: JvTino
Pagi di pinggiran kota Surabaya,
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja
yang girang hendak menyambut pagi.
"Pagi itu, Matahariku,
selalu datang membawa harapan-harapan,"
begitu bisikmu kala itu.
Ingatkah kau di suatu pagi,
ketika aku bilang aku membenci matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?
Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.
"Aku benci kau memanggilku Matahari,
panggil aku senja.
Bagaimana bisa aku menemuimu,
jika kamu ingin menjadi senja,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku
"Percayalah, Sayang,
pagi itu selalu datang dengan membawa harapan,"
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,
sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.
Pagi di pinggiran kota Surabaya,
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja
matahari belum juga terlihat, sayangku.
Di ufuk timur belum juga kulihat cahaya seberkas pun.
Aku membisu di teras rumah,
dengan secangkir kopi hangat bikinan ibu,
ditemani kicau burung gereja
yang girang hendak menyambut pagi.
"Pagi itu, Matahariku,
"Pagi itu, Matahariku,
selalu datang membawa harapan-harapan,"
begitu bisikmu kala itu.
Ingatkah kau di suatu pagi,
begitu bisikmu kala itu.
Ingatkah kau di suatu pagi,
ketika aku bilang aku membenci matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?
Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.
"Aku benci kau memanggilku Matahari,
ketika aku menyalahkan sebuah kehilangan,
ketika aku lebih memilih bercengkerama dengan senja?
Matahari tak lagi terlihat.
Di mana harapan yang katamu itu ikut tenggelam
ditelan gulita?
Ingatkah kau di suatu pagi yang gigil?
Kau mulai memanggilku dengan sebutan manis -- Matahariku,
semanis gula-gula yang kau harapkan kedatangannya,
semanis aku, katamu.
"Aku benci kau memanggilku Matahari,
panggil aku senja.
Bagaimana bisa aku menemuimu,
Bagaimana bisa aku menemuimu,
jika kamu ingin menjadi senja,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku
"Percayalah, Sayang,
sedangkan aku adalah pagi?"
Dialog pagi itu berputar lagi di kepalaku
"Percayalah, Sayang,
pagi itu selalu datang dengan membawa harapan,"
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,
sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.
bisik ibu sambil mengangat cangkir kopiyang kosong,
sekosong dadaku,
sebelum aku
mengenal pagi -- mengenal kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar