Selamat pagi, Tuan Putri!”sebuah
suara memaksaku membuka mata. Sesosok berdiri di depanku tepat, perawakannya
yang sedikit kurus, tinggi, putih dan bersih memang sudah tak asing bagi mataku
meskipun otakku belum bekerja dengan sempurna pagi itu. Dia yang sudah
membawaku sejauh ini meninggalkan kota Surabaya hanya gara-gara celetukan kecil
yang kubuat malam itu, di sebuah pasar malam murahan keliling di dekat kosanku.
“Lu pengen ke mana liburan nanti?”tanya
laki-laki itu sambil menjilati es krimnya.
“Hah?”aku nyaris tak mendengar
suaranya, suara generator pemutar bianglala dan komedi putar teralu ingar.
“Lu pengen ke mana liburan
semester nanti?”
“Jogja! Gue kangen banget sama
Jogja!”
“Noted!”
Lagi-lagi aku tak sempat
mendengar suaranya, aku lebih menikmati menghabiskan gulali sambil menggenggam
tangan kanannya. Hingga suatu pagi ketika ujian sudah berakhir sebuah mobil sudah
terparkir di depan kosanku, puluhan missed call di ponsel dengan orang yang
sama. Kubuka pintu kamar, laki-laki itu sudah berdiri saja di sana dengan muka
seperti malaikat.
“Bawa pakaian ganti buat tiga
hari, nggak usah banyak tanya, cuci muka sikat gigi, kita berangkat!”katanya,
pelan tapi pasti. Entah kenapa, otakku serasa mendapat perintah dan melakukan
semua yang dia katakan.
“Ngapain bawa baju ganti?”tanyaku
sambil masuk ke dalam mobil.
“Lupa ya? Nggak usah banyak
tanya.”
“Gue laper, sarapan dulu kek,
deket-deket kosan aja.”
“Nggak usah cerewet.”
Dan tiba-tiba aku sudah berada di
jogja. Hidup ini semacam permainan, ajaib, aku hampir lupa kalau satu tahun
yang lalu aku seperti pesakitan yang terkena penyakit kanker stadium akhir. Semacam
tak ada harapan untuk hidup, makan saja enggan, beratku nyaris turun tujuh
kilo. Benar-benar seperti orang sakit. Tapi ini yang sakit hati, aku rasa ini
penyakit lebih crusial dibandingkan penyakit kanker dan sejenisnya.
“Woooy! Ngelamun! Ayo mandi, kita
jalan-jalan. Sudah jauh-jauh kerjaannya cuman tidur balik aja ke kosan sana!”serunya,
lagi-lagi otakku memintaku mengerjakan apa yang dikatakannya.
Jogja memang tak seramah dulu
katanya, tak sesunyi dulu, tapi buatku Jogja itu kota yang paling nyaman untuk
berlibur, kota yang paling indah untuk bersantai. Sudah kubilang kan hidup itu
lucu sekali, aku masih tak percaya aku di Jogja cuman gara-gara celetukan edan
malam itu.
Aku merapikan rambutku yang
selalu berantakan dan kulihat dia sudah duduk dengan manis di teras penginapan.
Tentu saja kami sekamar, tapi semalam dia tidur di lantai. Oke, aku kasihan
sekali tapi aku tak mau harus tidur seranjang dengan laki-laki yang belum sah
menikahiku. Sial, terdengar relijius bukan? Bukan aku lebih suka jus alpukat. Oke,
skip!
“Kenapa, mas?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa kamu mengabulkan
keinginanku malam itu. bahkan kamu tak tahu aku berkata bergurau atau tidak
malam itu?”
“Tak ada yang bisa matamu
sembunyikan dari aku, Tuan Putri.”
“Edan, aku sedang tak ingin
bercanda.”
“Kamu pikir aku bercanda? Membawamu
sejauh ini?”
“Bukan itu maksudku, mas. Tapi...”
“Sudah kubilang tak usah banyak
tanya.”
Sebenarnya laki-laki yang lebih
sering kupanggil mas daripada nama aslinya ini begitu menyenangkan, sangat asyik
diajak berbincang-bincang. Tapi semenjak malam di pasar malam itu aku tahu matanya
mulai menunjukkan hal aneh dan ada yang tidak beres. Tapi lihat apa yang
dilakukan hatiku? Dia semacam mempercayai penuh apa yang sedang dia lakukan
saat ini.
“Boleh aku bertanya satu aja?”
“Yes?”
“Kenapa kamu bawa aku sampai
sejauh ini?”
“Karena aku mencintaimu, dan aku
hanya ingin melihat orang yang aku cintai bahagia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar