Spekulasi Hati



“Assalamualaikum.”

Terdengar suara salam di depan pintu. Aranta mengurangi suara volume televisinya. Siang itu langit Surabaya nampaknya begitu bersahabat, terlihat mendung sedikit menggantung menyejukkan hawa Surabaya yang biasanya panas. Kipas angin di samping televisi pun sedang tak difungsikan oleh Aranta, tak seperti biasanya. Aranta melangkahkan kakinya menuju pintu depan, sedang tak ada siapa-siapa di rumah kali ini. Hanya dia dan Mbak Yum yang beberpa menit yang lalu pamit menemui Mas Somad, penjual siomay di depan komplek yang notabene adalah gebetannya.

“Waalaikumsalam.”jawab Aranta sambil membuka pintu, “Ingin bertemu siapa?”tanyanya sejurus kemudian saat melihat sosok wanita yang ditaksir Aranta umurnya tak lagi muda namun masih terlihat segar. Jilbab biru toska menghiasi auratnya, di tangannya terdapat satu buah kardus yang rupanya berisi makanan. Di depan pagar Aranta ada sebuah mobil berwarna silver terparkir.

“Ibu Alina ada, Nduk*?”tanyanya, logatnya masih kental jawa Surabaya.

“Ibu masih di kantor, hmmm. Ada perlu apa, nggih**?

“Kalau begitu biar Nenek tunggu, boleh Nenek masuk?”tanyanya.

Aranta tetap harus waspada, bukannya bermaksud negatif. Terlihat jelas bahwa Nenek di depan Aranta ini adalah manusia baik-baik. Nada bicaranya halus walau pun kental dengan aksen jawanya, tak ada tanda-tanda jahat menyelimutinya. Namun Aranta, tetap harus waspada.

“Silahkan, Nek. Tapi mungkin baru dua jam lagi Ibu pulang.”

Aranta membuka pintunya kali ini lebar-lebar lalu mempersilahkan Nenek itu duduk di ruang tamu. Sedikit banyak menemaninya berbincang, tak lupa Aranta menyuguhkan segelas teh hangat dan kue seadanya untuk Nenek itu. Namanya Nenek Tari, Aranta hanya boleh memanggilnya dengan Eyang Tari. Eyang Tari banyak bercerita tentang masa mudanya saat  masih seumuran dengan Aranta, Eyang Tari berkenalan dengan Ibu di Tanah Suci tahun lalu  ketika mereka sama-sama menjalankan ibadah haji. Sudah beberapa kali Beliau bertandang ke rumah Aranta, dan selalu tak pernah bertemu Aranta. 

Sebuah mobil sedan lawas berwarna hitam masuk ke dalam pelataran rumah, seorang wanita dengan seragam pegawai negerinya keluar dari mobil sambil membawa sebuah tas jinjing besar. Ibu, begitulah Aranta memanggilnya. Sudah pukul dua siang, pantas saja ini waktunya Ibu kembali ke rumah. Melihat ada mobil terparkir di depan rumah, Ibu masuk sambil tergopoh-gopoh.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Ya Allah, Eyang Tari... Kok kemari nggak telepon saya dulu?”seru Ibu sambil bercipika-cipiki ria dengan beliau. Melihat Ibu yang sudah datang, Aranta bergegas ke kamar untuk bersiap, hari ini dia ada jadwal kursus pukul tiga sore.

***




Aranta masih saja memikirkan Eyang Tari, entahlah, dia hanya merasa akan ada sebuah cerita yang akan tertulis setelah pertemuannya dengan Eyang Tari tadi siang. Aranta meneguk air mineralnya banyak-banyak. Benar Surabaya memang sedang mendung sedari siang, tapi udaranya tetap saja panas.

Sebuah telepon masuk, Satya. Aranta mengernyitkan dahinya, lalu menekan tombol berwarna hijau.

“Halo.”

“Halo, Ta. Ini Satya, besok Pak Kunto minta kita menghadap masalah laporang pertanggungjawaban yang kita buat dua minggu lalu.”

“Ada apa lagi? Bukannya tugas kita sudah selesai ya?”

“Sebentar lagi aku jemput kamu di tempat les. Ada yang ingin aku bicarakan mengenai ini. 10 menit aku sampai.”

Telepon diputus. Aranta meneguk air mineralnya lagi, rupanya Satya masih ingat jadwal kursusnya. Sepertinya baru kemarin, Aranta dipertemukan dengan Satya di acara bakti sosial universitas tempat mereka berkuliah. Satya yang berjiwa pemimpin saat itu menjadi ketua dalam bakti sosial di sebuah desa yang kala itu tak sengaja Satya dan Aranta menemukan sebuah kolam berukuran sedang dengan banyak sekali eceng gondok di dalamnya.

Masyarakat di situ berkata bahwa setiap kali mereka ingin memelihara ikan di kolam itu, ikan tersebut lalu mati. Setelah ditelusuri ternyata nutrisi di dalam air diserap habis oleh eceng gondok, ikan pun juga sulit untuk bernafas karena permukaan kolam tertutup rata oleh eceng gondok, maka dari itu Aranta mengusulkan sebuah bisnis pembuatan kertas dari eceng gondok yang bisa menghabiskan sebuah kertas untuk kerajinan.

Sebuah mobil picanto berwarna merah berhenti di depan Aranta, jendelanya terbuka separuh. Satya, laki-laki itu tersenyum lalu keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untuk Aranta. Tak ada alasan bagi Aranta untuk tak pernah menyukai setiap sikap manis Satya padanya. Pernah sekali waktu Aranta bertemu dengan Satya dan mama’nya di sebuah pusat perbelanjaan, begitu Satya memperlakukan mamanya bagai ratu, Aranta tak ada alasan untuk tak jatuh cinta padanya.

Aranta menyesap kopinya perlahan, Satya memantik korek apinya lalu menyalakan rokok marlboro hijau di depan Aranta. Satu hal yang membuat Aranta berfikir dua kali untuk jatuh cinta pada Satya, Satya tak bisa dipisahkan dengan rokoknya.

“Jadi, kapan kamu bertemu Pak Kunto?”

“Tadi siang di kampus, mukanya sumringah sekali setelah membaca proposalmu. Eh, maksudku, laporanmu.”

“Apa katanya?”

“Dia cuma bilang, good idea, Satya. Kita bisa bikin ini sebuah usaha kecil untuk mereka. Katakan pada partnermu Aranta untuk menindaklanjuti idenya. Gitu, sih.”

“Oh.”

“Lah, cuman Oh?”

“Terus?”

“Nabrak.”

“Aku serius, Sat!”

“Oke, oke, intinya kita harus buat yang namanya proposal agar proyek kita mendapat dana dari kampus. Kamu mau kan bikin ide cemerlangmu itu jadi sebuah proyek besar? Bukan buat aku atau kampus. Tapi buat warga di sana. Katamu, kau sudah jatuh cinta dengan mereka?”

“Memang sih, tapi aku nggak yakin bisa.”

“Pesimis! Kamu pikir aku bakal membiarkan kamu untuk berjalan sendiri? Aku akan membantumu, Ta.”seru Satya, Aranta sedikit terhentak dengan seruan Satya. Ada sekalimat yang menyatakan keseriusan di sana, di matanya pun. Satya menggenggam tangan Aranta.

Bersambung...

Note:
*Nduk: panggilan untuk anak perempuan (jawa)
**Nggih: iya (jawa)

1 komentar: