Balkon tempat Nona Pop berdiri cukup tinggi, setinggi harapan yang pernah diberikan seseorang padanya. Harapan yang tertelan ribuan kilometer yang tak mampu dijangkau kedua lengannya. Jam tangan berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul 23.40, setidaknya masih ada sekitar dua puluh menit untuk menyesali segala apa yang terjadi di tahun ini.
Seorang pelayan mengantarkan dua botol berwarna hijau yang mengembun persis seperti matanya malam itu. Seorang laki-laki duduk bersandar di sebuah kursi rotan, memantikkan api dan menyalakan rokoknya. Satu sesapan.
Ari:
Langit malam ini terlalu indah untuk kau nodai dengan air mata, Miss.
Nona Pop:
Can you see that? Mendung.
Kafe itu terletak di atap sebuah gedung apartemen, tempat yang suatu saat nanti ingin Nona Pop kunjungi dengan seseorang. Di bawah mereka, klakson mobil dibunyikan bersahut-sahutan. Turun ke jalanan pada hari terakhir di kalender adalah ide yang sangat buruk, terutama di kota metropolitan semacam ini.
Kota ini dulu pernah indah, setiap sudutnya gemerlap, setiap jengkalnya indah, sebelum sebuah kenangan merusaknya.
Rokok Ari sudah habis, minuman Ari tinggal setengahnya, namun Nona Pop belum juga menyentuh miliknya.
Ari:
Happy New Year, Miss. What do you wish?
Nona Pop:
Aku cuma ingin tahu, apa kami baik-baik saja.
Ari:
If he love you, Miss. He will call you, immediately.
Sebuah telepon genggam berdering.
Ari:
Halo, sayang..
Nona Pop mengusap pipinya, hangat. Perempuan itu merapatkan sweeternya. Jalanan mulai basah, beberapa pejalan kaki mencari tempat berteduh. Halo hujan pertama di tahun 2016.
wah suka sama gaya nulisnya uw~~
BalasHapus