"Apa-apaan ini majalah semua isinya korea. Lah ini kan Indonesia bukan Korea."
Aku menggerutu sambil membolak-balik halaman majalah yang kubeli di kios koran di depan rumah sakit tadi siang. Majalah untuk anak Abege memang, sudah ada sejak aku masih SMP. Berbekal penasaran aku merogoh kocek sebesar sepuluh ribu rupiah untuk membelinya, tapi isinya tak semenarki dulu, full dengan korea dari halaman pertama sampai cover depan juga cover belakang.
"Cowok-cowok Korea setahuku keren-keren. Banyak banget cewek yang naksir."
Aku memalingkan mukaku ke arah kanan, seorang anak laki-laki sedang memainkan iPhone'nya, telinganya ditutupi earphone tapi masih sempat-sempatnya ngomentarin gerutuanku tadi.
"Maaf ya, nggak semua cewek seperti itu."
"Ya kan aku bilangnya banyak, berarti nggak semuanya juga, sih."
"Berisik."
***
"Mbak milo dinginnya satu."
"Sepuluh ribu, Mbak."ujar mbak-mbak yang ada di belakang mesin kasir. Aku mengeluarkan selembar uang sepuluhribuan dari dalam dompet. Harga-harga makanan dan minuman di dalam rumah sakit memang "agak" sedikit tidak wajar. Mahal.
"Nih, Mbak. Sekalian saya satu ya."seseorang menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan sebelum aku sempat menyerahkan kepada mbak mbak kasir. Aku membelalakkan mata, laki-laki iPhone itu lagi.
"Nih!"kataku sambil menyerahkan uang warna ungu kemerahan padanya.
"Gue traktir."
"Nggak mau."
"Rejeki ditolak. Dosa tahu."serunya sambil meraih satu gelas milo dingin dan duduk di salah satu kursi kafe yang terletak di dalam rumah sakit ini. Aku mengikutinya dan duduk di hadapannya.
"Sorry, gue nggak bisa. Kita belum kenal."ujarku sambil meletakkan uang di hadapannya.
"Kalau gitu, kenalan."
"Sorry."
"Nama gue Firman, gue tau nama lu Riska kan? Lagi jagain adek lu yang kena tifus di ruangan Bougenvile 230."
Aku menghentikan langkahku.
"Dari mana kamu tau semua itu?"
"Suster jaga yang kasih tau gue."
"Buat apa kamu nyari tau?"
"Penasaran."
"Edan."
Aku meninggalkan cowok aneh itu yang sedang asyik dengan milo dinginnya. Aku mengintipnya dari kejauhan, tak lama dia meninggalkan tempat duduknya sambil mengantongi uang yang kuletakkan di hadapannya tadi.
***
"Aku nemuin pacarku bentar, ya."bisik Dina.
Aku berjalan melihat-lihat sekitar, Dina yang ngajakin ke festival ini, dia juga yang ninggalin aku sendirian. Aku membuka tutup botol air mineral lalu meneguknya sedikit. Agak panas padahal ini sore hari dan outdoor, mungkin karena sedang banyak orang di sini. Surabaya sedang merayakan hari ulang tahunnya, ada parade budaya dan pawai bunga sore itu yang dimulai dari Tuga Pahlawan dan berakhir di Balai Kota.
Aku mengambil beberapa gambar, biar saja si Dina. Nanti juga sms kalau urusannya dengan pacarnya kelar. Seseorang menginjak kakiku.
"Maaf.. maaf.."
"Duh, pake mata dong kalo jalan."
"Yee.. aku kan sudah minta ma... Riska? Bukannya adekmu masih di rumah sakit?"serunya sambil berseri mendapatiku berdiri di hadapannya sore itu.
"Duh, mimpi apa sih gue nggak di rumah sakit, nggak di sini, ketemu eluuu terus."
"Ini tempat umum, Riska. Lagian emang aku fotografer, kok."
"Nggak ada yang nanya, sih."
"Oh iya, ini uang sepuluh ribuan yang kemarin. Aku kan sudah bilang aku traktir kamu."katanya. Kali ini dia agak berbeda, wajahnya tak seceria kemarin. Mungkin kecapekan. Aku termangu menatapnya dan menerima selembar uang sepuluh ribu rupiah dan membiarkan dia menjauh meninggalkanku menghilang di antara kerumunan orang.
"Heh, bengong.Yuk, pulang!"ajak Dina.
***
Sudah seminggu aku menjaga adikku di rumah sakit bergantian dengan Ibu. Jika siang, ibulah yang menjaganya, jika malam tiba giliran aku yang menjaganya. Tapi ngomong-ngomong sudah tiga hari ini aku tak melihat cowok iPhone yang mengaku bernama Firman itu. Atau mungkin waktu itu dia kebetulan menjaga sanak saudaranya yang sedang sakit tapi sudah keluar dari rumah sakit. Aku duduk di tempat Firman duduk beberapa hari yang lalu sambil menikmati milo hangat. Udara malam ini terlalu dingin untuk segelas milo dingin.
Aku merogoh kantungku namun tak kutemukan ponselku, mungkin tertinggal di kasur pasien tempat adik. Namun, sebelum sampai di ruangan pasien, aku melihat ada seorang ibu-ibu menangis seseunggukan di depan ruang operasi. Aku menghampirinya.
"Sabar ya, Bu. Siapa yang sakit?"
Ibu itu menyerahkan sebuah iPhone dengan wallpaper sebuah foto anak laki-laki dengan kamera SLR menggantung di lehernya.
"Namanya Nanda Firmansyah."
Aku tercenganng, iPhone yang sedang kupegang nyaris saja jatuh kalau tidak segera kukontrol keseimbangan pikiran dengan badanku. Aku memeluk perempuan paruh baya itu, menyerahkan iPhone yang kupegang, menepuk pundaknya lalu meninggalkannya yang masih saja menangis.
Aku berhenti di depan tempat suster jaga yang sedang mengurusi berkas-berkas.
"Suster, pasien yang namanya Nanda Firmansyah dirawat di ruang berapa?"
"Mas Nanda? Maaf, Mbak. Tapi mas Nanda sudah meninggal beberapa jam yang lalu."
Aku terhenyak, "Sa... sakit apa, Suster?"
"Leukimia."
Selembar uang sepuluh ribu rupiah terjatuh dari genggamanku.
Aku berhenti di depan tempat suster jaga yang sedang mengurusi berkas-berkas.
"Suster, pasien yang namanya Nanda Firmansyah dirawat di ruang berapa?"
"Mas Nanda? Maaf, Mbak. Tapi mas Nanda sudah meninggal beberapa jam yang lalu."
Aku terhenyak, "Sa... sakit apa, Suster?"
"Leukimia."
Selembar uang sepuluh ribu rupiah terjatuh dari genggamanku.
Ruang Bougenville 230 Rumah Sakit Mitra Keluarga, Surabaya, 2013.
aaaaaaaaak suka sama tulisan yang ini :3
BalasHapusK-E-N-A !