Aku
hanya bisa menatap batu nisan yang diam itu lamat-lamat. Tak sedikitpun
kudengarkan suara ibu yang memanggilku mengajakku pulang. Hingga ibu menyerah
lalu meninggalkanku menuju mobil. Rinduku sungguh tak tertahankan sore itu, air
mata pun tak lagi berhasil kubendung manis dalam kolamnya. Mereka telah
terjatuh membelai pipiku hangat. Rasa bersalah itu kembali muncul menyeruak ke
permuakaan dalam otakku, seperti film hitam putih tahun 70-an terputar dalam
bioskop yang kusebut dengan benak.
Pohon
yang berdiri kokoh di samping batu nisanmu sesekali melirikku dalam diamnya. Hingga
sayup-sayup kudengar dia memberanikan untuk berbisik di telinga kiriku. Pohon itu
bertanya, “Kau tau kenapa sesal selalu datang di belakang?”
Aku
menggeleng. Sungguh, aku tak tahu jawabannya.
Bioskop
itu terputar lagi, dalam versi hitam putih. Kulihat, aku sedang tergesa pagi
itu hingga tak kuhiraukan omelan wanita yang kulitnya telah mengeriput di makan
usia itu. Dengan lahap, kuhabiskan sarapan yang tersedia di meja makan.
“Nduk.”panggilnya. Aku hanya menengadah
lalu kembali pada sarapanku.
“Nduk, jikalau Si Mbah pergi, berjanjilah
akan selalu membersihkan pusara tempat si mbah beristirahat.”
Aku
terdiam mendengar ucapannya, lalu geleng-geleng kepala. Tak ada yang perlu
dikhawatirkan dari Si Mbah. Beliau masih terlihat kuat dan sehat. Jalannya pun
masih tegap. Hanya saja gurat keriput di
kulitnya dimakan usia. Hingga tak kuhiraukan ucapan beliau pagi itu, aku
tergesa. Aku bangun kesiangan, gara-gara deadline. Sungguh, bukan hal yang
mudah kuliah sekaligus bekerja. Sekalipun pekerjaanmu terlihat menyenangkan. Tapi
bukan itu yang harus kalian ketahui, sepelik apa pun keadaan yang
menggelayutimu, jangan pernah tak kau hiraukan suara-suara sumbang mereka yang
kau cintai, sebelum kau menyesal akhirnya.
Itulah
yang kurasakan, hingga sore itu kudapati Si Mbah terbaring tak berdaya pada
ruangan serba putih yang dokter bilang ICU. Aku tak perduli ruang apa itu, tapi
dipan di kamar Si Mbah rupanya lebih nyaman ketimbang kasur besi berwarna putih
tempat beliau berbaring sore itu.
“Apa
yang terjadi, Bu?”
“Si
Mbah terkena serangan jantung, Nduk.”
“Apa
beliau akan baik-baik saya, Bu?”Ibu membisu, matanya berkaca-kaca. Kubaca ada
sebait perasaan sedih di wajahnya. Ibu anak Si Mbah satu-satunya, aku tahu
betul rasanya. Ibu pasti bingung pada siapa Ibu mengadu, Ayah memeluk Ibu.
Kulangkahkan
kakiku di koridor rumah sakit, tempat yang paling kubenci seumur hidup. Sempat kugantungkan
cita-cita di langit untuk menjadi seorang dokter, tapi tak lagi ingin kugapai. Kubiarkan
dia menggantung begitu saja, ada yang lebih menyenangkan ketimbang seorang
dokter yang harus mengunjungi rumah yang serba putih ini setiap hari. Menjadi seorang
penulis.
Kupandangi
senja yang perlahan mulai tiada. Kata-kata Si Mbah tadi pagi terngiang di
telingaku. Melengking membuat telingaku sakit. Hingga Ibu memanggilku lalu
memelukku, “Beliau sudah pergi, Nduk.
Maafkan beliau jikalau ada salah terhadapmu.”
Kakiku
lemas kehilangan tulangnya. Bumi tempatku berpijak seakan menahanku untuk
berbuat apa-apa. Ibu terisak. Aku tak tahu haru menangis seperti apa. Kubiarkan
air mataku membelai pipiku tanpa suara.
Itulah
hari terakhirku berbincang dengan Si Mbah. Kesalahan kecil yang membuatku
menyesal seumur hidupku. Kupandangi pusara yang membisu di hadapanku. Sudah satu
tahun sejak kepergian Beliau, masih bisa kurasakan kehadirannya di sampingku. Hanya
saja celotehan-celotehannya mulai bias di alam nyata, tapi tetap terpatri dalam
jiwaku.
Tak
ada senja yang lebih indah selain duduk di teras rumah bersama senja paling
indah yang pernah kukenal, dengan cangkir teh masing-masing dibubuhi
petuah-petuah dari beliau. Atau dongeng si kancil yang selalu mengantarku
terlelap sampai aku besar pun tak pernah bosan kupinta Si Mbah untuk
menceritakannya.
“Hidup
itu harus penuh rasa syukur, Nduk. Jangan
selalu melihat ke atas, walau pun yang di atas selalu lebih indah. Sesekali memandanglah
ke bawah.”ujar beliau kala itu.
Aku
hanya tersenyum mengingatnya sambil menyiangi rerumputan liar di atas
pusaranya. Tak banyak yang bisa kulakukan, Mbah. Hanya saja semoga di tempatmu
terbaring sekarang adalah surga paling indah yang pernah Tuhan ciptakan. Doaku akan
selalu ada buatmu, Mbah. Permintaan terakhirmu pun tak pernah kulupa, jikalau aku
telah sibuk hingga lupa bertandang pada pusaramu, Mbah. Suruhlah tangan Tuhan
menamparku. Belum sempat aku membahagiakanmu, Mbah. Tapi Illahi sudah secepat
itu memanggilmu.
Sesalku
pagi itu masih kusimpan hingga saat ini, Mbah. Maafkan cucumu ini yang terlalu
sibuk pagi itu. Harusnya kudengar sedikit perkataanmu paling tidak mengobrol
sejenak untuk yang terakhir kali denganmu. Tapi aku mengerti, waktu tak akan
pernah bisa dikembalikan. Aku akan selalu mengingatmu, dalam secangkir teh dan
senja di sore hari.
Surabaya
2012
Untuk
Emak, wanita cantik yang merupakan ibu dari ibuku yang jago mendongeng. Tak ada
yang lebih menyenangkan dari dongeng kancil sebagai pengantar tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar