Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang cukup berada itu sebuah anugerah terbesar yang saya miliki hingga saat ini, di saat semua orang bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan "makan apa saya hari ini?" saja sungguh bukan hal yang mudah, saya dengan mudah melahap nasi dan lauk yang notabene hasil kerja keras kedua orang tua saya. Dilahirkan di tengah-tengah kecukupan lahir dan batin ternyata lantas tak boleh membuat kita berleha-leha, apa yang kamu nikmati sekarang tak lain tak bukan adalah hasil jerih payah kedua orang tuamu. Pernakah kamu sempat berpikir seperti ini, ketika kalian sedang nongkrong di mall, hura-hura, berhedon ria bertanyalah pada diri sendiri uang siapa yang sedang kamu pakai untuk itu? Bersyukurlah dan saya akan beri kamu dua jempol saya jika itu uang hasil jerih payah kamu sendiri. Tapi tidak jika itu adalah hasil dari orang tua kamu, well tidakkah kalian memikirkan apa yang sedang dan telah orang tuamu lakukan sekarang? Membanting tulang menghabiskan seluruh tenaganya seharian demi kamu bisa hura-hura sepreti itu. Ironi.
Pernahkan suatu hari kamu terbangun dari tidur lalu menangis tersedu-sedu akan entah? Saya pernah, dan kalau kalian pernah, itu hal yang wajar. Sedikit saya mengutip sebuah quote dari kawan saya bahwa yang terbaik selalu datang seusai yang terburuk agar kita tahu bahwa itu yang terbaik, yah, terkadang kita harus menyesal dulu sebelum akhirnya kita berubah. Saya pun sempat mempertanyakan keberadaan pencipta hidup dan mati ketika saya tengah berada dalam pelik. Bodoh. Kata itulah yang harusnya menampar saya waktu itu. Kembali, coba bertanyalah pada dirimu sendiri lagi, apakah kau masih ingat denganNya ketika bahagia tengah memeluk? Berapa banyak syukur yang sudah kau serukan dalam sehari atas nikmat dariNya? Begitu kau ingin dipeluk olehNya ketika pelik jika dalam bahagia kau tak pernah ingat denganNya. Ya, saya bukan orang yang religius, tapi saya percaya jika kamu berpikiran positif maka semesta akan selalu mendukungmu.
Seringnya saya membaca beberapa twit dari kawan saya yang suka nelangsa lalu mengumpat hingga melontar sumpah serapah pada sosial media. Seringnya saya menangkap dia adalah tipe orang yang tak menghargai orang lain, terlebih pada mereka yang menurutnya berada pada level di bawah mereka. Masih, ini soal uang. Negara ini sudah tak sehat rupanya, hukum yang berlaku saat ini adalah siapa yang beruang dialah yang berkuasa. Ngehe. Semua orang punya derajat yang sama di mata Tuhannya, itu yang saya yakini.
Kamu masih bisa tidur enak di kasur yang empuk namun masih saja mengeluh banyak-banyak tak terhitung tiap hari, kamu dapat salam dari mereka yang tak punya tempat untuk tidur.
Jadi, sudah berapa syukur yang kau lontarkan hari ini, Kawan?
Terdengar suara
salam di depan pintu. Aranta mengurangi suara volume televisinya. Siang itu
langit Surabaya nampaknya begitu bersahabat, terlihat mendung sedikit
menggantung menyejukkan hawa Surabaya yang biasanya panas. Kipas angin di
samping televisi pun sedang tak difungsikan oleh Aranta, tak seperti biasanya. Aranta
melangkahkan kakinya menuju pintu depan, sedang tak ada siapa-siapa di rumah
kali ini. Hanya dia dan Mbak Yum yang beberpa menit yang lalu pamit menemui Mas
Somad, penjual siomay di depan komplek yang notabene adalah gebetannya.
“Waalaikumsalam.”jawab
Aranta sambil membuka pintu, “Ingin bertemu siapa?”tanyanya sejurus kemudian
saat melihat sosok wanita yang ditaksir Aranta umurnya tak lagi muda namun
masih terlihat segar. Jilbab biru toska menghiasi auratnya, di tangannya
terdapat satu buah kardus yang rupanya berisi makanan. Di depan pagar Aranta
ada sebuah mobil berwarna silver terparkir.
“Ibu Alina
ada, Nduk*?”tanyanya, logatnya masih
kental jawa Surabaya.
“Ibu masih di
kantor, hmmm. Ada perlu apa, nggih**?”
“Kalau
begitu biar Nenek tunggu, boleh Nenek masuk?”tanyanya.
Aranta tetap
harus waspada, bukannya bermaksud negatif. Terlihat jelas bahwa Nenek di depan
Aranta ini adalah manusia baik-baik. Nada bicaranya halus walau pun kental
dengan aksen jawanya, tak ada tanda-tanda jahat menyelimutinya. Namun Aranta,
tetap harus waspada.
“Silahkan,
Nek. Tapi mungkin baru dua jam lagi Ibu pulang.”
Aranta membuka
pintunya kali ini lebar-lebar lalu mempersilahkan Nenek itu duduk di ruang
tamu. Sedikit banyak menemaninya berbincang, tak lupa Aranta menyuguhkan
segelas teh hangat dan kue seadanya untuk Nenek itu. Namanya Nenek Tari, Aranta
hanya boleh memanggilnya dengan Eyang Tari. Eyang Tari banyak bercerita tentang
masa mudanya saat masih seumuran dengan
Aranta, Eyang Tari berkenalan dengan Ibu di Tanah Suci tahun lalu ketika mereka sama-sama menjalankan ibadah
haji. Sudah beberapa kali Beliau bertandang ke rumah Aranta, dan selalu tak
pernah bertemu Aranta.
Sebuah mobil
sedan lawas berwarna hitam masuk ke dalam pelataran rumah, seorang wanita
dengan seragam pegawai negerinya keluar dari mobil sambil membawa sebuah tas
jinjing besar. Ibu, begitulah Aranta memanggilnya. Sudah pukul dua siang,
pantas saja ini waktunya Ibu kembali ke rumah. Melihat ada mobil terparkir di
depan rumah, Ibu masuk sambil tergopoh-gopoh.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Ya Allah,
Eyang Tari... Kok kemari nggak telepon saya dulu?”seru Ibu sambil
bercipika-cipiki ria dengan beliau. Melihat Ibu yang sudah datang, Aranta
bergegas ke kamar untuk bersiap, hari ini dia ada jadwal kursus pukul tiga
sore.
sebelum bertemu kamu, saya pernah memutuskan untuk membekukan hati.
sebelum mengenal kamu, saya pernah memutuskan untuk tak peduli apa itu cinta.
bahwa dulu kita hanya dua orang asing yang aku tak kenal siapa kamu dan kamu tak tahu menahu perihal aku.
lalu berdua kita mengawinkan tangan kanan kita melalui jabat sore itu, senja itu, bersamaan dengan mentari yang hendak pamit untuk beristirahat di peraduannya.
lalu kita membangun percakapan-percakapan singkat saat bertatap, celotehan-celotehan ngawur, dan kamu ciptakan beberapa tawa renyah padaku. percakapan-percakapan sebelum tidur yang tanpa ujung karena terpisah oleh kantuk.
ya, sebelum bertemu kamu, saya pernah memutuskan untuk berhenti jatuh cinta.
Sebuah motor matik berwarna merah marun berhenti di
pinggiran jalan, tak jauh dari situ ada gerobak penjual mie ayam. Sepertinya
abang mie ayam sudah kenal dengan dua orang anak manusia yang baru saja turun
dari motor itu. Yang satu mengenakan celana kain dengan kemeja lengan panjang
berwarna putih bergaris hitam samar putus-putus yang lengannya dilipat hingga
siku, sebuah kacamata menghiasi wajahnya. Yang satu berpenampilan sedikit cuek,
celana jeans agak belel dengan kaus warna putih bertuliskan “england” rambutnya
dicepol sembarangan bahkan beberapa terlihat menjuntai menghiasi lehernya yang
jenjang, di tangannya ada dua buku tebal yang satu tak didapati sampul yang
biasanya menghias buku.
“Biasa ya, Bang! Dua!”seru laki-laki itu.
“Beres, Mas. Ke mana saja sudah berminggu-minggu tak
kemari?”
“Rumah sakit sedang ramai-ramainya, Bang.”
“Baiklah, tunggu sebentar. Pesanan akan segera datang!”kata
bang Rohmat kala itu.
Hampir seminggu dua kali mereka jajan di tempat ini
dalam kurun waktu dua tahun terakhir, menikmati semangkuk mie ayam bang Rohmat
yang memang terkenal di daerah ini. Setiap hari jumat sepulang Rizki dari
jumatan dan Minggu siang setelah Citra pulang beribadah. Banyak hal yang mereka
bicarakan sembari menghabiskan makanan.
Terkadang Rizki bercerita tentang keadaan rumah sakit,
konyolnya menghadapi pasien-pasien anak-anak, cerewetnya pasien ibu-ibu dan tak
jarang mendapat cerita sedih atas cobaan yang menimpa pasiennya. Citra pun
begitu, dia suka sekali berbagi cerita dengan Rizki tentang kawan-kawannya,
tentang killernya dosen, tentang Citra yang diusir dari kelas karena terlambat.
Tapi ada yang beda dari hari itu, Rizki hanya berjalan
menyusuri jalanan tempat Bang Rohmat mangkal lalu tersenyum saat pandangannya
bertemu dengan mata Bang Rohmat. Gereja di depan Bang Rohmat mangkal terlihat
sangat ramai. Ada karangan bunga berdiri dengan cantik di depannya,
bertuliskan, “Selamat Menempuh Hidup Baru Citra dan Rian”
Fara menyesap Caramel Macchiato panas dalam
cangkir berwarna kuning gading di depannya. Lelaki di hadapannya masih sibuk
menyesap rokoknya, dalam hening. Kira-kira sudah hampir sejam mereka terdiam
tanpa kata satupun. Fara melayangkan pandangannya jauh ke luar jendela.
“Sudah pernah kukatakan sebelumnya padamu, bukan?
Bahwa aku tak percaya jarak.” Laki-laki itu mengeluarkan suara pada akhirnya
sambil mematikan rokoknya.
“Fara itu menuntut ilmu, mas. Fara kuliah di sana.”
“Lalu kamu akan bertemu kawan-kawan baru di sana,
sibuk dengan kuliahmu dan cepat atau lambat kamu akan melupakan aku.”
“Aku tahu pikiranmu sedang kalut, hubungi Fara kalau
mas rindu dengan Fara.”ujar Fara lalu meletakkan selembar uang di atas meja
meraih tasnya dan berlalu meninggalkan laki-laki itu dengan dua cangkir yang
masih penuh di atas meja.
Edgar Nasution, entah bagaimana awalnya Fara bisa
jatuh cinta dengan laki-laki yang lahir dua tahun lebih dulu darinya. Tak ada
yang istimewa dari laki-laki keturunan batak muslim yang dikenalnya lewat
sebuah komunitas membaca buku empat tahun yang lalu. Mereka sama-sama menyukai
Adhitia Sofyan dan lagu-lagunya, sama-sama penggemar beratnya Dewi Lestari dan
Benyamin Sueb, suka sekali berdebat tentang siapa yang lebih tampan Vidi
Aldiano atau Afghan, dan tak pernah bosan menghabiskan waktu kala mereka sedang
santai tak ada kerjaan dengan menonton film-film kartun di nickelodeon channel
di ruang tengah rumah Edgar.
1. sudah kucium gelagat rembulan rupa-rupanya ia ingin cepat-cepat tertidur namun tidak dengan mata kita dua pasang milik kita terbuka lebar tak ada kantuk yang singgah, bahkan sejenak 2. satu dua tiga empat lima kita mulai berhitung sejak kapan kita saling mengenal hati masing-masing yang dulu adalah asing tik tok tik tok tik tok bahkan detak jam pun tak lagi terdengar mereka tenggelam oleh beberapa celotehan dari bibir kita masing-masing 3. kotak bersuara di hadapan kita masih saja berceloteh namun mata kita tak lagi hirau padanya mata kita saling memuja percakapan kita sudah tak ada lagi buntutnya terurai berai hingga ratusan kilometer 4. tik tok tik tok tik tok tatap kita mendongak pada dentum jam yang besar di sisi kanan kami pukul satu lebih dua puluh lima tak juga kita mengantuk pukul satu lebih dua puluh lima tanpa kantuk
2012
mati sebuah pertaruhan egoisme tersingkirkan nada-nada kebebasan terdendang ragu didustakan begitu saja benak terukir hanya nama tuhan rasa tak sudi dijajah pun alasan harga diri mereka tak ada nilainya terlalu berharga untuk dinominalkan sebongkah emas pun tak cukup anak-anak menangis merintih tak jua membuat langkah menjadi tertatih semangat senyala api merah merona warnanya sungguh patut kita hargai bukan dengan emas berlian, kawan namun patut kita hargai dengan menanam semangat pada diri masing-masing surabaya, 10 nopember 2012 untuk pahalawan-pahlawan dengan semangat senyala api. tularkan semangat itu, pada kami kawula muda, wahai pahlawan.
jemariku selalu memuntahkan
beberapa bait puisi
yang terkadang sudah tak peduli
masih sudikah kiranya kau tengok barang sekedar
kemarau panjang tak ada habisnya
dahagaku meradang dalam lengang
tubuhku terkilir oleh rindu yang tak berhilir
teronggok dalam bebatu yang menyanyi sendu
sekelebat layang di sudut mata
beterbang tujuh keliling
mengundang anak laki-laki turut serta
mengejar hingga terluka lututnya
tarik ulur saja aku dengan senarmu
hatiku tak pernah merasa terbelenggu
waktu istirahatmu hanya gerimis
menghiasi pelupuk mata yang kupunya
kupas asa dalam gelap
remas jemariku yang dibekap harap
anggap hanya ilalang yang tau kapan terlepas
layak dandelion tertiup angin terbang bebas
layang-layang memang tak pernah berhenti
hingga putus senar yang membelenggunya
apa itu yang kau nanti
memutus asa yang kurajut lama
surabaya, 2012 untuk para wanita yang tak peduli akan hatinya yang serupa layang-layang oleh lelakinya.
gemuruh dupa meruap hening
menyisa aroma getir hingga memusing
sorotnya tajam mengecup kening
dipercik air keruh oleh sang bening
di atas mentari berbalut kostum kuning
durhaka ia tak ambil pusing
ditantangnya seekor mamalia bertaring
memancing mosi mengundang muring
hatinya tak pernah hilang hanya mengering
bukan sesekali ia terluka terlalu sering
surabaya, 2012 senandung hati yang mulai lelah bahkan sekedar untuk mendengar
Tak
ada lagi yang menahan Kila di kota kecil ini, tidak juga dengan En. Yah, En,
begitu Kila memanggil anak laki-laki berpostur tubuh tegap dan rambut jambul
Tin-tinnya. Hari itu hari terakhir Kila berada di kota kecil ini bertepatan
dengan acara perpisahan di aula sekolah. Kila menatap deretan nama-nama di
papan pengumuman, melihat namanya berada di deretan daftar siswa yang lulus
tahun ini. Kila tersenyum, getir.
Rasanya
baru kemarin dia mengikuti MOS atau Masa Orientasi Sekolah. Rasanya baru
kemarin dia dihukum hormat di bawah tiang bendera seharian oleh seniornya.
Rasanya pun baru kemarin Kila dinobatkan menjadi the best reporter di majalah
sekolahnya. Mungkin Kila tidak begitu cemerlang di bidang akademik, namun
debutnya di organisasi sekolah membuat satu isi sekolah tidak ada yang tak
mengenalnya. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru, karyawan di bagian Tata
Usaha, hingga tukang kebun dan satpam sekolah pun mengenal gadis ramping dan
mungil itu.
Kila
mencari sebuah nama. Zulkarnaen. Lalu menghembus nafas lega sesudahnya, anak
laki-laki itu juga berada di daftar yang sama dengan Kila.
“Hey,
Kila.”sapa Dito, cowok berbehel itu merangkul leher Kila.
“Hey,
To.”
“Selamat
ya, namamu masuk sepuluh besar.”
“Selamat
juga namamu masuk ada di daftar nama yang lulus.”sahut Kila sambil cekikikan.
Dito melepas pelukannya, nyengir melihat namanya berada di urutan paling bawah.
“Ada
di urutan paling bawah aku udah bersyukur banget, La.”desis Dito. Kila tersenyum. Kila juga tau, potensi Dito
memang bukan di bidang akademis. Tapi, dia kapten basket hebat yang pernah
dimiliki sekolah itu. Tiga tahun berturut-turut sekolah mereka mendapat gelar
juara umum pada kompetisi basket se kabupaten. Dito juga tahu, Kila bukan
bermaksud meledeknya tadi. Dito mendekatkan pandangannya ke deretan nama-nama
di hadapannya.
“Udah,
mau dipelototi gimana pun. Namamu nggak bisa dituker posisinya sama Ayu.”
“Ah,
gila. Kok bisa ada anak secerdas Ayu. Liat itu nilainya. Bulet semua kayak
orang bunting.”ujar Dito. Kila tergelak. “Kamu nggak mau gabung sama
temen-temen di dalem? Sejam lagi bandnya En manggung.”
“Kamu
duluan aja.”
“Yaudah,
jangan sampe kelewatan, La. Kata En besok kamu udah berangkat ke
Surabaya?”tanya Dito. Kila mengangguk, seperti ada sejuta pertanyaan yang ingin
Dito lontarkan pada Kila. Dito menatap mata Kila sejurus kemudian berlalu
meninggalkan gadis kecil dengan kuncir kudanya.
jadi kapan sayang ?
kau memperbolehkan namaku menjejali alam pikirmu
aku menjadi yang pertama buatmu dan menjadikan kedua dan ketiga menjadi tiada
aku menjadi pusat rotasi alam semestamu dan
menjadi titik pemberhentian terakhir akan perjalananmu
jadi kapan sayang ?
kau menyambut dengan peluk akan kebahagiaan yang kutawarkan
bayanganku memenuhi setiap ruang benak yang kau punya
suaraku menjadi irama yang paling merdu yang pernah kau dengarkan
dan nafasku melengkapi setiap sengal yang kau rasa
jadi kapan sayang ?
kehadiranku menjadi hal yang paling kau rindukan adanya
kecupanku menjadi bagian dari partikel semangat yang melengkapi harimu
lalu genggaman tanganku adalah yang selalu dicari oleh jari-jarimu kala mereka lelah
kuliah kerja nyata, apa yang ada di benak kalian saat mendengar tiga kata itu? jika aku menjadi? salah satu program di sebuah stasiun tv swasta? bisa jadi, aku pun sempat berpikiran ke sana. berkecimpung dengan masyaraka desa yang jauh dari peradaban, jauh dari hiruk pikuk, jauh dari apa yang namanya modern dan hedonitas.
sembilan belas orang, yang belum pernah saling mengenal sebelumnya dipertemukan disini. desa besah, kecamatan kasiman kabupaten bojonegoro, saya yakin waktu itu belum ada satu pun dari kami yang pernah mendengar nama desa itu. makanya, ketika kami sedang berkumpul untuk rapat, kami menyempatkan membuka google map, yaah.. alat bantu manusia modern seperti kami, apalagi.
keadaan tempat tinggal kami
survey beberapa kelompok pasti lah waktu itu mengharuskan diri untuk survey ke desa masing-masing, pun dengan kamu. survey for survive. setidaknya akan ada gambaran nantinya di sana seperti apa. barang-barang apa saja yang harus dibawa ke sana. dan yang terpenting bagi kami adalah nyaman atau tidak tempat tinggal yang akan kami diami selama kurang lebih 26 hari nantinya.
survey pertama.. ngaret.. seperti biasa rencana kumpul jam 6 pagi akhirnya kita berangkat pukul setengah delapanan kurang lebih. tak banyak yang ikut kala itu, hanya saya, mas @koendhie, mbak @TaaaGieta, @kie7812, dan ketua kami @arisonly. kami belum dekat satu sama lain kala itu, tak banyak yang bisa kita bicarakan selain rencana kita di sana nantinya. setelah agak sedikit nyasar dan dibantu dengan supirnya aris kita akhirnya tiba di rumah bu kades. yaaa.. kepala desanya kala itu seorang wanita yang nanti akan saya jelaskan lebih lanjut di edisi berikutnya. berbekal beberapa pertanyaan dari teman-teman yang di surabaya kami mulai mewawancarai bu kades, pun mengenai tempat tinggal, kami juga sempat mendatangi salah satu sekolah dasar yang ada di sana, sayangnya sekolah sudah bubar kala itu.
survey kedua agak hectic, hampir semua ikut. dengan tiga mobil kami berangkat dengan ngaret seperti biasa. tapi kami menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah tempat makan, sebut saja kaliotik yang akhirnya beberapa dari kami sempat sedikit mengumpat ketika melihat bill, hahaha, maklum kantong mahasiswa dan anak kos. saya sendiri waktu itu habis 19 ribu untuk nasi, telur, kompilasi kuah dan segelas teh hangat. perkiraan saya waktu itu kompilasi kuahlah yang membuat billnya bernilai tinggi, cukup sekian dan terima kasih.
wajah-wajah para survivor
sampai di sana kami kembali menemui ibu kepala desa dan juga pak bayan, orang desa memanggilnya mbah bayan. jabatannya adalah ketua urusan.. hmmm saya agak nggak mudeng juga beliau urusan apa, tapi waktu itu beliau menjadi penengah antara kami dengan warga. hingga akhirnya urusan mengenai tempat tinggal juga konsumsi beres kala itu juga setelah dengan beberapa negosiasi pastinya. kami juga sempat mendatangi pusat kesehatan hewan untuk urusan proker teman-teman dari kedokteran hewan. survey ditutup dengan makan soto di lamongan yeay!
ruang tengah rumah cewe
pak rete mulai pedekate sama antok kliwir
kisah pak rete yang ditinggal sebatang kara oleh kawan-kawannya
Empat lebih empat puluh lima sore, jarum jam yang sama yang selalu dilihat Nadira
ketika disandarkan punggungnya pada ujung tiang halte tempatnya menunggu bemo
yang akan mengantarkannya pulang. Nadira akan betah berlama-lama menyandar di
sana menanti senja, ketika senja merangkak datang padanya maka akan Nadira
sambut dengan peluk hangat di tambah kecupan mesra di pipi senja.
Sudah dua tahun semenjak Nadira mencopot seragam putih-abunya. Ambisinya
untuk menjadi penulis mulai memudar semenjak senja jarang sekali menghampirinya
di halte tempatnya menunggu. Senja lebih suka menghampiri segerombol anak
laki-laki yang asyik bermain layang-layang di ujung gang dekat rumahnya. Kalau Nadira
tau senja di sana, Nadira cemburu. Tentu
saja. Makanya Nadira lebih suka menyibukkan diri dengan kuliahnya,
dengan organisasinya.
Dulu Nadira suka sekali bermain layang-layang, lalu senja akan
menghampirinya. Menemaninya bermain layang-layang. Tapi karena kesibukannya,
layang-layang yang Nadira buat dengan Kakek kini terpaksa dibiarkan teronggok
di pojokan garasi. Kadang, ketika Nadira mengambil mobilnya di garasi,
terdengar rintihan layang-layang yang tengah merindu untuk diterbangkan,
merindukan senja terutama. Nadira pun.
“Sudah kubilang aku akan menjemputmu pukul lima di depan kampusmu, apa yang
kamu lakukan di sini, Nona Manis?”sebuah suara mengangetkan Nadira.
“Maaf, Mas. Aku lupa.”
“Kepada senja kamu tak pernah lupa.”desah Alex.
Laki-laki itu menggandeng tangan Nadira membawanya menuju parkiran di kampus
Nadira, tempatnya memarkirkan motor bebeknya. Tadi Alex sedikit kelimpungan
mencari Nadira. Beberapa kawannya bilang, Nadira sudah keluar kelas semenjak
pukul setengah lima sore. Ponselnya pun sudah tak aktif. Hingga Alex
membayangkan, jika Nadira menjadi sepatu Nadira, kemana Nadira akan
melangkahkan kaki sepulang kerja. Benar saja, wanita yang sedang Nadira cintai
didapatinya tengah melamun sambil menyandarkan punggungnya pada tiang halte.
Senja mulai merangkak menunjukkan wujudnya yang oranye, Alex memang tak
suka senja. Tapi karena Alex akan mendapati Nadira tersenyum lebar-lebar sambil
mempererat genggaman tangannya padanya, sedikit demi sedikit Alex suka
berterima kasih pada senja lewat surat yang Alex titipkan pada malam. Genggaman
tangan itu, menurut Alex, adalah genggaman tangan paling menenangkan di dunia.
Nadira memeluk Alex dari belakang, deru motor bebek Alex tak dihiraukannya.
Kehadiran Alex adalah hening dalam riuh yang menghampirinya. Semangat dan
harapan Nadira tercipta dari aroma tubuh Alex. Baginya, pelukan itu lebih indah
dari sekedar kata-kata aku menyayangimu atau aku membutuhkanmu. Nadira memeluk
tubuh lelakinye erat bersamaan dengan deru motor bebek usang yang memecah
jalanan ibu kota.
“Besok kamu jadi ke Jakarta, Mas? Satu tahun?”
“Aku kira kamu tak ingat.”
“Mana mungkin aku tak ingat akan perpisahan kecil yang akan terjadi besok,
Mas. Pukul berapa kamu pergi?”
“Pukul sembilan pagi. Kalau kamu tak bisa antar, biar Ayah nanti yang
mangantarku, Nona Manis.”
“Kok gitu? Aku bisa ijin, Mas. Itu kalau Mas mau.”
“Enggak usah, Nona Manis.”
“Baiklah, Mas. Jangan lupa hubungin aku kalau Mas mau berangkat.”
“Pasti. Malam ini mampirlah ke kosanku sebentar. Bantu mas bersiap.”
Deru mesin motor bebek, senja yang perlahan mulai hilang, jalanan Kota
Surabaya yang mulai macet, punggung yang wangi. Benak Nadira sangat pandai
dalam merekam kenangan. Ada sebuah kotak berwarna ungu dalam benak Nadira,
isinya kenangan, tak besar ukurannya. Isinya pun hampir penuh. Nadira takut
kalau suatu hari kotak itu penuh, Nadira harus menutupnya dan menggantinya
dengan baru.
aku terkapar di tepian ulu hati, telingaku mendengar suara teriakan menyuruhku bangkit lalu terjun. hingga mati. langit sore membiru tergurat oranye. sembiluku membiru disayat apa yang seringnya mereka sebut harap yang berisikan kosong kedap pengap.
aku sedang tak ingin mati, aku masih ingin hidup meski sukar napasku tersengal. meski partikel-partikel oksigen enggan sudah untuk kuhirup. meski jutaan debu masa lalu masih saja dengan rajinnya datang menjejali pikiranku, menjejali saluran pernasapanku, namun aku tak ingin mati.
yah, aku terlambat menyadari bahwa aku jatuh cinta pun bahwa aku sedang disakiti, aku terlambat. hingga aku kini.. terkapar..
dari kawanan tak dikenal peluru menikam barang selasar namun begitu pun tak jua buatmu berhenti berkelakar hingga tentara kembali mengisi ulang selongsong mulutmu masih saja dipenuhi omong kosong selagi padaku rindu masih merong-rong hei, kamu, sebentar ikuti aku ratapi sebungkus gamang yang tak menghilang jangan menolak ini kehendak tidak bukan mauku hidup selalu begitu membuat kita tersudut akan beberapa hal yang kalut tak jarang harus sedikit mengalah jangan kau coba untuk kembali pandang pada sepasang kaca spion pembuat hati resah yang kerjanya hanya bisa menjadi dinding penghalang sia-sia sudah jika kau berteman mereka si penyulut kenangan yang kerjanya membuat onar dalam benak yang tak layak di angan surabaya, 2012 kaca spion, padanyalah skenario kita waktu itu dibentuk, terlukis, cantik, elegan, juga pilu.
pagi yang bisu, sedikit berbisik aku pada semesta mengajaknya berkonspirasi tentang apa arti diam dalam riuh di sekitar mengapa embun, hanya datang ketika pagi menjelang pun hanya membasahi rumput dan dahan tidak dengan hati yang kering mengapa pagi, selalu memaksa mata-mata berkantung hitam beraktivitas menggerakkan tubuh-tubuh yang padahal lelah bekerja lebih keras dari kemarin, demi nafas yang tetap berlangsung mengapa matahari, tak selamanya hangat memaku pagi hilang, beringaslah dia menggigit kulit-kulit yang semakin hitam sebabnya mengeringkan jiwa yang tandus di awalnya menyusup hidup yang terberontak jiwanya bukankah kita tinggal di negara bebas harusnya tak boleh ada belenggu dalam jiwa harusnya tak boleh ada kekang yang menelanjang semua bebas berkonspirasi tak terkecuali pada pagi yang bisu, pagi harimu surabaya, 2012 untuk kalian yang susah bangun pagi dan jarang menikmati hangatnya pagi.
kumohon katakan padaku, apa yang lebih kejam dari sepotong kenangan yang pernah kita lukis berdua dengan tinta warna-warni. terkadang jika rindu sedang berlebih kita menyempatkan diri membeli secangkir tinta emas lalu menorehkannya di atas kertas menggunakan kuas yang menggantung pada harapan. dengan ditemani sebait dua bait lagu tentang kau dannya. apakah pisau besar tukang daging yang baru saja diasah ujungnya ataukah sebilah pedang yang mempunyai kisah masa lampau.
kumohon jelaskan padaku arti dari seikat bunga yang tergeletak manja di depan pintu rumahku dengan pita merah jambu dan sepucuk surat bersuara merdu yang kau kirimkan melalui rinai sepi yang menghunjam melonglong memasuki kerongkongan dan mengenyangkan.
kumohon bisikkan padaku sekalimat alasan untuk mendukung argumen yang pernah kau lemparkan di atas dahiku bahwa hati tak pernah memilih, dia menunggu untuk dipilih hingga akhirnya harus menyakiti beberapa kawanan hati yang harusnya tak layak untuk terluka.
memaki dalam gelap kurasa aku sedang tetiba luka kembali merayap dalam benak menjejal pikiran dengan sebelas bait pertanyaan membungkam mulut oleh kekarnya mereka menari sambil tertawa sesekali mengecup pipi kiriku, lalu pipi kananku memandangi sekujur tubuhku seakan ingin menguasai tak hanya benakku hidupku pun ingin dibalutnya tersengal aku berlarian dikejar kenangan yang menumpang di punggung luka mereka menggenggam sebilah pilu yang siap menikamku kapan mereka ingin gelap meraja seakan tak peduli makian yang kulontar seakan hanya makanan basi tertatih aku dalam tubuh gulita lumpuhlah aku dibuatnya dihantam rindu bertubi pada tekuk menarik sembab di pelupuk mata sepotong cahaya merengkuh tetiba menguliti luka dan mematah pilu gelap tersungkur di ujung ragu oleh cahaya berwarna biru surabaya 2012 untuk cahaya biru yang kunanti hadirnya
Telunjuk Laila menyusuri sederet
nama-nama yang tertulis di papan pengumuman. Sudah belasan menit dia mengurutnya
dari bawah ke atas tapi belum juga menemukan sebuah nama. Hari ini pengumuman
akan diletakkan di perusahaann mana dia oleh Universitas setelah mengikuti
beberapa tes tulis, wawancara dan sebagainya yang cukup berat. Pikiran Laila
sudah nggak karuan, perasaan takut tak diterima di mana-mana menyelimutinya.
“Saklek! Yaiyalah engga ada, ini buat
mahasiswa Ilmu politik, buat mahasiswa sastra noh disana! Salah alamat, Neng!”seru
Niken sambil menyeret sahabatnya satu itu ke sebuah papan pengumuman lain yang
tak jauh dari situ.
Sebuah nama tercantum di urutan dua puluh
satu, Laila Mei Anggraini, Tanda Seru Adv. sebagai art director junior. Niken memeluk
sahabatnya.
“Selamat ya, meskipun cuman magang tapi
kan jadi art director junior. Jadi, tolong dong dibuang muka kusut
ketakutannya.”bisik Niken di telinga Laila. Laila membalas pelukan sahabatnya.
“Makasih ya, bungkus indomi. Lu sendiri
keterima magang di mana?”
“Kantor konsultan pajak, asisten
staff acounting.”bisik Niken. Mereka berpelukan sekali lagi. Persahabatan yang
mereka rajut sejak smp dan berlanjut hingga perguruan tinggi membuat kedekatan
mereka sangat kental.
***
Tap tap tap.
Suara trotoar beradu dengan sepatu
converse yang berasal dari seorang gadis kecil yang tengah berlari-lari kecil. Berkali-kali
dia mengangkat tangan kirinya menengok arloji hijau muda yang melingkar manis
di pergelangan tangannya. Pukul delapan lebih lima menit, itu artinya Ila
terlambat, dan buruknya lagi, Ila terlambat di hari pertamanya.
Sebuah tanda seru besar berwarna
merah menyambutnya di pintu masuk seakan menegurnya bahwa hari ini dia
benar-benar terlambat, telak, setengah jam. Laila menghampiri mbak-mbak di
front office yang sedang mengobrol di telepon sambil terengah-engah. Diam-diam,
seseorang mengamati tingkahnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”tanya
mbak-mbak FO itu sambil meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Laila
mengatur napasnya.
“Maaf, Mbak. Saya anak magang dari...”
“Oh, iya mbak, Pak Dimas telah
menunggu di ruangannya. Mbak naik aja ke lantai dua, ada ruangan dengan pintu
warna merah.”
Tanpa banyak basa-basi Laila berlari
ke arah yang diinstruksikan mbak-mbak yang bernama Cintya yang Lalila tau dari
tag name di dadanya. Pintu berwarna merah, lagi-lagi berwarna merah, semua
ornamen di kantor ini kebanyakan memang berwarna merah. Bahkan tanda seru besar
di depan tadi juga berwarna merah. Laila mengetuk pintu merah besar itu dengan
hati-hati.
“Come
in!”seru yang ada di dalam.
“Maaf pak, Saya Laila, saya anak
magang dari...”
“Kamu tau arti waktu adalah uang?”
“Maaf, Pak, saya terlambat, tapi saya
bisa jelaskan.”
“Hari pertama terlambat, good job,
Laila. Hari ini saya maafkan, tapi besok, saya nggak ingin ada alasan lagi. Jam
kantor dimulai pukul delapan tepat, sanggup?”tanya pria yang berdiri di
belakang mejanya itu. Laila mengangguk-angguk. Pria itu tertawa, Laila makin
bingung, nafasnya masih tersengal.
“Saya paling nggak bisa marah, Laila.
Hahaha. Kenalkan, saya Dimas, owner dari Tanda Seru Advertising. Just Dimas, no
Mas or Pak. Semua disini manggil saya seperti itu kecuali menyebut nama saya
kepada tamu yang datang. Ikut saya, akan saya kenalkan kepada rekan-rekan yang
lainnya.”
Dimas menggandeng tangan Laila yang
masih berkeringat tanpa canggung membawanya berputar mengelilingi bagian kantor
mungil yang hanya terdiri dari dua lantai dan berakhir di sebuah ruangan dengan
salah satu meja kosong yang sudah disediakan untuknya.
“Yes, welcome to Tanda Seru
Advertising. Tuangkan selalu ide gila kamu di sini tanpa canggung. Ini, Martha,
art director senior kamu yang akan membimbingmu nantinya. Jangan sungkan untuk
bertanya dan selamat bekerja!”seru Dimas sambil mengacak-acak rambut Ila lalu
berlalu meninggalkan ruangan itu.
Hidup Laila banyak berubah semenjak
hari itu, waktu buat karaoke atau ngemall nggak jelas bareng Niken, sahabatnya. Dia
punya Martha, senior yang sangat telaten membimbingnya, juga Dimas, bos yang
sangat perhatian terhadapnya.
***
“Heh, Lu bengong aja.”ujar Niken. Hari
ini agaknya ada yang aneh pada diri Laila, terutama sejak seminggu yang lalu,
semenjak Laila magang di kantor advertising itu. Niken tahu betul cerita
kehidupan Laila. Sudah setengah tahun ini Laila jarang sekali menyunggingkan
senyumnya, terutama jika mendengar nama Rendi.
Keberuntungan juga buat Laila kala
itu, mereka ada project ke Jogja menggarap sebuah proyek iklan besar di kota
itu dua minggu penuh. Jogja, yang artinya, bekerja sambil liburan.
“Pagi, Laila!”sapa Dimas pagi itu
bersamaan dengan Laila yang sedang menguap hebat di pinggir kolam renang.
“Eh, Dimas. Hmmm.. pagi.”
“Aku lihat semalam kamu masih
nongkrong di bar jam 1’an. Nggak heran kalau jam segini masih menguap lebar.”sindir
Dimas. Laila hanya tersenyum malu-malu. “Oiya, La. Nanti malam ada pertemuan
khusus dengan klien. Ya, sekedar makan malam ucapan terima kasih beliau pada
perusahaan kita. Kamu bisa kan temenin aku? Kebetulan rekan-rekan yang lain
pada ada pertemuan dengan yang lain.”
“Mas Dimas nawarin Laila atau
ngajakin Laila?”tanya Laila.
“Hmmm. Ngajak La. Ngajak. Kamu bisa
kan?”
“InsyaAllah.”
“Oke, jam tujuh malam kamu saya
jemput di depan kamar kamu. Hari ini kita sedang ngga ada progress apa-apa, La.
Selamat menikmati liburan ya.”jawab Dimas sambil mengacak-acak rambut Laila
lalu berlalu meninggalkannya sendirian di pinggir kolam renang dengan sejuta
tanya. Seperti yang sudah-sudah, mengacak-acak rambut Laila sudah menjadi
ritual Dimas sebelum meninggalkannya sendirian.
Makan malam itu berlangsung sukses,
klien memang betul-betul suka dengan kinerja Dimas dan rekan-rekan yang
lainnya. Dimas terlihat sumringah sekali malam itu, Laila kehabisan kata-kata. Hujan
rintik-rintik yang membasahi Kota Jogja malam itu pun enggan membuat Laila dan
Dimas berteduh. Dimas menceritakan kisah hidupnya dari nol, dimana dia harus
jatuh bangun membangun perusahaan ini hingga sesukses sekarang sambil tak henti
menggenggam tangan Laila.
***
Laila terjatuh, hatinya yang
terjatuh. Dia sudah lupa akan luka yang dimilikinya yang dibiarkannya menganga
hampir selama setengah tahun lamanya. Dengan hati-hati Dimas merawat lukanya,
membalutnya dengan sejuta perhatian yang dia curahkan pada diri Laila. Hingga suatu
malam, di hari terakhir Laila magang dan di sudut sebuah cafe di hadapan dua
piring spaghetti, segelas milk shake strawberry dan segelas iced lychee tea
Dimas menggenggam tangan Laila.
“Ada yang ingin aku bicarakan, La.”
“Apa itu, Mas?”
“Aku bukan tipe orang yang suka
basa-basi, sebelumnya aku minta maaf. Berjanji untuk tidak marah padaku, La?”
“Katakan saja, Mas.”
“Aku sudah tau perasaanmu padaku, La.
Kita sudah sama-sama dewasa, tapi aku minta agar kamu berhenti, La. Aku tak
ingin kamu terlibat lebih jauh lagi denganmu. Aku mohon, La.”
“Apa ini, Mas? Kamu menolak
permintaan yang bahkan aku tak pernah memintanya.”
“Maafkan aku, La.”
Lelaki itu melepas genggaman tangan
Laila. Mengacak-acak rambut Laila sambil tersenyum lalu berlalu meninggalkan
Laila. Untuk yang terkahir kalinya. Sebuah lagu terputar dalam cafe.
For
all the things that you said
For
all the lines that we played
For
all the very best dates
How
could you do this to me
.
The things we did to stay sane
The
walks we had in the rain
The
places we used to hang
How
could you do this to me
.
Oh
well
Look
at me now I’m falling in pieces
I
don’t know what to do now
I’m
lost within this fire
Oh
well
Look
at me now I’m falling in pieces
I
don’t know what to do now
I’m
lost within this fire inside me
Don’t make someone felt special if they don’t. You just
heart breaker.
Don’t pretend to care with someone if you are not. You
just heart breaker.
Jogjakarta. Agustus 2012
Terinspirasi dari lagu The Triangle Band “How Could
You” dan sebuah kisah nyata yang begitu klasik.