Sebuah motor matik berwarna merah marun berhenti di
pinggiran jalan, tak jauh dari situ ada gerobak penjual mie ayam. Sepertinya
abang mie ayam sudah kenal dengan dua orang anak manusia yang baru saja turun
dari motor itu. Yang satu mengenakan celana kain dengan kemeja lengan panjang
berwarna putih bergaris hitam samar putus-putus yang lengannya dilipat hingga
siku, sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Yang satu berpenampilan sedikit cuek,
celana jeans agak belel dengan kaus warna putih bertuliskan “england” rambutnya
dicepol sembarangan bahkan beberapa terlihat menjuntai menghiasi lehernya yang
jenjang, di tangannya ada dua buku tebal yang satu tak didapati sampul yang
biasanya menghias buku.
“Biasa ya, Bang! Dua!”seru laki-laki itu.
“Beres, Mas. Ke mana saja sudah berminggu-minggu tak
kemari?”
“Rumah sakit sedang ramai-ramainya, Bang.”
“Baiklah, tunggu sebentar. Pesanan akan segera datang!”kata
bang Rohmat kala itu.
Hampir seminggu dua kali mereka jajan di tempat ini
dalam kurun waktu dua tahun terakhir, menikmati semangkuk mie ayam bang Rohmat
yang memang terkenal di daerah ini. Setiap hari jumat sepulang Rizki dari
jumatan dan Minggu siang setelah Citra pulang beribadah. Banyak hal yang mereka
bicarakan sembari menghabiskan makanan.
Terkadang Rizki bercerita tentang keadaan rumah sakit,
konyolnya menghadapi pasien-pasien anak-anak, cerewetnya pasien ibu-ibu dan tak
jarang mendapat cerita sedih atas cobaan yang menimpa pasiennya. Citra pun
begitu, dia suka sekali berbagi cerita dengan Rizki tentang kawan-kawannya,
tentang killernya dosen, tentang Citra yang diusir dari kelas karena terlambat.
Tapi ada yang beda dari hari itu, Rizki hanya berjalan
menyusuri jalanan tempat Bang Rohmat mangkal lalu tersenyum saat pandangannya
bertemu dengan mata Bang Rohmat. Gereja di depan Bang Rohmat mangkal terlihat
sangat ramai. Ada karangan bunga berdiri dengan cantik di depannya,
bertuliskan, “Selamat Menempuh Hidup Baru Citra dan Rian”
Surabaya, 2012