saya muak.

saya muak terhadap ibu pertiwi, bukan salah ibu pertiwi. bukan juga masalah kandung-mengandung.
tapi, saya muak.
saya muak terhadap sistem peradilan di bawah meja. banyak yang tau, tapi acuh dan pura-pura tak terjadi apa-apa. munafik.
saya muak melihat seorang bapak yang membonceng anaknya, tapi dengan mudahnya menerobos lampu merah. bukankah seorang anak itu perekam yang baik atas kelakuan orang tuanya? orang pertama yang akan jadi guguannya. kuharap, kalian mengerti akan maksud saya.
saya muak melihat kebanyakan orang yang lebih melihat hasil, daripada proses yang telah kita tempuh. yang bahkan mereka tak pernah mengalami kepelikan itu sendiri.
ya, hari ini saya muak.

di minggu yang ke berapa

di minggu yang ke berapa entah aku tiba-tiba membencimu, memicingkan mata tatkala aku melihat foto kita di dinding kamarku. di minggu yang ke berapa entah aku tiba-tiba enggan menyebutkan namamu, bahkan sekedar mengeja kalimat tentangmu. di minggu yang ke berapa entah lahir perasaan jahat dalam hatiku. aku bukan orang jahat, begitu juga denganmu. atau mungkin aku yang orang jahat, karena aku punya perasaan cemburu yang terlalu besar padamu.

lelakiku pernah bilang, cemburu itu hanya sebuah peluru. peluru yang kau tembakkan, bukan akan mengenai siapa yang kau anggap musuhmu. tapi akan mengenai dadamu sendiri, sampai kau akhirnya jatuh tersungkur, menangis, lalu mati berteman air mata. aku tau dia bukan lelakiku lagi, tetapi setidaknya kau tak melompati pagar hatiku. bukan sekedar melompat, kau telah merusaknya. ada beberapa bagian yang rusak di sana. kamu tak akan pernah sadar, bahkan hanya sekedar menengok untuk berkata aku menyesal.

di minggu yang ke berapa entah, aku tak sudi lagi mengenalmu. namun, masih ada saja perasaan sayang menggantung dalam langit-langit hatiku meminta dipetik, meminta pengakuan. layaknya sekolah swasta yang berseru pada pemerintah minta diakui. begitulah kiranya.

di minggu yang ke berapa entah lagi-lagi aku mengutuk diriku sendiri atas perasaan yang pernah terlahir di sini, di dadaku, di hatiku. padamu, padanya. pada lelaki yang pernah sedikit kusandarkan masa depanku padanya. lelaki yang selalu ingin kurengkuh tubuhnya lama-lama tatkala kami bertemu. lelaki yang menolak aku sebagai masa depannya.

tidakkah kau tau betapa sakitnya aku kala itu?
tidakkah kau tau betapa tersiksanya aku menahan rasa yang begitu jahat jika aku meluapkannya?
tapi akhirnya terluap juga, bukan. dan dia marah, dia marah besar.
mungkin kamu tak pernah merasa melakukan kesalahan.
hanya sedikit kumohon mengertilah akan perasaan yang sedang menggantung di depan mataku. menggantung lima senti di atas dahiku, yang susah sekali untuk kulepaskan barang semenit.

surabaya, 2012.
selamat ulang tahun buat sahabatku hari ini. aku tak pernah membencimu, percayalah. 

aku menikmatinya, sayang


aku memang  bukan penyabar sayang
aku selalu antusias menanti waktu itu
detik-detik kala kau berjanji akan menatap mukaku
juga mengecup keningku
merengkuh tubuh kecilku
atau sekedar membelai rambutku
karena aku sangat menikmati
kala waktu berjalan seakan dua puluh kali lebih lambat dari biasanya
kala jantungku memompa darah dengan tidak normal
kala tanganku berkeringat bukan karena gerah
kala mulut ini harus gagu berujar karena gugup
meski setelahnya bukan habis rinduku
malah bertambahlah dia
seperti kupu-kupu kecil yang menggeliat
di perutku sayang
membuatku tak bisa jika hanya berdiam diri
menunggumu
membuat janji
tapi jangan khawatir, sayang
karena aku menikmatinya


surabaya, 2012
untuk kamu yang malam ini sedikit meredam rindu yang menyala.

kemarin


kemarin aku menari ketika hujan turun
menari pula kupunya jemari
ditemani rumput-rumput barang serumpun
di halaman rumah
tak peduli walau diserang rasa lelah
kamu tahu apa yang lebih menyenangkan, sayang?
menyelamatkan seekor kupu-kupu malang
sayapnya terjerat air liur tuan laba-laba
datang saja itu perasaan iba
mengandaikan diri ini seekor kupu-kupu
tapi bukan nyatanya
aku hanya bisa menari tak mampu terbang
karena sayap dulu yang pernah kupunya
tak dapat lagi kulihat rupa-rupanya hilang
ingatkah kau sepantun puisi yang sempat kutulis
waktu mentari belum juga terlelap
di teras sebuah rumah bergaya minimalis
dengan degup jantung yang berderap
ketika kau meminta menaiki punggungku
seolah kau itu sepayang sayap
membawaku menjelajah benda biru
atau sekedar bersama memerangi gelap
ketika itu adalah kemarin
kemarin yang tak akan pernah menjadi hari ini
atau bahkan esok hari


surabaya 2012

Cinta itu Bukan Aturan Main

Saya bukanlah salah satu dari anak perempuan cantik populer yang menonjol di kampus atau pun saat masih di sekolah dulu, bahkan saya tidak diciptakan menjadi murid yang pandai. Ah, sejujurnya saya sangat bersyukur sekali tidak menjadi istimewa. Tidak ada yang istimewa juga dalam hidup saya, hingga suatu hari saya memiliki hal yang begitu istimewa. Panggil dia kamu. Beberapa kawan sempat menanyakan apa istimewanya kamu. Saya selalu menggeleng, tidak tahu. Tapi menurut saya. Kamu begitu istimewa. Hingga saya tak pernah mendapat alasan mengapa kamu begitu istimewa di mata saya.

pagi tuan


I
hai tuan berwajah tampan
apa kabarmu pagi ini
apakah masih saja kau mengurut kenangan
yang nyaris sedikitpun tak lagi peduli

II
boleh kah kupeluk kekarmu
seakan tak akan ada lagi esok
seakan aku tak mengenal kata semu
pada tanpamu aku terseok

III
selamat pagi semesta
disini aku terlunta
ditinggal ia
dilupakannya

IV
selamat pagi matahari
sisakan hangatmu untukku nanti
kubawa pulang untuk kepeluk
dan kusimpan dalam periuk

V
bertemu lagi tuan
di pelabuhan tanpa takdir
berilah aku senyuman nyinyir
dorong aku hingga ke hilir

VI
cium aku wahai tuhan
ajak aku menari di halaman
setidaknya lima menit terakhir
sebelum waktku berakhir

mari bertaruh

mari bertaruh tentang arti kepercayaan sesungguhnya, di dasar hati masing-masing. tak boleh saling mengintip atau pun sekedar menguping. sebab yang ada nanti hanya akan saling membenarkan, saling memuji masing-masing.

mari bertaruh tentang arti sesungguhnya kita dalam sebuah dasar gelas penuh ampas yang sempat kau cium dengan bibirmu juga sempat ku kecup dengan luka olehmu. sebab rasa pahit yang tercipta itu sungguh mengenyangkan, membuat perut kita sama-sama membuncit.

mari bertaruh tentang arti kerinduan yang sesungguhnya, pada kotak besar dari kayu wangi nestapa yang kita ukir malu-malu. sebab pilunya sungguh tak terkira rasanya, seperti peluru yang tersasar dari seorang tentara jepang yang tengah berseru.

mari bertaruh tentang arti sesungguhnya aku dan kau yang tak lagi bisa dirangkum dalam sebuah kita. 

senja yang tiada


Aku hanya bisa menatap batu nisan yang diam itu lamat-lamat. Tak sedikitpun kudengarkan suara ibu yang memanggilku mengajakku pulang. Hingga ibu menyerah lalu meninggalkanku menuju mobil. Rinduku sungguh tak tertahankan sore itu, air mata pun tak lagi berhasil kubendung manis dalam kolamnya. Mereka telah terjatuh membelai pipiku hangat. Rasa bersalah itu kembali muncul menyeruak ke permuakaan dalam otakku, seperti film hitam putih tahun 70-an terputar dalam bioskop yang kusebut dengan benak.

Pohon yang berdiri kokoh di samping batu nisanmu sesekali melirikku dalam diamnya. Hingga sayup-sayup kudengar dia memberanikan untuk berbisik di telinga kiriku. Pohon itu bertanya, “Kau tau kenapa sesal selalu datang di belakang?”

gerimis di pelupuk mata



sudah lama kuperhatikannya
namun tak sedikit ku berani menyapanya
gadis kecil berkaus kuning
yang menangis dalam hening
tak ada isak tak geru
hanya gerimis di pelupuk mata
ingin rasanya hati berseru
dik, apakah gerangan yang membuatmu sendu
ibunya tiada ayahnya tiada
ketika semesta sedang gusar sore itu
jasad tak ada kuburan tak ada
hanya kenangan dalam benak mampu dielu
beruang kecil bermata satu
dipeluknya dalam diam tersedu
hadiah ulang tahun dari ibu, kak
aku memintanya sedikit memaksa
begitulah kiranya dia bercerita siang itu
dia ingin mengulang waktu
di suatu sore di depan lilin
dalam dekap ayah dan ibu
bukan beruang kecil bermata satu yang dipinta
tapi hadirnya ayah ibu yang tercinta
dia menggenggam kedua tanganku
cintai ayah dan ibu tanpa syarat, kak
sebelum sesal datang merajaimu

surabaya 2012

meja berkaki empat


ni, pria itu memang harusnya tak boleh sejajar
mungkin sudah takdir dia setingkat di atas kita
tapi jiwa kita tetap harus tangguh
jangan mau dikalahkan mereka

ni, ucapan itu bisa saja sebuah bisa
tapi ucapan juga bisa sebuah belaian
jangan sampai pedulimu binasa
akan beberapa orang kawan

ni, apa kau pernah tahu sebuah meja
kita bagai meja berkaki empat
bersama-sama kita mengeja
menyatukan jiwa menjadi kuat

ni, kalau kau pergi apalah kita
empat kaki hilanglah satu
pincang kita dibuatnya
makin susah melangkah maju

ni, pria itu seperti ular
mereka licin tak terkira
cacian mereka jangan dengar
karena apapun, kiranya masih ada kita

maret 2012
untuk uni yang tak sadar akan pasung di kakinya.

sebelas

pada angka sebelas, kita menetas
pada angka tujuh belas, jiwa berbalas
pada angka dua puluh kamu mulai mengeluh
bisakah kita hanya bertemu angka satu
bukan dua puluh sembilan
atau bahkan tiga puluh
wajahku sudah ditumbuhi peluh
mungkin akan mati esok hari


11 april 2012
pada angka sebelas yang mempertemukan kamu dan aku hingga menjadi kita
pada sebuah tempat dengan angka sebelas semesta mempertemukan kita

anggrek tak bertuan

kelopaknya lebar-lebar
tumbuh di sela-sela hati yang tengah menggelepar
warnanya jingga keemasan
jelaga dalam tubuh kenangan
menari-nari dalam ingatan
sesekali diraihnya dalam genggaman
bunga anggrek jingga merayu
daunnya menjuntai mencium tanah
bendera dikerek si muka kuyu
tak peduli pagi tak peduli malam tak peduli lelah
hatinya meronta di ujung tiang
tak dihiraukannya jiwa-jiwa gersang
dibiarkannya hingga hilang
hati anggrek jingga tak bertuan
tak bisa hidup jika panas menyulut
sejuk hati ini menatapmu, tuan
lalu kembali gersang kala kau beringsut




11 april 2012
hati ini tak lagi bertuan, sayang.

sepotong semangat


sepotong semangat
dengan tawa yang menggelegar bahkan kudapati sangat liar
suaranya meraung bak singa yang tengah terkungkung
kuku jari yang memanjang siap menyerang
sekedar mencakar mencerca semak belukar
kudapati telinga yang tajam siap menghujam
jika suara sumbang mulai terlihat mengambang
nafas tersengal hampir terpenggal
kembang kempis dadanya
harusnya tak perduli apa kata mereka
harusnya kau pandang mimpi di hadapmu
yang menggantung lima senti di atas kepalamu
semangat boleh memberang
bahkan harusnya kau pelihara
kau anak pinakkan
atau kau bagi pada kawan di sebelahmu

april, 2012
ketika semangat tengah padam.

pada hasrat yang menolak rindu

kenapa kau sebut itu celana? kenapa tak kau sebut baju?
jangan kau tanya mengapa, aku sedang bingung akan rindu.


mengapa kehadiran rindu selalu kau permasalahkan?
karena dia selalu datang berdua dengan kenangan.


apa salah kenangan hingga kau begitu membencinya?
aku tak membencinya. dia mengantungi hal yang indah yang tak bisa kumiliki lagi sekarang.


apa isi kantung kenangan dan mengapa tak kau pinta saja?
pertanyaanmu sungguh menusuk sedikit pada angan, dia mengantungi hal yang indah semacam senja.


ah, apa indahnya senja? hanya warna oranye yang menggantung malas di langit sore.
tutup mulutmu saja, tapi bukalah matamu juga hatimu lebar-lebar. tatap senja nanti sore dalam-dalam lalu kembalilah padaku, beritahu apa yang kau rasakan.


~ surabaya 2012
pada hasrat yang menolak rindu.