...hanya dengan melihat punggungmu pun itu sudah cukup mengobati rinduku selama berhari-hari ini.
Kalau boleh aku berbagi, disinilah tempat berbagi paling enak untuk
menyendiri, menulis, atau sekedar membaca buku-buku kumpulan cerpen dan novel
milik Dee, penulis favoritku. Sebuah cafe kecil yang tidak begitu ramai,
diiringi alunan musik jazz lembut dengan secangkir caramel macchiato.
Setidaknya seminggu dua kali aku ke sini, dengan minuman yang sama, dan
sendirian. Sebenarnya, ada satu alasan lagi mengapa aku senang sekali
bertandang ke tempat ini setidaknya untuk satu bulan terakhir ini. Tapi aku
agak enggan dan malu untuk mengakuinya, bukan, aku tidak tertarik pada sosok
itu. Tapi, entahlah, aku suka
memandanginya. Sudah hampir satu bulan ini aku selalu melihat sosok itu,
rambut berantakan, kacamata besarnya, wajah tirus dan agak sedikit pucat itu,
serta sandal jepit kuning. . Di antara jari telunjuk dan tengahnya pun selalu
terselip rokok kretek yang sesekali dia hirup dengan nikmatnya. Dia juga selalu
memesan minuman yang sama setiap harinya, vanilla latte.
Pernah sesekali aku melihatnya di tempat lain, sebuah toko buku. Sama
seperti sebelumnya, kaus oblong, kemeja, rambut berantakan, kacamata besar itu,
sandal jepit kuning serta muka pasinya. Dia ada di rak buku yang sama denganku,
“Ilmu Ekonomi.” Tapi dari dandanannya aku tak suka kalo harus menyebutnya
mahasiswa ekonomi, dia lebih mirip mahasiswa FISIP yang menurutku, menyukai
gaya berbusana yang bebas.
Tapi malam ini agak sedikit berbeda, dia tidak lagi sendiri, tapi
bersama seorang wanita, cantik. Sepatu high heels, dress pendek, dan parfum
dengan aroma lembut menyeruak hidungku tatkala wanita itu melintas di
hadapanku. Aku memperhatikan ke arah mereka di balik bukuku. Wanita itu
menangis, lalu meraih tangannya dan memegangnya erat. Tapi dia hanya terdiam
datar membisu tanpa kata, yang ada hanya tatapan kosong dan mata sayu serta
kepulan asap rokok kreteknya. Lalu dia memegang pipi wanita itu, mengusap air
matanya dan menciumnya, aku mulai menyibukkan diri dengan bukuku, tenggelam
lagi bersama kalimat-kalimat indah milik Dee yang membuatku jatuh cinta pada
tulisannya. Pemandangan itu sudah tidak
menyenangkan lagi bagiku, entahlah menjadi
semacam perasaan sesak yang tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata.
Tapi,
semenjak kejadian malam itu, tak lagi kutemukan pemandangan indah di café ini. Sudah
berhari-hari ini sengaja aku mengunjungi tempat ini lagi dan lagi. Dan sudah
berhari-hari juga pemandangan indah itu tidak lagi aku temukan. Kemana kamu, sayang?
Aku hanya ingin memandangmu, walau dari
kejauhan.
Pagi itu,
ketika aku sedang tenggelam bersama pikirku sendiri, tak kuhiraukan celotehan
seorang dosen yang menjelaskan tentang apa itu slope, entahlah, aku tak begitu
paham dengan mata kuliah ini. Teori Ekonomi Mikro, ah, mata kuliah yang sangat
membosankan menurutku. Tiba-tiba seorang cowok datang dengan tergopoh-gopoh. Mata
sayu itu, pipi tirus itu, Yaaaa! Dia! Ah, aku pasti aku salah lihat. Tidak, itu
benar dia. Tapi tak ada sandal jepit kuning, hahahaha, yang benar saja, ini
kampus, bukan café. Sejenak, dia mendapat ceramah kecil dari dosen pagi itu,
lalu mengambil kursi kosong di depanku. Ah, tak pernah sebelumnya aku merasa
sedekat ini dengannya. Parfum giordano’nya menggelitik hidungku, rambutnya
sedikit agak rapi hari ini, mungkin aku lebih senang melihat rambut acak-acak’mu
seperti biasanya tapi kamu masih tetap
terlihat indah. Tak pernah terbesit di pikiranku sebelumnya, berhari-hari
tak melihatnya dan kini melihatnya tepat di depanku. Entahlah, hanya dengan
melihat punggungmu pun itu sudah cukup mengobati rinduku selama berhari-hari
ini. Kini, tak perlu lagi aku bertandang ke café itu tiap malam, tak ada lagi alasan.
Aku hanya butuh sedikit bersabar untuk menunggu pagi datang dan memandangi
punggungmu lagi. Yah, mungkin aku tidak begitu paham dengan mata kuliah Teori
Ekonomi Mikro, tapi aku sangat begitu paham akan perasaanku padamu. Bahkan aku sudah tak perduli siapa wanita di malam itu.
September 2009, Kampus di Timur Jawa Dwipa –
pada pandangan pertama dengan diam diam
Duh jadi ikutan galau baca tulisan ini B)
BalasHapusGue juga pernah nih ngerasa kayak gini.. Entahlah sekarang dia dimana B")