Tak
ada lagi yang menahan Kila di kota kecil ini, tidak juga dengan En. Yah, En,
begitu Kila memanggil anak laki-laki berpostur tubuh tegap dan rambut jambul
Tin-tinnya. Hari itu hari terakhir Kila berada di kota kecil ini bertepatan
dengan acara perpisahan di aula sekolah. Kila menatap deretan nama-nama di
papan pengumuman, melihat namanya berada di deretan daftar siswa yang lulus
tahun ini. Kila tersenyum, getir.
Rasanya
baru kemarin dia mengikuti MOS atau Masa Orientasi Sekolah. Rasanya baru
kemarin dia dihukum hormat di bawah tiang bendera seharian oleh seniornya.
Rasanya pun baru kemarin Kila dinobatkan menjadi the best reporter di majalah
sekolahnya. Mungkin Kila tidak begitu cemerlang di bidang akademik, namun
debutnya di organisasi sekolah membuat satu isi sekolah tidak ada yang tak
mengenalnya. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru, karyawan di bagian Tata
Usaha, hingga tukang kebun dan satpam sekolah pun mengenal gadis ramping dan
mungil itu.
Kila
mencari sebuah nama. Zulkarnaen. Lalu menghembus nafas lega sesudahnya, anak
laki-laki itu juga berada di daftar yang sama dengan Kila.
“Hey,
Kila.”sapa Dito, cowok berbehel itu merangkul leher Kila.
“Hey,
To.”
“Selamat
ya, namamu masuk sepuluh besar.”
“Selamat
juga namamu masuk ada di daftar nama yang lulus.”sahut Kila sambil cekikikan.
Dito melepas pelukannya, nyengir melihat namanya berada di urutan paling bawah.
“Ada
di urutan paling bawah aku udah bersyukur banget, La.”desis Dito. Kila tersenyum. Kila juga tau, potensi Dito
memang bukan di bidang akademis. Tapi, dia kapten basket hebat yang pernah
dimiliki sekolah itu. Tiga tahun berturut-turut sekolah mereka mendapat gelar
juara umum pada kompetisi basket se kabupaten. Dito juga tahu, Kila bukan
bermaksud meledeknya tadi. Dito mendekatkan pandangannya ke deretan nama-nama
di hadapannya.
“Udah,
mau dipelototi gimana pun. Namamu nggak bisa dituker posisinya sama Ayu.”
“Ah,
gila. Kok bisa ada anak secerdas Ayu. Liat itu nilainya. Bulet semua kayak
orang bunting.”ujar Dito. Kila tergelak. “Kamu nggak mau gabung sama
temen-temen di dalem? Sejam lagi bandnya En manggung.”
“Kamu
duluan aja.”
“Yaudah,
jangan sampe kelewatan, La. Kata En besok kamu udah berangkat ke
Surabaya?”tanya Dito. Kila mengangguk, seperti ada sejuta pertanyaan yang ingin
Dito lontarkan pada Kila. Dito menatap mata Kila sejurus kemudian berlalu
meninggalkan gadis kecil dengan kuncir kudanya.
Kila
kembali memandang papan pengumuman di depannya dengan tatapan kosong. Ada beban
yang berat yang lama telah menghimpit dadanya. Sesak namun Kila tak tau caranya
melepasnya. Ada bayang-bayang yang selalu menghantui Kila setiap malam sebelum
Kila akhirnya memejamkan mata untuk tertidur. Ada nama yang tak pernah alpa
Kila sebut ketika Kila tengah berhadapan dengan Sang Khalik. Kila sadar, dia
terlalu dini untuk mendefinisikan perasaan itu sebagai cinta. Tapi perasaan,
tak pernah bisa berbohong. Bayang-bayang itu memang punya nama. En, begitu Kila
memanggilnya.
“Kecil.”seseorang
mengagetkannya. Kila hafal benar suara itu. kila membalikkan badannya.
“En.”bisiknya
nyaris tak terdengar. Bibirnya sudah lama kelu tidak menyebut nama itu di
hadapan pemiliknya. Hubungan persahabatan mereka memang sedang tidak baik
semenjak kejadian setahun lalu.
“Sedang
apa di sini?”
“Lihat
nilai.”Kila mengutuk dirinya sendiri. Jawaban yang konyol yang keluar sekenanya
dari bibirnya itu secara tidak langsung mempermalukan dirinya sendiri. Di papan
itu memang disusun berdasarkan peringkat, namun tak ada nilai tercantum di
dalamnya. En tersenyum.
“Ada
banyak hal yang harus aku katakan. Tapi nanti, setelah aku manggung. Kamu mau
kan nungguin aku selesai manggung?”tanya En.
“Aku
nggak janji.”
“Ada
apa?”
“Pokoknya
aku nggak janji, En.”ujar Kila kukuh. Entah apa yang membuat Kila hari itu tak
ingin menatap mata En.
“Baiklah,
aku tak ingin memaksamu. Sehabis manggung, aku tunggu di belakang perpustakaan.
Kamu punya waktu sejam untuk terlambat.”ujar En. Ada nada kecewa yang tersirat di dalamnya. Kila
membisu, En pun berlalu meninggalkan Kila yang masih berdiri kaku seperti
patung porselen.
Sebenarnya
ingin sekali hari itu En menggandeng tangan Kila mengajaknya masuk Aula
bersamaan. Mengakhiri situasi buruk yang terjadi setahun belakangan ini. Kila
tau En nggak pernah salah akan kejadian setahun lalu, tapi kalau saja En tak
pernah datang di hidupnya. Kila tak pernah merasa seberantakan ini. Kila
menepisnya, dia terlalu bau kencur untuk menelaah arti yang sebenarnya
terkandung di dalam peristiwa itu.
Kila
terduduk di sebelah Tia, sahabatnya di salah satu sudut aula. Tia sangat
antusias mendengar nama band En disebut. Tapi tidak dengan Kila. matanya
menerawang mengingat kejadian setahun lalu, saat kisah cinta monyet itu
tertulis dengan tinta merah di suatu siang.
“La,
kamu cantik. Kamu nggak ingin punya pacar?”tanya cowok di hadapannya siang itu.
“Maksudmu?”
“Ada
sesuatu yang menarik dari kamu, La. nggak bisa aku definisikan, tapi mungkin
orang-orang bilang sayang.”
“Ha?
Aku nggak ngerti, En.”
“En
sayang Kila.”
Kata-kata
itu terlontar begitu saja dari mulut En. En masih berumur 14 tahun kala itu,
sedangkan Kila lebih muda beberapa bulan dari En. Tapi En dengan gamblang dan
jelas mengutarakan perasaannya pada Kila siang itu. di bawah sebuah pohon
mangga di dalam sekolah, ketika Kila tengah menunggu Ibu menjemputnya.
“Kita
masih kecil, En.”
“En
tahu. tapi kita sudah cukup dewasa untuk punya perasaan itu, La.”
“Kila
nggak berani. Tugas Kila saat ini cuman sekolah, En. Kila...”
“Nggak
musti sekarang, Kila. En bakal tunggu sampai Kila benar-benar siap.”
“Tapi,
En...”
“Kila
harus percaya En. Kila sekolah saja yang pinter. Jadi reporter yang handal.
Lulus dengan nilai yang bagus. En akan tunggu sampai Kila benar-benar siap.”
“Jangan
berjanji, En. Jangan berjanji sebelum kamu tau bahwa kamu punya kuasa untuk menepatinya.”ujar
Kila tegas. Umur Kila memang belum genap 14 tahun tapi pemikirannya sudah cukup
dewasa. En terdiam. Lama. Hingga sebuah mobil sedan hitam menepi dan
membunyikan klakson.
“Kila
duluan, En pulangnya hati-hati, ya.”pamit Kila lalu berlari menuju sedan hitam
yang kemudian melesat membawanya pulang. Hari ini Kila lelah sekali, di
pikirannya hanya ada kamarnya yang nyaman dan membenamkan kepalanya di bawah
bantal hingga waktu makan malam.
En
melepas kepergian Kila siang itu. janji sudah terlanjur En lontarkan. Semenjak
pertemuan pertamanya dengan Kila, En tak pernah bisa lupa akan wajah putih
lembut seperti bayi itu. tubuh mungilnya. En bahkan tahu kalau Kila berbintang
Aquarius, sangat menyukai pantai, sampai di sekolah pukul 06.45 dengan diantar
ayahnya yang sekalian pergi ke kantor. En juga tahu cita-cita Kila sejak kecil
adalah menjadi reporter. Itu kenapa Kila memilih menjadi pengurus majalah
sekolah kala itu, bukan menjadi anggota OSIS seperti dirinya. Bahkan En tahu
kalau Kila harus rela menunggu ibunya setengah jam ketika sekolah bubar, tempat
favoritnya adalah di bawah pohon mangga, depan koperasi siswa. En juga tahu
Kila adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama laki-laki
dan kuliah di Jogja mengambil jurusan Teknik Mesin. Sedangnya kakak
perempuannya masih jelas dua sma dan bersekolah di kota yang sama dengan Kila.
Tak
ada hal sedetail pun yang En tak tahu dari Kila. Apa warna favorit Kila, hobby
gila Kila yang mengkoleksi layang-layang. Segitu dahsyatnya kekuatan mencintai
dengan diam-diam. En pun punya kebiasaan aneh tiap malam, mengangkat gagang
telepon, memencet tombol sesuai dengan nomer telepon rumah Kila, tapi setelah
terdengar suara di seberang, En cepat-cepat meletakkan gagang telepon kembali
ke tempatnya.
Kila
membenamkan kepalanya di bawah bantal siang itu. Kila tak tau persis apa dia
juga punya perasaan yang sama seperti En. Tapi yang Kila tau hanya dia merasa
sangat nyaman berada di samping En. En adalah teman diskusi yang menyenangkan,
teman berbagi yang menyenangkan. Kalau sama Tia, mereka hanya suka ngobrol
tentang masalah anak perempuan. Tapi sama En, Kila bisa ngobrol apa aja tanpa
menjadi orang lain. Di depan En, Kila seutuhnya bisa menjadi dirinya sendiri.
Sempat
terbesit dalam pikiran Kila untuk mengikuti ucapan En. Dia berencana akan
menghubungi En jikalau hatinya sudah siap untuk hal semacam itu. Tapi semuanya
berubah, Kila tiba-tiba membenci En.
Semuanya
bermula dari suatu pagi di hari Senin. Kila baru saja turun dari mobil ayah
saat di depannya ada seorang anak kelas satu dan beberapa kawannya sedang
ngobrol. Kila tahu persis, nama anak kelas satu itu Cindy. Beberapa anak kelas
dua, termasuk teman-teman Kila banyak yang menjadikan Cindy sebagai bahan
omongan. Perbincangan mereka seputar Cindy yang cantik, Cindy yang kaya, Cindy
yang bohai. Ah, Kila terkadang sebagai wanita suka muak mendengarnya.
“Jadi
kamu beneran udah jadian sama Kak Zulkarnaen?”tanya anak perempuan yang
berjalan di samping Cindy. Cindy mengangguk
“Wakil
ketua OSIS yang ganteng itu?”tanya yang lainnya. Cindy mengangguk lagi.
“Anak
kelas II-d itu?”tanya yang lainnya lagi. Kembali, Cindy mengangguk. Mukanya
merona bahagia.
Langkah
Kila terhenti. Ada perasaan menyesal dalam hati Kila mengapa dia harus
mendengarkan percakapan barusan. Entah kenapa saat itu juga Kila ingin terbang
melesat entah kemana, namun kakinya hanya mampu tertahan di depan pagar melepas
segerombolan anak perempuan populer yang suka menjadi objek perbincangan para
anak laki-laki di kantin.
Baru
seminggu yang lalu En menawarkan diri untuk menunggunya namun hari ini En sudah
meninggalkannya. Sejak detik itu, Kila membenci En.
“Hey,
Kila.”sapa En siang itu. Kila sedang asyik melahap bakso Pak Eko di kantin.
Kila menoleh pada En, lalu kembali asyi dengan baksonya.
“Boleh
duduk?”tanyanya. Kila mengangguk.
“Tia
mana? Kok sendirian?”tanya En lagi. Sebenarnya Kila enggan untuk menjawab. Ekor
mata Kila menangkap Cindy dan kawan-kawannya lagi memperhatikan mereka berdua
dari ujung kantin.
“Tia
hari ini nggak masuk, ada acara keluarga di Surabaya.”
“Kamu
nggak lagi marah kan sama aku, La?”
“Soal?”
“Entahlah,
aku merasa kemarin kita baik-baik saja. Kamu masih cerita soal layang-layang
kamu temukan dua hari yang lalu. Tapi hari ini sikapmu dingin padaku. Ada apa,
La?”
“Tidak
ada. Maaf, aku harus ke ruang redaksi. Permisi.”pamit Kila. Sama sekali bukan
Kila. Kaku. Salam perpisahan Kila pada teman-teman dekatnya adalah memukul
lengan mereka, perlahan. Bukan kata permisi yang barusan dilontarkan. En
menangkap sinyal ada yang tidak beres pada diri Kila siang itu, tapi En masih
tah mengerti apa.
Kila
melangkah gontai menuju ruang redaksi, hari ini dia ada janji dengan Dito
mengenai perlombaan basket tahunan yang akan diadakan seminggu lagi di stadion
olahraga. Dengan kaku Kila melewati Cindy dan kawan-kawan, mereka menatap Kila
liar. Nggak ada satu pun di sekolah ini yang nggak tau hubungan persahabatan
Kila dan En, tak terkecuali dengan Cindy. Sesungguhnya, Kila tak takut dengan
mereka, tapi hati Kila terlanjur sakit. Mungkin ini yang dinamakan patah hati,
bisik Kila.
Di
depan ruang redaksi sudah ada satu pasang sepatu basket yang parkir di sana,
rupanya Dito sudah datang. Kila membuka pintu ruangan kecil itu, dilihatnya
Dito sedang asyik membolak-balik majalah.
“Hey,
To. Maaf telat, tadi ada pengganggu waktu aku lagi makan siang.”
“Hey,
Kila. Nggak masalah, ini aja aku baru datang sekitar lima menit yang lalu, kok.
Pengganggu siapa?”
“Ah,
sudahlah. Sebentar aku ambil notesku dulu. Mungkin hari ini aku tidak terlalu
banyak bertanya tentang acara itu, aku mulai dari kesiapan anggota kalian aja
sudah sejauh mana.”
“Nggak
masalah, La. Kamu bisa hubungin aku kapan kamu mau. Aku bakal tersedia buat
reporter cantik satu ini.”gurau Dito. Kila tak begitu menggubris gurauan Dito
barusan, moodnya menguap entah ke mana. Padahal biasanya dia adalah manusia
paling cerewet.
Kila
duduk di samping Dito. Membuka notesnya lalu terdiam. Lama. Dito ikut terdiam,
dipandanginya anak perempuan mungil di sebelahnya. Dito mencium ada gelagat tidak
beres pada kawannya itu. Kila yang ceria, Kila yang cerewet seperti sedang
menjadi orang lain. Matanya seperti lelah, tatapannya kosong entah ke mana.
Badannya memang ada di sebelah Dito, tapi Dito yakin pikirannya sedang
jalan-kalan.
“Hey,
Kila.”bisik Dito. “Sebentar lagi, jam istirahat selesai.”tegur Dito. Kila
tersadar dari tatapan kosongnya.
“Ya
ampun, maaf To. Hari ini sepertinya aku sedang tidak bersemangat.”
“Ada
apa, La? Aku tak pernah keberatan jika kamu mau membaginya denganku.”
“Hanya
sedang lelah. Sekali lagi makasih ya, To. Bel masuk tuh, kita balik yuk ke
kelas.”ajak Kila bertepatan dengan bunyi bel masuk tanda jam istirahat usai.
Kila
mengikat tali sepatunya. Ruangan redaksi memang diberi karpet sebagai alasnya,
itu mengapa untuk siapa saja yang masuk ke dalam ruangan ini harus melepas
sepatunya dulu. Lambat-lambat Kila mengikat tali sepatunya, bukan hanya moodnya
yang menguap, semangatnya pergi entah ke mana. Dito memandang Kila heran.
“La,
aku tahu kita memang teman biasa. Tak pernah punya kedekatan lebih seperti kamu
dengan En atau seperti kamu dengan Tia. Tapi aku tak suka melihatmu hari ini.
Mungkin aku tak begitu mengenalmu, tapi hari ini bukan kamu yang sedang bertemu
denganku, tapi orang lain.”ujar Dito seraya berlalu.
Kila
termenung, Dito benar hari ini dia sedang menjelma menjadi manusia aneh. Dia
seperti zombie sejak pagi tadi, setelah mendengar percakapan yang harusnya tak
didengarnya tadi pagi. Tersangka utamanya tak lain adalah En.
***
“La.”panggil
Tia sambil mencubit lengan Kila, membuyarkan lamunan Kila.
“Aw!
Sakit, tau!”seru Kila.
“Ya
maap. Abis kamu ngelamun aja. Si En tampil tuh.”
En
dan kawan-kawannya sudah naik ke atas panggung. Mereka membawakan sebuah
lagu Blink 182. Miss You.
Mungkin
hanya cewek bodoh macam Kila yang menolak untuk dijadikan pacar sama anak
laki-laki se-kece En. Permainan gitarnya sangat hebat, vokalnya cukup matang
untuk anak seusianya, penampilannya saat manggung pun tak pernah membuat Kila
tak terpukau.
Sekilas,
Kila melihat En pergi meninggalkan teman-temannya. Mungkin cuman Kila yang tau
ke mana En pergi. Diam-diam Kila mengikuti En, Kila memandanginya dari jauh.
Selama sejam, hingga kemudian En memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Mata
En basah, tak terkecuali Kila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar