Jika aku tak salah hitung, sebab aku tak pandai matematika, ini sudah pekan kedua puluh tiga aku tak menatap wajahmu dari sekian centimeter. Bahkan aku tak tahu persis berapa kilometer yang memisahkan kedua langkah kita. Aku tak akan bicara mengenai rindu, mengelu-elukan rindu, atau pun memaki-maki jarak yang membuat debar jantungku berdebar tak semestinya setiap ada yang menyebut namamu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas, meski pada kenyataannya berpisah denganmu seperti satu kotak rokok yang kehilangan korek apinya.
Belakangan ini, aku lebih sering mendengarkan lagu-lagu dengan nada yang membuatku dadaku lebih hangat. Mereka bilang lagu sendu. Tapi kubilang ini puisi bernada. Aku juga lebih sering makan hal-hal yang manis seperti coklat, banyak yang bilang bahwa coklat bisa membuatmu lebih tenang.
Aku masih ingat apa yang kita perdebatkan di ruang tunggu stasiun senja itu, percayakah kau, bahwa menu sarapanku tadi pagi saja aku tak bisa ingat. Aku masih ingat senyum terakhir yang kau lontarkan padaku, aku pun masih ingat kalimat terakhir milikmu sebelum akhirnya punggungmu itu menjauh, kalimat yang penuh rasa khawatir dan penyesalan. Aku bahkan masih mampu merasakan hangatnya kedua lenganmu yang menggapaiku.
Jika kamu punya satu kotak rokok dan kamu kehilangan koreknya, tinggal berlari sajalah ke toko atau warung paling dekat dengan tempatmu sekarang. Namun jika berbicara mengenai rindu dan berusaha untuk tidak memakinya, bagaimana kalau aku berhenti menulis tentang rindu? Bagaimana kalau bertemu saja kita, saling memeluk erat, hingga lupa waktu.
Surabaya, Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar