Ting Tong.. Ting Tong..
Suara itu lagi, suara bel yang terbatuk-batuk karena usia itu buatku ibarat seorang pengganggu yang mengoyak-koyak tubuhku yang masih saja tertidur lelap untuk bangun. Matahari belum juga nampak, dingin masih betah memeluk namun bel batuk itu sudah berbunyi saja.
Tak lama setelah itu pintu kamarku akan diketuk oleh Ibu.
Tok Tok Tok.
"Sudah siang, mau sampai kapan tidur?"kalimat yang sama setiap hari, suara yang sama setiap hari.
Sebelum aku berangkat ke kantor, ketika aku mengenakan sepatuku di teras rumah selalu kulihat satu buket bunga terdampar di meja teras. Ibu menghampiriku sambil berkata, "Itu bunga buat kamu." - selalu seperti itu setiap hari.
***
"Selamat pagi, Mbak Dona!" -- sapaan itu setiap pagi, dari satpam kantor dan Mbak Nuke, resepsionis kantor. Setelah itu, kutemui setangkai bunga mawar putih di mejaku dengan tulisan, "Selamat pagi, Dona!"
***
Oh iya, mengenai buket bunga tiap pagi dan setangkai mawar putih di meja kerja memang tidak setiap hari, itu semua ada semenjak dua minggu yang lalu. Selang-seling setiap hari, Senin ada, Selasa tidak, Rabu ada, Kamis tidak, begitu seterusnya. Sampai vas bunga hijau toska di sudut mejaku penuh dengan mawar putih, ada yang masih segar, ada yang layu dan juga hampir layu. sebuah tanda tanya yang menggelantung di kelopak mataku makin membesar, berat, membuatku semakin mengantuk namun tak ingin tidur.
Aku membetulkan jas kuning gading yang membalut dress biru pastelku sore itu, kuteguk sebotol teh dingin di pinggir halte tak jauh dari gedung tinggi tempatku bekerja. Matahari menyisakan semburat oranye indah namun serasa panas. Tapi aku yakin, di ibukota ini tak akan ada yang menghiraukan panasnya warna oranye namun indah di ufuk barat yang hadir setiap senja itu.
Jalanan sibuk dengan asap kendaraan bermotor warna hitam dimana-mana, polisi-polisi sibuk mengatur jalan mengurai kemacetan, kenek metromini sibuk berteriak dan menarik ongkos kepada penumpang, beberapa pasang kaki sibuk berlari mengejar waktu, kecuali aku, aku merasa hening dalam riuh tiap senja.
Aku sengaja membawa setangkai yang baru saja diletakkan di meja kerjaku pagi tadi untuk kubawa pulang, kupikir kamarku akan terlihat cantik jika kuberi setangkai di sudutnya sambil mencoba mengurai tanda tanya.
***
Tok Tok Tok.
Kulihat jam masih menunjukkan pukul delapan malam, belum pagi, tapi kenapa sudah ada yang mengetuk pintu?
"Iya?"seruku.
"Sayang, ada tamu!"seru Ibu dari luar.
"Siapa?"
"Ibu lupa namanya, lebih baik kamu segera keluar."
Lalu suara itu lenyap.
Aku melangkahkan kakiku menyusuri anak tangga rumah sederhana berlantai dua itu. Kulihat anak laki-laki berdiri di serambi rumah, ada sebuket bunga lagi di meja teras. Laki-laki itu tak seperti kebanyakan laki-laki yang datang ke rumahku, setelan jas dan sepatu mengkilat. Dia hanya mengenakan celana jeans rapi dan kemeja dilipat sesiku, lalu parfumnya....aku hampir pingsan, ada memori yang tiba-tiba merangkak keluar dari tempat yang sudah kukunci rapat-rapat di pikiranku.
"Permisi, mas, mau cari sia..."
Laki-laki itu membalikkan badannya.
"Malam, Dona."
"Kamu? Jadi kamu yang selama ini..."
"Sudah dua minggu lima hari, kamu belum juga tahu pesan apa yang ada di balik bunga-bunga yang kukirim? Atau bahkan kamu belum tahu siapa pengirim bunga-bunga itu?"
"Aku..."
"Coba kamu baca ini."kata laki-laki itu sambil menyerahkan secarik kertas kumal berwarna merah muda.
Dear, Dimas.
Aku terlalu muda untuk mengerti apa itu cinta.
Aku terlalu bodoh untuk membaca perasaan-perasaaan.
Tapi yang kutahu, Tuhan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan.
Memberinya sebuah rasa bernama cinta dalam hati setiap kita.
Nyatanya, cinta itu bernama kamu.Pergilah, raih cita-citamu.
Aku baik-baik di sini, lebih baik dari apa yang kamu kira.
Menunggu.. mungkin itu yang akan kulakukan.
Jika kita sudah siap nanti, dan kau sudah memeluk cita-citamu,
datanglah, berikan aku sebuket bunga dan setangkai mawar putih,
maka, aku akan kembali mengingatmu,
sebagai soerang kekasih.
Aku berdiri terpaku tak tahu apa yang harus aku keluarkan dari bibirku dengan lidah yang mulai kelu, mataku mulai layu badanku makin terlihat kuyu, surat itu berumur sepuluh tahun, aku mungkin tak akan mengingatnya sebelum hari ini, sebelum akhirnya Dimas, menepati janjinya.
Surabaya, 2013.