataku, kamu ialah ksatria. Saya mencintaimu bukan karena suatu hari kamu bisa mengabulkan semua impian-impian saya yang mustahil. Terkadang cinta terlalu rumit untuk diungkapkan. Namun belasan tahun rasanya membuat saya cukup paham dan yakin bahwa saya mencintaimu.
Jika kamu membaca tulisan ini, setidaknya kirimi saya sebuah pesan, katakan apa yang harus saya lakukan, sebab saya tak bisa membaca isi kepalamu.