sebuah percakapan antara aku dan dia perihal aku yang masih terbalut luka olehmu
pagi itu agaknya matahari masih terlalu mengantuk untuk tersenyum saat kubuka kedua mataku. hari ini aku punya janji yang harus dituntaskan. entah kenapa aku merasa takut, akan sebuah pertemuan. karena yang aku tau, di dalam pertemuan selalu akan mengandung perpisahan. mau atau tidak mau. kulihat matahari bukan hanya mengantuk, dia masih tertidur pulas pada peraduannya. ayam jantan pun tak sampai hati berkokok membangunkannya. pagi itu sungguh dingin. sedingin hatiku.
embun semacam bisa membaca gelisah yang mendera batinku. mereka menyapaku melalui titik-titik di kaca jendela, berkata "hai" dengan bahasa mereka yang cukup kumengerti. memijat syaraf kegelisahanku dengan sejuknya.
ponselku berdering.
"selamat pagi, nona manis. bagaimana tidurmu semalam?"suara di seberang kabel itu seakan menghapus rasa kantukku.
"selamat pagi, mas. tidurku cukup melelahkan."
"ah, aku bosan mendengarnya. satu jam lagi terbang. doakan aku. tunggu aku."
"apa yang akan kau lakukan saat pertama kali melihatku, mas?"
"aku akan memelukmu."
percakapan kami putus. aku bersiap diri, benar-benar harus ada pertemuan hari ini. aku sudah berjanji. pria itu terlampau baik padaku, dia tahu aku sedang terluka dan dia bersedia merawat lukaku. aku tau kamu memang sedang merawat lukaku, mas. tapi kamu bukanlah seorang dokter yang pandai menyembuhkan. bahkan untuk obatnya saja kamu masih ragu-ragu. mungkin kamu lebih handal menjadi perawat ketimbang dokter. tapi sayang sekali, yang aku butuhkan sekarang hanya seorang dokter.
aku menstater mobil silver manis yang semalam baru saja kumandikan. aku terlalu sibuk menangisi luka, yang kemudian menyisakan hampa, hingga aku lupa aku punya kehidupan. aku sibuk mendekap pikiranku sendiri, yang terlihat hening namun riuh di dalam.
sebuah pesan masuk.
- mas bara : "pesawat telah menungguku nona manis, tak sabar ingin segera memelukmu. take care your self until I can see you."
nona : "thank you, mas. take safe flight"
pesan singkatku tak terkirim, mungkin ponselnya sudah dimatikan. aku melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti karena terlalu banyak melamun. ah, kenapa luka itu belum juga kunjung sembuh. kenapa luka itu masih tak bosan menari dalam ingatanku. tariannya memang indah, tapi tak lebih dari sebuah pilu.
aku terduduk kaku di ruang tunggu yang dingin. sepertinya ac'nya memang sedang singkron dengan pikir dan hatiku. dingin. sekitar tengah ramai seperti pikiranku. sepertinya memang semesta sangat pandai membaca aku. tapi kenapa kamu tidak ? kamu malah pergi dengan cara yang dungu dengan cercau yang menurutku hanya mengacau.
ponselku bergetar. sebuah pesan masuk.
- mas bara : "berdirilah nona manis, melangkahlah lima langkah. berhentilah sepuluh detik, lalu berbaliklah. ingat, jangan mencariku, anggap saja kejutan."
aku tersenyum kecil membacanya, semoga mas bara tidak membaca senyumku, semoga mas bara tidak sepandai semesta dalam perihal membaca aku. aku mengikuti saja titah yang menurutku sangat bodoh. tapi aku tak protes. aku berdiri dari tempatku duduk, berjalan lima langkah lalu berhitung sampai sepuluh, kemudian berbalik.
ada yang memelukku. hangat. bahkan detak jantungnya bisa kurasakan. sayang sekali, aku tak bisa merasakan detak jantungku yang meracau seperti aku memeluk dia sang pemberi luka.
"hai, nona manis."sapanya lalu mencium keningku.
"hai, mas. gimana terbangnya?"
"cukup melelahkan."
"hey, itu kata-kataku."
pria itu tetawa kecil, "cukup menyenangkan, pramugarinya cantik sekali. tapi sayang sekali, aku tak pernah bisa terbang dalam anganmu."
"sudahlah mas, kita baru saja bertemu. adakah bahan bicaraan yang lebih ringan dari ini?"
"temani aku minum kopi, aku rindu kopi kota kita."
"ah, apa bedanya kopi di sini sama di perantauanmu, mas?"
"berbeda, karena aku meminumnya tidak denganmu."
"sudahlah, mas." sanggahku. pria itu tersenyum tipis.
aku tak protes saat dia menggamit lenganku membawaku pada sudut kedai kopi di bandara tempat kami bertemu. tak ada yang berubah darinya semenjak lima tahun yang lalu pertemuan terakhir kita. masih saja dia memesan hazelnut latte favoritnya.
"kenapa bukan caramel macchiato?"tanyanya saat aku memesan segelas lemon tea. aku tersenyum. terlalu banyak kenangan dengan minuman itu. aku merasakan luka itu kembali terkuak, ketika mencium aromanya.
"maaf, nona. aku hanya sedih melihatmu."
"aku baik-baik saja, mas. jangan kau kasihani aku seperti itu."
"aku hanya ingin menatap gamangmu dan mengusir derai-derai rindu dan membunuh mereka."
"tak perlu mas, rindu ini tak akan pernah bisa mati. jangan kau bunuh mereka."
"tapi mereka menyiksamu, nona. ijinkan aku sekedar menggenggam hatimu agar mereka tak berlarian pada hati yang sudah mati."
"hatinya tak pernah mati mas, dia pingsan ditampar kebebasan. dia tak sadar, ada sesuatu yang indah yang menantinya. dia terlalu sibuk dengan kebebasannya."
"kamu tersesat, nona manis. langkahmu mulai terseret berat. kamu terlalu banyak mendengar suara-suara sumbang. aku ingin mengantarmu pulang."
"rumahku ada padanya mas."
"dasar kau bebal, setidaknya jadilah nona yang manis dalam mimpiku."
"bagaimana aku bisa menjadi nona manis dalam mimpimu, mas. jika aku masih saja terjebak dalam mimpinya dan tak tau jalan keluar."
"aku benci kau yang seperti ini, jika saja sebuah ceruk, kau sudah berjelaga karena menunggu. kamu perajut kata-kata indah, setidaknya rajutlah seuntai kalimat indah untukku agar aku bisa tidur nyenyak malam ini."
"bagaimana aku bisa merajut untukmu mas, perihal hatiku pun tak bisa tertambat padamu."
"aku beri kau kain perca, tak cukupkah?"
"aku memang perajut kata-kata mas, dari potongan kain perca darinya. aku terima kain percamu, tapi akan kusimpan. aku masih belum bisa merajut milikmu, mas."
"aku sedih mendengarnya, nona. cintaku serasa ditolak. aku akan menunggu gelasmu sampai kosong nona, lalu akan kutumpahkan cairan pekat yang manis di dalamnya."
"terima kasih, mas. tapi gelasku masih terisi penuh oleh rindu yang kian menggebu."
"aku akan terus menantimu, nona. di persimpangan mimpi. jikalau kau menemukan jalan keluar dari mimpi lamamu itu, datanglah padaku, kubawakan kau segulung tikar, dua gelas minuman, dan dua potong roti. kita akan piknik bersama."
aku tersenyum, pria itu tersenyum lalu bangkit dari tempat duduknya. aku mengikutinya, dan kubiarkan dia tetap merawat lukaku seperti biasanya. aku tau, luka itu akan segera mengering, tapi pasti akan membekas.
kereennn !!! dicintai memang indah drpd mencintai :)
BalasHapusbener, bersyukurlah yang dicintai sepenuh hati :)
HapusIni nyata atau fiktip??
BalasHapusperpisahan emang cuma masalah waktu, semuanya akan terpisah, tapi dari perpisahan itu akan muncul pertemuan yang lebih abadi..
ceritanya bagus..
nyata :')
Hapusmakasihhhhh :D
waaa keren ..
BalasHapussalam sukses selalu gan .. :D