Gadis yang sedang duduk di hadapanku malam itu menyesap caramel
macchiato’nya dalam-dalam. Gadis cantik itu begitu menggilai kopi, itu kenapa
aku sering melihatnya diam tapi kakinya tak bisa diam. Sepertinya dia memang
kecanduan, kecanduan kafein. Juga kecanduan cinta, dari seorang pria tak tahu
diri. Aku tersenyum menatapnya, aku selalu tahu suasana hatinya dari matanya,
dan semoga tebakanku kali ini tepat. Dia pasti sedang bingung.
“Aku bingung, Yi.”
Nah! Apa aku bilang tadi. Dia sedang bingung. Beri saya setidaknya lima
jempol malam ini.
“Bingung kenapa lagi, Ruu?”
“Seharian ini aku bertemu
dengan dia, Yi. Dia memperlakukanku benar-benar seperti aku perempuan
satu-satunya di dunia.”
“Oh.. come on mrs. Drama queen.”
“You’re not understand, Yi! Kamu
nggak pernah ngerti perasaanku.”
Oh come on, girl. Mungkin aku tak pernah bisa mengerti perasaanmu pada
pria itu. Tapi aku sangat memahami perasaanku padamu. Aku begitu mencintaimu,
Ruu. Kenapa kamu harus mencari jauh-jauh kalau semuanya sudah tersedia
terhidang di depan hidungmu ?
“Oke.. apa lagi yang harus
aku mengerti?”
Tak bisa sedikit ku berkelakar. Aku tersulut emosi. Kini giliranku yang
menghirup capuccino dan menandaskan hingga separuh cangkir, berharap mereka
masuk ke dalam tubuhku dan menyesap sebagian emosiku agar tak terlihat di depan
Ruri. Gadis cantik yang sudah membuatku gila. Membuatku tak bisa mencintai
gadis lain selain dirinya.
“Aku begitu mencintainya,
Yi.”
Oh, come on Rayi. You have to be strong. Even just pretending.
“Cinta? Masih saja kau
berani bicara tentang cinta dihadapanku nona manis? Setelah dua minggu yang
lalu kau menangis di pundakku karena cinta?”
“Kamu benar-benar
menyebalkan, Rayi. Kamu seharusnya menghiburku bukan menyudutkanku.”
“Menyudutkan katamu? Aku mau
membuka matamu, Ruu. Aku ingin kamu sadar.”
“Sadar mengenai apa, Yi? Aku
sunggu tak mengerti jalan pikiranmu.”
Bagaimana kamu bisa mengerti jalan pikiranku yang tersembunyi gadis
cantik ? Kalau membaca tulisan cinta di mataku yang terukir namamu saja kau tak
becus.
“Kamu masih mengharapkan
pria itu yang jelas-jelas tak ada lagi cinta buatmu di hatinya. Yang jelas-jelas
tak pernah lagi mengharapkanmu. Tak pernah lagi memperhatikanmu. Dia abu-abu
buatmu, Ruu. Bukankah kamu sangat menyukai warna merah? Dia terlalu brengsek
untukmu.”
“Brengsek? Brengsek mana
sama orang yang mencintai tapi tak pernah bisa mengungkapkan karena sesuatu yang
tidak jelas? Mana wanita yang katanya kau cintai setengah mati itu? Sampai sekarang
kamu tak pernah mempertemukanku dengannya.”
“Hentikan, Ruu. Kita sedang
berbicara tentangmu bukan tentangku.”
Kulihat gadis itu menangis. Air matanya mengalir deras, bahkan terlalu
deras. Aku benci melihatnya menangis. Lebih baik aku menjadi air mata itu agar
bisa leluasa menciumi pipinya. Memakan pipinya. Menyentuh pipinya. Air matanya
terus mengalir tanpa ada isakan atau sesenggukan. Itu lebih menyakitkan buatku.
“Dia lagi apa ya, Yi?”
“Aku mencintaimu, Ruu.”
“Apa?”
“Aku sayang kamu, Ruu. Apa aku
harus berteriak?”
“Brengsek kamu, Yi. Ini nggak
lucu. Bukan waktu buat bercanda.”
“Tak pernah aku bercanda
soal cinta, Ruu. Aku mencintaimu dengan kesadaran penuh.”
“Tau apa kamu soal cinta,
Yi?”
“Harusnya aku yang bertanya
hal itu, Ruu. Tau apa kamu soal cinta? Aku mencintaimu Ruu. Kamu yang kucintai
setengah mati. Tak perlu kuberi tau alasan kenapa aku tak berani mengungkapkannya
Ruu.”
“Kamu brengsek!”
“Aku akan lebih merasa
brengsek lagi kalau aku nggak segera mengungkapkan apa yang telah kupendam
terhadapmu, Ruu.”
“Maafkan aku, Yi. Aku..”
“Hei. Aku tak pernah
memaksamu untuk membalas cintaku. Kamu tahu saja itu sudah cukup buatku, Ruu. Maafkan
aku pernah jadi yang brengsek buatmu. Tak perlu lagi kukenalkan seorang wanita
sesuai permintaanmu, Ruu. Karena wanita itu kamu.”
“Kenapa, Yi? Kenapa harus
aku?”
“Cium aku, Nona Manis. Kau akan
tahu jawabannya.”
***
digawe novel ae mesisan. haha. blogrunning..
BalasHapuswah iyaa ide bagus tuh..
Hapus:D