Aku memainkan benda kotak berwarna putih di tangan kananku. Mataku tak behenti memperhatikan jam dinding berwarna putih susu di atas gerobak gado-gado di kantin kantor. Beberapa kendaraan di parkiran yang tak jauh dari kantin satu persatu mulai meninggalkan tempatnya. Kecuali sebuah Honda Brio yang selalu diparkir di samping pohon asam dekat parkiran.
Kantor Akuntan Publik ini berada di sebuah gedung yang tak begitu besar. Selain kantor kami, juga ada beberapa kantor lain seperti kantor finance, bank dan entah aku tak hapal semuanya. Letaknya pun berada di jantung kota Surabaya yang ramai. Dimana pukul tujuh pagi keadaannya tak jauh berbeda dengan isi kepalaku. Riuh.
Namanya Jo, itu yang tak sengaja kudengar ketika makan siang beberapa hari yang lalu saat seorang kawannya memanggil namanya. Sudah beberapa hari ini kucuri pandang ke arahnya yang suka sekali memesan mi ayam, terkadang soto ayam dan segelas jus sirsak. Selalu. Bagaimana bisa perhatianku tersita sama seseorang yang bahkan aku tak tahu siapa nama lengkapnya, warna matanya dan parfum apa yang dia pakai.
"Sebentar lagi hujan. Tak pulang?"sapanya sambil memasukku bungkus rokoknya ke dalam saku celana bahannya sebelah kiri, karena aku tahu di saku sebelah kanan biasa dia letakkan iPhone-nya.
"Nunggu jemputan?"
Aku mengangguk. Jarak kami memang jauh, kami harus melewati satu meja makan. Aku sedang malas berteriak maka hanya kuisyaratkan sebuah anggukan.
"Nunggu pacar?"
"Kakak."
"Sebentar lagi gelap, kantin juga sudah tutup. Lebih baik menunggu di lobi."
Aku tak bisa merokok kalau sedang di lobi, batinku.
"Merokok?"tanyanya.
Aku mengangguk. lagi.
"Baiklah. Aku duluan, ya. Kamu hati-hati."
Laki-laki itu beranjak pergi dari tempatnya. Mukanya samar terlihat agak sedikit lelah, tak sesegar tadi pagi waktu kulihat dia turun dari mobilnya sesaat setelah turun dari mobil Mbak Tanti di depan lobi.
Langit Surabaya akhir-akhir ini begitu sendu semenjak pergantian tahun lima hari yang lalu. Pagi hari, matahari memilih untuk terlelap lebih lama dari biasanya. Langit seperti menangis. Sedikit, biar kubagi beberapa peristiwa penting yang terjadi di tahun kemarin.
Awal tahun kemarin, tepatnya minggu terakhir Januari, aku dihadapkan oleh empat orang penguji skripsi. Satu langkah lagi menuju sukses, begitu batinku saat itu. Kulihat dosen pembimbingku tersenyum manis sesaat setelah aku masuk ke dalam ruangan, di luar beberapa kawan menanti dengan hara-harap cemas. Ujian berjalan begitu lancar, dosen pun tak begitu banyak memberiku pertanyaan yang aneh atas penelitianku. Dua jam kemudian, kampus ini memberiku gelar Sarjana Akuntansi. Aku berlutut, bersujud pada Illahi.
Pertengahan Maret, yang kuingat itu masih pukul tujuh malam. Aku mencoba sebuah kebaya berwarna merah jambu cantik untuk dikenakan besok pagi. Pukul lima besok Tante Gina, perias yang merupakan kawan Ibu semasa remaja itu berjanji akan datang ke rumah untuk menyulapku menjadi seorang putri sehari. Tuhan, begini rasanya wisuda. Ada genangan air yang tak mampu dibendung sudut mataku, sesaat setelah acara sesi foto bersama keluarga selesai.
Akhir Agustus, putus setelah menjalani hubungan hampir satu tahun. Putusnya lucu, aku memergoki dia sedang berpegangan tangan mesra di sebuah rumah makan di suatu malam. Setahu saya, saya sudah memberitahu dia bahwa saya akan makan di rumah makan itu bersama kawan-kawan semasa SMA. Entahlah, ceritanya FTV sekali. Bahkan dia lebih membela selingkuhannya ketimbang saya. Mungkin, dia memang ingin meninggalkan saya. Namun, caranya buruk sekali.
Awal September, saya mulai bekerja di kantor ini. Masuk pukul delapan pagi dan pulang pukul lima sore. Begitu seterusnya. Itulah, mengapa kubilang tahun kemarin tak begitu wah seperti tahun sebelum-sebelumnya, tak banyak cerita menarik. Akhirnya, kugantungkan semua harapanku pada tahun baru ini.
Sudah pukul enam tepat, terpaksa aku menumpang sholat di lantai dua. Lantai tiga tempat kantorku berada terlalu seram untuk kudatangi. Kantor finance di lantai dua memang masih agak ramai, di sinilah, tempat Jo bekerja. Dia eksekutif muda yang sudah dua tahun bergelut di bidangnya. Jangan tanya mengapa aku tahu semuanya, ikuti saja ceritaku sampai selesai.
Blackberry-ku bergetar, ada pesan singkat. Mbak Tanti.
Dek, mbak harus lembur. Kamu naiklah taksi. Nanti Mbak ganti uangnya jangan khawatir.
Gontai, kumasukkan ponselku ke dalam tas. Kupikir daripada aku pulang tak ada orang di kontrakan, lebih baik jalan-jalan sebentar. Ke sebuah taman yang tak jauh dari kantor. Biasanya hari Jumat begini ramai sekali. Benar saja, di salah satu sudut beberapa remaja yang kutaksir umurnya kisaran SMP hingga SMA sedang asik bermainskateboard. Pengamen jalanan tak luput beraksi menjajakan suaranya. Beberapa perempuan paruhbaya menenteng termos dengan beberapa rentang kopi di sampingnya.
"Kopi, Neng?"
"Satu ya, Bu. Jangan panas-panas."
Tak lama, sebuah gelas plastik berisi kopi hitam beralih di tanganku.
"Katanya tadi pulang nunggu kakak?"seseorang mengagetkanku. Tangannya sibuk menyulut api di ujung rokoknya.
"Kakakku lembur."
"Bu, saya juga kopi satu, ya. Jangan panas-panas."
Aku terdiam, entah ini suatu kebetulan atau apa bisa bertemu dengannya di sini. Jarak kami tak lebih dari satu depa.
"Waduh, Nak. Engga ada kembaliannya."ujar ibu itu. Mukakanya kebingungan. Pria bodoh, membeli kopi dengan uang seratus ribu. Dipikir ini kafe.
"Pake uangku saja."
"Engga usah."bisiknya, "Engga apa-apa, Bu. Ambil saja kembaliannya buat biaya anak sekolah."
Perempuan paruh baya itu menyalami kami, mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan kami dengan muka sumringah. Mungkin pulang lalu tidur di samping anaknya dengan nyenyak hingga pagi.
"Kamu Astrid, kan?"tanyanya. "Junior Auditor di kantor atas?"
Aku mengangguk.
"Tahu dari mana?"
"Tak ada orang yang tak tahu siapa kamu di gedung itu."
Laki-laki ini maunya apa?
"Lain kali, ngopi, yuk! Tapi tidak di tempat seperti ini."
Kami pun larut dalam obrolan ringan.
"Ada pin bb?"tanyanya.
Aku mengangguk.
"Handphone-ku mati. Catat deh pinku."
Aku mengeluarkan blackberry-ku dari dalam tas. Sebuah pesan pendek dari Mbak Tanti yang mencariku dan menyuruhku segera pulang. Setelah mencatata nomornya, aku pun berpamitan pulang.
***
Betapa kasur adalah tempat terbaik di dunia setelah seharian bekerja. Aku meraihblackberry-ku yang sedang mengisi daya di samping kasurku. Kubuka recent updates, Jonathan Wijaya is now contact. Jonathan Wijaya changed display picture.
Sebuah foto keluarga kecil bahagia, dia dan seorang perempuan ayu di sampingnya yang sedang menggendong seorang bayi mungil.
Tertipu?
Ah, tidak. Kami belum sejauh itu.
Namanya, Jonathan.
Parfumnya Bvlgari.
dan
warna matanya
cokelat muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar