menemukan dalam kehilangan


#1st

Pim.. pim...
Din.. din...
Tin.. tin..
Bising sekali di luar sana padahal lampu hijau masih menyala sekitar 42 detik lagi, udara Surabaya makin tak bersahabat. Siang begini bisa terasa sangat panas dan menusuk kulit, tapi nanti tunggu saja tiga jam kemudian, hujan deras disertai angin dan petir akan bertandang. Tunggu saja.

“Kita selesaikan saja cerita kita sampai di sini.” Kalimat itu masih terngiang dalam ingatanku.

Kriiinggg... kriiingggg...
Aku merogoh tas yang tergeletak di bangku kiriku, Raya Darmo masih saja ramai.

Simbah Florist.

“Halo?”
“Mbak Andien, di mana? Mbak.. Simbah pingsan. Saya nggak tau kenapa.”suara di seberang cukup panik. Aku hampir saja menabrak mobil timor di depanku.
“Di jalan, Mbak Yam. Telpon dokter Isak. Saya segera ke sana.”

Trek. Telepon kuputus. Putar balik lumayan jauh, urusan kantor kuurus nanti, simbah lebih penting dari pekerjaanku. Wajah simbah terbayang-bayang di spion atas mobil yang kulirik tiap waktu, aku sudah tak konsentrasi lagi menyetir. Belum lagi suara Sultan yang masih saja mengganggu pikirku.

Belum juga kuparkirkan mobilku, Mbak Yam yang sudah dari kejauhan kulihat menantiku di depan toko bunga menghampiri mobilku yang melaju perlahan di depannya.

“Simbah dibawa dokter Isak ke rumah sakit naik ambulance. Mbak Andien disuruh menyusul katanya.”

Tanpa pikir panjang kuarahkan mobilku ke rumah sakit yang dimaksud dokter Isak. Terima kasih Tuhan, Ayah punya kawan sebaik dokter Isak yang sering kurepotkan akhir-akhir ini. kesehatan simbah mulai menurun beberapa bulan belakangan ini, apalagi semenjak Mas Bimo ditugaskan oleh perusahaannya ke Jakarta.

Dokter Isak baru saja keluar dari ruang UGD ketika aku tiba di rumah sakit. Mukanya terlihat sangat cemas.

“Om sudah telepon Ayahmu. Berdoa saja buat simbah.”
“Simbah kenapa lagi, Om?”
“Biar Om yang bicara sama Ayahmu nanti malam. Beliau bilang akan segera terbang ke Surabaya sore ini bareng Ibu.”
“Terima kasih, Om.”
“Jangan khawatir, berdoa saja.”


#2nd

“Kamu nggak ke kantor, Nduk?”tanya Ibu pagi itu.
“Cuti, Bu.”
“Pulanglah, Nduk. Sudah semalaman kamu menjaga simbah. Antar Ayahmu dulu ke bandara, Ayah tak bisa lama-lama di Surabaya.”
“Iya, Bu.”
Aku memandang simbah sebentar. Harusnya tak kuantar simbah pagi itu ke toko bunganya, mungkin tak akan jadi seperti ini. Aku melangkah gontai meninggalkan ruang ICU. Kulihat Ayah sedang berbincang dengan dokter Isak.
“Aku balik dulu, Sak.”
“Hati-hati, Sur. Doa yang terbaik buat Ibu.”
“Mari, Om.”
“Hati-hati, Sayang.”Aku mencium punggung tangan kanan dokter Isak, beliau membelai rambutku.

Hari ini Ayah yang mengemudikan mobilnya, aku terduduk lemas di bangku kiri sebelah ayah. Di mana Mas Bimo kalau sedang kubutuhkan seperti ini? Di mana anak laki-laki yang hobby’nya menyalahkanku itu? Ah, tak pantas rasanya dia kupanggil anak laki-laki, beberapa bulan lagi dia akan berstatus suami orang. Lagipula untuk apa kucari dia? Sifatnya masih saja tak berubah sejak kecil, anggap saja aku anakk tunggal, ya, aku anak tunggal Ayah dan Ibu.

“Ngelamunin apa, Dek?”tanya Ayah.
“Eh, nggak ada, Yah.”
“Jangan bohong sama Ayah. Ayah sudah kenal kamu semenjak kamu masih belum juga bertemu semesta. Manusia itu terbatas, pun dengan masalah-masalah. Kita tak bisa memendam segalanya sendiri, sesekali butuh dikeluarkan, diceritakan. Ayah senang kalau Adek mau berbagi sama Ayah.”
“Andien minta maaf ndak bisa jaga simbah.”
“Dek.. nggak ada yang boleh disalahkan, ini musibah, ini ujian, buat simbah, buat Ayah, Ibu, buat adek juga. “
“Harusnya pagi itu Andien nggak anter simbah ke toko, Yah.”
“Apa yang sudah terjadi itu sudah digariskan sama Tuhan. Berdoa yang banyak.”
“Andien cuma...”
“Ayah sama Ibu nggak marah sama Adek. Ayah sama Ibu bakalan marah sama Adek kalau Adek nyalahin diri sendiri terus. Jaga Ibu sama Simbah selama Ayah di Jogja. Kalau urusan kantor longgar, Ayah akan sempatkan ke Surabaya.”
“Andien sayang Ayah.”
“Ayah sayang Adek lebih dari yang adek tahu.”

Panggil laki-laki hebat di sebelahku ini Superman, ah tidak, dia lebih hebat dari Superman. Ayah adalah Ayah nomor satu sejagat raya. Beliau tak pernah lupa ulang tahunku, ulang tahun Ibu, ataupun ulang tahun Mas Bimo. Ayah adalah orang yang tak pernah kupahami isi kepalanya yang penuh dengan kejutan itu.


#3rd
“Andien nggak bisa ambil cuti lagi buat hari ini, Ibu ndak apa Andien tinggal sendirian di rumah sakit?”
“Ndak apa, Sayang.”
“Kalau ada apa-apa Ibu kabari Andien ya?”
“Berangkat sana, nanti telat.”
“Assalamualaikum.”

Aku mencium pipi Ibu, kutangkap ada rasa khawatir menyelimuti raut mukanya hari itu. Simbah adalah satu-satunya orang tua yang masih Ibu punya semenjak Kakek yang tak pernah kukenal meninggal ketika Ibu masih berusia dua tahun, lalu disusul pakdhe Prabu dua tahun yang lalu beberapa hari setelah aku dinobatkan sebagai lulusan sarjana strata-1.

Aku menatap nanar tumpukan berkas di atas mejaku. Baru sehari ditinggal cuti sudah menumpuk aja kerjaan. Kantorku bukan kantor besar seperti milik Mas Bimo, tapi cukup buatku yang masih menumpang di rumah simbah, bahkan aku masih bisa menabung, membayar cicilan mobil, jajan, jalan-jalan.

“Kamu putus sama Sultan dan Simbah masuk rumah sakit dan kamu nggak cerita aku tiga hari ini? Telepon nggak diangkat, sms nggak dibales, bbm nggak dibaca, nggak nongol di twitter!”omel Tiara siang itu ketika aku menemaninya makan siang.
“Aku nggak sempet tauk.”
“Baca bbm nggak sempet? Angkat telepon nggak sempet?”
Wis, ngomel-ngomelo ae, Ra. Tugasku ndengerin deh.”
“Aku nggak marah sama kamu, Ndien. Tapi buat apa aku jadi sahabatmu kalau aku nggak bisa bantuin kamu, ada di saat kamu butuh.”
“Thanks, Ra. I’m sorry, aku bingung dua hari kemaren kudu ngapain.”
“Sultan?”
“Entahlah, kalau dia memang tak ada hubungan sama perempuan itu kenapa harus marah? Kenapa harus sensi? Kenapa harus memutuskan cerita kami begitu saja? Aku muak sama dia.”
“Aku bingung harus komentar apa.”
“Kamu nggak perlu komentar, Ra. Berjanjilah tetap jadi temanku meskipun aku kembali single.”
“Edan! Jadi orang gila pun kamu aku tetep bakal jadi temen baikmu.”
“Hahaha. Thank you anyway, Ra.”
“Kamu nggak suka kulit ayamnyaaaaa?”
“Gundhulmu! Itu tak makan terakhir!”
“Kirain nggak doyan!”seru Tiara sambil meraih kulit ayamku lalu dilahapnya. Sudah nggak bisa bĂȘte lagi aku sama perempuan satu ini, sahabatku semenjak kami masih sama-sama memakai seragam putih abu-abu, semenjak kami masih belum paham betul apa itu cinta.

Seperti baru kemarin kami membicarakan anak laki-laki cakep di sekolah kami dulu, bulan depan dia sudah mau tunangan aja. Time flies..


“Ibu pulang aja bawa mobil Andien, biar Andien yang jaga simbah di rumah sakit.”
“Kamu besok nggak kerja?”
“Besok kan Sabtu, Bu.”
“Astaghfirullah, Ibu lupa.”
“Udah ah, Ibu pulang sanaaaa istirahat. Biar Andien antar ke parkiran.”
“Besok pagi Mas Bimo ke Surabaya katanya.”

Pulang juga anak itu, batinku. Oke, aku rindu padanya.
Aku menggamit lengan Ibu menemaninya hingga parkiran mumpung masih jam 8 malam, belum terlalu malam kurasa untuk Ibu pulang. Di rumah juga ada Mbak Yam yang sengaja aku minta untuk menginap menemani Ibu.

Aku mengantar kepergian mobil berwarna merah menyala itu hingga lenyap keluar dari halaman rumah sakit lalu kembali di ruang tunggu depan ruang ICU. Tadi pagi simbah terpaksa harus dimasukkan ke ruang ICU agar mendapat perawatan lebih insentif, begitu kata dokter Isak.

“Kamu pemilik Kia Picanto L 7887 GL?”seseorang menyapaku membuyarkan lamunanku. Aku mengusap pipiku yang sedikit sembab.
“Eh kamu nangis?”tanyanya sejurus kemudian setelah memandangku agak lama yang tak segera menjawab pertanyaannya.
“Kamu pemilik Kia Picanto..”
“Iya mobil saya, kenapa?”
“Sudah tiga hari ini kamu mencuri lahan parkir saya.”
“Maksudnya?”
“Iya parkir pojokan dekat ruang ICU itu tempat parkir saya.”
“Maaf, saya pikir rumah sakit ini tempat umum dan semua orang berhak masuk dan parkir di tempat yang memang sudah disediakan. Permisi, selamat malam.”

Aku meninggalkan laki-laki itu begitu saja, enak saja, ini kan Rumah Sakit tempat umum. Memangnya dia pemilik rumah sakit ini beraninya  mengatur. Aku mendekat pada pintu kaca tempat perempuan yang rambutnya sudah memutih itu tergolek lemas, selang infus masih berdiri tegak di sampingnya, alat-alat yang entah aku tak tahu namanya masih setiap menemaninya. Aku berlari ke musholla rumah sakit lalu mengadu pada Illahi, berdzikir banyak-banyak, doaku cuman satu malam ini, aku ingin simbah sadar dari komanya.

Kriiingg... kriiingg..
“Halo.”
“Apa kabar?”
“Ini siapa?”
“Ricko.”
“oh, baik.”
“Kudengar simbah masuk rumah sakit? Gimana keadaannya sekarang.”
“Masih belum sadar.”
“Aku turut sedih mendengarnya. Semoga simbah segera diberi kesembuhan.”
“Amien, terimakasih, Ricko.”
“Sama-sama.”

Trek.
Telepon ditutup.
Aku menarik nafas panjang. Tak ada yang tahu kalau simbah sedang terbarik di rumah sakit ini kecuali ayah, ibu, Mas Bimo, Tiara dan Mbak Yam pegawai toko bunga simbah. Aku tak tahu persis apa penyakit simbah, sehari setelah kularikan beliau ke UGD dokter Isak tak mau bercerita padaku. Beliau memilih bercerita pada Ayah dan Ibu. Banyak yang bilang kalau orang koma masih dapat mendengar apa yang sekitarnya katakan.  Aku masuk ke dalam ruang ICU lalu kugenggam jemarinya yang mengeriput dimakan usia.

“Mbah, aku kangen dimasakin jangan bali pake jangan asem siang-siang. Cepet sembuh, Mbah.”bisikku. Di luar hujan sedang turun, di ruangan ini cumin pipiku yang kebanjiran.

#4th

“Dek… dek… bangun…”sebuah suara membangunkanku. Rupanya semalam aku tertidur di ruang tunggu. Kulirik jam tangan biru muda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, masih jam 6 pagi. Aku memandang laki-laki yang membangunkanku.
“Mas Bimoooo.”
“Hari ini kita pulang.”
“Simbah?”
“Ikut kita pulang juga.”
“Simbah sudah sadar? Simbah sudah sembuh?”
“Simbah sudah nggak ada, Dek.”

Serasa ada petir di pagi yang basah, pagi selepas hujan lebat tadi malam. Tapi bukan telingaku yang pekak karena petir, namun hatiku serasa dijatuhkan dari tempatnya. Hujan semalam ternyata singgah juga di ujung mataku pagi ini, Mas Bimo memelukku erat.  Dokter Isak menghampiri aku yang masih terisak di pelukan Mas Bimo. Dia tak sendiri, seseorang dengan jas sneli’nya berdiri di sampingnya. Mas Bimo menyeka air mataku, seseorang itu, laki-laki yang menyebalkan di kantin rumah sakit semalam.

Aku terpaku menatap jasad simbah di ruang tengah , Tiara menggenggam tanganku, kulihat Ibu begitu tegar duduk di samping jasad simbah. Aku benci orang-orang yang datang kemari, kenapa mereka harus mengenakan pakaian serba hitam jika masih ada warna-warna lucu macam biru toska atau kuning gading.

“Ra… anterin aku ke dapur.”

Tiara tak banyak tanya pun tak banyak suara, dia mengikutiku begitu saja ke arah dapur. Ah, rupanya benar masih ada sisa kue putu di piring.

“Itu sudah basi, Ndien.”
“Aku tahu, aku mau cerita sama kamu. Malam hari sebelum pagi hari simbah koma beliau membelikan aku ini, tadinya ada sepuluh, baru kumakan enam. Ini sisanya empat. Aku belum sempat minta maaf sama simbah karena kuenya belum kuhabiskan.”
“Ndien…”
“Aku nggak apa-apa, Ra. Aku hanya rindu.”
“Simbah akan sedih kalau kamu sedih.”
“Aku nggak apa-apa, Ra.”

Aku lemah, lalu terjatuh di pelukan Tiara. Aku memilih untuk tak ikut ke pemakaman selepas ikut memandikan dan menyolati jasad simbah. Bukan karena aku tak hormat padanya, aku tak mampu. Hanya tak mampu. Pun dengan Ibu, hanya Ayah dan Mas Bimo saja yang mengantar jasad simbah hingga ke liang lahat.

“Dek, ada yang nyari.”
“Siapa, Mas?”
“Dokter Raka. Temuin di ruang tamu.”ujar Mas Bimo lalu berlalu.

“Dokter Raka?”tanya Tiara. Aku mengernyitkan dahiku.

Rumah tak seramai tadi pagi, tapi ini lebih baik. Aku benci keramaian. Yang tinggal hanya beberapa sanak saudara Ayah dan Ibu, kulihat juga dokter Isak sedang berbincang dengan Ayah di halaman depan. Tiara memutuskan untuk membantu Ibu, Mas Bimo sedang membantu Mbak Citra, calon istrinya membereskan rumah. Tak ada siapa-siapa di ruang tamu selain laki-laki menyebalkan di kantin rumah sakit yang paginya mengenakan jas sneli persis seperti yang dikenakan oleh dokter Isak.

“Turut berduka cita, Ndien.”
“Terima kasih. Maaf?”
“Aku dokter Raka. Panggil Raka tanpa dokter, maaf soal yang di kantin malam itu.”
“Aku sudah lupa. Nggak usah diinget-inget.”
“Aku keponakannya dokter Isak. Om, banyak banget cerita tentang kamu. Kalau aku tahu malam itu kamu adalah Andien, mungkin aku nggak bakal sejudes itu.”
“Sudah kubilang lupakan.”
“Maaf. Kenapa tak ikut ke pemakaman.”
“Aku nggak sanggup. Boleh tahu umurmu berapa? Aku memanggilmu dek atau kak?”
“Kamu 23 kan? Aku 25. Terserah mau panggil apa.”
“Aku akan panggil kamu dokter Raka.”

Seseorang mencium perutku yang makin membuncit, dari matanya aku mengingat kejadian beberapa tahun silam itu. Hingga aku belajar mengenai hal baru bukan tentang perpisahan yang terjadi setelah pertemuan kata orang-orang di luar sana. Tapi tentang menemukan dari sebuah kehilangan. Ya, aku kehilangan orang tua ketigaku, simbah. Lalu aku menemukan laki-laki keren di hadapanku sekarang, panggil dia dokter Raka, laki-laki yang menikahiku dua tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar